Senin, 26 Desember 2011

Angkuh...(Short story of RiFy)

Angkuh....





-----


Aku yang sombong.. 
Menghempaskanmu dalam penantian..
Acuhkan cintamu..

"Riooo!!"

Derap langkah setengah berlari yang mendominasi suara memanggil, dari gadis itu tidak membuat sosok dingin tersebut menghentikan langkahnya. Jangankan berhenti, menoleh pun tidak.
Ia justru semakin mempercepat laju langkahnya, mengacuhkan panggilan yang sekuat tenaga -karena gadis itu mulai berlari untuk mengimbangi langkah Rio-  diucap kan oleh gadis tersebut.

"Ri...o.."

Panggilannya melemah, seiring menghilangnya punggung tegap milik lelaki hitam manis yang sedari tadi di kejarnya.
Ia menghela nafas kecewa, kemudian tertawa miris. Apa ada yang salah, jika ia memanggil pria tersebut? Atau memang pria tersebut merasa...ia tak pantas berbicara dengannya?

"Fy~"

Ify, gadis tersebut segera mengalihkan pandangan nya. Didapatinya seraut wajah tampan dengan gurat penuh kekhawatiran sedang menatapnya.

"Sampai kapan sih, Fy? Lo tau kan, dia--"

"Gue cuman mau bilang kalau dia dipanggil sama Bu Ira,  Vin. Tapi..dia malah ninggalin gue gitu aja." Ify memotong cepat ucapan Alvin dan menjelaskan maksudnya, sambil menunduk, memandangi ujung-ujung sepatu hitamnya.

Fiuhh...terdengar desah nafas Alvin yang berhembus keras. Seolah kesal setelah mendengarkan penuturan Ify, sahabatnya. Entahlah, kesal karena Ify yang selalu 'mengejar-ngejar' Rio, kah? Atau karena sikap sombong Rio yang tak pernah sekalipun menggubris tingkah laku Ify?

Sesaat kemudian, ia mengulurkan tangannya, dan mengusap lembut tiap helai rambut panjang, milik Ify.
Ia tahu, Ify tak pernah suka melihatnya marah.

"Ya udah, lupain aja yang tadi. Kita ke kelas aja, yuk!" ajak Alvin.

Ify tersenyum, dan mengangguk cepat. "Yuk!" sambutnya. Diraihnya lengan Alvin, dan memeluknya erat.
Selalu begitu, Alvin selalu mengerti dirinya. Memahami inginnya. Dan itulah yang membuat Ify selalu nyaman berada disisi Alvin, sahabat yang juga dianggap 'kakak' olehnya.
***

"Kenapa kamu kemarin tidak menemui saya? Saya kan sudah bilang, temui saya selepas jam pulang!"

Pria itu mengernyit heran. Ia menggaruk-garuk tengkuknya yang mendadak gatal. Sungguh, ia tidak mengerti dengan maksud gurunya ini.

"Maaf, Bu. Maksudnya?" ia bertanya polos.

"Mario..saya menyuruh kamu menemui saya kemaren sepulang sekolah untuk membicarakan nilai-nilai kamu yang mulai menurun akhir-akhir ini!" jelas Bu Ira, tegas.

Rio mengangguk kecil, "tapi..saya tidak merasa kalau Ibu memanggil saya kemaren.."

"Jadi Alyssa tidak menyampaikan pesan saya kepada kamu?"

"Alyssa?"

Bu Ira mengangguk, "ya. Saya menitipkan pesan kepada Alyssa, apa dia tidak menemui kamu?"

Ia bungkam. Tidak mungkin berkata 'tidak' karena memang gadis tersebut sempat (ingin) menemuinya. Namun ia mengacuhkan gadis tersebut. Ya, Rio tahu bahwa Alyssa yang dimaksud oleh Bu Ira pastilah gadis yang kemaren. Karena, selain gadis tersebut adalah satu-satunya penghuni sekolah (nya) yang memiliki nama seperti itu, gadis itu pun merupakan satu-satunya...

"Mario!"

Rio tersentak dari lamunannya. "Eh, iya Bu, maaf. Kemaren, dia memang sempat memanggil saya, tapi..karena saya buru-buru jadi saya diemin aja.."

Bu Ira berdecak kesal, "ckckkk..baiklah. Mario..kalau nilai kamu terus menurun, Ibu rasa..tidak menutup kemungkinan beasiswa kamu akan dicabut." ucap Bu Ira to the point, lirih.

Rio melebarkan matanya, "jadi.."

Bu Ira segera berdiri, dan melangkah maju menghampiri siswa kesayangannya tersebut. Diusapnya pundak Rio penuh kasih sayang, tak tega rasanya, jika beasiswa untuk Rio benar-benar dicabut. Karena, ia tahu bagaimana perekonomian keluarga muridnya tersebut. Dan..ia pun tahu, betapa sedari dulu Rio sangat mengidam-idamkan sekolah ini untuk menjadi tempat dimana ia akan menghabiskan masa-masa putih abu-abu nya.

"Kamu ada masalah? Ceritakan saja pada Ibu, Rio.."

Rio menghela nafas dan mulai bercerita. "Ibu saya sakit, Bu. Dan beberapa minggu yang lalu saya..."

Bla..bla..
Rio mulai menceritakan masalah yang  melanda hidupnya. Masalah yang (ia rasa) datang secara bertubi-tubi semenjak ayahnya meninggal.

"Jadi..bagaimana kondisi Ibu kamu sekarang?"

"Puji Tuhan, sudah membaik. Tapi..saya masih bingung, bagaimana mungkin saya membiarkan Ibu saya yang baru sembuh untuk mencari uang.." Rio menunduk dalam. Dari semalam, hanya satu yang mengisi pikirannya "ingin bekerja!"

Apapun jenisnya, selagi halal dan bisa membantu perekonomian keluarganya, pasti akan ia lakoni.

"Bagaimana kalau kamu bekerja di rumah teman ibu saja?"

Rio mengangkat wajahnya di sertai senyuman. "Boleh! Apapun, selagi halal, saya mau!"

"Tapi...tugasnya membersihkan kolam renang, Yo.."

"Nggak masalah, Bu. Saya bisa. Apa saya boleh meminta alamat rumah teman Ibu itu?"

Bu Ira mengangguk cepat, "kamu tidak perlu khawatir, karena anaknya teman Ibu itu kebetulan murid disini juga."

"Oh, ya? Siapa?"
***

Seminggu sudah, sejak Rio memutuskan untuk mencari pekerjaan, ia menjadi 'pembersih kolam renang' di rumah mewah milik salah satu teman sekolahnya. Bukan hanya teman sekolah, tapi juga teman sekelas. Dan, tahukah kalian siapa pemiliknya?

"Ify, mama sama ayah akan pulang minggu depan. Jaga diri kamu baik-baik, yah.."

Ify tersenyum kecut mendengar ucapaan Ibu nya tersebut. Tak bisakah kedua orang tua nya meluangkan sedikit waktu untuknya? walau hanya sehari.

"Yes, mom.." sahutnya malas. Bu Gina mengusap lembut puncak kepala anak gadis, satu-satunya yang ia punya.

"Ayah janji, pulang dari Bandung, kita akan menyusul ka Eizel ke Spore, mau?"

Sebuah kelingking tersuguh di hadapannya secara tiba-tiba. Membuat wajah Ify yang semula suram menjadi lebih berwarna. Disambutnya kelingking sang ayah, dengan senyum mengembang.

"Promise.."

Tok..tok..tok...
Suara ketukan halus didekatnya membuat Rio buru-buru mengalihkan pandangan -yang semula asyik memperhatikan sebuah drama keluarga mengharukan-. Ia bergegas menuju pintu depan dan membukanya.

Cklik..
Sesosok pria tampan, berkulit putih lengkap dengan mata sipit -yang membuat ia terkesan seperti aktor-aktor Korea yang sedang digandrungi para remaja putri- menyunggingkan seulas senyuman tulus pada Rio.
Dengan kikuk Rio membalas senyum tersebut.

"Hai, Yo!" sapanya ramah.

Rio mengangguk dan tersenyum kecil. "Hai, Vin! Ayo, silahkan masuk!" suruhnya mengajak.

Dengan santai Alvin melangkah masuk melewati ruang tamu, dan menuju salah satu ruangan untuk mencari Ify.

"Ify ada kan, Yo?" tanya nya, dengan kepala memutar ke segala arah.

Rio tertegun.
Dia..dan Alvin. Perbandingan yang terlalu banyak akan di jabarkan, jika membandingkan antara dirinya dan Alvin.
Dan..itulah salah satu alasan mengapa ia selalu menghindar. Menghindar dari pujaan hatinya, yang jelas-jelas memiliki satu rasa yang sama dengannya.

"Yo!"

"Oh iya, sorry. Ada, Vin! Tuh di ruang tengah, sama orang tua nya." ucap Rio cepat, dengan telunjuk mengarah pada ruang tengah yang berada tepat di depan mereka.

Alvin menepuk pundak Rio sebentar, "gue kesana dulu, Yo.." pamitnya.

Rio mengangguk, ia memperhatikan punggung Alvin yang membelakanginya. Bahkan, dilihat dari belakang pun pria tersebut terlihat lebih 'enak di pandang' dibanding dirinya. T-shirt bermerk dengan kaos oblong? So funny..

Hingga kau larut dalam kesedihan yang tiada bertepi
Lelah hadapi sikapku..

Alvin sedang duduk manis di salah satu sofa ruang tengah milik Ify. Ia sedang menunggu Ify yang sedang 'melepas' kepergiaan orang tua nya. Lama, tapi wajar. Ia mengerti, Ify sengaja 'bertingkah' untuk mengulur-ulur keberangkatan orang tua nya. Gadis itu hanya ingin merasakan sedikit waktu untuk bersama, sebelum kedua orang tua nya pergi meninggalkan nya dalam waktu yang cukup lama.

"Vin, om titip Ify, ya~" ucap Ayah Ify tiba-tiba.

"Jagain dia, jangan sampai macam-macam ya, Vin." tambah Ibu Ify, Alvin mengangguk sambil tersenyum sebagai jawaban.
Ify? Gadis itu menggembungkan kedua pipinya dengan kesal. Memangnya dia masih kecil?

"Ayah, Ify bukan anak kecil lagi." rajuknya. Ayah Ify segera menarik putrinya ke dalam pelukannya.

"Sampai kapanpun, kamu akan selalu menjadi putri kecil Ayah."

Cup..dan satu kecupan penuh kasih mendarat di kening Ify sebagai salam perpisahan dari ke dua orang tua nya.

"Udah, jangan nangis deh. Kita jalan yuk?"

Ajak Alvin untuk menghibur Ify yang mulai bersedih.

Ify menatap Alvin, lama. "Kemana?"

"Kemana kamu mau.."

Ify menimbang-nimbang sejenak, "ajak Rio, boleh?"

Alvin kembali menghela nafas. "Yakin dia mau ikut?"

Ify mengulum senyum. Dalam hati ia berharap semoga pria tersebut mau memenuhi ajakannya.

"Di ajak dong, Vin. Kalau nggak di ajak, gimana kita bisa tahu dia mau ikut atau nggak." ucapnya, sambil menarik lengan Alvin menuju halaman belakang rumahnya. Tempat dimana sebuah kolam berukuran besar tertanam disana. Sekaligus tempat, dimana Rio mencari penghasilan tambahan untuk kehidupannya.

Alvin tersenyum. Ia mengikuti langkah Ify yang menyeretnya.

"Gue pake baju ini aja, nggak papa kan, Vin?" tanya Ify sambil meneliti penampilannya. Simple, tapi terlihat manis dan santai.

"Aduhh, kayak mau jalan sama siapa aja deh, seneng yah lo, gue ajak jalan?" tanya Alvin dengan alis yang di naik-turunkan, menggoda Ify.

Pletak..sebuah jitakan kecil mendarat ditempurung kepalanya.

"Ngarep yah. Kan siapa tahu aja, Rio mau ikut." ucap Ify berharap. Alvin menggeleng pelan, dengan senyum terkulum.
***

Langit sore mulai menghitam. Pertanda airmata langit akan menyerbu bumi. Dengan buru-buru Rio membereskan alat-alat yang ia gunakan untuk menguras kolam renang milik keluarga Umari. Ia harus segera pulang, selain karena Ibu nya sedang sendirian dirumah, juga karena ia merasa membutuhkan waktu untuk merilekskan pikirannya. Menenangkan perasaan gundah yang menyelimuti hatinya, saat melihat kedekatan dua anak manusia yang sedang berdiri tidak jauh darinya.

"Yo.."

Suara halus yang memanggilnya tidak membuat Rio mengalihkan pandangan meski sekilas. Sekalipun pemilik suara tersebut kini telah menjadi 'majikannya', hal itu tidak lantas membuat Rio bisa bersikap sedikit lebih bersahabat pada gadis tersebut.

"Hem.."

"Emm..itu, gue..emm," Ify memilin ujung sweater soft pink yang ia kenakan, sambil sedikit menggigit bibir bawahanya. Di sebelahnya, Alvin menggunakan sikutnya untuk menyenggol Ify. Memberikan isyarat agar gadis tersebut segera melanjutkan ucapan yang tak selesai tersebut.

"Ada perlu apa? Gue buru-buru, nyokap sendirian di rumah." ucap Rio -agak- ketus.

"Ohh..gitu, ya? Padahal aku mau ngajakin kamu jalan-jalan sama Alvin, tapi--"

"Lo dengerkan? Gue buru-buru, nyokap sendirian di rumah. Kalau mau ngomong penting, to the point aja! Nggak usah berbelit-belit!"

Alvin menahan kesal mendengar ucapan Rio yang terdengar kasar ditelinganya. Ingin rasanya memukul pria di depannya tersebut, tapi ia tahu..Ify tak suka dan tak kan pernah suka jika ia melakukannya.

"So..sorry, Yo. Aku minta maaf.." Ify menunduk dalam. Ia mulai takut mendengar ucapan kasar Rio. Jika biasanya ia tak masalah karena di acuhkan Rio, sekarang justru ia merasa 'sakit' mendengar kata-kata ketus yang terlontar dari mulu pria tersebut.

"Ahh, udahlah gue pulang." Rio menarik ransel miliknya, yang tergeletak persis di depan kaki Ify dengan kasar. Ify menarik mundur kakinya, secara refleks.

 "Sorry, Vin. Gue pulang dulu." pamit Rio dengan nada lebih santai dibanding pada saat berbicara pada Ify.
Ify menahan langkah Rio, dengan merengkuh lengan kanan pria tersebut dalam jemarinya.

"Apa lo nggak bisa ngeluangin sedikit waktu lo buat jalan-jalan sama gue, Yo?" tanya Ify memberanikan diri. Pertanyaan yang lebih mengarah kepada sebuah harapan. Rio meringis dalam hati. Ingin sekali berkata 'bisa' namun apa daya.. Mulut kadang tak pernah sama dengan hati. Apa yang kita ucapkan tak selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan..

Rio menepis kelima jari Ify dengan kasar. Kemudian menatap gadis itu dengan tajam.

"Lo budek?! Gue bilang, gue buru-buru! Nyokap gue sakit dan lagi sendirian di rumah! Dan elo minta gue buat nemenin elo jalan-jalan?!"

Rio mulai membentak. Satu hal yang tak pernah Ify alami sebelumnya, dibentak. Alvin yang sebenarnya hendak angkat suara terpaksa urung melakukannya karena Rio kembali berucap..

"Gue digaji untuk ngebersihin kolam renang yang ada dirumah lo! Bukan nemenin elo jalan-jalan!"

Ify menciut. Air mata itu mulai menggenang di pelupuk matanya. Sekali berkedip, luluh lah pertahanannya.

"Kenapa sih, Yo? Kamu nggak pernah mau ngertiin aku! Kamu nggak pernah nganggep aku! Kamu nggak pernah meduliin aku! Aku punya salah sama kamu? Kasih tahu aku, Yo.. Biar aku bisa memperbaiki kesalahanku."

Alvin tak berucap, merasa mungkin ini saatnya, sahabat tersayang nya itu mengungkapkan semua rasa yang ada di hatinya, untuk pria didepan mereka saat ini.
Berharap bisa menyalurkan sedikit kekuatan, Alvin mengulurkan tangan kanannya untuk merangkul Ify.

Rio bergeming. Tepat disaat Alvin merangkul Ify, ia membuang muka. Dua hal yang membuatnya seperti itu. Air mata Ify, dan rangkulan Alvin.

"Jawab, Yo! Kenapa kamu nggak pernah bersikap baik sama aku? Apa aku terlalu mengganggu buat kamu?" lanjut Ify bertanya, masih diiringi isak tangis yang tak kunjung reda.

"Iya! Elo terlalu, dan bahkan sangat mengganggu buat gue! Puas lo?!"

Dan itu adalah kalimat terakhir yang Rio ucapkan, sebelum ia mengayunkan langkah kakinya untuk meninggalkan kediaman Ify.

Alvin kembali ingin angkat bicara, ia rasa Rio sudah berlebihan. Namun seperti memberikan isyarat untuk diam, Ify menaikkan sebelah tangannya persis di depan wajah Alvin.

"Fine! Kalau buat kamu aku mengganggu, aku nggak akan pernah gangguin kamu lagi! Aku nggak akan pernah gangguin kamu lagi!" racau Ify dengan suara lantang, dan itu cukup membuat Rio menghentikan langkahnya dengan nafas tertahan. Sadar bahwa apa yang ia ucapkan sudah terlalu kelewatan.

"Aku nggak akan pernah...ganggu..in..ka..kamu..la..gi.." Ify kembali menggumam lirih seiring tubuhnya yang mulai merosot ke tanah.

Alvin tak tahu harus berbuat apa. Ia terlalu shock dengan semua ini. Shock dengan teriakan Ify. Shock dengan tingkah Rio yang seakan tak perduli. Padahal satu hal yang ia tahu, satu hal yang dapat ia tangkap dari mata pria tersebut. Ia memiliki rasa yang sama dengan Ify. Mencintai dan menyayangi.

"Fy, kita ke dalem aja yah!" ajak Alvin seraya menyentuh lembut pundak Ify.

"Aku nggak akan ganggu dia lagi, Vin. Nggak akan.." ucap Ify lirih. Sepertinya ia terlalu 'sakit' mendengar ucapan Rio tadi.

"Iya, Fy. Iya.. Kita ke kamar aja yah.."

Alvin yang tak tega pun secara perlahan mengangkat tubuh Ify. Membawa gadis manis yang terus mengucapkan satu kalimat yang sama 'aku nggak akan ganggu dia lagi', ke dalam rumah menuju kamar gadis tersebut.

Terlalu lelah menangis, tanpa sadar Ify mulai tertidur. Alvin masih setia mengangkat tubuh mungil sahabatnya tersebut hingga ke kamar.

Perlahan, Alvin meletakkan tubuh Ify dan menyelimuti nya. Diusapnya rambut panjang Ify dengan lembut sambil menatap sendu pada paras cantik Ify yang terlihat lelah.

"Jangan nangis, Fy! Gue pastiin, semua akan baik-baik aja." ucapnya sungguh-sungguh.

Dalam hati Alvin bertekad akan membuat semua yang tak mungkin -bagi Ify- menjadi nyata. Karena ia menyayangi Ify, terlalu menyayangi gadis tersebut. Bukan lagi sebagai sahabat, bukan juga sebagai kakak-adik. Tapi, murni rasa sayang yang tak bisa dilukiskan dengan ungkapan 'sebagai' melainkan dengan kata 'karena'... Karena Alvin sahabat sejati Ify..

Sesal yang kini menghantui perasaan dan jiwaku sesaat kau pergi..
Beri kesempatan untukku benahi tahta cinta kita..
Hingga terwujud kembali..


Rio menatap diary rusak di tangannya. Diary yang tidak hanya dipenuhi dengan banyak sobekan di sana- sini, tapi juga rangkaian kalimat-kalimat sakti yang mampu membuat hatinya menjerit, meraung, menangis, benar-benar menyesali apa yang ia perbuat.

Rio memejamkan kedua matanya, pikirannya kembali melayang ke beberapa jam yang lalu. Saat ia melakukan pertemuaan khusus dengan seseorang. Seseorang yang memberikan diary rusak yang ada padanya saat ini.

"Kenapa elo kasar banget sih, Yo sama Ify? Dia punya salah apa sama, lo?" tanya Alvin to the point.

Rio menghela nafas, "kenapa? Emang gue nggak boleh bersikap kasar sama dia?"

Pertanyaan aneh. Tentu saja jawabannya "nggak" kalau Rio bersikap kasar kepada seseorang tanpa alasan yang jelas, seperti apa yang ia lakukan pada Ify.

"Elo boleh bersikap semau lo, yang lo anggap benar selagi ada alasannya, jangan tanpa sebab gini dong.." Alvin mulai sewot.

Rio melengos, "elo nggak perlu tahu apa alasan gue!"

"Gue cuma nggak mau Ify selalu nangisin cowok kayak lo!"

Selalu? Berarti waktu itu bukan kali pertama Ify menangis karenanya? Bathin Rio bertanya. Ya, meskipun ia sadari ia sering mengacuhkan gadis tersebut, tapi ia tak pernah menyangka kalau gadis itu akan 'selalu' menangisi nya.

"Maksud lo apasih?!" tanya Rio antara mengerti dan tak mengerti.

Alvin mulai kesal, "elo dapet beasiswa karena kepinteran lo, kan? Mestinya lo ngerti sama maksud gue."

Rio menggeleng, "to the point aja, Vin. Biar cepet ngerti."

"Ify suka sama lo! Dia sayang banget sama lo! Tapi apa?! Elo selalu nyakitin dia! Dia selalu nyari perhatian ke elo, dia selalu bersikap manis ke elo, dia selalu nolak cowok lain juga karena lo, tapi yang elo lakuin...sangat-sangat bikin Ify sakit tau?!"

Rio terdiam tak percaya. Well, Ify memang sering menyapanya, mencari perhatian padanya, bersikap manis padanya. Rio akui itu! Tapi ia tak pernah menyangka bahwa gadis tersebut benar-benar menaruh hati padanya.

"Jangan bercanda, Vin!" Rio tertawa miring "gue, anak beasiswa yang nggak berharta, nggak punya apa-apa. Tampang aja masih kalah jauh sama lo,"

Alvin benar-benar geram. "Kalau gue bercanda, buat apa dia perhatian sama lo? Buat apa dia nangis sampe segitunya waktu elo sama dia bertengkar? Buat apa dia selalu ngebahas elo di buku diarynya?!"
Alvin melempar kecil diary berwarna hijau kepada Rio dengan agak kasar.
Masih dengan ke-gamangan-nya, Rio meraih diary tersebut.
Nampak coretan-coretan asal terukir pada sampul diary tersebut. Ia membukanya perlahan. Ada beberapa kertas yang sepertinya baru di sobek.

Dia mungkin tak sempurna jika dilihat dengan menggunakan mata kepala..
Tapi dia akan sangat sempurna jika dilihat dengan mata hati kita..

_love Mario_

Kata orang, dia tak baik untukku..
Namun bagiku, dia yang terbaik di hatiku..

_love Mario_

Dan masih ada kata-kata sederhana lain yang Ify tulis dengan 2 kata penutup 'love Mario'. Seolah menjelaskan bahwa tulisan itu ditujukan pada sosok pria hitam manis tersebut.

Alis Rio terangkat heran, "sobek?" tanya nya saat melihat selembar foto dirinya yang tertempel pada salah satu lembar diary tersebut dalam keadaan sobek.

"Dia nyobekin tu diary sehari sehabis elo berantem sama dia. Bertepatan saat dia nyuekin lo, dan benar-benar menjauh dari lo."

Rio mengangguk, memang sehari setelah pertengkarannya dengan Ify, gadis itu sempat absen sehari. Ke esokannya, Ify kembali masuk ke sekolah dengan tampang ceria seperti biasanya. Namun yang membedakan, tidak ada lagi sapaan untuk Rio, tidak ada lagi senyuman untuk Rio. Bahkan saat berpapasan pun Ify seakan menghindar, dan tak menganggap akan keberadaan Rio.

"Masih nggak percaya sama omongan gue?" tanya Alvin jengkel.

Rio melemas di kursinya. Di tutupnya diary rusak tersebut.

"Kenapa mesti sama gue? Gue nggak punya apa-apa untuk dibanggain.."

"Ify nggak perlu harta, rupa, atau apapun.. Dia cuman perlu elo!"

"Tapi..gue harus gimana? Dia pasti udah benci banget sama gue."

Alvin mendesah, kemudian menepuk halus pundak Rio. "Cuman elo yang tahu, apa yang harus lo perbuat."

Rio mengernyit heran, "maksudnya.."

Alvin berdecak kesal. Kenapa siswa sepandai Rio bisa selemot ini?

"Elo pernah ngebuat dia jatuh cinta dengan sikap cuek lo yang nggak pernah dia harepin. So, kenapa elo nggak bisa ngebuat dia jatuh cinta dengan sikap manis lo yang selalu dia pengenin?"

Rio mengangguk paham. Mulai tahu apa yang harus ia perbuat.

"Doain gue ya, Vin!"

"Elo mau perang?"

"Sebelah dua belas lah, intinya sama-sama berjuang."

"Doaku menyertaimu kawan.."

Dan pelukan persahabatan pun terurai oleh keduanya. Dengan senyum mengembang, keduanya memiliki satu tekad yang sama..mengembalikan senyum Ify yang pudar.

Bukk...Rio tersentak bangun, saat diary rusak di tangannya terjatuh secara tiba-tiba. Kedua mata yang sempat terpejam pun mendadak terbuka.
Ia segera melirik jam dinding di kamarnya.

"Astaga!! Gue harus kerja!" pekiknya panik. Lantas buru-buru mengganti seragam sekolah yang masih ia kenakan.
***

Huhhh..hahhhh..huhhh..hahhh...
Berulang kali ia menghirup udara untuk menenangkan kegugupannya. Di tatapnya pintu jati berukir di hadapannya. Untuk pertama kalinya, ia merasa dag dig dug saat akan membuka pintu rumah ini. Padahal sebelumnya...biasa saja.

"Ketuk, ngebel, langsung masuk.." Rio mengabsen ke tiga pilihan tersebut berulang-ulang. Ia mendadak linglung hari ini.

"Ketuk aja ah," Rio mulai menaikkan tangannya, untuk mengetuk pintu. Namun kemudian, ia menarik kembali tangannya dan bergumam pelan. "Biasanya kan gue langsung masuk, kalau tiba-tiba ngetuk pintu begini..ntar disangka aneh lagi."

Ia menggaruk tengkuknya sambil berpikir, "emm..ngebel aja deh," ia kembali menaikkan tangannya, untuk menekan bel kediaman keluarga Umari. Saat hampir menyentuh bel, ia menarik kembali tangannya. "Apabanget deh, kayak tamu aja gue ngebel segala."

"Wayolohhhhh...ngapain diem disini!"

Rio terkaget-kaget mendengar teriakan yang hadir secara tiba-tiba itu. Teriakan yang ternyata bersumber dari seorang Alvin.
Belum sempat memarahi Alvin, pintu rumah pun terbuka.

"Ngapain sih, ribut-ribut di luar?!" tanya Ify jutek, dengan tangan kanan yang masih memgang handle pintu.

"Rio nih, mau masuk aja pake malu-malu segala." jawab Alvin jujur. Rio mendelik kesal, kemudian menyunggingkan senyuman kikuk kepada Ify.

"Eh, Ify.. Maaf, nggak bener kok, sama--"

"Udahlah. Vin, gue mau pergi, tolong jagain rumah gue dulu." pamit Ify, menyela ucapan Rio. Rio mendesah kecewa, sepertinya butuh usaha ekstra keras untuk mengembalikan sosok Ify yang dulu.

Baru beberapa langkah meninggalkan Rio dan Alvin, Ify kembali berbalik.

"Minuman, sama cemilan buat lo udah ada di kulkas sama meja dapur, jadi lo bisa ambil sendiri disana." ucap Ify datar.

Meski tak menyebut nama, Rio tau bahwa kata 'lo' yang Ify ucapkan ditujukan untuknya.

"Butuh waktu, butuh usaha, butuh doa. Stay calm, slow but sure. Ify pasti maafin, elo!" hibur Alvin sambil merangkul pundak Rio, dan membawanya masuk ke dalam rumah Ify.

Kan ku basuh laramu.. 
Tepis keangkuhanku..
Hapus kepedihanmu..

Tak ada cara lain, Rio mau tak mau harus menurunkan sedikit gengsinya dan memulai hari baru dengan sikap manis untuk menyambut kedatangan Ify pagi ini, di sekolah. Sulit memang, mengingat sifat cuek -hampir tak perduli- yang memang sudah biasa ia tunjukkan pada Ify sudah mendarah daging. Tapi demi Ify, demi cinta nya, dan demi kebahagiaan mereka bersama ia harus melakukannya.

Dan benar saja, begitu ia melihat sosok Ify dari kejauhan, ia segera memasang senyum paling manis yang hanya khusus dipersiapkannya untuk Ify. Tapi sayangnya, hal itu tidak berarti apa-apa bagi Ify. Yang kena efeknya justru siswi-siswi lain yang sedang berkeliaran di sepanjang koridor. Melihat senyum asli tanpa paksaan dari bibir seorang Mario Stevano bisa dikategorikan dalam hal langka. Sudah pasti, ketika pria itu menyunggingkan senyumnya, banyak siswi yang terpana bahkan hampir menahan nafas sampai pada akhirnya senyum itu memudar secara perlahan.

"Pagi, Fy!" sapanya semangat.

Ify melengos dan melewati Rio begitu saja. "Pagi.."

Nyali Rio sedikit menciut, tapi ia sudah bertekad dan pantang untuk mundur. "Di anter Mang Udin, Fy?" tanya nya basa-basi.

"Biasa juga begitu.."

Rio menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Ia terus berjalan mengikuti langkah Ify dengan kepala menunduk. Haahhhh..bingung juga, hal apa lagi yang harus ia bicarakan pada gadis ini? Ya hanya sekedar untuk berbasa-basi saja lah...

Dukkk..
Karena terlalu lama menunduk, Rio sampai tak menyadari bahwa pintu kelasnya dalam keadaan terbuka. Dan tentu saja membuat ia menabrak pintu tersebut..

"Awww.." rintihnya.

Ify sempat menoleh kaget, namun rasa kaget itu di tahan nya hingga yang tampak di wajahnya ketika menatap Rio hanyalah wajah datar dengan alis terangkat.

"Kalau jalan liat ke depan, jangan ke bawah. Duit lo, jatuh?" celetuk Ify, tanpa niat bertanya. Rio meringis pelan sambil mengelus sayang jidatnya yang menjadi korban.
Tanpa memperdulikan Rio, Ify segera memasuki kelas.

"Ahahahaa..ketauan banget blo'on nya, Yo.." ledek seseorang dari belakang.

Rio menoleh dan mendengus kesal. Di belakangnya ada Alvin yang sedang tertawa. Tentu saja menertawakannya.

"Siapa yang blo'on?"

"Ya elo lah.. Nggak nyadar sampe ke jedot gitu?"

"Huhhh..jahat lo, Vin. Bantuin gue kek, Ify beneran marah kayaknya.." Rio menunduk lesu. Ia membatalkan niatnya memasuki kelas, dan memilih duduk di teras kelasnya, di ikuti Alvin yang mengambil posisi di sebelahnya.

"Ya ialah, marah.. Lo nggak nyadar sih, omongan lo tuh nyakitin! Dan jleb.." Alvin menggerakkan tangannya, seolah-olah sedang menusukkan pisau pada jantungnya. "Banget tau nggak. Gue juga kalau jadi Ify pasti sakit hati banget." sambungnya.

"Tapi..gue kan mau minta maaf, Vin.."

Alvin mendengus, "hehhh..buat Ify, ngebuat elo jadi kayak gini aja nih susah banget, harus sampe nyakitin hatinya dulu. Jadi--"

"Jadi menurut lo, gue harus ngerasain sakit hati dulu baru Ify bakal maafin gue, gitu?"

Alvin melayangkan toyoran kecil di kepala Rio. "Motong aja lo, kayak tukang kebun. Ya, gue yakin sih Ify lebih berperasaan daripada elo--"

"Nggak pake ngejelekin gue juga kali,"

Alvin tertawa, "ahahha..iya, iya sorry. Okay, lo tau lah Ify tuh cewek, dia nggak akan setega elo," Alvin mengacungkan jari tengah dan telunjuknya secara bersamaan saat berkata 'nggak setega elo' pada Rio. "Usaha dikit lagi deh, dia cuman belum ngeliat ketulusan dan kesungguhan lo doang kok. Ntar gue bantu ngomong deh ama dia." sambung Alvin membesarkan hati Rio.

Rio menepuk pundak Alvin penuh terima kasih. Entah sejak kapan, keduanya mulai terlihat seperti sahabat dekat, seperti saat ini. Yang jelas, Rio merasa nyaman dan tak lagi menganggap Alvin sebuah 'perbandingan' yang waw untuk dirinya. "Thanks, Vin! Elo baik banget deh ama gue." ucapnya tulus.
***

Sore ini, Ify memilih untuk menghabiskan waktunya dengan duduk santai di balkon kamarnya.
Ditangannya, ponsel berlayar touchscreen itu terus menyala, menayangkan photoslide dari seseorang yang sampai saat ini masih ia kagumi.

"Dorrr.." Alvin ‎​yang sebelumnya mengendap-endap memasuki kamar Ify langsung mengejutkan gadis tersebut dengan teriakannya.

"Ya Allah, kaget gue.. Alvin sarap! Ngapain sih? Ngagetin gue aja lo.."

Alvin menyeringai kecil, ia merebut ponsel Ify dan menahan tawanya saat mengetahui objek apa yang sejak tadi di pandangi oleh sahabatnya tersebut.

"Ohhh, Rio," ia mengangguk sambil memegangi dagunya. "Kangen yah, sama dia~" godanya sambil mengembalikan ponsel tersebut ke tangan pemiliknya.

"Apaan sih~"

"Jangan bo'ong deh, makanya..maafin dong.."

Ify memajukan bibirnya beberapa senti, "kok elo sekarang cs-an ama dia sih? Kan elo sahabat gue?"

"Yee..tapi sejak elo berantem ama dia, dia juga udah jadi sahabat gue, lagi."

"Nyebelin!"

"Siapa? Elo? Emang! Orang mau minta maaf kok bukannya di maafin, malah di cuekin."

"Dia yang duluan jahatin gue,"

Alvin tersenyum dan mengelus halus puncak kepala Ify. "Ify, semua orang berhak salah, tapi bukan berarti dia nggak berhak mendapatkan maaf. Kan elo yang ngajarin gue untuk nggak jadi seorang yang pendendam, sekarang?"

"Gue nggak dendam!"

"Tapi elo nggak mau maafin dia.."

"Gue kesel ama dia, gue sakit hati sama omongan dia.."

"Tapi dia udah berusaha keras buat ngedapetin maaf lo, kan?" tanya Alvin, Ify menatap Alvin dengan mulut menggembung. "Coba lo inget deh, hal apa aja yang udah 3 hari terakhir ini dia lakuin buat lo? Apa itu nggak cukup ngebuktiin kalau dia bener-bener ngerasa bersalah sama lo?"

Ify terdiam, pikirannya berjalan mundur ke 3 hari kemarin. Saat di mana Rio memulai aksinya untuk mendapatkan maaf dari seorang Ify.
Dari menunggu gadis itu setiap pagi sebelum memasuki kelas, menawarkan ke kantin bersama saat jam istirahat. Menemaninya setiap pulang sekolah, saat gadis itu menunggu Mang Udin menjemputnya. Rela bolak-balik naik-turun tangga untuk mengantarkan baju-bajunya yang baru disetrika karena Bik Sumi yang harus menyelesaikan pekerjaannya yang lain. Dan terakhir, kemarin saat sepulang sekolah...

Ify melirik arloji di tangannya berulang kali. Jam pulang sudah berbunyi dari 2 jam yang lalu, tapi Mang Udin belum juga tiba dengan mobilnya, untuk menjemputnya.
Sesekali matanya melirik ke atas, pada langit biru yang mulai menghitam. Sepertinya hujan akan turun..

"Aduhh..Mang Udin kemana sih? Kok lama banget.." keluhnya, tangannya bergerak naik mengusap keringat yang mengalir dari pelipisnya.

"Ify?"

Mendengar namanya disebut, gadis itu segera menoleh. Begitu mengetahui siapa yang memanggilnya, ia pun langsung mengembalikan fokus pandangannya.
Rio, seseorang yang menyapa Ify hanya bisa menghela nafas kecewa untuk kesekian kalinya.

Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, Rio langsung ke perpustakaan begitu bel pulang berbunyi. Ia harus mengerjakan tugas tambahan yang diberikan Bu Ira untuk memperbaiki nilai-nilai nya yang menurun, agar beasiswa untuknya tidak di cabut. Tapi berhubung ia hari ini mendapat tugas matematika, pelajaran yang paling susah menurutnya, jadilah pria tersebut harus menghabiskan waktu lebih lama sampai ia benar-benar bisa menyelesaikan tugasnya tersebut.

"Belum pulang, Fy?" tanya nya basa-basi.

Ify melengos, "elo liatkan gue disini? Ya berarti gue belum pulang."

Rio merutuki pertanyaan bodohnya dalam hati. "Emm..Mang Udin belum jemput, atau nggak bisa jemput?"

Ify mengendikkan kedua bahunya, acuh. "Tau! Belum jemput kali, nggak ngabarin gue juga lagian." ucapnya, dengan kepala yang terus bergerak ke sana ke mari mencari mobil jemputannya.

Rio mengangguk kecil, "kenapa nggak naik taksi aja? Bentar lagi kayaknya ujan loh.."

Ify misuh-misuh dalam hati, mau nya sih begitu tapi dia lagi tongpes alias nggak berduit. Mau bayar taksi pakai apa coba?

"Nggak ada duit."

Rio tak lagi berbicara, ia justru ikut menggerakkan kepalanya seperti mencari sesuatu. Ify hanya melirik pemuda tersebut dengan kening berkerut.

'Kirain mau nawarin pulang bareng atau apa gitu, nggak taunya..' bathin Ify dongkol.

Tik..tik..tik..
Perlahan-lahan, air hujan mulai menyentuh bumi. Untungnya masih berupa rintik-rintik.

"Ahhh, Mang Udin mana sih?" tanya nya kesal.

"Stoppp!!"

Ify langsung menoleh kaget saat mendengar teriakan Rio tersebut. Sebuah taksi biru telah berhenti dihadapannya sekarang. Ify masih menunggu apa yang akan dilakukan Rio dengan taksi tersebut.

"Buruan, Fy..masuk!"

Alis Ify menyatu, sambil menatap Rio yang sedang memayunginya dengan tangan. "maksudnya?"

Rio langsung meraih handle pintu taksi, dan membukanya. Kemudian sedikit mendorong tubuh Ify untuk masuk ke dalamnya.

"Rio..Rio.."

"Udah nggak papa, entar ujannya makin deres, biar gue yang bayarin." jelas Rio menenangkan, Ify menatapnya tak enak hati.

"Ya..ya udah, bareng aja kalau gitu.." Ify menawarkan.

Rio menggeleng kecil, "uang gue nggak cukup, Fy." ucapnya setengah meringis, Ify semakin tak enak hati. "Nih. Pak. Segini cukup kan, buat nganter dia ke Nusa Indah?" tanya Rio sambil menyodorkan beberapa lembar uang yang ia punya.

Supir taksi tersebut tersenyum dan mengangguk. "Cukup mas."

"Ya udah, jalan Pak! Hati-hati ya, Fy.."

"Tapi, Yo--"

Rio memotong ucapan Ify dengan lambaian tangan, kemudian ia segera berlari menerobos rintik hujan untuk segera pulang.

"Jadi?" tanya Alvin membuyarkan lamunan Ify.

"Hahhh?! Jadi apanya?" tanya Ify, dengan tampang polos.

Alvin menggeram gemas, "ya jadi...elo--"

"Elo mau maafin gue atau nggak?" tanya seseorang memotong ucapan Alvin, yang refleks membuat Ify dan Alvin menoleh secara bersamaan.

"Mau? Atau nggak?" tanya nya, lagi. Siapa lagi kalau bukan Rio.

"Ri..Rio?"

"Ahhh, kirain elo nggak jadi dateng, Yo.. Eh tapi, bukannya elo lagi sakit yah?" seloroh Alvin menimpali keterkejutan Ify.

"Gue pengen minta maaf soalnya, sama Ify. Elo mau maafin gue nggak, Fy? Gue tau gue salah banget sama lo, tingkah gue keterlaluan banget sama lo. Tapi gue..gue udah nyadar itu salah..salah banget.." ucap Rio menyesal.

Alvin yang paham situasi memilih pergi meninggalkan keduanya. Sebelumnya ia sempat menepuk halus pundak Rio, dan membisikkan sesuatu pada pria tersebut.

"Good luck, Yo!" bisik Alvin, yang di balas senyuman tipis oleh Rio.

Dan kan ku serahkan cintaku..
Jatuh di pelukanmu..selamanya..

Ify terdiam, masih dalam posisi yang sama, menatap Rio. Sedangkan Rio menanti jawaban Ify dengan harap-harap cemas.

"Uhuk..uhuk.." Rio refleks menutup mulutnya yang mendadak batuk.

Ify menatap khawatir, sedikit tak enak hati juga karena telah membuat Rio menemuinya disaat sakit hanya karena satu kata 'maaf'. "Kamu sakit, Yo?" tanya Ify yang tanpa sadar mulai melunak.

"Gue bakal lebih sakit lagi kalau elo nggak mau maafin gue, Fy. Gue beneran nyesel.." jawab Rio bersungguh-sungguh.

Ify menelan ludah. "Emm..sebenernya, asal kamu tau aja, kamu nggak perlu minta maaf sama aku, Yo. Karena sesakit apa pun aku karena sikap kamu...aku nggak akan pernah bisa bener-bener marah sama kamu.." ujar Ify tanpa ragu. Ia menunduk, menyembunyikan semburat malu-malu yang mulai menghiasi pipinya. "Karena..karena aku--"

"Karena aku cinta sama kamu.."

Ify mengangkat wajahnya yang menunduk. Di tatapnya Rio yang juga sedang menatap dalam kepadanya. Ia terdiam menantikan penjelasan dari pria di hadapannya ini.

"Maa..maksud, kamu?"

Rio mengulum senyum sambil melangkah perlahan mendekati Ify. Begitu berhadapan dengan gadis manis tersebut, ia mengulurkan tangannya menyentuh wajah Ify. Di telusurinya tiap lekuk wajah Ify dengan telunjuknya. Ify membeku, menahan nafas. Matanya terpejam menikmati sentuhan halus jemari pria yang menjadi pemilik hatinya tersebut.

"Hanyalah dirimu, mampu membuatku jatuh dan mencinta...Kau bukan hanya sekedar indah, kau tak akan terganti~"

Ify ternganga, tak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulut Rio.

"Senandungku, isi hatiku, ungkapan rasa cintaku buat kamu, Fy.."

Prok..prokk...
Tepuk tangan teramat keras tersebut sukses membangunkan Ify dari keterpanaannya akan sikap Rio. Sontak keduanya menoleh, mencari sumber keributan yang menghancurkan moment romantis mereka.

Dengan tampang santai, tak bersalah. Alvin, sang pengganggu itu hanya menunjukkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.

"PJ nya jangan lupa yaaa...!!!" serunya, sesaat sebelum berlari meninggalkan kediaman Ify.

"Alvinnnnn!!" Ify menggeram kesal.

Rio terkekeh kemudian menggenggam lembut jemari Ify."Jadi kita?"

Ify tersenyum, "baikan dong!"

"Bukan pacaran..??" tanya Rio menggoda.

"Apaan sih~"

"Pacaran nggak~?"

"Maunya?"

"To be 'something' for everything ‎​​in my life, ngerti maksud aku?"

"Tentu!"

-----

Song : Angkuh_Cappucino

Krik..krik..
Endingnya kurang greget yahh-__- jadi nggak klimaks gitu rasanya. Tapi gimana dongggg...gue galau *ehh

Err tapi ya gitu, kalau bikinnya dipotong-potong, efeknya ya ke 'feel' nya yang juga ke potong-potong. Paham dong? Ini dibikin nya mood-mood-an. Awal nulis mood lagi on bangetttt, sampe tiba-tiba drop dan distop dulu. Finally, baru disambung lagi tadi malem-_-
Maafkan buat feel 'krik-krik' yang bener-bener krikk ini yah..ahahahhaa

Thankso for readers, likers, komentator, and all people in my life yang selalu kasih semangat buat nerusin WL *ehh melenceng-__-v

Follow..

Http://niastevania.blogspot.com/
@NiaStvnia


Seeyaa..

Nia 'nistev' Stevania_

0 komentar:

Posting Komentar