A homepage subtitle here And an awesome description here!

Selasa, 30 Agustus 2011

Gabriel Stevent Damanik - Ternyata Cinta.mp3 - 4shared.com - penyimpanan dan berbagi-pakai file online - unduh - Gabriel Stevent Damanik - Ternyata Cinta.mp3

Gabriel Stevent Damanik - Ternyata Cinta.mp3 - 4shared.com - penyimpanan dan berbagi-pakai file online - unduh - <a href="http://www.4shared.com/audio/TtCju1Dk/Gabriel_Stevent_Damanik_-_Tern.html" target="_blank">Gabriel Stevent Damanik - Ternyata Cinta.mp3</a>

Minggu, 28 Agustus 2011

"_Kalau Rio Jatuh Cinta_"

-- Kalau Rio Jatuh Cinta --


Mario Stevano. Sepanjang perjalanan hidupnya, dia selalu menjadi objek yang diidolakan, bukan mengidolakan. Tapi semenjak kedatangan seorang gadis cantik berbehel beberapa hari yang lalu dikelasnya, semua menjadi berubah. Rasa ingin tahu terhadap gadis yang menurut sudut pandang Rio -sapaan akrab Mario- bisa dikategorikan dalam 'diam-diam menghanyutkan', teramat besar. Ia bahkan sampai rela membuang predikat 'cuek' dan 'misterius' hanya karena satu nama. Gadis itu tentunya.

"Bro," sebuah tepukan keras diiringi sapaan yang cukup akrab ditelinganya membuat Rio mendengus sebal. Bayangkan saja, aksi sahabatnya yang satu itu sudah berhasil membuat Rio kehilangan pemandangan indah yang tak bosan-bosannya ia pandangi sejak 15 menit yang lalu.

"Ngapain sih lo?" tanya Cakka, seseorang yang baru saja menepuk pundaknya "dia lagi?" Cakka mengarahkan kedua indra penglihatannya ke satu titik, objek 'wisata' bagi Rio "deketin sana, jangan diem aja lo disini. Kapan majunya coba."

Rio mendengus sebal. Deketin? Hehhh, kalau ngomong mah enak, praktekinnya gan, susah.
Rio mengomel dalam hati.

"Udahlah, gak usah ngurusin gue, urusin sono nyonya Agni lo itu," sahut Rio setengah meledek.

Satu sama lah, Rio dibikin kesal oleh Cakka karena kelambanannya melakukan aksi PDKT pada gadis itu. Sedangkan Cakka, dibuat dongkol oleh Rio karena ketakutannya untuk meluluhkan hati Agni, seorang gadis tomboy yang mampu mencuri hati Cakka, master of playboy, upss.

Tuingg..sebuah toyoran penuh hasrat mendarat disudut kepala Rio "gak usah bawa-bawa Agni deh." sungut Cakka kesal. Dengan menahan tawa, Rio menegakkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan Cakka yang tengah bersungut-sungut kesal. Toh, gadis itu sudah menyelesaikan aktifitasnya, bermain basket.

"Yo..Yo! Mau kemana lo? Tungguin gue, woy!" seru Cakka sambil berjalan menyusul Rio.
***

"Dia lagi deket sama anak kelas sebelah, bro"

Kata-kata Cakka beberapa hari yang lalu terngiang dibenak Rio. Anak kelas sebelah, yang kata Cakka ganteng, tinggi, putih plus ramah itu bisa dibilang saingan terberat Rio. Karena, menurut desas desus yang beredar, pria tersebut memang selalu berusaha mengungguli Rio sejak dulu. Lah, terus apa hubungannya dengan gadis itu? Ya ada lah pastinya, secara Rio suka sama dia, dan bukan rahasia lagi kalau Rio pernah secara terang-terangan menunjukkan 'simpati' nya terhadap gadis manis tersebut.
»»

Seorang gadis manis berdagu tirus tengah berdiri dilapangan tengah sekolah, bersama sekelompok teman-teman perempuannya. Panasnya matahari pagi ini membuat kedua matanya sedikit menyipit, silau man. Sialnya, hari ini ia melupakan sebuah benda penting yang wajib ada disaat upacara bendera seperti ini. Topi. Karena terlalu terburu-buru, gadis tersebut melewatkan topi abu-abu yang sudah bertengger manis di atas meja belajarnya.

"Elo gak bawa topi, Fy?" tanya Agni, gadis tomboy yang berdiri disamping kanannya.

Ify -gadis tersebut- meringis kecil diiringi gerakan kepalanya yang menggeleng pelan "lupa." lirihnya pelan.

Sejenak kemudian ia merasakan sesuatu menutupi kepalanya. Oh bukan, tapi sesuatu sudah terpasang dikepalanya. Ia melihat ekspresi terkejut teman-temannya. Ada yang menutup mulut dengan kedua tangan, ada yang menganga lebar, ada juga yang menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan agak aneh menurut Ify. Didorong rasa penasaran, gadis itu memutar tubuhnya ke belakang. Sedikit terkesiap saat melihat sepasang mata elang yang menatap lembut kedua matanya. Kedua bibir sang mata elang melengkung indah membentuk sebuah senyuman manis yang sukses membuat nafas para gadis disekitar Ify terengah-engah.

"E..elo, ngapain?" tanya Ify polos "eh kok, i..ini topi lo?" sambungnya seraya melepaskan topi abu-abu yang sempat bertengger dipuncak kepalanya.

Rio, seseorang yang memasangkan topi tersebut kembali tersenyum manis. Dan untuk kesekian kalinya, gadis-gadis disekitar Ify berseru histeris, namun nyaris tanpa suara. Gawat aja kalau mereka sampai berteriak-teriak heboh saat upacara akan dilangsungkan kurang dari 5 menit lagi, bisa-bisa sebuah hukuman massal akan mereka terima. Belum lagi posisi Bu Winda yang berdiri anggun dibelakang mereka. Celaka 12 namanya.

"Iya, ini topi gue." jawab Rio, tangannya bergerak mengambil topi miliknya yang berada ditangan Ify. Kemudian, ia kembali memasangkan topi tersebut, ke kepala gadis manis yang tanpa sepengetahuan siapa pun -kecuali Cakka, mungkin- mampu membuat degup jantungnya bereaksi lebih hebat dari biasanya.

"Pake, hari ini panas banget." tambah Rio setelah memasangkan topi tersebut.

"Tapi entar lo di-"

Rio mengibaskan tangan kanannya didepan wajah Ify "udah nggak papa, gue mah gampang. Udah ya, gue balik ke barisan gue dulu." pamitnya meninggalkan Ify yang masih nampak shock dengan tingkah Rio pagi ini.

Sepeninggal Rio, koor 'cie-cie' segera menyambut Ify yang berbalik dengan kedua rona merah menghiasi kedua pipinya. Pangeran yang sejak lama hanya dipandanginya secara diam-diam, nyaris tak terbaca oleh siapapun, baru saja melakukan tindakan yang menurut Ify -ekhem- cukup romantis.

Rio sendiri meninggalkan gerombolan anak gadis yang sebelumnya bergosip ria -setidaknya itu menurut pandangan Rio- itu, dengan senyuman penuh kelegaan tersungging dibibirnya.
««

"Arghhhh!"

Rio mengerang pelan sambil mengacak-acak rambutnya, frustasi. Yang benar saja, dia harus bersaing dengan Alvin Jonathan. Bukannya takut sih, tapi...dia kan gak kenal sama Alvin. Terus hubungannya?
Rio menjadi pusing sendiri, sepertinya dia memang harus lebih gencar melakukan aksi PDKT nya kepada Ify.
***

Tawa riang yang begitu khas menyapa lembut indra pendengaran Rio. Yang tanpa dipastikan pun, pria tersebut sudah bisa menebak siapa pemilik tawa tersebut. Sebuah ide melintas dipikirannya, dengan langkah pasti ia meneruskan gerak kakinya berjalan mendekati Ify.
Woupsss, satu pemandangan yang teramat manis sudah didapatinya saat ini. Ify nyuapin Alvin. Alvin nyuapin Ify. Atau dua-duanya main suap-suapan? Yang dia tau, sekarang tangan kanan Alvin mencengkram lembut pergelangan tangan Ify yang sepertinya ingin menyuapkan sepotong sandwich kedalam mulut pria berwajah oriental dihadapannya.

"Panas..panas..panas, badan i-"

Senandung Cakka -yang baru saja memposisikan diri disebelah Rio- terhenti karena delikan tajam dari sahabatnya yang roman-romannya sih lagi emosi. Glekk, sedikit menelan ludah Cakka menatap Rio hati-hati.

"Elo kalau mau ngajak gue ribut kelapangan aja sekalian." ucap Rio ketus, kemudian berlalu meninggalkan Cakka yang menatapnya heran, lengkap dengan aksi geleng-geleng kepala. Sebenarnya senandung Cakka tadi tercetus begitu saja, tanpa sedikitpun niat ingin menggoda Rio.
Merasa perlu tahu akan penyebab marahnya pria manis tersebut dipagi-pagi buta seperti ini, Cakka lantas mengedarkan pandangannya ke segala arah. Kemudian mengangguk kecil saat kedua manik matanya menemukan penyebab meledaknya gunung merapi dihati Rio, upss.
.....

"Nih, buka mulut lo!" suruh Ify sembari menyodorkan sepotong sandwich berukuran sedang ke mulut Alvin. Pria yang masih sedikit kesulitan dengan dasi sekolahnya ini menurut, membuka mulutnya perlahan dan membiarkan sepotong sandwich isi masuk kedalam mulutnya.

"Elo kenapa deh, Fy? Hari ini aneh banget perasaan. Habis menang lotre ya?" tanya Alvin menyelidik. Tentu saja hanya bergurau, masa' iya Ify main lotre? Kan gak mungkin.

Ify mendengus pelan, tapi ceria. Diraihnya kembali potongan sandwich didalam kotak bekalnya. Kemudian..happ, potongan sandwich tersebut melesak masuk kedalam mulut Alvin. Eum, ralat..ternyata tangan kanan Alvin lebih dulu menangkap pergelangan tangan Ify.
Ditatapnya gadis manis dihadapannya ini, tampang sumringah dengan senyum salah tingkah terpampang jelas diwajah Ify saat itu.

"Elo kenapa sih, Fy? Beneran deh gue bingung." tanya Alvin lagi, masih dengan posisi menahan tangan Ify "apa ini ada hubungannya sama-"

"Aaaa...Alvin, jangan ember lo. Gue emang lagi seneng," potong Ify, tangannya bergerak cepat menutup bibir tipis Alvin yang siap menyebutkan nama pria yang mencuri hatinya "gara-gara dia." sambung Ify. Kali ini ia menutup wajah tersipunya dengan kotak bekal pink dipangkuannya.

Alvin terkekeh pelan, tangan kanannya bergerak refleks mengacak-acak puncak kepala gadis dihadapannya itu.
Untuk sebagian orang mungkin ini termasuk asing. Eh nggak juga sih, lebih tepatnya akan menimbulkan suatu prasangka kalau diantara keduanya pasti ada 'something'. Ya, meskipun kenyataannya memang demikian. Hanya saja, keadaan yang sesungguhnya bukanlah "Alvin pacarnya Ify atau sebaliknya", melainkan "Alvin saudaranya Ify". Lebih tepatnya saudara tiri. Keduanya dipersatukan dalam suatu keluarga saat mereka sama-sama berumur 4 tahun. Hal itulah yang menyebabkan Alvin dan Ify teramat dekat. Berhubung Ify -masih- termasuk siswa baru disekolah ini, jadi wajarkan kalau tidak ada yang mengetahui statusnya sebagai saudara tiri dari Alvin Jonathan.

"Iya deh yang lagi falling in love," goda Alvin. Telunjuknya bergerak menunjuk kearah mulutnya yang terbuka lebar, mengisyaratkan Ify agar kembali memasukkan potongan sandwich berikutnya kedalam mulutnya.

"Tapi..dia suka sama gue juga nggak yah?" tanya Ify. Ia mendesah panjang. Pria se famous Rio, apa mungkin masih sempat 'meliriknya'?

Alvin menepuk lembut pundak Ify "kalau pendapat gue sebagai cowok nih, he has the same feeling with you, bibeh." bisik Alvin pelan. Membuat rona kemerahan menyembul dibalik pipi tirus Ify.

"Wetsss, mulai deh merah jambunya keluar." goda Alvin. Tanpa ampun, Ify melayangkan kotak bekal miliknya ke bahu Alvin, menghujani pria tampan itu dengan pukulan-pukulan sadis darinya.
***

Buka. Tutup. Buka. Tutup. Hal itu dilakukan Rio berulang-ulang, sedaritadi kedua bola matanya menatap niat gak niat kearah buku paket besar berjudulkan 'Matematika' dihadapannya itu. Okay, ini sudah terlalu mengganggu. Dan sepertinya, berusaha untuk tetap fokus pada rumus-rumus cantik yang tertulis dibuku itu hanya akan menjadi hal yang percuma.

"Hufttt..gak tenang gue." desahnya. Ia menutup kasar buku paket itu, kemudian meletakkannya secara asal.

Ucapan Cakka beberapa menit yang lalu terngiang-ngiang ditelinganya. Apalagi kalau bukan dorongan seorang sahabat agar sahabatnya bergerak lebih ekstrim supaya bisa mendapatkan yang ia mau.

Rio melirik jam dinding bergambar Inuyasha dikamarnya. Masih tersisa 45 menit lagi dari jam 8 malam yang akan segera berdentang, dipakai buat cari angin lumayan juga.
Setelah merapikan buku-buku yang nampak berantakan, Rio segera menyambar kunci motornya dan bergegas turun ke bawah. Sepertinya jalan-jalan malam akan lebih menenangkan perasaanya untuk sementara waktu.
.....

Ify menggigiti ujung kukunya dengan gelisah. Sepertinya pasukan air langit akan segera menyerbu bumi, dan sekarang gadis itu masih terdiam sendiri disalah satu halte bis yang jaraknya -sebenarnya- tidak terlalu jauh dari kediamannya. Oh God, Ify jadi gelisah sendiri. Bagaimana kalau hujan segera datang sebelum kendaraan -yang entah apa saja- yang mengantarkannya kembali, tiba?
Bisa-bisa gadis ini harus terjebak ditengah hujan, sendirian, malam pula.

"Ya ampun! Gue gimana nih? Mana mau ujan, Alvin gak bisa jemput. Hufttt."

Ify mendesah khawatir, kepalanya menengadah menatap langit tanpa bintang ya menciptakan satu kesimpulan "bakalan turun hujan" pikir Ify.
Ia menghentak-hentakkan kakinya yang dilapisi flat shoes cream dengan gelisah. Berkali-kali ia mendial sebuah nomer yang bahkan sudah ia ingat diluar kepala. Tapi jawabannya tetap sama, mailbox.

"Argghhh..Alvin, elo dimana sih?" tanya nya kesal. Dan brukk..ia kembali menghempaskan tubuhnya pada kursi panjang dihalte tersebut
.....

Tes..tess..tesss
Satu persatu bulir air langit menyentuh permukaan kulitnya. Setengah merutuk Rio mempercepat langkah kakinya menuju tempat berteduh terdekat disekitarnya.
Malam ini sepertinya kesialan memang sedang mengakrabkan diri dengan pemuda jangkung tersebut. Bayangkan saja dari motor yang mendadak mogok sehingga mau tidak mau ia harus menginapkan kendaraan tersayangnya itu dibengkel langganannya. Kemudian dilanjutkan dengan teman sejatinya -handphone- yang tertinggal dirumah, hal itu mempersulit Rio saat pemuda itu ingin menghubungi Cakka. Dan finally hujan, belum sampai rumah yah minimal wartel atau telpon umum terdekatlah, pasukan langit sudah memburunya.

"Ckckkk..sial banget gue malem ini." Rio berdecak kesal. Satu lagi kesialannya. Jaketnya tertinggal di bengkel. Jadilah tubuhnya harus ikhlas lahir bathin terkena guyuran hujan yang tidak bisa dibilang biasa itu.

Brukk..Rio menghempaskan tubuhnya secara asal dikursi panjang yang baru saja tertangkap matanya. Tanpa memperhatikan seseorang yang terlonjak kaget disebelahnya, Rio tetap bersikap acuh mengibas-ngibaskan rambut basahnya.

"Ehh, aduhh."

Mendengar suara mengaduh itu, Rio refleks memperhatikan seseorang yang berjarak cukup dekat dengannya. Seorang gadis dengan mata setengah tertutup itu masih terdiam sambil memegangi matanya.

"Mata lo kenapa?" tanya Rio polos. Dia memang tidak sadar kalau kibasan rambut basahnya tadi mengakibatkan air-air dari rambut itu bergerak tanpa arah dan masuk secara kasar kedalam mata gadis tersebut.

Masih tetap memegangi matanya, gadis itu berkata "gara-gara lo tau, air dari rambut lo tuh masuk ke mata gue." ucapnya kesal.

Dengan sedikit takut-takut, Rio menyentuh wajah gadis itu. Niatnya tulus, hanya ingin membantu meniup mata gadis tersebut. Tapi siapa yang tahu kalau ternyata yang terjadi justru bukan itu.
Rio terdiam tanpa kata saat menatap wajah pemilik suara mengaduh tadi. Dengan sekuat tenaga, Rio berusaha menahan nafasnya yang kian memburu. Seperti enggan bergerak, kedua tangan Rio masih membingkai wajah manis gadis tersebut, Ify.

"I..Ify." ucapnya lirih.

"E..emm iya, ini gue," sahut Ify tergagap "eumm, bisa..lo turunin ta..tangan lo." pinta Ify setengah meringis.

Sadar kedua tangannya masih diam ditempat, Rio segera menariknya kebelakang, menggaruk-garuk tengkuknya yang sungguh sama sekali tidak gatal.

"Ss..sorry, Fy."

Ify masih terlihat kikuk "nggak papa kok, eumm Yo."

"Lo kayak baru kenal gue aja deh, Fy. Nyebut nama gue kikuk gitu." seloroh Rio yang mulai bisa mengatur debaran didadanya.

Ify tersenyum, manis sekali "ehehe, udah lama sih tapi..kan kita emang gak pernah ngobrol." sahut Ify, apa adanya. Memang benarkan, walaupun mereka sekelas tapi mereka nyaris tak pernah berkomunikasi -kecuali saat insiden dilapangan senin lalu-. Ya meskipun gosip-gosip kalau Rio suka Ify atau Ify naksir Rio sudah menyebar bukan hanya dikalangan teman-teman sekelasnya. Tapi juga kakak dan adik kelas mereka. Beberapa guru malah sudah berpendapat kalau mereka memang cocok.

"Iya yah. Kita sekelas tapi kayak nggak kenal gitu." tambah Rio sambil tersenyum, Ify diam-diam menghembuskan nafasnya. Gilaaaa..senyumnya itu loh, awesome banget! Kira-kira begitulah pemikiran Ify saat ini.

"Kayaknya, kalau kita kenalan sekarang asik juga," ujar Rio, Ify memandangnya dengan alis terangkat "biar lebih afdhol, Fy." tambahnya yang dijawab dengan anggukan mengerti oleh Ify "kenalin, gue Mario Stevano." ucapnya dengan tangan terulur, lengkap dengan lengkungan super manis dibibirnya.

Dengan gemetar, Ify meraih uluran tangan Rio "Alyssa, Alyssa Saufika tapi panggil aja-"

"Ify." potong Rio, Ify tak dapat menahan senyum malu-malunya.

"Nggak pulang, Fy?" tanya Rio basa-basi.

Ify menatap ke arah rinai hujan dihadapannya sekilas "pengennya sih pulang, tapi nggak ada yang jemput. Mana hujan lagi," keluh Ify "elo sendiri?" Ify balik bertanya.

"Motor gue mogok, mesti nginep dibengkel ujung jalan sana," Rio menunjuk kearah barat "eh pas mau pulang malah hujan, mana handphone gue ketinggalan. Gak bisa nelpon Cakka deh, huhhh."

Ify terkekeh pelan "kita senasib yah, mau pulang ada halangannya gini."

"Jodoh kali," celetuk Rio "upss, maksud gue.."

Ify terdiam menanti kalimat lanjutan yang mungkin akan mengalir dari mulut Rio.

"Eh, Fy. Elo gue anterin pulang mau nggak?" tawar Rio, mengalihkan pembicaraan.

"Pake apa? Jalan kaki? Ujan-ujanan gitu?" tanya Ify tanpa jeda.

Rio menggeleng, telunjuknya mengarah pada setumpuk kardus dibawah kakinya "pake itu, rumah lo gak jauh lagi kan, dari sini?"

Ify mengangguk ragu. Dengan cepat Rio meraih sebuah kardus dan membentangkannya lebar-lebar.

"Ayo, Fy!" ajak Rio yang sudah siap di bawah kardus tebal, yang ia jadikan sebagai penghalau tetesan hujan.

Ify mengangguk, kemudian ikut berpayung pada kardus tebal tersebut, tepat disebelah Rio. Rio pun membiarkan Ify berada sedikit didepannya, tubuhnya sendiri ikut merapat ke tubuh Ify dari belakang. Ify tersentak kaget saat merasakan dada bidang Rio menabrak halus punggungnya.

"Ehh.." ceplos Ify tanpa sadar.

"Sorry, Fy. Kalau nggak kayak gini, gue nya keujanan dong." ucap Rio menyeringai lebar.
Dengan ke-kikuk-kan yang semakin bertambah, Ify mengangguk pelan.
Selanjutnya kedua insan tersebut mulai melangkahkan kaki dengan cepat menerobos hujan, berpayungkan sebuah kardus tebal untuk keduanya.

Dengan perasaan yang kian tak menentu. Aliran darah yang semakin mengalir deras. Degup jantung yang tak henti-hentinya berdetak liar, keduanya berusaha tetap biasa meskipun kenyataannya hasrat itu semakin tak tertahankan.
***

Cakka bersiul gembira sambil menyusuri lorong-lorong panjang menuju kelasnya. Kemarin adalah hari yang tak terlupakan bagi pria yang mendapat julukan 'master of playboy' itu. Karena setelah sekian lama berusaha meraih sekuat tenaga, kalau kata Krispatih sih 'tertatih', untuk mendapatkan bintang hatinya, akhirnya ia berhasil. Dan hari ini, ia akan menunjukkan pada Rio bahwa ia lebih hebat dari pemuda manis tersebut.

"Rio, bro..."

Kalimat Cakka menggantung saat melihat ekspresi wajah terlangka dari seorang Rio. Senyum-senyum sendiri tanpa ada satu objek lucu pun didepannya.
Cakka kembali menatap Rio dengan teliti. Biasa saja, pria itu hanya menggerak-gerakkan penanya diatas buku tulisnya, entah apa yang ditulis. Tapi..memangnya selucu itu, gambaran yang dibuat Rio?
Dengan sedikit mengendap-endap, Cakka mendekati Rio dan mulai memperhatikan coretan apa yang dihasilkan Rio dibukunya.

-Alyssa, Mario. Mario, Alyssa-

Hanya dua nama itu yang ditulis Rio berulang-ulang. Tak lupa ukiran-ukiran hati dari yang ukurannya paling kecil, sampai yang paling besar (karena dibuat membingkai seluruh tulisan Alyssa, Mario) menghiasi dua nama yang tertulis dibuku tersebut.

"Eaaa, ketauan ya!" seru Cakka menggoda.

Rio mendelik tajam. Apa-apaan Cakka ini? Rio hampir saja terjengkal bolak -balik saking terkejutnya. Belum lagi tulisan yang ia buat sepenuh hati nyaris tercoret tanpa seni karena Cakka mengejutkannya tepat saat sang pena menari-nari diatas sang putih.

"Peace bro. Lo emosi banget, kayak cewek-cewek lagi pms tau nggak. Sensitif." ledeknya, Rio mendengus sebal dan segera menyimpan bukunya.

"Ngapin sih lo, kurang kerjaan banget." semprot Rio setengah dongkol.

"Gue punya kabar baik dong mament."

"Baik buat lo, belum tentu baik buat gue." timpal Rio.

Cakka menjentikkan jarinya "great. Gue udah jadian sama Agni dan lo," Cakka menunjuk Rio dengan telunjuknya "belum ada tanda-tanda bakal jadian sama Ify, yihaaa!" serunya girang.

Rio melongo tak percaya. Agni yang masuk dalam kategori "cewek ganas' menurut Rio, akhirnya bisa ditaklukkan juga sama Cakka, sahabatnya yang lebih dikenal sebagai master of playboy. Oh No!

"Demi apa lo, Kka?" tanya Rio histeris, ia mengguncang keras tubuh Cakka.

"Eh nyante dong bro, nyante. Engap gue." ujar Cakka berusaha melepaskan cengkraman Rio.

"Demi semua yang ada dimuka bumi ini," lanjutnya dengan nada bicara serius. Dan itu cukup menjadi pertanda kalau Cakka tidak main-main "so, kapan lo mau nembak Ify? Entar keburu diembat Alvin loh." pancing Cakka.

Rio tertawa kecil mengingat nama Alvin "Alvin, ya? Nggak mungkin tuh." balas Rio santai.

"Nggak mungkin gimana? Elo sendirikan pernah liat kedekatan mereka yang nggak bisa dibilang biasa, Yo. Udah gitu suap-suapan lagi, kalah start lo." seru Cakka menggebu-gebu.

Rio menepuk-nepuk pundak Cakka "denger ya, bro. Mereka itu saudara, lebih tepatnya saudara tiri." jelas Rio.

"Tau darimana lo?" tanya Cakka seakan meragukan penuturan Rio.

Rio berdehem sebentar, kemudian mulai menjelaskan "jadi gini.."
»»

Tetesan hujan masih mengguyuri kardus penangkal hujan yang ditahan Rio untuk melindunginya dan Ify.
Tiba-tiba sebuah pertanyaan timbul dibenaknya. Pria itu menimbang-nimbang, tanya atau nggak..pikir Rio.

"Eumm, Fy!" seru Rio setengah berteriak. Takutnya, volume suara yang dihasilkan mulutnya masih mampu diredam oleh ribuan rintik hujan yang terdengar berisik kala itu.

"Iyaa! Kenapa, Yo?" balas Ify dengan suara yang tak kalah keras.

"Alv..A-"

Ify menghentikan langkahnya, saat ia dan Rio telah berada didepan pintu gerbang rumahnya "Alvin?" tanya Ify memotong ucapan Rio, sambil membuka gerbang tinggi yang mengelilingi rumahnya.

Dengan ragu, Rio menganggukkan kepalanya "iya," ucapnya pelan "kok tau?!" sambungnya kembali dengan suara keras.

Drap..drap.. Ify berlari-lari kecil, dengan kepalanya ia mengisyaratkan Rio agar ikut berlari bersamanya.
Brak.. Rio menghempaskan kardus yang mulai melemas ditangannya begitu saja. Kemudian mengikuti Ify berlari-lari kecil menuju teras rumah milik gadis tersebut.

Ting..tong..ting..tong..
Didepan rumahnya, Ify terus menggerakkan jari telunjuknya untuk menekan tombol putih yang tertempel disudut pintu rumahnya. Memanggil penghuni rumah yang bersantai didalam.

"Jadi..Alvin itu siapa lo?" tanya Rio lagi. Rasa penasaran yang berkelebat didadanya membuat pertanyaan ulang tersebut kembali meluncur tiba-tiba.

Ify menatap Rio sekilas, kemudian kembali menekan bel rumahnya "Alvin itu.."

Cklekk..bersamaan dengan kalimat yang belum sempurna itu, pintu rumah Ify terbuka disusul dengan munculnya sesosok pria berwajah oriental yang diliputi kecemasan.

"Ify..elo darimana aja sih? Nggak tau ini udah malem? Mana hujan lagi, lo balik bareng siapa?" serbunya begitu saja. Tanpa melihat bahwa sang gadis yang dicecarnya saat itu tidak berdiri sendiri, ada pria lain yang berdiri disebelah gadis tersebut.

"Elo kebiasaan deh, Vin. Lagian ini tuh salah lo, ditelponin gak diangkat." sungut Ify kesal, Alvin menjawabnya dengan cengiran lebar.

"Eh elo kan-"

Rio yang tadinya enggan memandang Alvin segera memotong ucapan pria putih tersebut "gue Mario Stevano, temen sekelasnya Ify." jawabnya singkat dan jelas. Kali aja Alvin itu pacarnya Ify. Kemudian salah paham karena kepulangan Ify yang tidak sendiri, melainkan bersamanya.

Alvin terkekeh pelan. Ia memundurkan sedikit badannya, dan memperlebar jalan masuk kedalam rumahnya. Dengan sekali gerakan, ia mengisyaratkan Ify untuk membawa Rio masuk ke dalam rumahnya.

"Masuk yuk, Yo." ajak Ify ramah.

Rio menggeleng pelan "nggak usah, Fy. Gue langsung balik aja." tolaknya halus. Sebenarnya sih dalam hati pria ini melengos. Masuk kedalam rumah Ify dan membiarkan dirinya menjadi obat nyamuk yang harus menyaksikan kemesraan Alvin dan Ify, gitu? No thanks.

"Udah masuk aja, lagian lo basah gitu," suruh Alvin yang melangkah masuk lebih dulu "gue mandi dulu ya, Fy. Elo jangan lupa mandi juga, ntar sakit lagi." pesan Alvin sebelum menghilang ditikungan antara kamar dan dapur.

Ify berdecak kecil, malu juga. Masa' didepan Rio, Alvin masih tetap memperlakukannya seperti anak kecil?

"Udah deh, Yo. Masuk, yuk!" ajaknya setengah menyeret lengan Rio, dan membawa pria tersebut menuju ruang tamu rumahnya "tunggu disini, gue ambilin baju dulu." pesan Ify sebelum pamit.

Mata Rio melebar. Ngambil baju ganti? Nggak salah? Masa' iya nanti Rio mengenakan baju milik Ify? Yang modelnya jenis-jenis dress, gitu?
Rio menggeleng pelan, nggak mungkin kan cowok kayak dia berpenampilan seperti itu.

"Nih," Ify menyerahkan selembar baju kaos lengkap dengan jeans pendek berwarna hitam ditangannya, kepada Rio "ganti baju lo sana." suruhnya.

Rio menatap setelan santai itu dengan alis bertaut "punya lo? Pembantu lo? Atau supir lo?"

"Enak aja supir, punya gue tuh," sahut Alvin yang tiba-tiba muncul dibalik punggung Ify "Fy, gue ke kamar dulu yah," pamitnya pada Ify "dan lo, jangan macem-macem." pesan Alvin sambil menatap serius pada Rio.

Ify dan Rio sama-sama mengamati punggung Alvin yang kian menghilang dibalik pintu kamarnya. Kemudian, Rio mendesah lega.

"Pacar lo galak banget, Fy." celetuk Rio.

Ify tersentak kaget "eumm Alv..Alvin maksud lo?" tanya nya, telunjuknya mengarah pada pintu kamar Alvin yang tertutup rapat "dia bukan pacar gue." bantah Ify cepat, saat Rio menganggukkan kepalanya.

"Lah, terus?"

"Dia itu saudara tiri gue, kita udah sama-sama dari umur 4 taun, makanya gue deket banget sama dia," cerita Ify dengan tawa kecil diujungnya "ya, berhubung gue baru pindah, ya jadi orang-orang banyak yang gak tau kalau kita saudara. Maklumlah, gue kan dulunya nggak tinggal disini." Ify menjelaskan ceritanya secara mendetail. Entah mengapa, ia merasa perlu menjelaskan semua itu pada Rio. Takut salah paham, mungkin.

Rio mengangguk tenang. Dalam hati pria itu bersorak gembira, karena peluang mendapatkan gadis manis itu terbuka lebar.

"Ohhh, pantes deket banget." ceplos Rio tanpa sadar.

Ify tersenyum "ya ialah, namanya juga saudara."

Eh tapi..saudara tiri bukan berarti mereka gak bisa saling jatuh cinta, kan? Bisa jadi Alvin menaruh hati pada Ify, mengingat tatapan mata Alvin yang memang lebih perhatian pada gadis tersebut. Itu dari sudut pandang Rio.

"Eumm..tapi, elo sama dia kayak.."

"Kayak apaan, Yo?"

"Eh itu maksud gue, emang lo gak punya perasaan lain gitu sama Alvin?" tanya Rio agak susah, takut salah ngomong. Tapi justru yang ia tanyakan kali ini lebih terkesan 'mau tau' dan terlalu cepat juga "ya kan, lo berdua cuman saudara tiri jadi-"

Ify mulai paham dengan maksud ucapan Rio. Buru-buru ia menyela ucapan pria tersebut "nggaklah, gue sama dia nggak pacaran. Dan nggak saling suka."

"Tapi..maaf nih kalau gue kesannya cerewet, elo sama dia tuh kalau lagi berdua kayak orang pacaran mana Alvin kayaknya tadi khawatir banget sama lo, berarti dia perhatian kan, sama lo?"

Ify meringis. Yang namanya saudara perhatian, wajarkan?

"Yaelah, Yo..Yo. Elo merhatiin kita banget deh kayaknya," seloroh Alvin yang tiba-tiba sudah menempati posisi kosong disamping Ify. Membuat Rio sedikit terlonjak kaget dan menyimpan rasa tidak enak karena telah membicarakan pria bermata sipit disebelah Ify secara diam-diam.

Alvin membentangkan tangan kanannya di bahu Ify, kemudian merangkulnya hangat "nih ya, gue sama Ify itu so-da-ra. Nggak saling suka, nggak saling cinta. Murni sayang sebagai so-da-ra." jelas Alvin.

Rio menyeringai kecil "sorry, bro."

"Nevermind, biasalah." ucap Alvin santai "intinya, elo nggak perlu takut. Gue sama Ify bersih dari rasa saling suka kok." tambahnya lagi.
««

"...nah, gitu Kka. Jelas?"

Cakka mengangguk, lalu menggeleng. Kemudian mengangguk dan kembali menggeleng.

"Elo ngerti gak sih?"

Cakka menata rambut rapinya "penjelasan lo terlalu ribet, bertele-tele. Tapi, intinya sih gue ngerti."

Gubrakkk..dengan kesal Rio menjitak puncak kepala Cakka "bilang ngerti aja ribet banget sih." sungutnya kesal.

"Biarin, yang penting gue udah jadian sama Agni." Cakka memeletkan lidahnya dan segera kabur saat tangan Rio bersiap melayangkan sebuah pulpen kepadanya.
***

Ify melangkah riang menuju lapangan indoor disekolahnya. Gadis itu membawa sebotol minuman dan sekotak bekal dikedua tangannya. Entah mengapa perasaannya saat ini tak karuan. Dadanya berdebar-debar, jantungnya berdetak cepat, sepertinya suatu hal besar akan terjadi beberapa saat lagi.

Fiuhh..ia menghela nafas sejenak saat kedua kakinya berhenti didepan pintu lapangan indoor. Setelah membuang nafas berkali-kali, barulah gadis itu mendorong masuk pintu lapangan tersebut, dan melangkah kedalam pelan-pelan.

Suara decitan pintu yang terjadi karena dorongan seseorang membuat Rio menghentikan permainannya. Ia memungut bola basket miliknya yang sempat tergeletak begitu saja. Kemudian, dengan senyum mengembang pria tersebut menghampiri Ify yang sudah duduk manis di kursi panjang, yang berjejer dipinggir lapangan.

Semenjak peristiwa 'hujan' waktu itu, keduanya memang semakin dekat. Bahkan, beberapa teman mereka menganggap keduanya sudah jadian.

"Nih," Ify menyodorkan botol minuman yang ia bawa pada Rio "cape' yah?" tanya nya sambil memperhatikan lekukan wajah manis Rio, yang dihiasi bulir-bulir keringat pada paras tersebut.
Keren, pekik Ify dalam hati.

Rio mendelik aneh saat kedua bola mata Ify tak berhenti menatapnya.

"Kenapa, Fy? Ada yang aneh dimuka gue?"

Ify tersadar, buru-buru ia membuang muka ke arah yang berlawanan "eh nggak kok, biasa aja." jawabnya.

Hening. Suasana ruangan tertutup itu semakin sunyi. Rio masih asyik menegak habis minumannya, sedangkan Ify mendadak kikuk saat menyadari betapa jarak yang tercipta diantara keduanya sangatlah dekat.

Tuk..tuk..
Demi membunuh bosan, Ify memilih untuk mengetuk-ngetukkan telunjuknya pada kotak bekal berwarna pink lembut, yang ia bawa tadi.

Rio yang mendengar suara tersebut langsung menutup botol minumannya, kemudian beralih menatap Ify.

"Elo bawa apaan, Fy?"

Tuk..Ify menghentikan ketukannya "hahh?"

"Itu, yang lo bawa apaan?" Rio mengulang pertanyaannya, dengan telunjuk mengarah pada kotak bekal milik Ify.

"Oh ini?" tunjuk Ify pada kotak bekalnya, Rio mengangguk sekali. Melihat itu, Ify segera membuka kotak bekal miliknya dan menyodorkannya pada Rio.

Rio menatap isi bekal Ify dengan mata berbinar "sus?!" tanya nya semangat, Ify mengangguk cepat sambil tersenyum.

"Buat gue kan?" tanya Rio, Ify hanya mengangguk "gue makan yah?" izinnya. Ify menjawabnya dengan sebuah senyuman.

Dengan semangat Rio memasukkan satu persatu potongan kue sus tersebut kedalam mulutnya. Memindahkannya secara teratur dari kotak bekal Ify ke perutnya. Pria itu menikmati tiap potong sus tersebut dengan penuh penghayatan.

Melihat betapa antusiasnya sang pujaan hati melahap habis bekal buatannya, tak ayal membuat Ify terkikik menahan tawa. Dengan kedua tangannya gadis itu berusaha mengatupkan bibirnya yang sempat terbuka.

"Elo kenapa sih?" tanya Rio disela-sela makannya. Ify menggeleng sambil tersenyum kecil.

"Nggak, lucu aja ngeliat lo makan," ujar Ify "kayak anak kecil." tambahnya.

"Hah? Apanya?" tanya Rio yang masih belum 'ngeh' dengan maksud gadis tersebut.

Ify menggeleng pelan, membuat poni-poninya berayun lucu mengikuti gerak kepalanya.

"Ini, belepotan," tanpa permisi Ify mengulurkan jemarinya, mengusap lembut sudut bibir Rio yang 'dihiasi' lelehan coklat dari kue sus yang ia makan.
Rio terpaku, kedua matanya terfokus pada wajah cantik Ify yang tetap tenang membersihkan sisa-sisa coklat disudut bibirnya. Dan rasa itu hadir lagi. Membuat ia semakin tak mampu membendung betapa rasa cinta yang ia miliki untuk gadis berwajah tirus ini, sudah sampai diubun-ubun. Harus segera dinyatakan, karena tak mampu lagi dipendam.

"Nah bersih deh." ucap Ify puas, sambil menurunkan tangan kanannya.

Dengan sigap, tangan kokoh Rio menahan pergelangan tangan gadis tersebut. Membuatnya tertahan dalam cekalan kuat namun hangat.
Ify sendiri refleks menelan ludah saat kedua penglihatnya beradu pandang dengan kedua mata elang milik Rio. Tajam namun menghanyutkan. Itulah cara Rio menatap gadis manis disebelahnya saat ini.

"Ekhem," Ify berdehem -sengaja-, demi mencairkan suasana yang terasa kikuk saat ini.

Bukannya melepaskan cekalan tersebut, Rio justru berubah menggenggam lembut telapak tangan kanan Ify. Membuat gadis tersebut semakin tak karuan, karena rasa gugup itu hadis seketika.

"Gue..jatuh cinta, sama lo," ucap Rio spontan dengan tetap terus menatap Ify "dan itu, udah dari dulu. Sejak pertama kali elo menginjakkan kaki lo disekolah ini." sambungnya lagi.

Ify shock. Merasa ini mimpi, dan hanya igauan semata. Namun genggaman itu terasa nyata, menyentuh halus permukaan kulitnya dan membalutnya dengan kehangatan.

"E..elo baik-baik aja kan, Yo?"

Tak mau dianggap 'ke-GR-an', Ify memilih menggunakan pertanyaan itu sebagai sahutan.
Rio mempertajam tatapannya. Tetap disatu titik. Berusaha meyakinkan bahwa apa yang diucapkannya tadi adalah kenyataan, bukan sekedar bualan atau omong kosong belaka.

"Apa mata gue terlihat berbohong?" tanya Rio pelan, tapi tegas.

Ify kembali menelan ludah. Tatapan ini, tatapan yang mampu membius seluruh gadis disekolah ini. Tatapan yang mampu membungkam semua ucapan para siswi disekolah ini. Tatapan yang sedang disuguhkannya pada Ify saat ini. Tajam namun menghanyutkan.

Ify menggeleng samar, secara perlahan kepalanya bergerak turun, menunduk.

Hening. Keduanya sama-sama diam dalam posisi tak berubah. Duduk bersebelahan dengan tangan Rio yang masih menggenggam tangan Ify. Kotak bekal Ify yang tadinya berada dalam pangkuan Rio pun telah berpindah tempat ke ruang kosong disebelah pria tersebut.

"Jadi?" tanya Rio memecah keheningan. Ify yang sempat terfokus pada ujung-ujung sepatunya -yang bisa dipastikan sangat tidak ada yang menarik disana- mengangkat wajahnya.

Ditatapnya wajah Rio dengan alis menyatu, masih tidak paham dengan makna kata 'jadi' bernada pertanyaan yang dilontarkan Rio beberapa menit yang lalu.

"Maksudnya?" tanya Ify polos.

Rio mendesah pelan, sedikit meringis karena gadis ini terkesan lambat dalam menangkap maksud hatinya.

"Did you want a relationship with me?"

"Bercanda?" sela Ify.

Rio menggeleng mantap "I'm serious, and was not joking. So, do you want a relationship with me?"

"Kita coba." putus Ify.

Rio mengernyitkan dahi, bingung.

"Maksudnya?"

Dengan gemas Ify mencubit kedua pipi Rio, Rio sendiri hanya bisa meringis pasrah "ya kita coba Mario, gue emang ngerasain hal yang sama kayak lo. Tapi, satu hal yang perlu lo tau, gue belum pernah pacaran." jelas Ify singkat.

"Berarti gue pacar pertama lo dong?" tanya Rio senang, Ify hanya mengangguk malu.

"Dan elo cinta pertama gue." sambung Rio. Ify menatap penuh tanya pada Rio.

"Emang pacar pertama sama cinta pertama itu beda?"

Dengan mantap Rio mengangguk "beda dong. Pacar pertama kan belum tentu cinta pertama, begitu juga sebaliknya. Kayak gue, dulu-dulu gue pacaran gak pake cinta, cuman sekedar buat jaga gengsi aja." aku Rio.

Ify masih menatap tak mengerti pada Rio "dan sekarang, untuk pertama kalinya gue pacaran pake hati, pake cinta. Dan itu sama lo."

Meski masih tak mengerti Ify tetap terlihat bahagia mendengar penuturan terakhir Rio. Pake hati, pake cinta dan sama lo. 7 kata yang mampu melambungkan dirinya, membuatnya tersenyum bahagia dan merasa menjadi satu-satunya wanita teristimewa.

"Makasih." ucap Ify malu-malu.

"Sudah seharusnya." sahut Rio, sambil mengacak-acak gemas puncak kepala gadisnya tersebut.




===

Yakkk! Gimana? Krik krik banget yah?
Eummm, gimana yah? *tampang sok mikir* gue juga nggak tau kenapa endingnya bisa "gubrak" begini. Gak jelas dan rada iuhhh-_-
Yeaa, but since that comes to mind is that, then that's what I wrote. Ya meskipun iuh gitu hasilnya, mana dibagian ending sok english-english gitu ya..ahahaha *maklum baru makan burger*
Tau nggak? Gak tau pasti-_- gue beberapa kali ngere-read file ini, dan selalu mau ketawa. You know why? Karena 'tajam namun menghanyutkan'. Itu kalimat gue ulang dua kali, padahal gue nyadar kalimat itu rada-rada gitu..ahaha

Sipp deh, pokoknya yang mau koment, kritik, saran and apa ajalah silahkan. Teteppp, dengan senang hati dan suka cita gue terima. Buat yang nunggu WL *kalau ada--'* jangan tanya kapan karena gue juga nggak tau :/ habis stuck ide sih..huhuuu malah gue berencana pengen lanjut ngepost diblog aja..

Ini juga, buat yang pernah minta tokoh Obiet, Irsyad/Arsyad, Lintar dan gak tau siapa lagi, maaf karena belum dipenuhin._.v kan bentar lagi lebaran :D
Eh last one deh, ini judulnya gue bingung setengah koid, jadi sorry sorry maaf yee kalau G A K N Y A M B U N G ! ! !


:: 26.08.11 ::



_With Love Nia Stevania_

Senin, 22 Agustus 2011

-- if he has a girlfriend..? --



Dear pepss..

RiSe berduka. Banyak gosip yang beredar sang pangeran telah menemukan tambatan hatinya (dan narasi ini L to the E to the B to the A to the Y alias To much). Haduhhh..gak tau sih, dulu waktu Gabriel digosipin -dan parahnya bukan sekedar gosip- pacaran ama Saras, gue bener-bener shock. Percaya gak percaya, gue sempet gak suka -atau-malah-hampir-benci sama Saras. Padahal gue tau, hal itu nggak akan berdampak apa-apa, ya minimal menguntungkan diri gue secara pribadi. But, that's reality..temen-temen malah sempet berasumsi kalau gue Saters. Satu hal, GAK SUKA itu bukan berarti BENCI. Just don't like, not hate! Ya mungkin karena faktor ababil. Yeahh remaja zaman sekarang kan kebanyakan menganggap idola mereka -yang berlainan jenis dengan mereka- seperti milik mereka sendiri. Sampe ada yang pacaran, langsung deh nangis guling-guling, gigitin baju atau malah ngelemparan botol-botol parfume plus peralatan make up yang betebaran di meja rias. Oh No! Don't make our lives become like a soap opera. Upss, padahal gue kan dulunya juga gitu yah-_-'
Errr tapi beda dong, gue gak sampe nangis dibawah shower kamar mandi yang kayak orang habis ngelakuin a big mistake gitu -upss again-
Tapi..eumm hampir menyerupai. Suka sakit hati ngebacain TLnya Gabriel »« Saras. Atau ngeliat foto mereka berdua yang gak perlu nunggu lama, bakalan ke share dalam waktu cepat. Iuhhh, maklum artis, apalagi Saras kan juga pemain MLP waktu itu. Eh sampe sekarang juga deh. Tapi harus gue akuin kalau mereka cocok, apalagi setelah gue gebaca salah satu ff ICIL yang couplenya Saras-Gabriel.

Wait..wait..tadinya gue bukan mau ngebahas Ayas-Iyel yang udah tinggal kenangan deh. Tapi tentang prince of RiSe. Mario Stevano Aditya Haling a.k.a Mastev. Panggilan sayang gue buat dia..ecieee~
Nah, gosipnya dia udah punya someone special yang masih secret gitu. Dan demi menyembunyikan ID sang pacar, Mastev sampe gak on twitt berhari-hari. Berasa buronan aja tuh 'pacar' nya dia--'
Dan RiSe tersungkur jatuh dijurang yang paling dalam. Pangeran kesayangan mereka udah punya girlfriend?! Owmygosh! Demiapa semua pada bertanya. Mencari kejelasan di situs jejaring sosial yang satu ke yang lainnya. Ngorek-ngorek informasi ke orang-orang terdekatnya dia. Well, jujur gue akuin, gue sempet shock. But, gak lama lah. Dan gak sampe menimbulkan rasa 'gak rela' in my heart. 'Cause gue udah terlanjur kecewa sama dia, jauh sebelum adanya gosip ini. Some time ago, gue sempet nyeritain betapa senengnya gue karena bbm gue dibales sama Mastev dengan menggebu-gebu. Oh Tuhan! Itu bener-bener make me fly dan ngerasa menjadi RiSe paling beruntung saat itu. Tapi gak lama, karena makin kesini, dia jadi -just in my opinion- jahat. Gak pernah ngebales bbm gue lagi..huhuuu
Padahal bbm gue deliv, diread but gak direply sama dia. Siapa yang gak kesel coba? Apalagi itu pesan sifatnya mengandung pertanyaan, bukan sekeder sapaan iseng seperti say hi.
Okay, By -Deby- pernah bilang (gue lupa gimana detailnya, tapi intinya..)

"Wajar dong kak, kan dia udah kelas 3. Mungkin dia sibuk belajar.."

Dan bla..bla..
Fine, By bener. Tapi gue tau lah. Sepinter-pinternya manusia, serajin-rajinnya seseorang ya nggak bakal belajar tiap hari juga--' (apalagi sampe gak on berhari-hari, freak gak sih._.v)

Ah, udahlah. Dia gak pernah ketemu gue, dia gak pernah ngobrol sama gue. Sekedar chatting, itu nggak bakalan berarti apa-apa buat dia. Jadi kalau pun gue marah, kecewa, sebel dan sejenis nya ama dia, dia gak bakalan ambil pusing. Hallo? Siapa dia? Siapa gue? Nggak kenal, itu kasarnya. So intinya gimana pun perasaan gue ke dia, gak ngefek.
Gue ngefans, dan sangat mengagumi dia. It's true! Tapi bukan berarti gue gak berhak kecewa, kan? Bohong kalau gue bisa tetep anteng tiap ngeliat para RiSe lain mengumbar-ngumbar kedeketan mereka ama Mastev. Bohong kalau gue gak ngiri sama mereka-mereka yang ketemu Mastev. Bohong kalau gue gak berhasrat pengen ketemu Mastev. Bohong kalau gue gak pernah ngimpi, ngebayangin, berkhayal bisa ketemu sama Mastev. Pokoknya, gue gak mau munafik!
Gue jujur sama, By. Gue iri, envy sama dia yang berkemungkinan bakal ketemu Mastev sehabis lebaran nanti. Tapi, gak lantas gue marah atau jadi gimana gitu sama dia. Sekedar mengeluarkan unek-unek aja.
Kalau kata nyokap gue ini orangnya 'membathin'. No..no..no, bukan membathin yang kayak kalian pikirin (nggak tau sih gimana pikiran kalian--v) membathin disini maksudnya....ekhem gue lebih suka nyimpen perasaan dalam hati dan lebih suka ngeluarin unek-unek gue sama hati gue sendiri. Kata my beloved sista, itu udah gak wajar. Secara gak langsung itu bakalan berujung ke arah..aduhh takut nyebutnya, but it's a must--' ya ke arah 'stress'
Tapi gak tau kenapa, gue emang terlalu sulit buat ngungkapin kalau gue lagi marah, kesel, kecewa apalagi cinta (?) sama seseorang, terutama kalau gue udah cinta sama dia. Idihalahhh..sok tuir ya, tapi faktanya gitu, bray!

Dari dulu, gue ngefans banget sama Mastev. Bisa dibilang, anak IC yang bener-bener bikin gue jatuh hati cuman 3. Gabriel, Ify sama Mastev itu. Dan gak salah dong, kalau gue berharap bisa deket sama dia..huhuuuu

Kembali ke soal Mastev-yang-udah-punya-pacar.
Gue..gue gak masalah dia mau punya pacaran atau nggak. Selagi RiSe tetep dihati dia, ya meskipun gue enggak *eh*
Toh gue bukan emaknya dia juga, kan? Yang otomatis punya hak buat ngelarang dia menjalin cinta. Status gue gak lebih dari sekedar fans. Ngelarang pun gak ada gunanya deh. Emang kalau kita ngelarang dia bakalan nurut? Emang kalau dia nurut, terus mau di apain? Berharap deket ama dia? Atau jadi pacarnya dia? Gak mungkin bisa deh, apalagi buat yang tinggal berjauhan. Jarak memisahkan, sist. Lagian cinta itu masalah hati yang gak bisa diganggu gugat. Kalau hati sudah memilih tempatnya untuk bermuara, maka pasti akan tertuju kesana jua. Eh sorry, ini kata-kata rada lebay, alay dan iuhh gitu -mungkin bagi sebagian orang- itu ketulis dengan sendirinya. Tapi emang bener, kan? Mau dilarang gimana juga, yang namanya urusan hati gak bisa ditentang.
Well, well, well..sampe detik ini gue gak masalah kalau Mastev mau punya pacar asal -maaf- jangan ama Shilla (peace Shivers._.v), Sivia (peace SH._.v), Agni (peace Agniaza._.v), pokoknya jangan sama anak ICIL kecuali Ify deng..ehehehe
Gue pokoknya noprob deh, kalau dia mau punya pacar. Karena wajar, dia udah kelas 3 SMP kalau punya pacar sah sah aja. Apalagi temen-temen seusianya pasti udah pada punya banyak mantan. Intinya wtf..kekecewaan gue, kekesalan gue, kesakit hatian (?) gue bukan karena dia punya pacar. But 'cause dia sekarang berubah..dan gue gak suka perubahan itu...

Sekian~

Tetap berharap kamu bisa mengetahui, disini ada aku yang mengaggumi mu, menyayangimu, meski tak terbaca atau terjamah olehmu...


_With heart Nia Stevania_



Jumat, 19 Agustus 2011


Minggu, 14 Agustus 2011

my account=="

hei pepss...

apa kabar? baikkan? baik dong? hari ini gue mau sharing tentang akun pribadi gue yang banyaknya naudzubillah--"
gue baru ngeh kalau gue punya cukup banyak akun. The first, akun facebook. Gue punya 3 akun facebook, yang duanyya pribadi yang satunya dihandle barengan sama adek gue. Terus gue punya 1 twitter, 1 YM, 1 heello (ini social network terbaru nih, dan gue masih rada-rada bingung maeninnya gimana. Maklum katrok-_-), 1 SS, 1 Kopol ((tapi lupa apss sama emailnya apaan--'), dan 2 blog. 1 nya punya pribadi, yang satu lagi tetep dihandle barengan sama adek gue. Tapi...kadang gue suka bingung, gimana caranya ngehnadle itu semua biar tetep update coba?tangan cuman 2. Laptop sama handphone cuman 1. Idihalahhh, ribet sumpah! Niatnya pe ngen eksis, dan tetep gak kudet makanya bikin banyak akun di berbagai macam social network etapi yang terjadi malah begini, yang bener-bener bisa kepantau dengan baik cuman beberapa=="

okay pepss, cukup untk hari ini..see yaaa


:: my account ::
facebook :
  • nia_rasyied@ovi.com (Nia Stevania)
  • nia_stevania@yahoo.com (Nia Stevania II)
  • niami23@yahoo.com (Minia's story)
twitter :
@niastvnia

YM! :

nia_setevania@yahoo.com

Heello :

@Nianistev

Blog :
  • http://niastevania.blogspot.com/
  • http://miniasstory.blogspot.com/


_With Love Nia Stevania_



Selasa, 09 Agustus 2011

"_With Love Part 23_"

.....

Part 23

Langit gelap malam ini terlihat indah dengan ribuan bintang yang masih setia menemani sang bulan. Membuat gadis manis yang terduduk disebuah bangku panjang yang terletak persis dibawah pohon akasia itu menatap takjub. Ya meskipun hal seperti ini sudah sering terjadi, tapi melihat pemandangan ini secara sengaja jelas berbeda dari biasanya. Disebelahnya, pria hitam manis yang sedari siang bersamanya menatap dalam siluet samping gadis tersebut. Menikmati detik-detik terakhir kebersamanya dengan sang pujaan hati, sebelum 'waktu' itu memisahkan kebersamaan mereka. Dinginnya angin malam yang hilir mudik disekitar mereka terabaikan, seolah bukanlah penghalang bagi keduanya menikmati malam ini dengan cara mereka masing -yang tentu saja berbeda-.
Sadar akan tatapan tajam yang terus mengarah kepadanya, Ify refleks memutar kepalanya dan menatap Gabriel dengan alis terangkat.

"Kenapa?"

Gabriel tertawa kecil dan menggeleng. Jemarinya saling terikat erat "nggak papa, pengen mandangin kamu lama-lama aja, kan buat terakhir kalinya."

Ify sedikit merasa aneh dengan sikap Gabriel hari ini. Berulang kali pria disebelahnya ini menyematkan kata 'terakhir' disetiap kalimat yang ia lontarkan. Dan memilih beraku-kamu, padahal sebelumnya tidak seperti itu.

"Kenapa? Natapin aku nya gitu banget?' tanya Gabriel saat Ify menatapnya tanpa kedip.

Ify meringis kecil dengan kepala bergerak ke kanan dan ke kiri berulang kali "nggak, biasa aja kok."

Setelah menjawab kikuk, Ify kembali memutar arah pandangannya ke depan. Membiarkan ribuan hembusan angin menerpa wajah cantik serta membelai lembut rambut panjang yang mulai menari bebas karenanya.
Gabriel bergeming. Tatapannya masih tertuju pada Ify. Dihembuskannya nafas sesamar mungkin, menutupi agar gadis disampingnya tak menyadari sejumput kegelisahan yang mengisi hatinya. Dengan pelan telapak tangan Gabriel bergerak mendekat, merengkuh kelima jemari kanan Ify dan menggenggamnya erat. Membuat Ify tersentak kaget dan kembali menatapnya dengan alis menyatu, dilanjutkan dengan gerakan mata yang menatap genggaman Gabriel dan wajah tampan pria tersebut secara bergantian.

"Kamu tau, Fy? Ini malem terakhir aku di Jakarta. Besok aku mau balik ke Batam dan menetap disana," Gabriel membuang nafas sejenak "dan sebelum aku bener-bener pergi, aku pengen..aku pengen kamu dengerin ungkapan hatiku, penyesalanku..dan semua perasaan hatiku yang sesungguhnya."

Ify terdiam. Pandangannya tak beralih dari kedua bola mata teduh milik Gabriel.

"Aku, aku sayang banget, Fy..sama kamu. Dan aku..aku nyesel udah nyia-nyiain kamu, dulu."

Ify menggigit kecil bibir dalamnya, dan mulai menatap Gabriel dengan enggan. Bukan marah atau apapun sejenisnya, hanya saja gadis ini terlalu rapuh untuk menatap mata tajam Gabriel yang selalu sukses menghipnotisnya.

Perlahan Gabriel melepaskan genggamannya. Ia menegakkan tubuhnya dan mulai berdiri menantang, didepan ribuan benda langit yang masih asyik berkerlip, seolah mengabaikan kehadiran dua insan yang tengah dilanda kegalauan.

"Aku sadar kok, Fy..sadar banget kalau semua udah terlambat. Dan aku..aku tapi gak bisa terus-terusan ngebohongin perasaan aku, bersikap seolah-olah gak sayang kamu padahal aku cemburu ngeliat kamu sama cowok lain,"

Gabriel menghembuskan nafasnya dengan kasar. Saat bayangan seorang pria hitam manis yang sedari dulu selalu menjadi rivalnya, berseliweran didepan matanya.

"Apalagi cowok itu, Rio. Musuh, rival..saingan terberat aku selama ini." sambungnya lirih, kepalanya mulai menunduk dengan kedua tangan tersimpan disaku jeansnya.

"Rio.. Hahhh, dia selalu ngedapetin apa ‎yang dia mau dan apa yang kita berdua persaingin. Dan aku? Aku selalu kalah sama dia,"

Gabriel kembali menatap Ify yang mulai menahan laju air matanya. Dan tesss..sekali kedip kristal bening itu mulai menyembul dari pelupuk mata gadis manis tersebut. Dengan lembut Gabriel menyusuri pipi tirus Ify, menghapus jejak-jejak air mata yang nampak basah dikedua pipinya.

"Jangan nangis, aku kesini bukan buat bikin kamu nangis," ujar Gabriel lirih "aku nggak kayak Rio ya, Fy? Dari dulu aku cuman bisa nyiptain kesedihan yang berujung air mata buat kamu. Rio? Dia selalu bisa ngebuat kamu senyum, ketawa, bahagia..hahaa."

Tiba-tiba Gabriel tertawa hambar. Pikirannya terusik dengan sejuta penyesalan yang kembali menebal didalam hatinya. Betapa ia menyia-nyiakan gadis seperti Ify, yang dengan sabar selalu menemaninya, dan tak pernah bosan untuk selalu memahaminya. Dan pantasnya, Ify tersenyum karena cintanya bukan menangis karena 'penyiksaan-penyiksaan' bathin yang tanpa sadar sering dilakukannya.

"Aku, aku selalu nggak terima kalau kalah sama Rio. Dari dulu, aku selalu berusaha untuk mengalahkan dia. Dan dari dulu, aku selalu berpendapat kalau cuman aku yang pantes untuk mendapatkan semua yang kita persaingkan."

Dengan telunjuknya, Gabriel menepikan poni-poni panjang Ify yang mulai menutupi mata kiri gadis tersebut.

"Kamu tau, Fy? Sekarang aku sadar, kalau ternyata emang cuman Rio yang pantes untuk ngedapetin semua yang kita persaingin. Termasuk," Gabriel menggantungkan kalimatnya. Jemarinya terdiam, menghentikan aktifitas iseng -merapikan poni Ify- nya dan dengan perlahan menyentuh dagu tirus Ify. Memaksa kedua bola mata gadis itu untuk menatap mata elang miliknya "kamu, cuman Rio yang pantes ngedapetin kamu." sambungnya miris, namun terdengar tegas. Begitu penuh keyakinan bahwa memang lelaki terbaik untuk gadis sebaik Ify adalah Rio, rivalnya.

Laju airmata Ify makin tak terkendali, meskipun tanpa isakan. Tak tahu harus berkata apa, Ify hanya mampu terdiam dan membiarkan air matanya mengalir sebagai pengganti ungkapan hatinya.
Dengan sedikit ragu, Gabriel merengkuh Ify kedalam pelukannya. Tanpa berkata manis untuk menghentikan tangis gadis itu. Cukup dengan sentuhan lembut penuh kasih sayang, ia mampu menenangkan kekalutan hati Ify.

Sejujurnya, tak sedikitpun rasa itu tersimpan didalam hatinya. Karena sudah sejak lama kekosongan hati ‎yang dulu sempat diisi oleh Gabriel, mulai diisi sang penghuni baru yang secara fisik sangat mirip dengan pria jangkung tersebut.
Namun, malam ini Gabriel membuatnya harus merasa bersalah karena mendengar jeritan hati pria tersebut. Jeritan yang terdengar tulus, dan mampu menyentuh hati siapa pun yang mendengarnya.

Gabriel melepaskan dekapannya, dan berganti mencengkram -lembut- pundak gadis cantik si pemilik hatinya.

"Fy," panggilnya, sedikit menunduk karena memang sang gadis yang ia sebutkan namanya tengah menatap fokus pada rerumputan hijau yang mulai berembun "bisa liat aku?" tanya nya terdengar memohon.

Dengan perlahan gadis itu mengangkat wajahnya. Masih terlihat jejak-jejak air mata yang membekas dikedua pipinya. Bahkan, kedua mata gadis tersebut terlihat memerah dengan sedikit kantung dibawah matanya.

"Maaf, aku selalu buat kamu nangis."

Sekuat tenaga, Ify berusaha menahan air matanya dan mulai mencoba membuka suara "kenapa mesti pergi besok?" tanya nya, mengabaikan permintaan maaf Gabriel.

"Karena memang, besok waktunya pindah."

"Kenapa gak seminggu lagi? Sebulan lagi? Nunggu kita lulus?" tanya Ify bertubi-tubi "kenapa harus besok?" sambungnya, mengulang pertanyaan yang sama.

"Aku nggak tau, Fy. Aku cuman ngikutin maunya mamah sama papah, dan aku nggak bisa seenaknya ngerubah apa yang sudah mereka tentukan."

Ify terdiam lagi, kedua tangannya memeluk tubuh mungilnya yang mulai merasakan dinginnya angin malam.

"Kamu masih sayang sama aku, Fy?" tanya Gabriel ragu.

Kalau boleh sedikit GR, Gabriel sempat merasa tersanjung saat Ify menghujaninya dengan pertanyaan 'kenapa' tadi. Karena, Ify terkesan tidak terima jika ia harus berpisah dengan Gabriel secepat itu. Tentu saja, ini hanyalah pemikiran yang juga bisa disebut pengharapan yang ada didalam hati Gabriel.
Namun sepertinya Gabriel harus menelan pahit kenyataan, saat dengan pelan -tapi tegas- gadis cantik didepannya saat ini menggelengkan kepalanya. Jelas lah sudah, jawabannya tak seperti yang Gabriel harapkan.

"Ak...aku--"

Ify tak enak hati. Pasalnya nada bicara Gabriel saat pria tersebut mengucapkan pertanyaan barusan terdengar bahagia, tentu saja menurut Ify.

Gabriel mendesah kecewa "hhhh..ya sudahlah," potongnya dengan seulas senyuman "aku tau kok, sayang kamu udah bukan buat aku lagi. Tapi..."

Ify menatap Gabriel yang masih saja menggantungkan kalimatnya. Membuat Ify semakin penasaran, dan takut kalau tebakan Gabriel tepat sasaran.

"Nggak jadi deh." Gabriel mengubah posisinya yang semula berhadapan dengan Ify menjadi disebelah gadis manis tersebut.

"Kok nggak jadi?"

Sedikit melirik jam tangannya, Gabriel menjawab "udah malem, aku anter kamu balik aja yah. Ntar Cakka bisa ngamuk 7 hari 7 malem kalau kamu gak balik-balik, apalagi kalau dia tau kamu perginya sama aku." ajaknya diiringi tawa kecil diakhir kalimatnya.

Dengan mau tak mau, rela tak rela Ify mengikuti langkah lebar Gabriel sambil terus memeluk tubuhnya.

Gabriel menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Ify yang berjalan dua langkah dibelakangnya "lelet deh, Fy." ucapnya, tanpa ragu tangan kanannya mendekap tubuh Ify dari samping.

Dengan sedikit terkejut, Ify mengangkat wajahnya dan mendapati senyuman manis terukir diwajah -yang juga- manis tersebut "kedinginankan? Jadi gak papa dong." ucap Gabriel, jahil.

Ify mendengus, ingin menolak tapi enggan. Karena tak dapat dipungkiri, sedikit demi sedikit 'kedinginan' itu berubah menjadi 'kehangatan' saat lengan kokoh Gabriel melingkari bahunya.

"Makasih." ucap Ify pelan, dengan wajah menunduk. Gabriel tak menjawab, ia hanya menganggukan kepalanya dengan sebuah senyum kelegaan yang terus menempel dibibirnya.
.....

Oliv berjalan tak semangat sambil mendekap erat tumpukan buku berbungkus plastik hitam, yang baru saja dibelinya. Dengan ekor matanya, ia memperhatikan pria gondrong yang sedang hanyut dengan alunan musik -yang-berasal-dari-ipod-yang-tersimpan-disaku-jeans-pria-tersebut-, disebelahnya. Ray. Sesekali Ray menganggukkan atau menggelengkan kepalanya, membuat rambut gondrong yang sering menjadi penyebab orang-orang menyebutnya wanita itu bergerak kesana kemari.

'Terlalu menghayati.' bathin Oliv, sambil menggeleng kecil.

Hufftttt..Oliv membuang nafas dengan keras. Pria itu memang sempurna. Wajahnya tampan, baik hati, ramah, lucu. Dan satu hal lagi yang selalu mampu membuat Oliv tersipu malu, senyumnya. Manis dan terlihat menggemaskan, sehingga tanpa diminta pun kedua rona merah akan menyembul dibalik pipi chubby milik Oliv ketika pria tersebut tersenyum kepadanya.
Membayangkannya saja, Oliv jadi malu.

Refleks, gadis berambut sebahu itu menggelengkan kepalanya guna menghilangkan bayangan senyuman manis Ray yang hampir saja membuatnya kehilangan konsentrasi berjalan.
Entah mengapa, saat-saat berjalan kaki sekarang, terasa lebih menyenangkan bagi Oliv. Mungkin karena Ray yang berjalan disisinya saat ini. Apalagi matahari senja mulai digantikan tugasnya oleh rembulan terang yang dikelilingi beribu-ribu bintang diangkasa sana. Membuat suasananya terkesan -ekhem- romantis, pikir Oliv yang mengarahkan pandangannya ke langit luas.

'Kapan...Ray nembak gue? Berasa digantungin gue.' Oliv membathin dalam hati.

Bukan tanpa alasan. Suatu hal yang wajar jika ia mempertanyakan hal tersebut. Karena sikap Ray selama ini memang menunjukkan kalau ada 'sesuatu' yang membuat pria gondrong itu bertingkah berbeda, didepan Oliv. Selain itu, pendapat Nova yang baru beberapa minggu ini menjalin hubungan dengan Lintar juga mengatakan hal demikian.

"Gue yakin 100 % kalau Ray itu suka sama lo, Liv!" seru Nova semangat. Siang itu, ia sedang mengerjakan tugas hariannya bersama Oliv dirumah gadis berambut sebahu tersebut.

Oliv mengelak meski dalam hati ia mengamini ucapan sahabatnya tadi "apaan sih lo, Nov. Ya gak mungkinlah, buktinya dia gak nembak gue kan?"

"Belum waktunya, Liv. Semua kan butuh proses." Lintar menambahkan. Semakin membuat Oliv merasa tersudut dalam perasaan 'terbang'. Berharap apa ‎yang dikatakan Lintar dan Nova benar adanya. Ya, kalaupun tidak benar setidaknya itu sudah menjadi doa yang ia harap akan dikabulkan.

"Liv, Liv!!" Ray berseru keras dengan tangan kanan melambai-lambai didepan wajah Oliv. Ia sedikit terkejut saat mendapati Oliv yang tengah menatap serius ke arahnya "hello...Oliv!!"

Oliv tersadar "eh, kenapa Ray? Ada sesuatu yang-"

Ray tertawa lucu, membuat ucapan Oliv terhenti sejenak "elo kenapa deh, Liv? Mandangin gue nya gitu banget. Baru nyadar gue ganteng?" tanya Ray bercanda, sambil mengibaskan sedikit rambut gondrongnya "atau karena gue makin keren?" tambahnya, dengan kedua tangan yang kompak mengangkat kerah bajunya.

Oliv tertawa kecil, kemudian meninju pelan bahu pria narsis didepannya itu. Sedangkan yang menjadi sasaran, hanya berpura-pura meringis dengan kedua mata setengah terpejam.

"Apaan sih, Ray. Ada-ada aja."

"Daripada aja-aja ada."

Oliv menggeleng kecil. Kemudian matanya membulat saat melihat bangunan yang agak asing dihadapannya "loh, kita dimana nih? Kok bukan rumah gue?" tanya nya dengan kening berkerut.

Ray memasang tampang berpikir. Ia menatap serius bangunan dihadapannya. Dengan tangan kiri tersimpan didepan perut, dan tangan kanan -yang bertopang pada tangan kiri- yang mengelus lembut ujung dagunya.

"Hemmm, dimana yah?" gumamnya.

Oliv menyipitkan kedua matanya, menatap Ray dengan serius. Masa' iya, Ray tidak tahu dimana mereka sekarang? Bukankah pria itu yang menuntunnya kemari?

"Jangan bercanda deh, Ray! Gak lucu!" sahut Oliv ketus. Semilir angin yang berdisir disekeliling mereka sukses membuat bulu kuduk Oliv merinding. Apalagi setelah ia perhatikan, kawasan tempatnya berada saat ini tergolong sepi. Selain itu, bangunan dihadapannya saat ini terlihat gelap. Sedangkan disisi kanan dan kiri rumah ini hanya diitumbuhi pohon-pohon besar yang semakin menimbulkan kesan 'angker' dalam benak Oliv.

"Ray, balik yuk." ajak Oliv seraya menarik paksa lengan kiri Ray.

Ray menatap Oliv sekilas, kemudian dengan sekali gerakan ia melepaskan tarikan Oliv di lengannya.

"Lo mau diem disini? Atau ikut gue masuk ke dalam?" tanya nya acuh.

Dan lagi-lagi itu membuat hawa menakutkan itu muncul, bagi Oliv. Melihat perubahan sikap Ray yang tiba-tiba aneh, membuat Oliv berpikir 'jangan-jangan ni rumah beneran angker. Terus ada hantunya. Terus Ray dirasukin sama hantu-hantu disini'.

Oliv menelan ludah. Jika prediksinya benar terjadi, ia tidak tahu apa yang akan ia alami setelah ini.

'Huaaa mamaaa! Oliv takut. Tuhan, Oliv harus ngapain?!' Oliv menjerit dalam hati, ia semakin memeluk erat bungkusan plastik hitam ditangannya.

"Yaelahh, malah ngelamun. Ikut nggak?!" tanya Ray lagi, kali ini dengan sedikit berteriak. Dengan enggan Oliv mengangguk dan mulai berjalan takut-takut mengikuti Ray.

Sreek..sreekk
Berulang kali suara gesekan dedaunan yang tertiup angin itu menyapa kedua indera pendengaran Oliv. Gadis itu menggigit kecil bibir bawahnya, berharap lelucon yang sedang dibuat Ray kali ini akan segera berakhir.

Krieetttt...
Suara pintu yang didorong pelan oleh Ray menyambut kedatangannya bersama gadis berambut sebahu yang sedari tadi menahan takut. Penerangan yang sedikit remang-remang semakin membuat suasana rumah kosong ini menjadi lebih horor. Ray yang berdiri memunggungi Oliv, diam-diam mulai menahan tawa. Sepertinya, rencana yang telah disusunnya malam ini akan berjalan lancar, sukses, mulus tanpa hambatan. Semoga saja, harap Ray dalam hati.

"Ray, ini rumah siapa sih?" tanya Oliv nyaris tanpa suara, Ray menoleh sekilas kemudian kembali meluruskan pandangannya dan membawa kedua kakinya melangkah entah kemana.
Dalam hati, Oliv bersungut-sungut kesal. Ia sudah cukup merinding dengan semua yang dialaminya malam ini.

"Eummm Liv, gue--"

Sreettt..
Oliv yang memahami gelagat Ray, yang sepertinya hendak pergi segera menahan lengan pria gondrong tersebut. Dengan tatapan memelas, Oliv meminta Ray untuk tidak meninggalkannya sendiri, ditempat itu.

"Gak boleh pergi!" pinta Oliv dengan nada melarang.

Ray meringis menahan HIP (Hasrat Ingin Pipis) yang melandanya "aduhh, Liv. Beneran deh, gue gak tahan. Lo tunggu disini, gue bakalan segera balik. Okay." pesannya terburu-buru. Kemudian tanpa menunggu respon dari Oliv, Ray segera berlalu entah kemana.

Klikk..bunyi saklar yang ditekan, diiringi dengan padamnya lampu remang-remang yang memberi pencahayaan diruangan tempat Oliv menunggu Ray, membuat gadis itu semakin takut. Ia meringkuk ditempatnya, kedua tangannya melingkari lututnya yang masih memangku plastik hitam yang sedari tadi dibawanya.

Hiks..hikss
Oliv mulai terisak, sekuat tenaga ia menahan agar isakannya tak menggema diruangan tersebut. Ia takut, isakannya akan terdengar berisik dan mengganggu 'penghuni' lain yang mungkin sedang berisitirahat.
.....

"Eumm, makasih ya Ko, lo udah mau nganterin gue balik." ucap Shilla tulus. Kini keduanya telah duduk santai diteras depan rumah Shilla.

Riko mengangguk kecil disertai sebuah senyuman termanis miliknya.
Dalam hati, pria ini sedang mempertimbangkan sesuatu yang ia rasa perlu diungkapkannya sekarang. Namun ia sedikit ragu, apa tidak terlalu cepat?

"Ko..Ko!" seru Shilla sambil menepuk pelan pundak Riko "elo, kenapa?" tanya nya agak khawatir.

Riko menggeleng cepat "enggak kok, enggak papa. Eumm elo kalau mau masuk, silahkan."

Shilla menggaruk-garuk keningnya "e..elo kan masih disini, masa' gue tinggal masuk sih. Kan gak enak."

"Udah masuk aja, nggak papa. Gue cuman mau mastiin elo bener-bener gue anter sampe rumah, dengan selamat." ucapnya kembali tersenyum.

Shilla meringis. Jujur saja, gadis ini sedang mengharapkan serangkaian kalimat yang tersusun manis akan meluncur mulus dari mulut Riko. Tapi, sepertinya ia harus bersabar. Mungkin belum waktunya.

"Hhhh, ya udah. Gue masuk, yah." pamitnya agak enggan.

Riko bergeming. Ia menatap Shilla yang mulai memunggunginya dengan bingung. Hatinya masih terus berperang menimbang-nimbang sesuatu.
Sedangkan Shilla sendiri sengaja bergerak pelan, saat beranjak meninggalkan Riko. Entah mengapa gadis ini masih berharap hal itu akan terjadi.

'Ayolah Tuhan, please.' harap Shilla dengan kedua mata terpejam. Ia menghembuskan nafas sejenak, kemudian membuka kedua matanya. Sepertinya memang bukan malam ini. Dengan pasti, Shilla menggerakkan tangan untuk membuka pintu.

"Shill.." bertepatan dengan itu, suara Riko kembali terdengar. Menahan tangan Shilla yang sudah menyentuh handle pintu.

Shilla tersenyum sumringah, dengan menahan gejolak didadanya gadis itu berbalik menatap Riko "ya?"

Riko memainkan kesepuluh jarinya yang saling berkaitan. Rasa gugup perlahan menyelimuti dirinya, tapi semua sudah terlanjur lebih baik diselesaikan, kan?

Ia menghirup nafas perlahan, mencoba membuang rasa nervous yang ada "gue..gue mau bilang kalau gue.."

'Aaaaa..Riko mau nembak gue, please bilang kalau lo sayang gue, please.' bisiknya dalam hati, dengan sedikit narsis. Ia mulai harap-harap cemas sekarang.

Bukannya meneruskan ucapannya, Riko malah sibuk menggaruk-garuk tengkuknya. Ia sendiri bingung harus memulai darimana.

"E..elo kenapa, Ko?"

Okay, harus sekarang. Riko berseru mantap dalam hati, setelah sekian menit menahan sambungan kalimatnya yang menggantung. Dengan gontai, ia melangkah mendekati Shilla, diraihnya kelima jemari kanan Shilla, kemudian menggenggamnya lembut.
Membuat gadis itu secara serta merta mengangkat wajahnya yang menunduk, seirama gerakan tangan Riko yang perlahan mengangkat tangannya yang masih berada dalam genggaman hangat pria tersebut.

"Shill.." panggil Riko lagi, Shilla mengalihkan kedua bola matanya menatap Riko.

"Eummm, ya."

"Elo..pasti elo belum lupa, kalau gue..gue pernah suka, sayang dan cinta sama lo," Riko kembali menghela nafas "jujur, setelah berhari-hari gue berusaha ngehindarin elo, ngebuang semua perasaan gue buat lo, gue..bukannya bisa ngelupain elo malah gue semakin hari semakin kebayang-bayang terus sama lo."

Shilla menggigit kecil bibir dalamnya "em maksud lo..apa?" tanya Shilla seolah tak mengerti.

"Gue gak pandai berkata-kata, Shill. Intinya, gue mau bilang kalau semua rasa yang pernah ada buat lo, masih bertahan hingga detik ini. Malah kayaknya semakin besar," jelas Riko dengan volume suara yang lebih kecil, namun kedua telinga Shilla mampu menangkap dengan baik untaian kalimat yang baru saja tercetus dari mulut pria tersebut.

"Em, sebenernya gue--"

Riko segera memotong ucapan Shilla yang terdengar ragu "Gue nggak masalah kok, kalau seandainya elo masih gak bisa ngebuka hati lo buat gue. Tapi gue berharap, lo mau mencoba untuk itu."

Shilla menggeleng kecil. Membuat Riko berpikir, menggeleng karena gadis itu akan mencoba membuka hati untuknya? Atau menggeleng karena gadis itu tetap pada pendiriannya dulu, tidak akan menerima Riko.

"Justru, kayaknya gue harus nerima lo, Ko kalau elo minta gue buat mencoba ngebuka hati buat lo." ucap Shilla malu.

Riko tercengang tak percaya. Yang diucapkan Shilla barusan itu maksudnya..dia menerima Riko, kan?

"Ja..jadi maksud lo?"

Shilla tersenyum malu "ya, kita eumm jadi..an, kan?"

Riko mengangguk-angguk dengan semangat, sedetik kemudian ia terdiam dan menatap tajam gadis cantik dihadapannya saat ini, Shilla.

"Emang tadi aku nembak kamu, ya?" tanya nya polos, dengan ber-aku-kamu.

Shilla tersipu malu, tangan kanannya lantas mendorong pelan pundak kekasih barunya tersebut "Riko...apaan sih, jadi kamu gak mau aku jadi pacar kamu?" tanya nya, dengan nada bicara seolah-olah kesal. Ia menggembungkan kedua pipinya, yang tentu saja membuat Riko menjadi gemas. Dan tanpa permisi, pria tersebut mencubit mesra kedua pipi kekasihnya tersebut.

"Lucu banget ci kamu." ujarnya gemas.

"Ya udah, pulang sana."

"Ngusir?"

"Nggak."

"Buktinya?"

Shilla berdecak kecil "ihhh, ini udah malem Riko, besok sekolah. Pulang sana." usir Shilla, halus.

Riko tersenyum, kemudian membelai lembut rambut panjang Shilla "ya udah, aku pulang ya. Assalamu'alaikum." pamit Riko kemudian.

Shilla mengangguk "Wa'alaikumsalam." desisnya pelan. Gadis itu mengantarkan kepulangan sang pemilik hatinya dengan seulas senyum bahagia yang tercipta manis dikedua bibirnya.

'Terimakasih, Tuhan.' bisiknya lembut.
.....

Oliv masih tersudut dalam tangisnya, diruangan gelap tempat Ray meninggalkannya tadi. Ia masih belum merasakan tanda-tanda kehadiran pria gondrong tersebut. Takut-takut, Oliv mengangkat kepalanya, diusapnya lelehan air mata yang membasahi kedua pipinya. Ia meneliti keadaan disekelilingnya yang nampak gelap, namun tiba-tiba..secercah cahaya bersinar disalah satu sudut ruangan, disusul dengan tiga orang berjubah putih yang masing-masing memegang lilin ditangan mereka. Oliv menahan nafas, ia masih saja berpikir kalau ada 'makhluk lain' disini. Dengan nafas yang mulai terengah-engah -karena ketakutan-, gadis berambut pendek tersebut berjalan mundur hingga menabrak tembok putih yang nampak retak.

Tak tahu harus berbuat apa, Oliv akhirnya pasrah. Memejamkan kedua matanya dan berdoa dalam hati semoga semua ini hanya mimpi buruk baginya.
Sedetik..semenit, hingga -kurang lebih- 5 menit kemudian Oliv tidak merasakan suatu hal buruk terjadi padanya. Namun ia masih bisa merasakan hawa kehadiran, ketiga makhluk berjubah putih yang memegang lilin tadi, berada mengelilinginya.

"Ka..kalian mau apa?" tanya nya takut-takut. Tak ada jawaban, Oliv nyaris terisak. Namun detik berikutnya, gadis ini memilih untuk membuka kedua kelopak matanya, dan...
.....

Krikil-krikil kecil tak berdosa itu menjadi sasaran kegundahan hati Rio. Sejak tadi, pemuda tersebut tak bisa diam. Ia bergerak kesana kemari dengan gelisah. Masih menunggu Ify, didepan gerbang rumah gadis tersebut. Entah apa yang membuat Rio melangkahkan kakinya kemari. Yang ia inginkan saat ini adalah bisa melihat Ify, dan memastikan keadaan gadis tersebut baik-baik saja.

"Aduhhh, si Ify kemana lagi? Jalan ama Gabriel kali, ya. Tapi kemana? Lama banget sih." keluhnya tanpa henti. Ia menatap kembali jarum panjang dan pendek dalam arloji hitam miliknya.

"Sial! Udah lebih dari sejam nih, gue kayak orang gila gak jelas disini." rutuknya lagi.

Tekk..untuk kesekian kalinya, Rio menendang krikil dihadapannya. Hingga sebuah cahaya lampu mobil menyilaukan matanya. Sebentar, sepertinya Rio mengenali mobil tersebut. Ia memicingkan kedua matanya, berusaha menangkap seseorang yang berada dibelakang stir mobil tersebut.
Rio mendengus kesal, ditahannya amarah yang mulai menguasai jiwanya.

Okay, Rio. Stay cool, and keep your mouth. Jangan meledak sekarang, karena kalau nggak semuanya akan kacau.
Ditepisnya semua kekesalan yang menyelimuti hatinya. Masih dengan tenang, ia menanti gadis manis dikursi penumpang depan mobil tersebut keluar dari Grand Livina hitam yang menepi di depan rumah tetangga gadis tersebut.
....

"Stop..stop..stop!" pinta Ify, cepat.

Gabriel yang mendengar ucapan -yang lebih- terkesan memerintah dari mulut Ify, segera menepikan mobilnya didepan rumah tetangga gadis tersebut. Pria itu mendengus, kan tinggal satu rumah lagi, kenapa pake minta berhenti. Bathinnya dongkol.

"Kenapa, Fy? Maju sedikit kan udah rumah kamu."

Ify memutar kedua bola matanya dengan kesal "denger yah, dirumah gue ada Cakka. Dan gue, nggak mau terjadi keributan diistana gue." jelasnya. Sepertinya Ify sudah mulai kembali seperti sedia kala.

Gabriel mengangguk pasrah "ya, okay."

Keduanya terdiam, entah atas dasar apa Ify malah tidak keluar-keluar dari kendaraan roda empat tersebut. Seperti ada sesuatu yang menahannya, dan memintanya untuk tetap dimobil tersebut, meski hanya beberapa saat. Dan benar saja, setelah beberapa menit dalam kesunyian, akhirnya Gabriel membuka mulut.

"Sampein maaf aku buat Cakka ya, Fy," pintanya, Ify menoleh sekilas kemudian mengangguk "buat Rio...juga." sambungnya.

Ify kembali diam, tidak tahu harus memberikan respon apa.

"Hari ini..meskipun, aku belum bisa ngerebut hati kamu lagi..aku udah seneng kok karena kamu udah mau nemenin aku."

"Sama-sama, Gab."

Gabriel kembali menatap Ify. Separuh hatinya masih begitu enggan meninggalkan Jakarta, dan tentu saja gadis disampingnya saat ini. Entah untuk keberapa kalinya, Gabriel menggenggam lembut jemari Ify.

"Fy," panggilnya, Ify mencoba menatap kedua bola mata sendu milik Gabriel. Gabriel sendiri mulai memfokuskan kedua manik hitamnya disatu titik, bola mata Ify.

"Makasih udah pernah ngisi hari-hari gue selama gue di Jakarta. Dan..makasih buat perpisahan terindah hari ini." lanjutnya berat.

Ify menggaruk-garuk lehernya, bingung juga bagaimana harus membalas penuturan Gabriel.

"Eumm, iya..sama-sama, Gab."

Gabriel tersenyum samar, ia melepaskan genggamannya dan menyentuh handle pintu mobilnya untuk keluar. Setengah berlari Gabriel menuju pintu penumpang disebelahnya yang juga sedang dibuka Ify.
Keduanya kembali terdiam, semilir angin malam segera menyapa lembut helai demi helai rambut Ify saat gadis itu keluar dari kendaraan roda 4 milik Gabriel. Bagaikan sebuah sinetron, terbangnya anak rambut Ify yang tertiup angin membuat Gabriel terpesona sesaat.

Ia menghembuskan nafasnya perlahan, kemudian berusaha mengukir senyum perpisahan semanis mungkin. Detik berikutnya, secara pelan tapi pasti Gabriel melangkah mendekati Ify. Memeluk gadis manis tersebut untuk yang terakhir kalinya. Ify bergeming, membiarkan aroma tubuhnya membaur dengan bau khas 'cinta monyet' nya dulu. Dan tetap diteman semilir angin malam yang berhembus, keduanya terhanyut dalam pelukan terakhir beberapa menit.

"Eumm..kamu bener mau aku anter sampe sini aja, Fy?" tanya Gabriel setelah melepaskan pelukannya.

Ify mengangguk mantap "iya, emang lo siap bonyok apa?" jawabnya setengah bercanda, kemudian kepalanya bergerak mengamati rumah disebelahnya, yang tak lain adalah rumahnya sendiri.
Kedua bola matanya melebar saat menangkap sosok pria jangkung yang sangat dikenalnya, buru-buru membuang muka saat wajah Ify menghadapnya.
Gabriel yang merasakan perubahan raut wajah Ify, ikut memperhatikan fokus objek Ify saat ini. Ia ikut tersentak kaget melihatnya, dengan cepat ia menepuk pundak Ify, berusaha menenangkan kegelisahan gadis tersebut ‎yang juga mulai ia rasakan.

"Tenang, Fy. Biar aku temuin dia dulu." ucap Gabriel berusaha setenang mungkin.

Ify meraih pergelangan tangan Gabriel, menahan langkah kaki pria tersebut yang sudah selangkah didepannya.

"Jangan, Gab. Gue nggak mau lo berdua ribut. Biar gue aja yang nemuin dia."

Gabriel menggeleng pelan, disingkirikannya tangan Ify yang mencengkram halus pergelangan tangannya "jangan khawatir, janji deh aku nggak bakal berantem sama dia." janji Gabriel, meyakinkan Ify.

Dengan setengah hati, Ify merelakan Gabriel yang mulai melangkah menjauhinya.
.....

"Happy birthday Oliv..happy birthday Oliv..happy birthday, happy birthday, happy birthday Oliv..."

Senandung itu terdengar begitu saja saat Oliv berusaha membuka kedua matanya perlahan. Didepannya sudah berdiri tiga anak manusia berjubah putih yang masing-masing masih memegang lilin ditangan mereka. Oliv menatapi wajah ketiga manusia didepannya itu satu persatu, sedikit terkejut saat mengetahui bahwa ketiga orang tersebut sudah sangat dikenalnya. Agni, Nova dan Lintar.
Matanya kembali berair, dengan kesal ia memarahi ketiga orang yang nyaris membuatnya mati ketakutan. Sedangkan yang dimarahi hanya berpura-pura meringis kesakitan, saat tubuh mereka dihujani pukulan tanpa ampun dari Oliv. Gadis itu menggunakan buku-buku berbungkus plastik hitam yang ia beli tadi sebagai senjatanya.

"Kalian jahat banget sih, gue bener-bener shock dan hampir mati ditempat gara-gara kalian!" protesnya kesal. Ketiganya terkikik pelan.

"Sorry deh, kita mah ikut kata komandan, Liv," Nova membela diri "ya kan, Lint?" sambungnya meminta persetujuan Lintar, yang disambut anggukan semangat dari pria hitam manis tersebut.

Oliv mendelik ke arah Agni. Dengan cepat kekasih Cakka itu membentuk kedua jari -telunjuk dan tengah- nya menjadi huruf 'V'.

"Demi Tuhan, Liv! Gue sama kayak mereka," jawab Agni cepat sambil melirik Nova dan Lintar secara bergantian "cuman bawahan." sambungnya.

Oliv berdecak tak percaya. Namun detik berikutnya, ia merasa perlu mempercayai perkataan Agni ketika teringat kurangnya kehadiran satu orang lagi di antara mereka. Tapi, masa' iya Ray?

"Tiup ini dulu dong, Liv!" perintah Nova yang mulai mengaduh kepanasan, sambil menyodorkan sebatang lilin ditangannya. Agni dan Lintar ikut menyodorkan lilin ditangan mereka.

"Iya, udah panas banget nih." sambung Lintar.

"Make a wish dulu." sela Agni saat Oliv hendak meniup ketiga lilin tersebut.

Oliv menutup kedua matanya, mengucapkan harapan demi harapan yang ia punya dan secara perlahan meniup ketiga lilin dihadapannya.
Sebuah senyuman manis terukir dibibirnya, selepas itu. Ia menatap penuh terima kasih pada ketiga orang terdekatnya tersebut. Namun beberapa saat kemudian, kening Oliv mengerut diiringi kedua alis yang mulai bertaut. Masa' kejutannya cuma disuruh niup 3 batang lilin? Biasanya kan dikasih kue ulang tahun ‎yang pake lilin?

"Kok--"

"Elo bingung sama 3 lilin ini ya, Liv?" tanya Nova saat menyadari raut kebingungan Oliv. Oliv hanya mengangguk kecil "jelasin kak!" suruh Nova pada Agni.

Agni berdehem sebentar "ehem..ehem, okay jadi gini..3 lilin ini melambangkan sesosok manusia yang kita sebut komandan tadi." jelas Agni singkat. Ia menatap Lintar, yang disambut dengan sebuah anggukan dari pria tersebut.

"3 untuk sebuah nama panggilan 'dia' yang terjalin dari 3 huruf." sambung Lintar, ia berbalik menatap Nova. Persis seperti Lintar, Nova mengangguk sebagai jawaban dari tatapan Lintar.

"3 untuk singkatan sebuah kalimat yang pengen 'dia' ucapin." sambung Nova.

Agni, Nova dan Lintar saling melempat pandang, kemudian tersenyum aneh, setidaknya itu menurut Oliv.

"Dan 3 untuk semua singkatan perasaan dari 'dia' buat lo!" seru ketiganya bersamaan. Oliv refleks menutup kedua kupingnya rapat-rapat. Ini terlalu mengejutkannya. Ia berpikir sejenak.
Sampai pada akhirnya, suara halus dari petikan gitar diruangan ini menyapa indera pendengarannya. Membuat fokus berpikirnya menjadi hilang, dan beralih mencari sumber suara yang tiba-tiba memaksanya untuk mendengar.

Sangat mengejutkan, melihat Ray tiba-tiba saja menyanyikan sebuah lagu dengan diiringi petikan gitar dari Cakka. Pria gondrong itu menyanyikan lagu 'aku jatuh cinta' dari roulette dengan penuh penghayatan. Tiap lirik dari lagu tersebut sangat menceritakan isi hatinya saat ini, apa yang ingin diungkapkannya selama ini akan segera tersampaikan melalui senandungnya malam ini.
Masih terus bernyanyi, Ray berjalan menghampiri Oliv, gadis pujaan hatinya.

Coba-coba dengarkan apa yang ingin aku katakan
Yang selama ini sungguh, telah lama ku pendam
Aku tak percaya membuatku tak berdaya
Tuk ungkapkan apa yang ku rasa

Ia menyerahkan setangkai mawar merah yang berasal dari sakunya. Dengan gemetar, Oliv menerima pemberian Ray tersebut.

Aku jatuh cinta kepada dirinya
Sungguh-sungguh cinta oh apa adanya
Tak pernah ku ragu namun tetap s'lalu menunggu
Sungguh aku..jatuh cinta kepadanya

Ray menghentikan nyanyiannya, ia berbalik meninggalkan Oliv. Membuat Oliv menatap punggung pria tersebut dengan ternganga, heran. Menit berikutnya, Ray kembali dengan sebuah kue tart yang dihiasi sebuah lilin. Ia menyodorkannya dihadapan Oliv. Oliv menatap tak mengerti pada tart tersebut, kemudian melirik Ray sekilas untuk meminta penjelasan.

"Tiup lilinnya." suruh Ray pelan. Oliv mengangguk, ia kembali mengulang mike a wish yang masih sama seperti tadi. Setelah selesai, ia meniup sebatang lilin tersebut. Dalam sekejap, lampu-lampu diruangan tersebut mulai menyala.

Dengan malu-malu, Ray menggenggam lembut tangan kanan Oliv. Dan menatap dalam kedua manik mata dibalik kaca mata minus gadis tersebut.

"Ekhem.."

Cakka berdehem keras, membuat semua pasang mata menatapnya kesal. Adegan romantis yang baru akan terjadi dirusak Cakka dengan sebuah suara tak penting bagi mereka. Ditatap sesadis itu, Cakka hanya mampu menyeringai lebar sambil mengangguk takjim. Seolah meminta maaf atas keributan -yang sebenarnya hanya suara kecil- yang diperbuatnya.

"Lanjutkan Ray!" ceplos Lintar tanpa sadar, Ray melirik Lintar. Sedangkan Lintar meringis kecil saat kedua jari Nova mengapit kecil kulit tangannya, mencubit.

"Ganggu deh lo, Lint." desis Agni pelan.

Ray kembali fokus pada Oliv. Menggenggam jemari gadis tersebut dengan lebih halus, dan menatap kedua bola matanya dengan lembut.

"3 untuk sebuah nama panggilan 'dia' yang terjalin dari 3 huruf itu adalah aku. Ray dari R-A-Y," ucap Ray setengah gugup "3 untuk singkatan sebuah kalimat yang pengen 'dia' ucapin itu adalah..ekhem," Ray berdehem untuk mengurangi rasa deg-deg-annya "I L Y yang artinya, I Love You."

Ray bisa sedikit bernafas lega. Tinggal satu kalimat lagi "dan terakhir..Dan 3 untuk semua singkatan perasaan dari 'dia' buat lo itu adalah I L Y, I M Y, I N Y, yang aku yakin tanpa perlu aku jabarkan pun kamu udah tau kan, kepanjangannya?" Oliv mengangguk tanpa sadar.

"Jadi, apa kamu bersedia..eumm kalau aku minta kamu buat jadi..pa..pacar, aku?"

Oliv menatap Ray kaget. Ini kan yang sudah ia tunggu-tunggu?
Dan malam ini, semua penantiannya terjawab. Ia melirik ke arah 3 anak manusia yang menatap serius padanya dan Ray. Seolah meminta pendapat, ya meksipun gadis ini sesungguhnya sudah memiliki jawaban sendiri. Jawaban yang telah ia persiapkan sejak lama.

Agni, Nova dan Lintar segera mengangguk semangat saat Oliv melirik ke arah mereka. Ketiganya tahu, akan maksud dari tatapan adik Cakka tersebut.
Oliv sedikit menghembuskan nafas, ia kemudian mengarahkan pandangannya pada sosok pria berambut harajuku yang malah asyik memainkan gitar dipangkuannya.

"Kalau emang suka ya terima aja," ucap Cakka yang mampu menangkap tatapan meminta jawaban dari Oliv, melalui ekor matanya "selagi lo yakin Ray nggak akan pernah nyakitin lo." sambungnya.
Dan plukkk..sebatang lilin mengenai kepala Cakka, pelakunya siapa lagi kalau bukan Agni.

"Yee, kamu pikir Ray playboy kayak kamu apa?!" Agni sewot juga mendengar ucapan terakhir Cakka, yang terkesan meragukan kesetiaan adiknya.

Cakka meringis pelan "yaelah Ag, maaf. Aku kan bercanda, ya kan, Ray?"

Ray mengendikkan kedua bahunya acuh. Yang terpenting baginya saat ini adalah, Oliv segera menjawab permintaannya. Meskipun Ray tahu pasti bagaimana perasaan Oliv terhadapnya, ia tetap cemas, agak takut kalau-kalau Oliv malah menolaknya.

"Jadi, Liv?"

Oliv mengangguk samar dalam keadaan kepala tertunduk. Hanya Ray yang melihat gerakan halus tersebut. Yang lain tak dapat melihat karena gerakan kepala Oliv saat itu terhalang oleh kepala Ray yang dihiasi rambut gondrong andalannya.

"Serius, Liv?" tanya Ray, meminta kepastian sekali lagi. Yang lagi-lagi hanya dijawab dengan anggukan kecil, serta senyum terkulum dibibir gadis berambut sebahu tersebut.

Dibelakang mereka, 4 anak manusia yang sempat menegang menanti jawaban Oliv mulai berbisik-bisik. Bagaimana tidak? Oliv sama sekali tak bersuara. Yang mereka dengar hanya dua kalimat bertanya dari Ray 'Jadi, Liv?' dan 'Serius, Liv?' Itu semua maksudnya apa sih?
Detik berikutnya mereka kembali terheran-heran saat melihat Ray yang dengan gerakan cepat merengkuh tubuh Oliv kedalam pelukannya. Tapi, tanpa sadar mereka justru bertepuk tangan dan mulai mengeluarkan seruan-seruan menggoda keduanya.

"Kak Ify mana?" tanya Oliv mengalihkan perhatian.

Semua mengangkat bahu, tak tahu kemana perginya gadis tersebut.

"Dari sore dia pergi, Liv." ujar Cakka, ia meletakkan gitar dipangkuannya disebuah meja tempat Ray meletakkan kue ulang tahun Oliv.

Oliv sedikit murung, kecewa juga dengan ketidak hadiran Ify disini. Apa iya Ify melupakan hari ulang tahunnya?
Melihat itu Agni berjalan mendekatinya. Diusapnya pundak Oliv, lembut.

"Dia pasti inget, Liv. Lo jangan sedih gini." Agni berusaha menenangkan Oliv.

Cakka ikut mendekati Oliv "dia kayaknya lagi ada masalah sama Rio. Jadi lo ngertiin dia, yah?"

Oliv mengangguk disertai seulas senyum "iya, kak."
.....

Rio melengos ketika melihat adegan 'berpelukan' antara Gabriel dan Ify saat keduanya baru saja keluar dari grand livina hitam tersebut.
Ia benar-benar ingin melabrak Gabriel rasanya, tapi tentu saja Rio cukup sadar diri dengan statusnya yang tak lebih dari teman dengan Ify. Selain itu, bukan kah hubungan mereka sedang memburuk?
Dibuangnya seluruh emosi yang memenuhi rongga dadanya, bersama hembusan nafas yang keluar dari rongga hidungnya.

Ia langsung membuang muka saat kepala Ify bergerak memutar, dan berhenti tepat mengarah kepadanya.
Antara pergi dan tetap disini, akhirnya Rio memilih untuk tetap berdiri menantikan Ify yang ia harap akan segera mendekat menghampirinya.
Rio sedikit kecewa, saat melihat yang berjalan kearahnya bukanlah Ify, melainkan Gabriel. Ia menatap Gabriel sekilas, dengan sinis. Lalu membuang muka, dan memilih untuk menyenderkan tubuhnya pada pagar tinggi yang mengelilingi rumah Ify.

"Yo." sapa Gabriel sehalus mungkin, saat ia telah berdiri dihadapan Rio.

Rio melengos "Hemm, mau apa lo? Mau pamer buat kemenangan, lo? Atau minta gue ngucapin selamat karena keberhasilan, lo?" sahutnya sinis.

Gabriel mendengus kesal, tapi ia mencoba menahan diri karena janjinya terhadap Ify.

"Gue kesini bukan buat nyari masalah, atau pun memperpanjang masalah sama lo," ucapnya menghiraukan respon sinis Rio "justru..gue pengen memperbaiki semuanya, hubungan kita yang dulu." sambungnya sedikit ragu.

Rio menegakkan tubuhnya. Ditatapinya Gabriel dari atas ke bawah, dari bawah ke atas.

"Ini masuk dalam salah satu strategi lo, atau tulus dari hati lo?" tanya nya, sangsi.

Gabriel memutar kedua bola matanya dengan kesal "makanya, kalau gue ngomong tatap mata gue."

"Lo pikir gue maho?"

"Biar lo tau, kalau gue serius sama omongan gue."

Rio mulai tertarik dengan ucapan Gabriel. Ia pun mengikuti kemauan Gabriel, untuk menatap kedua bola mata pria tersebut.

"Nih, gue tatap mata lo," ucapnya dengan nada bicara yang masih kesal "jadi, sekarang apa mau lo?" sambungnya bertanya.

Gabriel mengulurkan tangan kanannya yang disambut dengan alis terangkat oleh Rio.

"Kita mulai semuanya dari awal, bro. Kayak dulu sebelum kita bersaing."

"Kenapa tiba-tiba lo pengen baikan sama gue?"

Gabriel menghela nafas sebentar. Ia bergerak melangkah kesamping Rio, dan mulai memposisikan tubuhnya dengan menyender pada pagar rumah Ify, seperti Rio tadi. Kedua tangannya tersimpan disaku jeansnya, dan salah satu kakinya ia tekuk setengah -keatas- menyentuh tembok.

"Elo tau? Dari sore gue menghabiskan waktu gue sama Ify," ucapnya.

Rio malah membathin dalam hati, tanpa lo kasih tau pun gue udah tau karena gue ngikutin lo berdua tau.

"Dan disitu kita..."

Gabriel mulai menceritakan kegiatannya bersama Ify sepanjang sore itu. Semua terasa membosankan ditelinga Rio, malah sangat membuat kesal hati pria tersebut. Namun ia tetap berdiri tenang, seolah-olah menyimak dengan baik semua curahan hati Gabriel saat itu. Padahal ia beberapa kali menanggapi dengan sinis semua celotehan Gabriel, tentu saja dalam hati.

"...dan gue mutusin buat mundur, karena besok gue bakal pergi ke Batam."

"Liburan?" tanya Rio malas.

"Pindah."

Rio terperangah mendengar jawaban singkat, satu kata itu.

"Serius? Apa bercanda, nih?"

"Kan udah gue bilang, kalau gue ngomong tatap mata gue!" seru Gabriel kesal. Jelas saja, sedari tadi Rio memang menanggapi dengan acuh semua cerita Gabriel. Malah Gabriel yakin pria disebelahnya ini membathin tidak suka tentang dirinya.

"Kan udah gue bilang, gue bukan maho." balas Rio tak mau kalah.

Gabriel jadi gemas sendiri dengan tingkah Rio kali ini. Tapi detik berikutnya ia terkaget-kaget saat tubuh Rio memeluknya erat, sampai-sampai tubuhnya hampir merosot ke dasar tanah.

"Eh..eh.."

Rio melepaskan pelukannya dan terkekeh pelan "sorry."

"Katanya nggak maho, tapi meluk gue sembarangan." sungut Gabriel sambil merapikan t-shirt nya yang sedikit berantakan. Sepertinya hawa permusuhan diantara keduanya mulai terhapuskan.

"Emm, jadi kita damai nih?" tanya Rio polos.

Gabriel melayangkan sebuah toyoran tanpa ragu ke kepala Rio "iyalah, gue udah berbesar hati buat minta maaf sama lo, lo pikir buat apaan?"

Rio tertawa kecil "sip. Terus, Ify?"

Gabriel menghadiahi Rio dengan tatapan menggoda "ya, gue sih maunya dia jadi milik gue."

"Enak aja, kan tadi lo bilang lo mau ngerelain dia buat gue."

"Ya elo, udah denger tadi gue ngomong begitu malah pake nanya lagi."

Rio mengulum senyum "eum jadi..elo mundur dan gue maju dong?" tanya Rio memastikan, Gabriel mengangguk acuh. Kemudian keduanya saling merangkul dan tertawa bersama. Membuat Ify ‎yang masih setia ditempatnya, menatap heran ke arah mereka.

Tap..tap..tap..derap langkah kaki mendekat membuat Rio dan Gabriel menghentikan tawa mereka. Masih dalam posisi saling merangkul, keduanya menoleh ke sumber suara dan mendapati Ify menatap penuh tanya pada mereka. Bukannya memberikan penjelasan, keduanya malah menyeringai lebar dan kembali mengeratkan rangkulan mereka. Seolah menegaskan kalau keduanya sudah berbaikan.

"Lo berdua, kesambet?"

"Apaan sih lo, Fy. Aneh banget, jelas-jelas kita lagi happy gini malah dibilang kesambet." sahut Rio diringi tawa kecil diakhir kalimatnya.

Ify mengerucutkan bibirnya melihat kedua pria tampan yang terlihat sedang menyembunyikan sesuatu darinya.

"Kan tadi udah aku bilang, Fy. Kalau aku gak bakalan berantem sama, Rio."

Ify mengangguk "iya sih."

Gabriel melepaskan rangkulannya pada bahu Rio. Kemudian bersiap pergi meninggalkan Rio dan Ify.

"Udah terlalu malem, pesawat gue berangkat pagi. Gue balik yah." pamit Gabriel.

Rio dan Ify saling pandang, kemudian tersenyum bersama "hati-hati." sahut keduanya bersamaan.

Gabriel mengulum senyum "kayaknya kalian berdua emang, jodoh." ucapnya setengah bercanda.
Tiba-tiba Gabriel melingkarkan kedua tangannya dibahu Rio dan Ify. Kemudian menepuk-nepuk pundak keduanya dengan pelan.

"Baik-baik yah. Gue mau pergi jauh nih," ujarnya menatap Rio "semoga kamu bahagia yah Fy, sama Rio." sambungnya dengan tatapan mengarah pada Ify. Ify hanya tersenyum kecil.

"Sekali lagi, pamit guys."

Setelah melepaskan rangkulannya, Gabriel melangkah pergi meninggalkan Ify bersama Rio. Rela tak rela semua memang harus terjadi. Walaupun ia mencintai Ify, rasanya akan lebih aman jika melepaskan gadis itu bersama Rio. Seseorang yang diyakininya sangat pantas untuk mendampingi Ify.

'Semoga ini yang terbaik, buat elo, gue dan Rio'


=====


Ekhem ekhem, sebelumnya gue minta maaf deh buat kengaretan gue yang ngepas selama 1 bulan (karena setelah gue check, gue ngepost part 22 waktu itu pas tanggal 9 juli :D)
Terus, sorry juga ya kalau part ini garing, kurang ngefeel dan yang paling jelas gak ada moment RiFynya. Tapi tapi..kalau ngeliat dari akhir part ini sih, kemungkinan besar part 24 nanti bakalan ada RiFynya. Jadi, maaf banget yaa buat para RFM dan semua yang minta RiFy tapi gak bisa dikabulin. Gue sengaja nongolin (?) Gabriel dipart ini karena gue pengen ngedeport dia duluan *BigBro kali dideport--'*. Kan gak lucu, kalau gakda angin gakda ujan tiba-tiba Gabrielnya ngilang.
Udah deh, kayaknya cukup cuap-cuapnya.
Seperti yang sebelumnya, makasih banyak buat semua yang ngelike, yang coment, yang punya niat baca meskipun pada akhirnya gak kebaca-_-
Eh iya, itu bagian penembakan Ray maaf banget kalau rada 'freak', norak atau malah apa yah, eumm ya gitu deh. Soalnya tu ide tercetus begitu aja, tanpa dipikir langsung ditulis (?)..ehheehee
Sekedar mengingatkan, jangan lupa tanggal 14 Blink bakalan performe di dahsyat.
Terus, buat kalian yang suka sama lagunya coboy junior (yang ada Bastian IC2 nya itu loh) lagunya udah bisa disearch di 4shared, tapi sayang bukan yang RIP cleas. Terus katanya Mastev mau bikin fb baru ya? Padahal kalau dipikir-pikir, daripada bikin fb baru terus ujung-ujungnya dihack lagi, mending dia sering-sering on fp aja. Kan semua RiSe (yang gak bisa ngeadd fbnya dia karena full) bisa ngejangkau, ya nggak? Etapi terserah dia sih ya..hahaha
Well, selalu dan akan selalu setia menantikan kritik, saran, masukan, dan segala macam jenisnya. Kalau ngerasa ada yang perlu di complain, isi kolom komentar dibawah ini yah.


_With Love Nia Stevania_