Selasa, 09 Agustus 2011

"_With Love Part 23_"

.....

Part 23

Langit gelap malam ini terlihat indah dengan ribuan bintang yang masih setia menemani sang bulan. Membuat gadis manis yang terduduk disebuah bangku panjang yang terletak persis dibawah pohon akasia itu menatap takjub. Ya meskipun hal seperti ini sudah sering terjadi, tapi melihat pemandangan ini secara sengaja jelas berbeda dari biasanya. Disebelahnya, pria hitam manis yang sedari siang bersamanya menatap dalam siluet samping gadis tersebut. Menikmati detik-detik terakhir kebersamanya dengan sang pujaan hati, sebelum 'waktu' itu memisahkan kebersamaan mereka. Dinginnya angin malam yang hilir mudik disekitar mereka terabaikan, seolah bukanlah penghalang bagi keduanya menikmati malam ini dengan cara mereka masing -yang tentu saja berbeda-.
Sadar akan tatapan tajam yang terus mengarah kepadanya, Ify refleks memutar kepalanya dan menatap Gabriel dengan alis terangkat.

"Kenapa?"

Gabriel tertawa kecil dan menggeleng. Jemarinya saling terikat erat "nggak papa, pengen mandangin kamu lama-lama aja, kan buat terakhir kalinya."

Ify sedikit merasa aneh dengan sikap Gabriel hari ini. Berulang kali pria disebelahnya ini menyematkan kata 'terakhir' disetiap kalimat yang ia lontarkan. Dan memilih beraku-kamu, padahal sebelumnya tidak seperti itu.

"Kenapa? Natapin aku nya gitu banget?' tanya Gabriel saat Ify menatapnya tanpa kedip.

Ify meringis kecil dengan kepala bergerak ke kanan dan ke kiri berulang kali "nggak, biasa aja kok."

Setelah menjawab kikuk, Ify kembali memutar arah pandangannya ke depan. Membiarkan ribuan hembusan angin menerpa wajah cantik serta membelai lembut rambut panjang yang mulai menari bebas karenanya.
Gabriel bergeming. Tatapannya masih tertuju pada Ify. Dihembuskannya nafas sesamar mungkin, menutupi agar gadis disampingnya tak menyadari sejumput kegelisahan yang mengisi hatinya. Dengan pelan telapak tangan Gabriel bergerak mendekat, merengkuh kelima jemari kanan Ify dan menggenggamnya erat. Membuat Ify tersentak kaget dan kembali menatapnya dengan alis menyatu, dilanjutkan dengan gerakan mata yang menatap genggaman Gabriel dan wajah tampan pria tersebut secara bergantian.

"Kamu tau, Fy? Ini malem terakhir aku di Jakarta. Besok aku mau balik ke Batam dan menetap disana," Gabriel membuang nafas sejenak "dan sebelum aku bener-bener pergi, aku pengen..aku pengen kamu dengerin ungkapan hatiku, penyesalanku..dan semua perasaan hatiku yang sesungguhnya."

Ify terdiam. Pandangannya tak beralih dari kedua bola mata teduh milik Gabriel.

"Aku, aku sayang banget, Fy..sama kamu. Dan aku..aku nyesel udah nyia-nyiain kamu, dulu."

Ify menggigit kecil bibir dalamnya, dan mulai menatap Gabriel dengan enggan. Bukan marah atau apapun sejenisnya, hanya saja gadis ini terlalu rapuh untuk menatap mata tajam Gabriel yang selalu sukses menghipnotisnya.

Perlahan Gabriel melepaskan genggamannya. Ia menegakkan tubuhnya dan mulai berdiri menantang, didepan ribuan benda langit yang masih asyik berkerlip, seolah mengabaikan kehadiran dua insan yang tengah dilanda kegalauan.

"Aku sadar kok, Fy..sadar banget kalau semua udah terlambat. Dan aku..aku tapi gak bisa terus-terusan ngebohongin perasaan aku, bersikap seolah-olah gak sayang kamu padahal aku cemburu ngeliat kamu sama cowok lain,"

Gabriel menghembuskan nafasnya dengan kasar. Saat bayangan seorang pria hitam manis yang sedari dulu selalu menjadi rivalnya, berseliweran didepan matanya.

"Apalagi cowok itu, Rio. Musuh, rival..saingan terberat aku selama ini." sambungnya lirih, kepalanya mulai menunduk dengan kedua tangan tersimpan disaku jeansnya.

"Rio.. Hahhh, dia selalu ngedapetin apa ‎yang dia mau dan apa yang kita berdua persaingin. Dan aku? Aku selalu kalah sama dia,"

Gabriel kembali menatap Ify yang mulai menahan laju air matanya. Dan tesss..sekali kedip kristal bening itu mulai menyembul dari pelupuk mata gadis manis tersebut. Dengan lembut Gabriel menyusuri pipi tirus Ify, menghapus jejak-jejak air mata yang nampak basah dikedua pipinya.

"Jangan nangis, aku kesini bukan buat bikin kamu nangis," ujar Gabriel lirih "aku nggak kayak Rio ya, Fy? Dari dulu aku cuman bisa nyiptain kesedihan yang berujung air mata buat kamu. Rio? Dia selalu bisa ngebuat kamu senyum, ketawa, bahagia..hahaa."

Tiba-tiba Gabriel tertawa hambar. Pikirannya terusik dengan sejuta penyesalan yang kembali menebal didalam hatinya. Betapa ia menyia-nyiakan gadis seperti Ify, yang dengan sabar selalu menemaninya, dan tak pernah bosan untuk selalu memahaminya. Dan pantasnya, Ify tersenyum karena cintanya bukan menangis karena 'penyiksaan-penyiksaan' bathin yang tanpa sadar sering dilakukannya.

"Aku, aku selalu nggak terima kalau kalah sama Rio. Dari dulu, aku selalu berusaha untuk mengalahkan dia. Dan dari dulu, aku selalu berpendapat kalau cuman aku yang pantes untuk mendapatkan semua yang kita persaingkan."

Dengan telunjuknya, Gabriel menepikan poni-poni panjang Ify yang mulai menutupi mata kiri gadis tersebut.

"Kamu tau, Fy? Sekarang aku sadar, kalau ternyata emang cuman Rio yang pantes untuk ngedapetin semua yang kita persaingin. Termasuk," Gabriel menggantungkan kalimatnya. Jemarinya terdiam, menghentikan aktifitas iseng -merapikan poni Ify- nya dan dengan perlahan menyentuh dagu tirus Ify. Memaksa kedua bola mata gadis itu untuk menatap mata elang miliknya "kamu, cuman Rio yang pantes ngedapetin kamu." sambungnya miris, namun terdengar tegas. Begitu penuh keyakinan bahwa memang lelaki terbaik untuk gadis sebaik Ify adalah Rio, rivalnya.

Laju airmata Ify makin tak terkendali, meskipun tanpa isakan. Tak tahu harus berkata apa, Ify hanya mampu terdiam dan membiarkan air matanya mengalir sebagai pengganti ungkapan hatinya.
Dengan sedikit ragu, Gabriel merengkuh Ify kedalam pelukannya. Tanpa berkata manis untuk menghentikan tangis gadis itu. Cukup dengan sentuhan lembut penuh kasih sayang, ia mampu menenangkan kekalutan hati Ify.

Sejujurnya, tak sedikitpun rasa itu tersimpan didalam hatinya. Karena sudah sejak lama kekosongan hati ‎yang dulu sempat diisi oleh Gabriel, mulai diisi sang penghuni baru yang secara fisik sangat mirip dengan pria jangkung tersebut.
Namun, malam ini Gabriel membuatnya harus merasa bersalah karena mendengar jeritan hati pria tersebut. Jeritan yang terdengar tulus, dan mampu menyentuh hati siapa pun yang mendengarnya.

Gabriel melepaskan dekapannya, dan berganti mencengkram -lembut- pundak gadis cantik si pemilik hatinya.

"Fy," panggilnya, sedikit menunduk karena memang sang gadis yang ia sebutkan namanya tengah menatap fokus pada rerumputan hijau yang mulai berembun "bisa liat aku?" tanya nya terdengar memohon.

Dengan perlahan gadis itu mengangkat wajahnya. Masih terlihat jejak-jejak air mata yang membekas dikedua pipinya. Bahkan, kedua mata gadis tersebut terlihat memerah dengan sedikit kantung dibawah matanya.

"Maaf, aku selalu buat kamu nangis."

Sekuat tenaga, Ify berusaha menahan air matanya dan mulai mencoba membuka suara "kenapa mesti pergi besok?" tanya nya, mengabaikan permintaan maaf Gabriel.

"Karena memang, besok waktunya pindah."

"Kenapa gak seminggu lagi? Sebulan lagi? Nunggu kita lulus?" tanya Ify bertubi-tubi "kenapa harus besok?" sambungnya, mengulang pertanyaan yang sama.

"Aku nggak tau, Fy. Aku cuman ngikutin maunya mamah sama papah, dan aku nggak bisa seenaknya ngerubah apa yang sudah mereka tentukan."

Ify terdiam lagi, kedua tangannya memeluk tubuh mungilnya yang mulai merasakan dinginnya angin malam.

"Kamu masih sayang sama aku, Fy?" tanya Gabriel ragu.

Kalau boleh sedikit GR, Gabriel sempat merasa tersanjung saat Ify menghujaninya dengan pertanyaan 'kenapa' tadi. Karena, Ify terkesan tidak terima jika ia harus berpisah dengan Gabriel secepat itu. Tentu saja, ini hanyalah pemikiran yang juga bisa disebut pengharapan yang ada didalam hati Gabriel.
Namun sepertinya Gabriel harus menelan pahit kenyataan, saat dengan pelan -tapi tegas- gadis cantik didepannya saat ini menggelengkan kepalanya. Jelas lah sudah, jawabannya tak seperti yang Gabriel harapkan.

"Ak...aku--"

Ify tak enak hati. Pasalnya nada bicara Gabriel saat pria tersebut mengucapkan pertanyaan barusan terdengar bahagia, tentu saja menurut Ify.

Gabriel mendesah kecewa "hhhh..ya sudahlah," potongnya dengan seulas senyuman "aku tau kok, sayang kamu udah bukan buat aku lagi. Tapi..."

Ify menatap Gabriel yang masih saja menggantungkan kalimatnya. Membuat Ify semakin penasaran, dan takut kalau tebakan Gabriel tepat sasaran.

"Nggak jadi deh." Gabriel mengubah posisinya yang semula berhadapan dengan Ify menjadi disebelah gadis manis tersebut.

"Kok nggak jadi?"

Sedikit melirik jam tangannya, Gabriel menjawab "udah malem, aku anter kamu balik aja yah. Ntar Cakka bisa ngamuk 7 hari 7 malem kalau kamu gak balik-balik, apalagi kalau dia tau kamu perginya sama aku." ajaknya diiringi tawa kecil diakhir kalimatnya.

Dengan mau tak mau, rela tak rela Ify mengikuti langkah lebar Gabriel sambil terus memeluk tubuhnya.

Gabriel menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Ify yang berjalan dua langkah dibelakangnya "lelet deh, Fy." ucapnya, tanpa ragu tangan kanannya mendekap tubuh Ify dari samping.

Dengan sedikit terkejut, Ify mengangkat wajahnya dan mendapati senyuman manis terukir diwajah -yang juga- manis tersebut "kedinginankan? Jadi gak papa dong." ucap Gabriel, jahil.

Ify mendengus, ingin menolak tapi enggan. Karena tak dapat dipungkiri, sedikit demi sedikit 'kedinginan' itu berubah menjadi 'kehangatan' saat lengan kokoh Gabriel melingkari bahunya.

"Makasih." ucap Ify pelan, dengan wajah menunduk. Gabriel tak menjawab, ia hanya menganggukan kepalanya dengan sebuah senyum kelegaan yang terus menempel dibibirnya.
.....

Oliv berjalan tak semangat sambil mendekap erat tumpukan buku berbungkus plastik hitam, yang baru saja dibelinya. Dengan ekor matanya, ia memperhatikan pria gondrong yang sedang hanyut dengan alunan musik -yang-berasal-dari-ipod-yang-tersimpan-disaku-jeans-pria-tersebut-, disebelahnya. Ray. Sesekali Ray menganggukkan atau menggelengkan kepalanya, membuat rambut gondrong yang sering menjadi penyebab orang-orang menyebutnya wanita itu bergerak kesana kemari.

'Terlalu menghayati.' bathin Oliv, sambil menggeleng kecil.

Hufftttt..Oliv membuang nafas dengan keras. Pria itu memang sempurna. Wajahnya tampan, baik hati, ramah, lucu. Dan satu hal lagi yang selalu mampu membuat Oliv tersipu malu, senyumnya. Manis dan terlihat menggemaskan, sehingga tanpa diminta pun kedua rona merah akan menyembul dibalik pipi chubby milik Oliv ketika pria tersebut tersenyum kepadanya.
Membayangkannya saja, Oliv jadi malu.

Refleks, gadis berambut sebahu itu menggelengkan kepalanya guna menghilangkan bayangan senyuman manis Ray yang hampir saja membuatnya kehilangan konsentrasi berjalan.
Entah mengapa, saat-saat berjalan kaki sekarang, terasa lebih menyenangkan bagi Oliv. Mungkin karena Ray yang berjalan disisinya saat ini. Apalagi matahari senja mulai digantikan tugasnya oleh rembulan terang yang dikelilingi beribu-ribu bintang diangkasa sana. Membuat suasananya terkesan -ekhem- romantis, pikir Oliv yang mengarahkan pandangannya ke langit luas.

'Kapan...Ray nembak gue? Berasa digantungin gue.' Oliv membathin dalam hati.

Bukan tanpa alasan. Suatu hal yang wajar jika ia mempertanyakan hal tersebut. Karena sikap Ray selama ini memang menunjukkan kalau ada 'sesuatu' yang membuat pria gondrong itu bertingkah berbeda, didepan Oliv. Selain itu, pendapat Nova yang baru beberapa minggu ini menjalin hubungan dengan Lintar juga mengatakan hal demikian.

"Gue yakin 100 % kalau Ray itu suka sama lo, Liv!" seru Nova semangat. Siang itu, ia sedang mengerjakan tugas hariannya bersama Oliv dirumah gadis berambut sebahu tersebut.

Oliv mengelak meski dalam hati ia mengamini ucapan sahabatnya tadi "apaan sih lo, Nov. Ya gak mungkinlah, buktinya dia gak nembak gue kan?"

"Belum waktunya, Liv. Semua kan butuh proses." Lintar menambahkan. Semakin membuat Oliv merasa tersudut dalam perasaan 'terbang'. Berharap apa ‎yang dikatakan Lintar dan Nova benar adanya. Ya, kalaupun tidak benar setidaknya itu sudah menjadi doa yang ia harap akan dikabulkan.

"Liv, Liv!!" Ray berseru keras dengan tangan kanan melambai-lambai didepan wajah Oliv. Ia sedikit terkejut saat mendapati Oliv yang tengah menatap serius ke arahnya "hello...Oliv!!"

Oliv tersadar "eh, kenapa Ray? Ada sesuatu yang-"

Ray tertawa lucu, membuat ucapan Oliv terhenti sejenak "elo kenapa deh, Liv? Mandangin gue nya gitu banget. Baru nyadar gue ganteng?" tanya Ray bercanda, sambil mengibaskan sedikit rambut gondrongnya "atau karena gue makin keren?" tambahnya, dengan kedua tangan yang kompak mengangkat kerah bajunya.

Oliv tertawa kecil, kemudian meninju pelan bahu pria narsis didepannya itu. Sedangkan yang menjadi sasaran, hanya berpura-pura meringis dengan kedua mata setengah terpejam.

"Apaan sih, Ray. Ada-ada aja."

"Daripada aja-aja ada."

Oliv menggeleng kecil. Kemudian matanya membulat saat melihat bangunan yang agak asing dihadapannya "loh, kita dimana nih? Kok bukan rumah gue?" tanya nya dengan kening berkerut.

Ray memasang tampang berpikir. Ia menatap serius bangunan dihadapannya. Dengan tangan kiri tersimpan didepan perut, dan tangan kanan -yang bertopang pada tangan kiri- yang mengelus lembut ujung dagunya.

"Hemmm, dimana yah?" gumamnya.

Oliv menyipitkan kedua matanya, menatap Ray dengan serius. Masa' iya, Ray tidak tahu dimana mereka sekarang? Bukankah pria itu yang menuntunnya kemari?

"Jangan bercanda deh, Ray! Gak lucu!" sahut Oliv ketus. Semilir angin yang berdisir disekeliling mereka sukses membuat bulu kuduk Oliv merinding. Apalagi setelah ia perhatikan, kawasan tempatnya berada saat ini tergolong sepi. Selain itu, bangunan dihadapannya saat ini terlihat gelap. Sedangkan disisi kanan dan kiri rumah ini hanya diitumbuhi pohon-pohon besar yang semakin menimbulkan kesan 'angker' dalam benak Oliv.

"Ray, balik yuk." ajak Oliv seraya menarik paksa lengan kiri Ray.

Ray menatap Oliv sekilas, kemudian dengan sekali gerakan ia melepaskan tarikan Oliv di lengannya.

"Lo mau diem disini? Atau ikut gue masuk ke dalam?" tanya nya acuh.

Dan lagi-lagi itu membuat hawa menakutkan itu muncul, bagi Oliv. Melihat perubahan sikap Ray yang tiba-tiba aneh, membuat Oliv berpikir 'jangan-jangan ni rumah beneran angker. Terus ada hantunya. Terus Ray dirasukin sama hantu-hantu disini'.

Oliv menelan ludah. Jika prediksinya benar terjadi, ia tidak tahu apa yang akan ia alami setelah ini.

'Huaaa mamaaa! Oliv takut. Tuhan, Oliv harus ngapain?!' Oliv menjerit dalam hati, ia semakin memeluk erat bungkusan plastik hitam ditangannya.

"Yaelahh, malah ngelamun. Ikut nggak?!" tanya Ray lagi, kali ini dengan sedikit berteriak. Dengan enggan Oliv mengangguk dan mulai berjalan takut-takut mengikuti Ray.

Sreek..sreekk
Berulang kali suara gesekan dedaunan yang tertiup angin itu menyapa kedua indera pendengaran Oliv. Gadis itu menggigit kecil bibir bawahnya, berharap lelucon yang sedang dibuat Ray kali ini akan segera berakhir.

Krieetttt...
Suara pintu yang didorong pelan oleh Ray menyambut kedatangannya bersama gadis berambut sebahu yang sedari tadi menahan takut. Penerangan yang sedikit remang-remang semakin membuat suasana rumah kosong ini menjadi lebih horor. Ray yang berdiri memunggungi Oliv, diam-diam mulai menahan tawa. Sepertinya, rencana yang telah disusunnya malam ini akan berjalan lancar, sukses, mulus tanpa hambatan. Semoga saja, harap Ray dalam hati.

"Ray, ini rumah siapa sih?" tanya Oliv nyaris tanpa suara, Ray menoleh sekilas kemudian kembali meluruskan pandangannya dan membawa kedua kakinya melangkah entah kemana.
Dalam hati, Oliv bersungut-sungut kesal. Ia sudah cukup merinding dengan semua yang dialaminya malam ini.

"Eummm Liv, gue--"

Sreettt..
Oliv yang memahami gelagat Ray, yang sepertinya hendak pergi segera menahan lengan pria gondrong tersebut. Dengan tatapan memelas, Oliv meminta Ray untuk tidak meninggalkannya sendiri, ditempat itu.

"Gak boleh pergi!" pinta Oliv dengan nada melarang.

Ray meringis menahan HIP (Hasrat Ingin Pipis) yang melandanya "aduhh, Liv. Beneran deh, gue gak tahan. Lo tunggu disini, gue bakalan segera balik. Okay." pesannya terburu-buru. Kemudian tanpa menunggu respon dari Oliv, Ray segera berlalu entah kemana.

Klikk..bunyi saklar yang ditekan, diiringi dengan padamnya lampu remang-remang yang memberi pencahayaan diruangan tempat Oliv menunggu Ray, membuat gadis itu semakin takut. Ia meringkuk ditempatnya, kedua tangannya melingkari lututnya yang masih memangku plastik hitam yang sedari tadi dibawanya.

Hiks..hikss
Oliv mulai terisak, sekuat tenaga ia menahan agar isakannya tak menggema diruangan tersebut. Ia takut, isakannya akan terdengar berisik dan mengganggu 'penghuni' lain yang mungkin sedang berisitirahat.
.....

"Eumm, makasih ya Ko, lo udah mau nganterin gue balik." ucap Shilla tulus. Kini keduanya telah duduk santai diteras depan rumah Shilla.

Riko mengangguk kecil disertai sebuah senyuman termanis miliknya.
Dalam hati, pria ini sedang mempertimbangkan sesuatu yang ia rasa perlu diungkapkannya sekarang. Namun ia sedikit ragu, apa tidak terlalu cepat?

"Ko..Ko!" seru Shilla sambil menepuk pelan pundak Riko "elo, kenapa?" tanya nya agak khawatir.

Riko menggeleng cepat "enggak kok, enggak papa. Eumm elo kalau mau masuk, silahkan."

Shilla menggaruk-garuk keningnya "e..elo kan masih disini, masa' gue tinggal masuk sih. Kan gak enak."

"Udah masuk aja, nggak papa. Gue cuman mau mastiin elo bener-bener gue anter sampe rumah, dengan selamat." ucapnya kembali tersenyum.

Shilla meringis. Jujur saja, gadis ini sedang mengharapkan serangkaian kalimat yang tersusun manis akan meluncur mulus dari mulut Riko. Tapi, sepertinya ia harus bersabar. Mungkin belum waktunya.

"Hhhh, ya udah. Gue masuk, yah." pamitnya agak enggan.

Riko bergeming. Ia menatap Shilla yang mulai memunggunginya dengan bingung. Hatinya masih terus berperang menimbang-nimbang sesuatu.
Sedangkan Shilla sendiri sengaja bergerak pelan, saat beranjak meninggalkan Riko. Entah mengapa gadis ini masih berharap hal itu akan terjadi.

'Ayolah Tuhan, please.' harap Shilla dengan kedua mata terpejam. Ia menghembuskan nafas sejenak, kemudian membuka kedua matanya. Sepertinya memang bukan malam ini. Dengan pasti, Shilla menggerakkan tangan untuk membuka pintu.

"Shill.." bertepatan dengan itu, suara Riko kembali terdengar. Menahan tangan Shilla yang sudah menyentuh handle pintu.

Shilla tersenyum sumringah, dengan menahan gejolak didadanya gadis itu berbalik menatap Riko "ya?"

Riko memainkan kesepuluh jarinya yang saling berkaitan. Rasa gugup perlahan menyelimuti dirinya, tapi semua sudah terlanjur lebih baik diselesaikan, kan?

Ia menghirup nafas perlahan, mencoba membuang rasa nervous yang ada "gue..gue mau bilang kalau gue.."

'Aaaaa..Riko mau nembak gue, please bilang kalau lo sayang gue, please.' bisiknya dalam hati, dengan sedikit narsis. Ia mulai harap-harap cemas sekarang.

Bukannya meneruskan ucapannya, Riko malah sibuk menggaruk-garuk tengkuknya. Ia sendiri bingung harus memulai darimana.

"E..elo kenapa, Ko?"

Okay, harus sekarang. Riko berseru mantap dalam hati, setelah sekian menit menahan sambungan kalimatnya yang menggantung. Dengan gontai, ia melangkah mendekati Shilla, diraihnya kelima jemari kanan Shilla, kemudian menggenggamnya lembut.
Membuat gadis itu secara serta merta mengangkat wajahnya yang menunduk, seirama gerakan tangan Riko yang perlahan mengangkat tangannya yang masih berada dalam genggaman hangat pria tersebut.

"Shill.." panggil Riko lagi, Shilla mengalihkan kedua bola matanya menatap Riko.

"Eummm, ya."

"Elo..pasti elo belum lupa, kalau gue..gue pernah suka, sayang dan cinta sama lo," Riko kembali menghela nafas "jujur, setelah berhari-hari gue berusaha ngehindarin elo, ngebuang semua perasaan gue buat lo, gue..bukannya bisa ngelupain elo malah gue semakin hari semakin kebayang-bayang terus sama lo."

Shilla menggigit kecil bibir dalamnya "em maksud lo..apa?" tanya Shilla seolah tak mengerti.

"Gue gak pandai berkata-kata, Shill. Intinya, gue mau bilang kalau semua rasa yang pernah ada buat lo, masih bertahan hingga detik ini. Malah kayaknya semakin besar," jelas Riko dengan volume suara yang lebih kecil, namun kedua telinga Shilla mampu menangkap dengan baik untaian kalimat yang baru saja tercetus dari mulut pria tersebut.

"Em, sebenernya gue--"

Riko segera memotong ucapan Shilla yang terdengar ragu "Gue nggak masalah kok, kalau seandainya elo masih gak bisa ngebuka hati lo buat gue. Tapi gue berharap, lo mau mencoba untuk itu."

Shilla menggeleng kecil. Membuat Riko berpikir, menggeleng karena gadis itu akan mencoba membuka hati untuknya? Atau menggeleng karena gadis itu tetap pada pendiriannya dulu, tidak akan menerima Riko.

"Justru, kayaknya gue harus nerima lo, Ko kalau elo minta gue buat mencoba ngebuka hati buat lo." ucap Shilla malu.

Riko tercengang tak percaya. Yang diucapkan Shilla barusan itu maksudnya..dia menerima Riko, kan?

"Ja..jadi maksud lo?"

Shilla tersenyum malu "ya, kita eumm jadi..an, kan?"

Riko mengangguk-angguk dengan semangat, sedetik kemudian ia terdiam dan menatap tajam gadis cantik dihadapannya saat ini, Shilla.

"Emang tadi aku nembak kamu, ya?" tanya nya polos, dengan ber-aku-kamu.

Shilla tersipu malu, tangan kanannya lantas mendorong pelan pundak kekasih barunya tersebut "Riko...apaan sih, jadi kamu gak mau aku jadi pacar kamu?" tanya nya, dengan nada bicara seolah-olah kesal. Ia menggembungkan kedua pipinya, yang tentu saja membuat Riko menjadi gemas. Dan tanpa permisi, pria tersebut mencubit mesra kedua pipi kekasihnya tersebut.

"Lucu banget ci kamu." ujarnya gemas.

"Ya udah, pulang sana."

"Ngusir?"

"Nggak."

"Buktinya?"

Shilla berdecak kecil "ihhh, ini udah malem Riko, besok sekolah. Pulang sana." usir Shilla, halus.

Riko tersenyum, kemudian membelai lembut rambut panjang Shilla "ya udah, aku pulang ya. Assalamu'alaikum." pamit Riko kemudian.

Shilla mengangguk "Wa'alaikumsalam." desisnya pelan. Gadis itu mengantarkan kepulangan sang pemilik hatinya dengan seulas senyum bahagia yang tercipta manis dikedua bibirnya.

'Terimakasih, Tuhan.' bisiknya lembut.
.....

Oliv masih tersudut dalam tangisnya, diruangan gelap tempat Ray meninggalkannya tadi. Ia masih belum merasakan tanda-tanda kehadiran pria gondrong tersebut. Takut-takut, Oliv mengangkat kepalanya, diusapnya lelehan air mata yang membasahi kedua pipinya. Ia meneliti keadaan disekelilingnya yang nampak gelap, namun tiba-tiba..secercah cahaya bersinar disalah satu sudut ruangan, disusul dengan tiga orang berjubah putih yang masing-masing memegang lilin ditangan mereka. Oliv menahan nafas, ia masih saja berpikir kalau ada 'makhluk lain' disini. Dengan nafas yang mulai terengah-engah -karena ketakutan-, gadis berambut pendek tersebut berjalan mundur hingga menabrak tembok putih yang nampak retak.

Tak tahu harus berbuat apa, Oliv akhirnya pasrah. Memejamkan kedua matanya dan berdoa dalam hati semoga semua ini hanya mimpi buruk baginya.
Sedetik..semenit, hingga -kurang lebih- 5 menit kemudian Oliv tidak merasakan suatu hal buruk terjadi padanya. Namun ia masih bisa merasakan hawa kehadiran, ketiga makhluk berjubah putih yang memegang lilin tadi, berada mengelilinginya.

"Ka..kalian mau apa?" tanya nya takut-takut. Tak ada jawaban, Oliv nyaris terisak. Namun detik berikutnya, gadis ini memilih untuk membuka kedua kelopak matanya, dan...
.....

Krikil-krikil kecil tak berdosa itu menjadi sasaran kegundahan hati Rio. Sejak tadi, pemuda tersebut tak bisa diam. Ia bergerak kesana kemari dengan gelisah. Masih menunggu Ify, didepan gerbang rumah gadis tersebut. Entah apa yang membuat Rio melangkahkan kakinya kemari. Yang ia inginkan saat ini adalah bisa melihat Ify, dan memastikan keadaan gadis tersebut baik-baik saja.

"Aduhhh, si Ify kemana lagi? Jalan ama Gabriel kali, ya. Tapi kemana? Lama banget sih." keluhnya tanpa henti. Ia menatap kembali jarum panjang dan pendek dalam arloji hitam miliknya.

"Sial! Udah lebih dari sejam nih, gue kayak orang gila gak jelas disini." rutuknya lagi.

Tekk..untuk kesekian kalinya, Rio menendang krikil dihadapannya. Hingga sebuah cahaya lampu mobil menyilaukan matanya. Sebentar, sepertinya Rio mengenali mobil tersebut. Ia memicingkan kedua matanya, berusaha menangkap seseorang yang berada dibelakang stir mobil tersebut.
Rio mendengus kesal, ditahannya amarah yang mulai menguasai jiwanya.

Okay, Rio. Stay cool, and keep your mouth. Jangan meledak sekarang, karena kalau nggak semuanya akan kacau.
Ditepisnya semua kekesalan yang menyelimuti hatinya. Masih dengan tenang, ia menanti gadis manis dikursi penumpang depan mobil tersebut keluar dari Grand Livina hitam yang menepi di depan rumah tetangga gadis tersebut.
....

"Stop..stop..stop!" pinta Ify, cepat.

Gabriel yang mendengar ucapan -yang lebih- terkesan memerintah dari mulut Ify, segera menepikan mobilnya didepan rumah tetangga gadis tersebut. Pria itu mendengus, kan tinggal satu rumah lagi, kenapa pake minta berhenti. Bathinnya dongkol.

"Kenapa, Fy? Maju sedikit kan udah rumah kamu."

Ify memutar kedua bola matanya dengan kesal "denger yah, dirumah gue ada Cakka. Dan gue, nggak mau terjadi keributan diistana gue." jelasnya. Sepertinya Ify sudah mulai kembali seperti sedia kala.

Gabriel mengangguk pasrah "ya, okay."

Keduanya terdiam, entah atas dasar apa Ify malah tidak keluar-keluar dari kendaraan roda empat tersebut. Seperti ada sesuatu yang menahannya, dan memintanya untuk tetap dimobil tersebut, meski hanya beberapa saat. Dan benar saja, setelah beberapa menit dalam kesunyian, akhirnya Gabriel membuka mulut.

"Sampein maaf aku buat Cakka ya, Fy," pintanya, Ify menoleh sekilas kemudian mengangguk "buat Rio...juga." sambungnya.

Ify kembali diam, tidak tahu harus memberikan respon apa.

"Hari ini..meskipun, aku belum bisa ngerebut hati kamu lagi..aku udah seneng kok karena kamu udah mau nemenin aku."

"Sama-sama, Gab."

Gabriel kembali menatap Ify. Separuh hatinya masih begitu enggan meninggalkan Jakarta, dan tentu saja gadis disampingnya saat ini. Entah untuk keberapa kalinya, Gabriel menggenggam lembut jemari Ify.

"Fy," panggilnya, Ify mencoba menatap kedua bola mata sendu milik Gabriel. Gabriel sendiri mulai memfokuskan kedua manik hitamnya disatu titik, bola mata Ify.

"Makasih udah pernah ngisi hari-hari gue selama gue di Jakarta. Dan..makasih buat perpisahan terindah hari ini." lanjutnya berat.

Ify menggaruk-garuk lehernya, bingung juga bagaimana harus membalas penuturan Gabriel.

"Eumm, iya..sama-sama, Gab."

Gabriel tersenyum samar, ia melepaskan genggamannya dan menyentuh handle pintu mobilnya untuk keluar. Setengah berlari Gabriel menuju pintu penumpang disebelahnya yang juga sedang dibuka Ify.
Keduanya kembali terdiam, semilir angin malam segera menyapa lembut helai demi helai rambut Ify saat gadis itu keluar dari kendaraan roda 4 milik Gabriel. Bagaikan sebuah sinetron, terbangnya anak rambut Ify yang tertiup angin membuat Gabriel terpesona sesaat.

Ia menghembuskan nafasnya perlahan, kemudian berusaha mengukir senyum perpisahan semanis mungkin. Detik berikutnya, secara pelan tapi pasti Gabriel melangkah mendekati Ify. Memeluk gadis manis tersebut untuk yang terakhir kalinya. Ify bergeming, membiarkan aroma tubuhnya membaur dengan bau khas 'cinta monyet' nya dulu. Dan tetap diteman semilir angin malam yang berhembus, keduanya terhanyut dalam pelukan terakhir beberapa menit.

"Eumm..kamu bener mau aku anter sampe sini aja, Fy?" tanya Gabriel setelah melepaskan pelukannya.

Ify mengangguk mantap "iya, emang lo siap bonyok apa?" jawabnya setengah bercanda, kemudian kepalanya bergerak mengamati rumah disebelahnya, yang tak lain adalah rumahnya sendiri.
Kedua bola matanya melebar saat menangkap sosok pria jangkung yang sangat dikenalnya, buru-buru membuang muka saat wajah Ify menghadapnya.
Gabriel yang merasakan perubahan raut wajah Ify, ikut memperhatikan fokus objek Ify saat ini. Ia ikut tersentak kaget melihatnya, dengan cepat ia menepuk pundak Ify, berusaha menenangkan kegelisahan gadis tersebut ‎yang juga mulai ia rasakan.

"Tenang, Fy. Biar aku temuin dia dulu." ucap Gabriel berusaha setenang mungkin.

Ify meraih pergelangan tangan Gabriel, menahan langkah kaki pria tersebut yang sudah selangkah didepannya.

"Jangan, Gab. Gue nggak mau lo berdua ribut. Biar gue aja yang nemuin dia."

Gabriel menggeleng pelan, disingkirikannya tangan Ify yang mencengkram halus pergelangan tangannya "jangan khawatir, janji deh aku nggak bakal berantem sama dia." janji Gabriel, meyakinkan Ify.

Dengan setengah hati, Ify merelakan Gabriel yang mulai melangkah menjauhinya.
.....

"Happy birthday Oliv..happy birthday Oliv..happy birthday, happy birthday, happy birthday Oliv..."

Senandung itu terdengar begitu saja saat Oliv berusaha membuka kedua matanya perlahan. Didepannya sudah berdiri tiga anak manusia berjubah putih yang masing-masing masih memegang lilin ditangan mereka. Oliv menatapi wajah ketiga manusia didepannya itu satu persatu, sedikit terkejut saat mengetahui bahwa ketiga orang tersebut sudah sangat dikenalnya. Agni, Nova dan Lintar.
Matanya kembali berair, dengan kesal ia memarahi ketiga orang yang nyaris membuatnya mati ketakutan. Sedangkan yang dimarahi hanya berpura-pura meringis kesakitan, saat tubuh mereka dihujani pukulan tanpa ampun dari Oliv. Gadis itu menggunakan buku-buku berbungkus plastik hitam yang ia beli tadi sebagai senjatanya.

"Kalian jahat banget sih, gue bener-bener shock dan hampir mati ditempat gara-gara kalian!" protesnya kesal. Ketiganya terkikik pelan.

"Sorry deh, kita mah ikut kata komandan, Liv," Nova membela diri "ya kan, Lint?" sambungnya meminta persetujuan Lintar, yang disambut anggukan semangat dari pria hitam manis tersebut.

Oliv mendelik ke arah Agni. Dengan cepat kekasih Cakka itu membentuk kedua jari -telunjuk dan tengah- nya menjadi huruf 'V'.

"Demi Tuhan, Liv! Gue sama kayak mereka," jawab Agni cepat sambil melirik Nova dan Lintar secara bergantian "cuman bawahan." sambungnya.

Oliv berdecak tak percaya. Namun detik berikutnya, ia merasa perlu mempercayai perkataan Agni ketika teringat kurangnya kehadiran satu orang lagi di antara mereka. Tapi, masa' iya Ray?

"Tiup ini dulu dong, Liv!" perintah Nova yang mulai mengaduh kepanasan, sambil menyodorkan sebatang lilin ditangannya. Agni dan Lintar ikut menyodorkan lilin ditangan mereka.

"Iya, udah panas banget nih." sambung Lintar.

"Make a wish dulu." sela Agni saat Oliv hendak meniup ketiga lilin tersebut.

Oliv menutup kedua matanya, mengucapkan harapan demi harapan yang ia punya dan secara perlahan meniup ketiga lilin dihadapannya.
Sebuah senyuman manis terukir dibibirnya, selepas itu. Ia menatap penuh terima kasih pada ketiga orang terdekatnya tersebut. Namun beberapa saat kemudian, kening Oliv mengerut diiringi kedua alis yang mulai bertaut. Masa' kejutannya cuma disuruh niup 3 batang lilin? Biasanya kan dikasih kue ulang tahun ‎yang pake lilin?

"Kok--"

"Elo bingung sama 3 lilin ini ya, Liv?" tanya Nova saat menyadari raut kebingungan Oliv. Oliv hanya mengangguk kecil "jelasin kak!" suruh Nova pada Agni.

Agni berdehem sebentar "ehem..ehem, okay jadi gini..3 lilin ini melambangkan sesosok manusia yang kita sebut komandan tadi." jelas Agni singkat. Ia menatap Lintar, yang disambut dengan sebuah anggukan dari pria tersebut.

"3 untuk sebuah nama panggilan 'dia' yang terjalin dari 3 huruf." sambung Lintar, ia berbalik menatap Nova. Persis seperti Lintar, Nova mengangguk sebagai jawaban dari tatapan Lintar.

"3 untuk singkatan sebuah kalimat yang pengen 'dia' ucapin." sambung Nova.

Agni, Nova dan Lintar saling melempat pandang, kemudian tersenyum aneh, setidaknya itu menurut Oliv.

"Dan 3 untuk semua singkatan perasaan dari 'dia' buat lo!" seru ketiganya bersamaan. Oliv refleks menutup kedua kupingnya rapat-rapat. Ini terlalu mengejutkannya. Ia berpikir sejenak.
Sampai pada akhirnya, suara halus dari petikan gitar diruangan ini menyapa indera pendengarannya. Membuat fokus berpikirnya menjadi hilang, dan beralih mencari sumber suara yang tiba-tiba memaksanya untuk mendengar.

Sangat mengejutkan, melihat Ray tiba-tiba saja menyanyikan sebuah lagu dengan diiringi petikan gitar dari Cakka. Pria gondrong itu menyanyikan lagu 'aku jatuh cinta' dari roulette dengan penuh penghayatan. Tiap lirik dari lagu tersebut sangat menceritakan isi hatinya saat ini, apa yang ingin diungkapkannya selama ini akan segera tersampaikan melalui senandungnya malam ini.
Masih terus bernyanyi, Ray berjalan menghampiri Oliv, gadis pujaan hatinya.

Coba-coba dengarkan apa yang ingin aku katakan
Yang selama ini sungguh, telah lama ku pendam
Aku tak percaya membuatku tak berdaya
Tuk ungkapkan apa yang ku rasa

Ia menyerahkan setangkai mawar merah yang berasal dari sakunya. Dengan gemetar, Oliv menerima pemberian Ray tersebut.

Aku jatuh cinta kepada dirinya
Sungguh-sungguh cinta oh apa adanya
Tak pernah ku ragu namun tetap s'lalu menunggu
Sungguh aku..jatuh cinta kepadanya

Ray menghentikan nyanyiannya, ia berbalik meninggalkan Oliv. Membuat Oliv menatap punggung pria tersebut dengan ternganga, heran. Menit berikutnya, Ray kembali dengan sebuah kue tart yang dihiasi sebuah lilin. Ia menyodorkannya dihadapan Oliv. Oliv menatap tak mengerti pada tart tersebut, kemudian melirik Ray sekilas untuk meminta penjelasan.

"Tiup lilinnya." suruh Ray pelan. Oliv mengangguk, ia kembali mengulang mike a wish yang masih sama seperti tadi. Setelah selesai, ia meniup sebatang lilin tersebut. Dalam sekejap, lampu-lampu diruangan tersebut mulai menyala.

Dengan malu-malu, Ray menggenggam lembut tangan kanan Oliv. Dan menatap dalam kedua manik mata dibalik kaca mata minus gadis tersebut.

"Ekhem.."

Cakka berdehem keras, membuat semua pasang mata menatapnya kesal. Adegan romantis yang baru akan terjadi dirusak Cakka dengan sebuah suara tak penting bagi mereka. Ditatap sesadis itu, Cakka hanya mampu menyeringai lebar sambil mengangguk takjim. Seolah meminta maaf atas keributan -yang sebenarnya hanya suara kecil- yang diperbuatnya.

"Lanjutkan Ray!" ceplos Lintar tanpa sadar, Ray melirik Lintar. Sedangkan Lintar meringis kecil saat kedua jari Nova mengapit kecil kulit tangannya, mencubit.

"Ganggu deh lo, Lint." desis Agni pelan.

Ray kembali fokus pada Oliv. Menggenggam jemari gadis tersebut dengan lebih halus, dan menatap kedua bola matanya dengan lembut.

"3 untuk sebuah nama panggilan 'dia' yang terjalin dari 3 huruf itu adalah aku. Ray dari R-A-Y," ucap Ray setengah gugup "3 untuk singkatan sebuah kalimat yang pengen 'dia' ucapin itu adalah..ekhem," Ray berdehem untuk mengurangi rasa deg-deg-annya "I L Y yang artinya, I Love You."

Ray bisa sedikit bernafas lega. Tinggal satu kalimat lagi "dan terakhir..Dan 3 untuk semua singkatan perasaan dari 'dia' buat lo itu adalah I L Y, I M Y, I N Y, yang aku yakin tanpa perlu aku jabarkan pun kamu udah tau kan, kepanjangannya?" Oliv mengangguk tanpa sadar.

"Jadi, apa kamu bersedia..eumm kalau aku minta kamu buat jadi..pa..pacar, aku?"

Oliv menatap Ray kaget. Ini kan yang sudah ia tunggu-tunggu?
Dan malam ini, semua penantiannya terjawab. Ia melirik ke arah 3 anak manusia yang menatap serius padanya dan Ray. Seolah meminta pendapat, ya meksipun gadis ini sesungguhnya sudah memiliki jawaban sendiri. Jawaban yang telah ia persiapkan sejak lama.

Agni, Nova dan Lintar segera mengangguk semangat saat Oliv melirik ke arah mereka. Ketiganya tahu, akan maksud dari tatapan adik Cakka tersebut.
Oliv sedikit menghembuskan nafas, ia kemudian mengarahkan pandangannya pada sosok pria berambut harajuku yang malah asyik memainkan gitar dipangkuannya.

"Kalau emang suka ya terima aja," ucap Cakka yang mampu menangkap tatapan meminta jawaban dari Oliv, melalui ekor matanya "selagi lo yakin Ray nggak akan pernah nyakitin lo." sambungnya.
Dan plukkk..sebatang lilin mengenai kepala Cakka, pelakunya siapa lagi kalau bukan Agni.

"Yee, kamu pikir Ray playboy kayak kamu apa?!" Agni sewot juga mendengar ucapan terakhir Cakka, yang terkesan meragukan kesetiaan adiknya.

Cakka meringis pelan "yaelah Ag, maaf. Aku kan bercanda, ya kan, Ray?"

Ray mengendikkan kedua bahunya acuh. Yang terpenting baginya saat ini adalah, Oliv segera menjawab permintaannya. Meskipun Ray tahu pasti bagaimana perasaan Oliv terhadapnya, ia tetap cemas, agak takut kalau-kalau Oliv malah menolaknya.

"Jadi, Liv?"

Oliv mengangguk samar dalam keadaan kepala tertunduk. Hanya Ray yang melihat gerakan halus tersebut. Yang lain tak dapat melihat karena gerakan kepala Oliv saat itu terhalang oleh kepala Ray yang dihiasi rambut gondrong andalannya.

"Serius, Liv?" tanya Ray, meminta kepastian sekali lagi. Yang lagi-lagi hanya dijawab dengan anggukan kecil, serta senyum terkulum dibibir gadis berambut sebahu tersebut.

Dibelakang mereka, 4 anak manusia yang sempat menegang menanti jawaban Oliv mulai berbisik-bisik. Bagaimana tidak? Oliv sama sekali tak bersuara. Yang mereka dengar hanya dua kalimat bertanya dari Ray 'Jadi, Liv?' dan 'Serius, Liv?' Itu semua maksudnya apa sih?
Detik berikutnya mereka kembali terheran-heran saat melihat Ray yang dengan gerakan cepat merengkuh tubuh Oliv kedalam pelukannya. Tapi, tanpa sadar mereka justru bertepuk tangan dan mulai mengeluarkan seruan-seruan menggoda keduanya.

"Kak Ify mana?" tanya Oliv mengalihkan perhatian.

Semua mengangkat bahu, tak tahu kemana perginya gadis tersebut.

"Dari sore dia pergi, Liv." ujar Cakka, ia meletakkan gitar dipangkuannya disebuah meja tempat Ray meletakkan kue ulang tahun Oliv.

Oliv sedikit murung, kecewa juga dengan ketidak hadiran Ify disini. Apa iya Ify melupakan hari ulang tahunnya?
Melihat itu Agni berjalan mendekatinya. Diusapnya pundak Oliv, lembut.

"Dia pasti inget, Liv. Lo jangan sedih gini." Agni berusaha menenangkan Oliv.

Cakka ikut mendekati Oliv "dia kayaknya lagi ada masalah sama Rio. Jadi lo ngertiin dia, yah?"

Oliv mengangguk disertai seulas senyum "iya, kak."
.....

Rio melengos ketika melihat adegan 'berpelukan' antara Gabriel dan Ify saat keduanya baru saja keluar dari grand livina hitam tersebut.
Ia benar-benar ingin melabrak Gabriel rasanya, tapi tentu saja Rio cukup sadar diri dengan statusnya yang tak lebih dari teman dengan Ify. Selain itu, bukan kah hubungan mereka sedang memburuk?
Dibuangnya seluruh emosi yang memenuhi rongga dadanya, bersama hembusan nafas yang keluar dari rongga hidungnya.

Ia langsung membuang muka saat kepala Ify bergerak memutar, dan berhenti tepat mengarah kepadanya.
Antara pergi dan tetap disini, akhirnya Rio memilih untuk tetap berdiri menantikan Ify yang ia harap akan segera mendekat menghampirinya.
Rio sedikit kecewa, saat melihat yang berjalan kearahnya bukanlah Ify, melainkan Gabriel. Ia menatap Gabriel sekilas, dengan sinis. Lalu membuang muka, dan memilih untuk menyenderkan tubuhnya pada pagar tinggi yang mengelilingi rumah Ify.

"Yo." sapa Gabriel sehalus mungkin, saat ia telah berdiri dihadapan Rio.

Rio melengos "Hemm, mau apa lo? Mau pamer buat kemenangan, lo? Atau minta gue ngucapin selamat karena keberhasilan, lo?" sahutnya sinis.

Gabriel mendengus kesal, tapi ia mencoba menahan diri karena janjinya terhadap Ify.

"Gue kesini bukan buat nyari masalah, atau pun memperpanjang masalah sama lo," ucapnya menghiraukan respon sinis Rio "justru..gue pengen memperbaiki semuanya, hubungan kita yang dulu." sambungnya sedikit ragu.

Rio menegakkan tubuhnya. Ditatapinya Gabriel dari atas ke bawah, dari bawah ke atas.

"Ini masuk dalam salah satu strategi lo, atau tulus dari hati lo?" tanya nya, sangsi.

Gabriel memutar kedua bola matanya dengan kesal "makanya, kalau gue ngomong tatap mata gue."

"Lo pikir gue maho?"

"Biar lo tau, kalau gue serius sama omongan gue."

Rio mulai tertarik dengan ucapan Gabriel. Ia pun mengikuti kemauan Gabriel, untuk menatap kedua bola mata pria tersebut.

"Nih, gue tatap mata lo," ucapnya dengan nada bicara yang masih kesal "jadi, sekarang apa mau lo?" sambungnya bertanya.

Gabriel mengulurkan tangan kanannya yang disambut dengan alis terangkat oleh Rio.

"Kita mulai semuanya dari awal, bro. Kayak dulu sebelum kita bersaing."

"Kenapa tiba-tiba lo pengen baikan sama gue?"

Gabriel menghela nafas sebentar. Ia bergerak melangkah kesamping Rio, dan mulai memposisikan tubuhnya dengan menyender pada pagar rumah Ify, seperti Rio tadi. Kedua tangannya tersimpan disaku jeansnya, dan salah satu kakinya ia tekuk setengah -keatas- menyentuh tembok.

"Elo tau? Dari sore gue menghabiskan waktu gue sama Ify," ucapnya.

Rio malah membathin dalam hati, tanpa lo kasih tau pun gue udah tau karena gue ngikutin lo berdua tau.

"Dan disitu kita..."

Gabriel mulai menceritakan kegiatannya bersama Ify sepanjang sore itu. Semua terasa membosankan ditelinga Rio, malah sangat membuat kesal hati pria tersebut. Namun ia tetap berdiri tenang, seolah-olah menyimak dengan baik semua curahan hati Gabriel saat itu. Padahal ia beberapa kali menanggapi dengan sinis semua celotehan Gabriel, tentu saja dalam hati.

"...dan gue mutusin buat mundur, karena besok gue bakal pergi ke Batam."

"Liburan?" tanya Rio malas.

"Pindah."

Rio terperangah mendengar jawaban singkat, satu kata itu.

"Serius? Apa bercanda, nih?"

"Kan udah gue bilang, kalau gue ngomong tatap mata gue!" seru Gabriel kesal. Jelas saja, sedari tadi Rio memang menanggapi dengan acuh semua cerita Gabriel. Malah Gabriel yakin pria disebelahnya ini membathin tidak suka tentang dirinya.

"Kan udah gue bilang, gue bukan maho." balas Rio tak mau kalah.

Gabriel jadi gemas sendiri dengan tingkah Rio kali ini. Tapi detik berikutnya ia terkaget-kaget saat tubuh Rio memeluknya erat, sampai-sampai tubuhnya hampir merosot ke dasar tanah.

"Eh..eh.."

Rio melepaskan pelukannya dan terkekeh pelan "sorry."

"Katanya nggak maho, tapi meluk gue sembarangan." sungut Gabriel sambil merapikan t-shirt nya yang sedikit berantakan. Sepertinya hawa permusuhan diantara keduanya mulai terhapuskan.

"Emm, jadi kita damai nih?" tanya Rio polos.

Gabriel melayangkan sebuah toyoran tanpa ragu ke kepala Rio "iyalah, gue udah berbesar hati buat minta maaf sama lo, lo pikir buat apaan?"

Rio tertawa kecil "sip. Terus, Ify?"

Gabriel menghadiahi Rio dengan tatapan menggoda "ya, gue sih maunya dia jadi milik gue."

"Enak aja, kan tadi lo bilang lo mau ngerelain dia buat gue."

"Ya elo, udah denger tadi gue ngomong begitu malah pake nanya lagi."

Rio mengulum senyum "eum jadi..elo mundur dan gue maju dong?" tanya Rio memastikan, Gabriel mengangguk acuh. Kemudian keduanya saling merangkul dan tertawa bersama. Membuat Ify ‎yang masih setia ditempatnya, menatap heran ke arah mereka.

Tap..tap..tap..derap langkah kaki mendekat membuat Rio dan Gabriel menghentikan tawa mereka. Masih dalam posisi saling merangkul, keduanya menoleh ke sumber suara dan mendapati Ify menatap penuh tanya pada mereka. Bukannya memberikan penjelasan, keduanya malah menyeringai lebar dan kembali mengeratkan rangkulan mereka. Seolah menegaskan kalau keduanya sudah berbaikan.

"Lo berdua, kesambet?"

"Apaan sih lo, Fy. Aneh banget, jelas-jelas kita lagi happy gini malah dibilang kesambet." sahut Rio diringi tawa kecil diakhir kalimatnya.

Ify mengerucutkan bibirnya melihat kedua pria tampan yang terlihat sedang menyembunyikan sesuatu darinya.

"Kan tadi udah aku bilang, Fy. Kalau aku gak bakalan berantem sama, Rio."

Ify mengangguk "iya sih."

Gabriel melepaskan rangkulannya pada bahu Rio. Kemudian bersiap pergi meninggalkan Rio dan Ify.

"Udah terlalu malem, pesawat gue berangkat pagi. Gue balik yah." pamit Gabriel.

Rio dan Ify saling pandang, kemudian tersenyum bersama "hati-hati." sahut keduanya bersamaan.

Gabriel mengulum senyum "kayaknya kalian berdua emang, jodoh." ucapnya setengah bercanda.
Tiba-tiba Gabriel melingkarkan kedua tangannya dibahu Rio dan Ify. Kemudian menepuk-nepuk pundak keduanya dengan pelan.

"Baik-baik yah. Gue mau pergi jauh nih," ujarnya menatap Rio "semoga kamu bahagia yah Fy, sama Rio." sambungnya dengan tatapan mengarah pada Ify. Ify hanya tersenyum kecil.

"Sekali lagi, pamit guys."

Setelah melepaskan rangkulannya, Gabriel melangkah pergi meninggalkan Ify bersama Rio. Rela tak rela semua memang harus terjadi. Walaupun ia mencintai Ify, rasanya akan lebih aman jika melepaskan gadis itu bersama Rio. Seseorang yang diyakininya sangat pantas untuk mendampingi Ify.

'Semoga ini yang terbaik, buat elo, gue dan Rio'


=====


Ekhem ekhem, sebelumnya gue minta maaf deh buat kengaretan gue yang ngepas selama 1 bulan (karena setelah gue check, gue ngepost part 22 waktu itu pas tanggal 9 juli :D)
Terus, sorry juga ya kalau part ini garing, kurang ngefeel dan yang paling jelas gak ada moment RiFynya. Tapi tapi..kalau ngeliat dari akhir part ini sih, kemungkinan besar part 24 nanti bakalan ada RiFynya. Jadi, maaf banget yaa buat para RFM dan semua yang minta RiFy tapi gak bisa dikabulin. Gue sengaja nongolin (?) Gabriel dipart ini karena gue pengen ngedeport dia duluan *BigBro kali dideport--'*. Kan gak lucu, kalau gakda angin gakda ujan tiba-tiba Gabrielnya ngilang.
Udah deh, kayaknya cukup cuap-cuapnya.
Seperti yang sebelumnya, makasih banyak buat semua yang ngelike, yang coment, yang punya niat baca meskipun pada akhirnya gak kebaca-_-
Eh iya, itu bagian penembakan Ray maaf banget kalau rada 'freak', norak atau malah apa yah, eumm ya gitu deh. Soalnya tu ide tercetus begitu aja, tanpa dipikir langsung ditulis (?)..ehheehee
Sekedar mengingatkan, jangan lupa tanggal 14 Blink bakalan performe di dahsyat.
Terus, buat kalian yang suka sama lagunya coboy junior (yang ada Bastian IC2 nya itu loh) lagunya udah bisa disearch di 4shared, tapi sayang bukan yang RIP cleas. Terus katanya Mastev mau bikin fb baru ya? Padahal kalau dipikir-pikir, daripada bikin fb baru terus ujung-ujungnya dihack lagi, mending dia sering-sering on fp aja. Kan semua RiSe (yang gak bisa ngeadd fbnya dia karena full) bisa ngejangkau, ya nggak? Etapi terserah dia sih ya..hahaha
Well, selalu dan akan selalu setia menantikan kritik, saran, masukan, dan segala macam jenisnya. Kalau ngerasa ada yang perlu di complain, isi kolom komentar dibawah ini yah.


_With Love Nia Stevania_

0 komentar:

Posting Komentar