A homepage subtitle here And an awesome description here!

Selasa, 20 November 2012

Aku Pernah {Final Part}

- Aku Pernah Merasa Tak Percaya Lagi.. -

Aku pernah merasa tak percaya lagi. Seperti kepada orang yang baru ku kenal. Membutuhkan proses agar bisa kembali mendapatkan kata percaya itu lagi.
Saat itu. Saat dia memintaku untuk kembali, mengisi hari-harinya lagi.

“Kasih aku satu kesempatan, untuk kita sama-sama lagi, Fy. Kita perbaikin semuanya sama-sama.”

Tanganku membeku dalam genggamannya. Aku tak ingin membalas tatapannya. Semua masih terasa sakit disana, disuatu tempat yang tak bisa dia lihat, hatiku.

“Kamu yang minta 'udahan', Yo--”

“--dan sekarang izinkan aku untuk minta 'lanjut' lagi sama kamu.” Potongnya cepat.


*Ohh..Mengapa? Mengapa kau tak mengerti halusnya perasaanku, kau goreskan keraguan..*


Aku memejamkan kedua mataku. Mencari jawaban yang paling tepat untuknya.
Aku berusaha memunculkan kembali kenangan-kenangan kebersamaan kami. Namun, bayangan tentang kesakitanku ikut menghampiri.
Rasanya..susah untuk -langsung- percaya lagi.

Aku menghembuskan nafas, lirih.

*Namun ku menyayangimu walau hilang percayaku, biar cinta menuntunku..untukmu..*

“Maaf, Yo. Aku ngga bisa..”

Dia melepaskan tanganku--dengan cepat, yang sebelumnya berada dalam genggamannya. Kemudian, kedua tangan kokohnya beralih pada kedua pundakku, dan diguncangnya pelan.

“Bohong! Kamu masih sayang sama aku, dan aku bisa rasain itu. Karena aku juga sama, masih sayang sama kamu. Please jangan bohongin perasaan kamu sendiri, Fy!”

“Kemana kamu waktu papah aku meninggal? Waktu aku butuh support saat aku bener-bener down? Aku butuh banget semangat dari kamu tapi kamu malah having fun sama Dea!” Ucapku tak terkendali.

“Maaf..” Lirihnya.

Aku memejamkan mataku sebentar. “Kamu yang memutuskan, nggak ada lagi kata 'kita' diantara aku sama kamu. Dan aku penuhin itu. Sekarang kamu bilang kamu pengen memperbaiki semuanya?”

Dia memandangku dengan tatapan memohon.

“Perlu waktu buat aku bener-bener bisa berani menunjukkan perasaan aku ke kamu, Yo. Perlu waktu buat aku menata hati lagi setelah kamu mutusin buat udahan. Dan..sekarang, aku juga perlu waktu untuk bener-bener bisa kembali lagi sama kamu.”

“Maaf. Mestinya, aku tau itu..” Dia menatapku dalam. ”Dan aku janji akan nunggu saat itu.”

“Dan sebelum saat itu tiba, kalau kamu emang udah nggak sanggup, aku nggak ngelarang kamu untuk pergi, dan ninggalin janji kamu ini.

Aku pernah merasa tak percaya lagi. Meski dia berusaha sekuat hati, namun diri ini tak bisa dipaksakan. Krisis kepercayaan? Yah, kekecewaan memang selalu berdampak pada krisis kepercayaankan?
***

Aku pernah merasa tak percaya lagi. Saat itu, karenanya..

•••


Aku sedang merasakan mati rasa. Hampa. Kosong. Tak ada bahagia, sebahagia dulu lagi. Tak ada sedih, sesedih dulu lagi. Semua bagaikan biasa saja.

“Fy, ada salam dari Gabriel.” Ucap Sivia yang baru saja mengambil tempat disebelahku. Ia menyodorkan gelas minuman pesananku, kemudian menyantap pesanannya.

“Terus, gue harus bales salam dia lagi, gitu?” Tanyaku malas. 'Tisam' dari Gabriel bukan kali ini saja ku dapatkan, tapi..entahlah, aku lupa sudah berapa banyak.

“Dihhh..lo gitu banget sih, baru pacaran sekali tapi patah hatinya udah parah banget, sampe trauma gitu. Untung baru pacaran, gimana kalau dulu lo udah merried ama Rio, jadi perawan tua kali.” Ucapnya. “Duhh, kok gue dijitak sih?!”

Aku memutar kedua bola mataku dengan kesal. “Masa lalu, please... Lagian, siapa yang trauma pacaran coba?”

“Lah terus, kenapa lo ga pernah pacaran lagi? Kenapa lo selalu jaga jarak tiap ada cowok yang PDKT? Kenapa lo anti banget sama Gabriel?” Jeda. Sivia menatapku dengan lekat, sesaat. “Bukan karena lo masih ngarepin Rio, kan?”

“Nggaklah!” Bantahku cepat. “Ada juga Rio kali yang masih ngarepin gue~”

Sivia mengangguk berulang-ulang. “Ohh iya juga yah? Kan dia udah nyesel banget karena mutusin lo, sampe rela ga pacaran demi nunggu elo nerima dia lagi.” Kemudian Sivia menggeleng.

“Ya udahlah, Fy. Pokoknya, kalau oneday lo berubah pikiran, lo berniat buat ngebuka hati sama Gabriel, tell me please...” Ucapnya setengah memohon.

Aku tertawa kecil. “Nggak janji yah, siapa tau gue berubah pikiran, tapi ga berniat buat ngebuka hati gue untuk Gabriel.”

“Terus, buat siapa?”

“Al..vin, mungkin?” Jawabku setengah menggoda.

Sivia mendelik. “Nggak boleh!” Tegasnya setengah menjerit.


Aku seperti sedang mati rasa. Bukan tak lagi bahagia, hanya saja..kebahagian ini tak sama. Tak seperti dulu, ketika bersamanya.
Kapankah aku berhenti 'mati rasa'?

•••

Aku pernah merasa suka, kepadanya..seorang pemuda yang akhirnya mengisi hariku.
Aku pernah merasa jatuh cinta, kepadanya..yang kemudian menyatakan isi hatinya kepadaku.
Aku pernah merasa cemburu, karenanya..yang pernah berhasil menguasai hatiku.
Aku pernah merasa bahagia, karenanya..yang pernah mampu melambungkan hatiku.
Aku pernah merasa kecewa, karenanya..yang pernah mengabaikanku.
Aku pernah merasa tak percaya lagi, karenanya..yang sempat pergi meninggalkanku, dan berbalik memintaku kembali.

Aku pernah merasakannya. Merasakan semua pahit-manisnya rasa dalam kehidupan. Tangis kesakitan, yang membuatku enggan kembali merasakan cinta. Hingga berujung pada hampanya perasaan. Hambar. Dan mati rasa.

Namun, jika bisa ku mengulang. Aku ingin kembali ke masa itu.
Masa dimana aku tersenyum karena cinta, dan menangis karena cinta.
Meski pedih, meski perih..
Setidaknya aku masih bisa 'merasa', bukan seperti sekarang...mati rasa...

---

Well, sebenernya story ini agak random. Gabungan antara kenyataan dan imajinasi. Hem..agak freaky sih, tapi gue nekat! :D
Ada yang baca atau nggak..nggak masalah. Tapi..pasti gue lebih seneng dan bersyukur kalau ada yang baca..ahahaha
Koment juga deng. Like? Terserah anda (•̯͡.•̯͡)
NAH! Ini baru..bener2 FINAL PART!
Finally, thanks for reading, thanks for coments, thanks for your thumb guys! Thanks for all support to me!

NB : kalimat yg gue kasih tanda * itu adalah lirik lagu Kepastiannya Rossa.

Tunggu cerpen random gue selanjutnya yah! Kalau minat :p judulnya, InsyaAllah...PDKT Gagal! Couplenya....


Cheers!

@sugargirl08

Aku Pernah {5}

- Aku Pernah Merasa Bahagia... -

Aku pernah merasa bahagia. Bagaikan ribuan kelopak bunga menghujaniku. Bagaikan jutaan kembang api yang menghiasi langit mewarnai hari-hariku.


Aku teringat, saat dimana hanya ada aku dan dia di taman ini. Taman yang letaknya persis di belakang gedung sekolahku.
Saat itu. Saat dia menyatakan perasaan cintanya yang mampu melambungkan hatiku.

“Tau nggak, Fy? Gue selalu ngerasa sakit pas lagi jatuh.”

Aku mengangguk. “I know. Kalau jatuh nggak sakit, anak kecil nggak bakal nangis kali~”

Dia tertawa kecil. “Okay, tapi..buat gue, ada satu macam jatuh yang rasanya nggak sakit. Malah enak, bikin gue seneng.”

Aku mengernyit heran. “Really? Jatuh macam apa sih?”

Dia mengulum senyum, misterius sekali. “Jawabannya gue simpen dulu. Sekarang gue mau ngasih satu pertanyaan sama lo. Apa yang bakal lo lakuin setelah lo jatuh?”

“Ya bangun lah, masa tetep stay dibawah? Semua juga gitu kan?”

“Aku nggak.” Jawabnya cepat.

“Lho?”

Perlahan tangan kanannya bergerak naik, menyisipkan sejumput anak rambutku, ke belakang alat pendengarku.

“Satu macam jatuh yang nggak berasa sakit adalah jatuh cinta. Satu hal yang ngebuat aku nggak pengen bangun lagi setelah jatuh, juga jatuh cinta.”

Jeda. Ia mengambil tanganku dan menggenggamnya hangat.

“Dan yang aku rasain saat ini juga jatuh cinta. Disini, sama kamu.”

Aku pernah merasa bahagia. Seakan seluruh dunia berdoa akan diriku. Membuat senyuman indah pun enggan pergi dari bibirku.
***

Aku pernah merasa bahagia. Saat itu, bersamanya..dan karenanya..
•••

- Aku Pernah Merasa Kecewa... -

Aku pernah merasa kecewa. Seolah semua orang mengkhianatiku. Seolah semua orang pergi meninggalkanku.

Saat itu, saat dia benar-benar tak berada disisiku. Tanpa tahu aku sungguh membutuhkan kehadirannya.

“Yang sabar yah, Fy. Kalau lo nangis terus, bokap lo nggak bakal pernah tenang disana.”

Sivia. Sahabat yang selalu ada bersamaku, tanpa lelah terus menyabarkanku. Mengusap halus punggungku, dan terkadang membawaku dalam dekapan hangatnya.

Hal terberat sedang ku hadapi saat ini. Kehilangan satu-satunya teman hidupku--karena aku anak tunggal dan Ibuku telah berpulang sejak aku berumur 5th.
Dan aku bersyukur, masih ada Sivia disampingku.
Tapi, bolehkah aku berharap? Berharap akan kehadirannya? Berharap ia akan datang dan menenangkanku dalam pelukannya?

Harapan tinggal harapan. Sekeras apapun aku berdoa, jika Tuhan berkata 'tidak', semua takkan pernah terjadi.
Dan aku kecewa. Teramat kecewa, saat mendapati fakta tentangnya yang justru tengah berbahagia ditengah-tengah pesta gadis lain--entah siapa, bukan bersama ku yang sedang berduka.

'Aku butuh dia Tuhan, tapi kenapa dia tidak ada?'
***

Aku pernah merasa kecewa. Saat itu, kepadanya..

- continue -

Pendek? Banyak yg ga ngerti alurnya? Ngerasa alurnya kecepetan? Tiba2 jadian, dan ga lama langsung putus..
Okay, pertama..kenapa pendek? Karena idenya cuman segitu (•̯͡.•̯͡)
Kedua, soal alur...setelah gue pelajari (?) gue udah bisa nentuin kalau ini emang bener-bener make alur mundur. Nah makanya gue pake kata 'pernah' maksudnya itu kejadian udah dialami diwaktu sebelumnya gitu ohohoo
Soal alur yg cepet, karena ini formatnya mini story bukan cerbung dan tiap part berdasarkan 'rasa' (kayak part 1 kan lagi suka, part 2 lagi jatuh cinta) yang ada dihati gue (re. Ify dalam cerita ini) jadi ya gitulah *eh
Nah, terakhir juga ada yang nanya, “kok tiba2 jadian?” dan ada juga yang nanya “gimana jadiannya?” Udah terjawab dong dipart ini..ehehe
Btw, NP udah Final part yah..
Finish! Byebye~


Cheers!

@sugargirl08

Aku Pernah {4}

- Aku Pernah Merasa Sakit... -

Aku pernah merasa sakit. Bagai ribuan pisau menghujam jantungku. Menuai luka menganga yang teramat membekas.


Aku sakit jika harus bertengkar dengannya. Aku sakit jika dia lebih membela gadis lain daripada aku. Aku sakit..

“Aduh, Fy. Suer deh, kemaren tuh aku sama Dea cuman jalan biasa doang. Kan kamu sendiri yang bilang, kamu nggak bisa pergi sama aku karena ada janji sama Sivia. Ya udah, aku pergi aja sama Dea.”

Memang benar. Tapi, itu bukan berarti dia bisa pergi dengan gadis lain tanpa sepengetahuanku kan?

“Tapi, apa perlu kamu perginya sama Dea? Pake gandengan segala lagi.” Dengusku kesal.

Dia memutar kedua bola matanya, kesal?

“Fy, please! Aku cuman jalan sama Dea, lagian yang ngegandeng kan Dea, bukan aku. Kenapa mesti diributin sih?!”

“Cuma kamu bilang? Apa pernah, kamu liat aku jalan sama cowok lain? Apa pernah, kamu liat aku digandeng sama cowok lain? Ap--”

“Stop it!” Dia menyelaku agak keras. “Masalah kecil kayak gini aja kamu besar-besarin. Gimana mau kelar?! Aku pulang aja.”

Dia berlalu, meninggalkanku yang masih terpaku ditempatku--disofa ruang tamu.

Aku sakit saat dia meninggalkanku tanpa menyelesaikan masalah ini.
***

Aku pernah merasa sakit. Saat ia mulai lelah. Saat semua ia putuskan untuk diakhiri saja.
“Aku udah nggak sanggup.” Ucapnya disuatu siang, saat kami tengah duduk santai didepan kolam ikan rumahku seperti biasa.

Aku yang sebelumnya tertunduk, mendongak. “Maksud kamu?” Tanyaku dengan alis terangkat.

Dia mendesah, lelah?
Diusapnya wajah yang datar itu dengan kedua tangannya.

“Aku rasa..kita cukup sampe disini aja, Fy. Aku nggak sanggup kalau harus ribut terus sama kamu. Aku nggak bisa kalau harus terus-terusan ngikutin cara kamu.”

Aku mengerjap sekali. Masih belum mengerti dengan semua yang diucapkannya.

“Serius, aku nggak ngerti.”

Dia nampak menggigit bibir bawahnya, sesaat sebelum menatapku. “Aku cinta kamu, aku sayang kamu. Tapi..bukan berarti aku harus ikutin aturan kamu. Aku punya pergaulan sendiri, dan itu nggak cuman sekedar sama kamu, teman-teman kamu atau teman-teman satu team-ku di club sepak bola.”

Jeda. Ia menghembuskan nafas sesaat.

“Aku juga pengen bebas bergaul dengan cewek lain, selain kamu, atau Sivia.”

Saliva-ku seakan tertahan, tersendat saat melewati tenggorokan.

“Cuman karena itu?” Tanyaku lirih.

“Itu nggak sekedar cuma, Fy! Buat aku, kamu sekarang udah berubah. Nggak kayak Ify yang dulu lagi. Kamu yang sekarang over protective. Dan aku nggak suka!”

“Aku kayak gitu karena aku nggak mau kehilangan kamu, Yo..”

“Tapi cara kamu salah! Please, Fy..jangan paksa aku. Kita bisa mulai kehidupan baru tanpa ada kata 'kita' diantara aku sama kamu.”

Sebuah kecupan hangat mendarat dikeningku. Tangannya yang hangat bergerak lembut menyusuri kulit pipiku. Kemudian, langkah lebarnya berlalu meninggalkanku.

Aku pernah merasa sakit. Saat itu, saat dia meninggalkanku..
***

- continue -

Sorry telat (•̪ -̮ •)♉

Cheers!

@sugargirl08

Aku Pernah {3}

- Aku Pernah Merasa Cemburu... -
Aku pernah merasa cemburu. Bagaikan bara api menggerogoti hatiku. Badan ini terasa panas. Senyum pun seolah enggan menghampiri bibirku.
“Lo sama Rio beneran udah jadian?!” Jerit Sivia, bertanya. Saat ini kami sedang berada di PIM, menjalankan rencana kami sekitar 2 minggu yang lalu.

Memang tampangku seperti sedang berbohong? Aku mengangguk kesal.

“Egila, kapan PDKT-nya? Gue aja nggak pernah tau kalau elo suka sama dia.”

Aku menyeringai malu. Yah, aku termasuk tertutup untuk soal perasaan. Entahlah, aku terlalu malu untuk mengakui kalau aku menyukai seseorang, apalagi kalau aku mengakui sedang jatuh cinta..

“Yah, PDKT-nya biasa aja kok. Err..tapi bagi gue nggak biasa deh, secara lo tau kan, gimana sikap gue ke anak-anak cowok.”

Aku termasuk cewek yang tidak gampang akrab dengan cowok. Cowok manapun, sekalipun teman satu sekolah. Mungkin itu juga yang menjadi alasan kenapa Rio sempat ragu untuk mendekatiku--katanya waktu itu setelah menyatakan cinta padaku.

“I see! Pantes yah, lo suka ngeliatin anak-anak di club sepak bola, kecengan lo disana~”

Aku hanya tersenyum malu mendengar ucapan Sivia. Tiba-tiba Sivia menepuk pundakku dengan heboh.

“Fy, Fy, Fy! Itu Rio kan? Kok sama Dea?”

Aku clingukan mencari kedua sosok yang disebut Sivia.
Dan benar saja, aku melihat keduanya tengah berjalan beriringan dengan satu cone ice cream ditangan masing-masing. Sesekali keduanya terlihat sedang tertawa bersama. Bahkan, Dea tanpa enggan memeluk sebelah lengan Rio.

Aku merasakan sebuah sentuhan hangat dipunggungku. Bergerak naik-turun seolah mendinginkan hatiku yang mendidih, panas.

“Mereka kok..mereka kok berdua sih, Vi?”

“Aduh, sabar Fy, kali aja mereka jalan atas dasar temen, lo jangan salah sangka dulu, lo tanya dia dulu ntar.”

Nafasku mulai memburu, mataku memanas. Dengan cepat aku meraih phonecell didalam saku celanaku, dan mendial nomer yang telah ku hafal diluar kepala.

Sial!
Tidak diangkat.

“Nggak diangkat, Vi.” Ucapku lirih.

Sivia kembali menenangkanku.

“Ugh, gimana yah, Fy? Atau gini aja, kita beli minum dulu. Ntar malem lo hubungin dia lagi, kali aja sekarang hp dia ke silent atau ketinggal dirumah gitu. Lagiankan besok bisa ketemu disekolah.”

“Yah..”

Aku menuruti keinginan Sivia. Aku butuh penjelasan, meski harus menunggu.
***

- continue -

Cheers!

@sugargirl08

Aku Pernah {2}

- Aku Pernah Merasa Jatuh Cinta... -
Aku pernah merasa jatuh cinta. Bagaikan ribuan kupu-kupu mengepakkan sayapnya dalam perutku. Bagaikan rentak gendang yang bertalu dalam dadaku.
“Menurut lo, jatuh cinta itu gimana sih, Vi?”

Sivia menatapku dengan alis bertaut. Ada yang salah dengan pertanyaanku?

“Kenapa lo tiba-tiba nanya gitu?” Tanya Sivia, terdengar curiga.

Aku menggeleng. Kemudian meletakkan daguku pada kedua tangan yang bertumpu pada lututku.

“Pengen tau aja. Gue kan..belum pernah jatuh cinta.”

Sivia mencibir. “Huuu..bukan belum pernah kali, tapi belum nyadar.”

“Yah, mana gue tau, gue yang belum pernah atau emang belum nyadar kalau sekarang, gue tanya tanda-tanda jatuh cinta itu gimana aja, lo nggak ngasih tau.”

Sivia berdehem. “Hem..jatuh cinta yah? Kalau berdasarkan pengalaman gue sih..lo bakalan susah tidur karena sering ke inget dia, ya kalaupun bisa pasti jadi sering mimpiin dia. Makan rasanya nggak nafsu, lo lebih semangat pas nerima sms dia dibanding sms gue. Ya gitu deh, hal-hal yang dulunya lo nggak suka, lo nggak bisa kalau udah atas dasar kata 'karena atau demi dia' pasti jadi bisa.”

Aku mengangguk-angguk, paham. Pantas saja, semenjak dekat dengan Alvin, Sivia menjadi lebih semangat dengan hal-hal yang berbau basket. Setelah ku tanyakan, ternyata itu adalah salah satu hal yang bisa membuat ia dan Alvin menjadi lebih connect.

“Terus, Fy..lo pasti jadi lebih peka. Kalau dia ada didekat atau disekitar lo, meskipun lo awalnya nggak tau, tapi pasti lo bisa ngerasain.”

Benarkah?
Apa itu semacam telepati? Ikatan bathin? Ah, tapi kan yang merasa hanya aku. Dia?
Bukankah telepati atau pun ikatan bathin hanya teruntuk mereka-mereka yang saling menaruh hati? Atau kesimpulanku selama ini salah?

Tiba-tiba saja aku merasa degup jantungku berdetak lebih cepat. Entahlah, aku seperti merasakan..

“Latihan ntar sore, Yo! Jam setengah 4!”

Aku buru-buru menoleh ketika mendengar teriakan itu. Persis disaat itu, aku melihat sosoknya sedang berbalik ke belakang dengan jempol teracung.
Apa aku benar-benar jatuh cinta kepadanya?
Apa feeling ku--tentang keberadaannya tadi, hanya kebetulan? Atau memang itu pembuktian atas penjelasan Sivia barusan?
***

Aku pernah jatuh cinta. Bagaikan kebahagian selalu menyelimutiku. Senyum ceria seolah enggan pergi dari bibirku. Meski hanya sebentar, diantara rinai hujan, asal berdua dengannya..semua terasa menyenangkan.

“Belum pulang, Fy?”

Aku mendongak dan tersenyum kikuk. Entah mengapa, dua hal itu selalu menjadi efek dari keterkejutanku saat melihatnya.

“Eh, belum, Yo. Kamu?”

Ia menadahkan kedua telapak tangannya di bawah rinai hujan, sambil menatap langit.
Aku menatap siluet samping wajahnya dengan seksama.

“Gue suka banget sama hujan, Fy.”

Aku tahu! Dia suka hujan dan suka bermain bola sambil mandi hujan.

“Apalagi kalau sambil main bola, rasanya seru terus makin semangat juga.”

Aku tersenyum. Ternyata pengetahuanku tidak salah.

“Biasanya, gue cuman ngerasain bahagianya hujan karena main bola. Tapi sekarang..gue juga ngerasain bahagianya hujan karena seseorang yang gue suka.”

Dia menatapku dan tersenyum kecil. Tanpa tahu segala macam perasaan berkecamuk dalam dadaku.
Ingin tahu. Penasaran. Tak suka.

“Disini, sama lo.” Ia kembali tersenyum, setelah sukses membuatku tertegun dengan sebuah pertanyaan didalam otakku, karena ucapannya barusan.

“Gue duluan yah!” Pamitnya menerobos hujan.

Maksudnya? Aku takut ini hanya GR-ku saja. Tapi..bukankah pernyataanya barusan menyiratkan kalau ia menyukaiku?
***

Aku pernah jatuh cinta. Saat itu, kepadanya..Rio
- continue -

Cheers!

@sugargirl08

Akhir Kisah Kita (short story)

Sejak engkau mendua
Entah apa yang ku rasakan
Memendam perih, menyimpan luka...
• • • • •


“Loe udah putus sama Rio?”

“Kemaren gue liat dia jalan sama Dea.”

“Semalem dia juga dinner sama Dea.“

“Terus Rio selingkuh?“

Ke empat kalimat itu terus berdengung di telinganya. Mengikis kepercayaan yang sebelumnya tertanam kuat didasar hatinya. Like it or not, tapi banyak orang yang sering menyampaikan hal serupa padanya.

“Ya Allah, gue harus gimana? Kenapa jadi susah banget sih percaya sama dia?!“ tanya nya putus asa.

Adakah seseorang yang bisa membantunya terlepas dari kegalauan ini?

Seketika bayangan seorang gadis manis, berambut panjang, melintas dalam benaknya. Tanpa berpikir dua kali, ia meraih ponsel flip disebelahnya, dan menekan tombol speed dial untuk menghubungi gadis manis itu, sahabatnya.

“Hallo, Vi! Jemput gue dirumah, please.. I'm bored now..“

Setelah menyampaikan maksud nya secara singkat, dan mendapat respon setuju dari sang penerima telphone, ia segera berbenah diri. Membuat wajah kusut itu menjadi lebih fresh.
***

Sivia--gadis manis itu, terlihat bosan menanti kehadiran seseorang yang beberapa menit lalu menghubunginya, dan mengajaknya untuk menghabiskan waktu bersama. Lebih dari 10 menit gadis itu membolak-balik majalah ditangannya, namun yang ditunggu tak kunjung datang.

“Hei!“

Ah, akhirnya yang diunggu datang juga.

“Kemana aja sih loe, Fy? Gila lama amat.“ Sivia menggerutu sebal. Diletakkannya majalah Gadis yang sempat ia gunakan sebagai pengalihan rasa bosan tadi, ke tempat semula.

“Sorry lah, Vi. Gue berbenah diri dulu, biar cantik.“

Sivia melengos mendengar ucapan sahabatnya itu. Sebenarnya ia merasa ada kejanggalan pada diri Ify-sahabatnya itu, tapi ia mencoba biasa. Kalau memang ingin, Ify pasti akan bercerita.

“Udah ah, stop talking about something yang nggak penting gini. Cabut, yuk!“ ajak Sivia cepat. Di raihnya kunci mobil dengan gantungan shaun the sheep, yang sempat ia letakkan di atas meja tadi.
Sedangkan Ify mengikuti langkahnya, dengan merangkul hangat bahu gadis tersebut.
***

Dua jam ber-having fun ria bersama Sivia ternyata tak dapat membuat kegalauan yang melanda hati Ify, menghilang secara sempurna. Ia masih memikirkan omongan orang-orang tentang kekasihnya.
Ah, apalagi sampai detik ini, orang yang ia sebut kekasih itu tak kunjung menghubunginya. Ada apa lagi ini?

“Nomer yang anda hubungi sedang--“

Klik..
Ify menutup flip ponselnya begitu sang operator menjawab telphonenya lebih dari 5 kali.
Entah apa maksud Rio membuat gadis cantik itu kebingungan hari ini. Sudah tak memberi kabar, tak dapat dihubungi pula.

“Arghh! Rio jelek! Loe kemana sih?“ teriaknya sambil mendekap bantal berbentuk hati pemberian Rio.

Dihembuskannya nafas dengan kasar. Kemudian ia meraih sebuah ikat rambut kecil disampingnya, dan merapikan rambut panjangnya yang mulai tak beraturan.

“Huhh! Gue harus ngomong sama dia besok!“ tekadnya.
***

Sorry barbie, aku ga bisa jemput
kamu pagi ini.
Kita ketemuan jam
istirahat dilapangan indoor yah?
Udah lama ga
ngebasket sambil ditemenin kamu.
Love you :*

Sender : Rio


Lagi-lagi Ify menghembuskan nafasnya dengan kasar. Tadi ia bangun lebih pagi agar tidak membuat Rio menunggu seperti biasanya saat menjemput dirinya.
Kemudian, akibat pria yang ditunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya, gadis ini juga menghabiskan 10 menit waktunya, didepan gerbang rumah, persis penumpang yang sedang menunggu angkutan umum.
Parahnya, barusan ia mendapatkan kabar bahwa yang ditunggu benar-benar tidak akan datang untuk menjemputnya.
Huhh, what a wonderfull life?!

“Ya udahlah, pergi sekarang aja.“ putusnya kemudian, setelah beberapa menit menghabiskan waktu dengan menatap nanar layar ponselnya.
***

Bel tanda istirahat berbunyi 3 kali. Membuat hati Ify berbunga-bunga. Dengan terus mengulum senyum, gadis cantik itu merapikan segala peralatan tulisnya dengan sedikit tergesa-gesa. Tak ingin membuat kekasihnya menunggu terlalu lama.

“Fy, kantin yuk!“

Lengkingan keras tiba-tiba saja bergaung didalam kelas Ify. Dengan segera gadis itu menoleh ke pintu kelas, dan mendapati sang sahabat tengah menyeringai lebar.

“Apaan sih, Vi? Gue nggak ke kantin. Ada janji sama Rio!“ serunya yang masih sibuk merapikan beberapa buku pelajaran.

Sivia yang masih berdiam didepan pintu kelas memberengut. Capek-capek nyamperin dari lantai 1 ke lantai 2, eh nggak ada hasilnya, bathinnya gondok.
Namun sedetik kemudian gadis itu tersadar, beberapa hari belakangan ini Ify dan Rio jarang terlihat bersama. Dan akan terkesan jahat jika ia memaksa gadis yang sedang sibuk itu pergi ke kantin bersamanya.

“Ya udah deh,“ ucapnya pelan.

“Sorry yah, Vi!“

Sivia mengangguk maklum. “Have fun yah, Fy!“ ucapnya seraya berlalu pergi.

Ify tersenyum, dalam hati berharap ucapan Sivia akan sesuai dengan apa yang beberap saat lagi akan terjadi. Semoga..
***

Peluh mulai membanjiri pelipis pemuda putih dengan raut wajah sedikit oriental. Kaos hitam yang ia kenakan terlihat semakin basah oleh keringatnya. Tanpa merasa lelah, ia terus mendribble bolanya, menggiringnya menuju ring, dan..shoot! Memasukkannya dengan sempurna.

Membuat gadis cantik yang sedang duduk di pinggir lapangan melongo sempurna, karena kagum.
Ia terus bertepuk tangan kecil setiap 'pemudanya' itu berhasil memasukkan bola dengan tembakan-tembakan indah yang mengaggumkan.
Hingga sebuah dering ponsel mendominasi riuh tepukannya, gadis itu segera berhenti dan melirik smartphone berlayar touchscreen yang sedang berkelap-kelip disebelahnya. Menampilkan sebuah nama pemanggil yang cukup membuat gadis itu menahan nafas beberapa saat.

“Dea?“ gumamnya dengan nada bertanya.

Ia masih membiarkan ponsel itu bernyanyi keras. Dalam hati ia dilema, angkat atau biarkan. Melalui ekor matanya, ia melirik Rio yang terlihat asik dengan dunianya. Seolah lupa bahwa disana ia tak sendiri, namun ada seorang gadis cantik yang masih setia dengan handuk dileher, dan air mineral dipangkuan.

“Well, kayaknya Rio lagi asik banget, gue angkat aja kali yah..“ ucapnya menimbang-nimbang.

Tepat ketika suara itu berdering untuk ke lima kalinya, tanpa ragu Ify menyentuh layar smartphone tersebut, dan menempalkan pada telinganya.

“Hallo, beib! Lama banget sih ngangkatnya? Ak--“

Nafas Ify bagai tersangkut ditenggorkan. Terlalu sulit untuk ditarik, seolah betah bertahan disana. Belum sempat ia mengucapkan salam pembuka, racauan gadis bersuara manja itu lebih dulu menyerangnya. Membuat tubuhnya melunglai perlahan. Dengan gerakan pelan ia menurunkan smartphone tersebut. Tak lagi didengernnya kalimat-kalimat mengumpat dari gadis yang ia yakini merupakan selingkuhan milik kekasihnya
Apa ia terlalu cepat mengambil kesimpulan? Tidak. Tentu saja tidak.
Suara manja dan panggilan sayang yang ia dengar sudah cukup menjadi bukti akan kesimpulannya.

Ify tertawa miris. “Tega kamu, Yo..“ ucapnya lirih.

Dengan setengah kesadaran yang ia miliki, Ify berdiri. Membuat air mineral dipangkuannya terjatuh, sehingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Rio yang mendengar, menghentikan permainannya. Ditatapnya Ify yang nampak bagai raga tak bernyawa itu melangkah gontai tanpa berpamitan padanya.

Alis Rio bertaut, masih dengan rasa heran ia menyerukan nama Ify. “Fy! Where are you going? Aku belum selesai.“

Ify yang mendengar menghentikan langkahnya. Tanpa menoleh ia berucap, "Dea nelpon kamu, Yo. Maaf aku lancang udah ngangkat tanpa izin.." ucapnya pelan, namun cukup untuk didengar oleh Rio.
Tanpa menunggu reaksi dari Rio, Ify kembali melanjutkan langkahnya dengan pelan.

Ditempatnya Rio terdiam membisu. Masih berusaha mencerna ucapan Ify barusan.

“Dea nelpon gue? De..“ Rio membulatkan kedua matanya dengan sempurna. “Astaga! Dea...“

Setengah berlari Rio menuju pinggir lapangan untuk mengecheck ponselnya. Dan ia semakin panik ketika menyadari hal buruk telah terjadi.

“Sial! Ify! Fy..“


• • • • •
Sampai pada saat ini
Aku memulihkan rasa dihatiku
Baru aku bisa, bisa bicara...
• • • • •


“Kalau emang elo nggak sanggup, dan berpikir buat mundur, loe harus mundur sekarang, Fy..“

Ify balas menatap Sivia, yang tengah mengelus punggung tangannya. Beberapa menit yang lalu kedua gadis ini terlibat pembicaraan penting, tentang bocornya perselingkuhan Rio yang diketahui Ify secara langsung, tanpa mata-mata!
Sivia yang mendengarnya, tentu tak terima kalau sahabat terbaiknya disakiti seperti itu.

“Dan..apa menurut loe, emang lebih baik gue mundur?“ Ify balik bertanya.

Sivia mendesah panjang. Ia mulai beranjak dari duduknya, dan melangkah menuju jendela kamar Ify, yang terbuka lebar

“Ada kalanya, kita harus ngelepas seseorang yang kita sayang. Bukan sekedar untuk kebahagiaan dia, tapi juga kebaikan kita.”

”Dan yang terbaik buat gue, menurut loe adalah ngelepasin, Rio?” sahut Ify bertanya.

Sivia mengangkat kedua bahunya pelan. ”Follow your heart, karena jawaban dari segala pertanyaan loe itu, sebenernya berasal dari sana.”
***

Bunyi sedotan dan gelas yang beradu, sedikit meramaikan meja gadis cantik ini. Sambil menunggu pemuda dihadapannya membuka mulut, ia memilih untuk menyedot sedikit demi sedikit cappucinno ice, minuman favoritenya.

”Fy, please...” pemuda itu membuka suara dengan nada memohon. Berharap gadis didepannya segera meralat deklarasi singkat yang baru saja terucap.

”Sorry, Yo. Keputusan gue udah bulat. Dan gue nggak bakal ngubah apapun itu.” ujar Ify dengan nada bicara yang teramat tenang. Dibuangnya kebiasaan ber 'aku-kamu' yang dulu sering ia ucapkan ketika berbicara dengan pemuda tersebut.
”Kamu bohong, Fy! Aku tau, kamu masih sayang sama aku!” ucapnya pelan, namun penuh keyakinan.

Ify tertawa hambar. ”Masih sayang?” tanya Ify dengan kening berkerut. Seolah sedang memikirkan makna kata tersebut. ”Yah..masih sayang atau udah nggak, tetep nggak ngerubah kenyataan kan, Yo? Lo selingkuh..”

Rio mendengus kesal mendengarnya. Okay, pemuda ini mengakui perselingkuhan itu memang terjadi, tapi bisakan untuk tidak selalu mengungikatnya? Kali ini ia bersungguh-sungguh, tidak akan mengulang kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Tidak ingin menyia-nyiakan anugrah Tuhan yang -mungkin baru ia sadari- berharga, untuk kedua kalinya.

”Iya, Fy. Iya! Aku tau, aku ngerti, aku salah sama kamu, tapi kita bisa perbaikin itu semua..” Rio mulai putus asa, nada bicaranya semakin melemah ke akhir kalimatnya.

Ify kembali tertawa hambar. “Hehh..kita? Elo aja kali, gue nggak..“

“Fy!” semakin tak kuasa, Rio meninggikan suaranya. Mengabaikan tatapan tak suka pengunjung lain yang merasa terganggu engan lengkingan suaranya yang tiba-tiba. “Kenapa sih, kamu nggak mau ngertiin aku? Kenapa kamu nggak mau ngasih kesempatan sama aku? Tuhan aja Maha Pemaaf, kenapa ka--“

“Siapa bilang gue nggak maafin loe?“ potong Ify bertanya.

Rio terkesiap. Tadi Ify sendiri yang bilang, mereka harus mengakhiri petualangan cinta yang pernah mereka arungi bersama. Dan itu artinya..

“Kamu bilang kita mending putus aja, itu berarti..“

Ify menggeleng acuh. “Loe minta maaf, okay gue maafin. Tapi untuk jalan bareng lagi...“ Ify menggantung kan kalimatnya. Dipejamkannya kedua matanya sambil menghembuskan nafas secara perlahan. “...sorry, Yo, kayaknya nggak bakal bisa.“

The final answer. Tidak aka berubah kecuali Tuhan berkehendak lain. Tapi yang jelas, untuk saat ini, memang inilah yang terjadi.
Tanpa memikirkan bagaimana kondisi Rio -yang entah mengapa menjadi shock- setelah mendengar penuturannya, Ify segera berlalu meninggalkan pemuda tersebut, dengan selembar uang seratus ribu rupiah, di bawah gelas minumannya.

• • • • •
Demi aku yang pernah ada dihatimu
Pergi saja dengan kekasihmu yang baru Dan aku yang terluka oleh hatimu
Mencoba mengobati perih ku sendiri
• • • • •

“Fy...”

Ify menghentikan langkahnya saat mendapati sesosok pemuda --yang akhir-akhir ini sering 'mengganggunya'-- tengah berdiri dihadapannya.
Dengan alis terangkat, ia menatap pemuda yang memasang tampang penuh harap kepadanya.

“Please, kita perlu bicara.”

Ify meniup poni dikeningnya dengan malas. “Rio, kita nggak perlu bicara--”

“Rio!"

Dan lengkingan manja seorang gadis yang tengah berlari-lari kecil menghampiri mereka -Ify dan Rio- menghentikan ucapan Ify.

Ify tersenyum sinis, dengan tangan terlipat di dada. “Tuh,” ia mengedikkan dagunya ke arah Dea yang kian mendekat. “Yang perlu bicara itu bukan kita, tapi..”

"Hai!” Sapa Dea semangat, mengabaikan kehadiran Ify yang menatapnya tak suka.

“..kalian.”

Ify segera berlalu meninggalkan koridor yang mulai terasa panas itu. Di hiraukannya suara Rio yang terus menyerukan namanya.
Matanya terpejam, nafasnya memburu. Tak dapat dipungkiri, rasa itu masih ada, namun sakit itu masih jelas terasa, bahkan kian nyata. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Ify membatin miris.
***

Sivia menatap Ify iba. Ia tahu benar tentang apa yang dirasakan sahabatnya itu.
Dua tahun menjalin hubungan dengan Rio, tentu telah meninggalkan banyak kenangan dalam benak Ify. Dan selama itu, mereka -nyaris- selalu menghabiskan waktu bersama, jika kini tiba-tiba saja mereka -atau lebih tepatnya Ify- memilih untuk sendiri-sendiri, tentu kecanggungan itu akan terasa kan?

“Kalau lo udah yakin dengan keputusan yang lo pilih, lakuin! Tapi kalau lo masih ngerasa belum yakin..gue rasa masih ada waktu buat kembali sama dia.”

Sivia mengucapkannya dengan setengah hati. Jujur, kekecewaannya akan sikap Rio -yang telah menduakan sahabatnya- masih ada, namun ia juga tak ingin egois. Jika memang Ify memiliki keputusan yang berbeda dengannya, ia akan menghargai.

Ify menggeleng pelan, “Nggak, Vi. Mungkin bener kata lo maafin kesalahan seseorang itu jauh lebih gampang ketimbang ngelupain kesalahan yang dia perbuat, dan itu yang gue rasain sekarang.”

“Terus, lo ngerasa udahan ama Rio itu pilihan terbaik?” Ify mengangguk. “Dan lo seneng? Lo ikhlas? Lo rela ga sama-sama Rio lagi?” Cecar Sivia, lagi-lagi Ify mengangguk.

Sivia mendesah. “Dengan lo nangis-nangis kayak gini, apa itu yang lo maksud seneng, rela dan ikhlas itu?”

Jeda. Sivia melangkah perlahan, mendekati Ify.

“Kalau emang lo ngerasa seneng sama keputusan lo, mestinya lo sekarang lagi ketawa sama gue. Kalau emang lo rela, mestinya lo biasa aja ngeliat Rio sama Dea. Kalau lo ikhlas, mestinya sekarang lo nggak lagi meratapi nasib kayak sekarang.”

Ify tertawa kecil mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Sivia. Dengan cepat ia menyeka air matanya, kemudian berbalik menghadap Sivia.

“Sialan lo! Gue nggak lagi meratapi nasib tau!” Serunya setengah kesal, dalam tawa kecilnya. “Thanks ya, Vi Lo bisa bikin gue lebih baik, dan tau gimana harus bersikap.”

Sivia tersenyum lega, kemudian menepuk pelan pundak Ify “That's what friend are for kan? Eh jadi lo mau...balikan gitu, sama Rio.”

“Nggaklah.” Bantah Ify cepat. “Gue cuman berpikir, dulu gue ama dia jadiannya kan baik-baik, jadi ya mestinya kita udahannya juga baik-baik, at least dengan begitu perasaan gue pasti jadi lebih baik, karena nggak ada dendam sama dia.”

Sivia ternganga, membuat Ify menatapnya dengan kening berkerut. “Oh my friend! Lo habis nelen bukunya Mario Teguh ya? Kok bijak banget.”

Ify menggeram, “Sivia!”
***

Ketemuan di lapangan indoor,
istirahat kedua yah.


Sender : Alyssa


Rio menatap 'percaya tak percaya' pada display ponselnya. Ia ingat betul bahwa sender bernama Alyssa tersebut adalah Ify-nya. Alyssa memang panggilan khusus dari teman-teman dekat Ify, termasuk Rio dan Sivia.

“Yo, sampai kapan sih lo mau gantungin gue? Lo kan udah putus sama Ify.” Keluh Dea dengan muka ditekuk.

Rio yang seolah tak mendengar ucapan Dea, justru segera bangkit dari duduknya.

“Sorry, De. Gue mau cabut dulu.”

Tanpa menunggu jawaban dari Dea, Rio segera berlari meninggalkan gadis yang tengah merutuki dirinya itu.
***

“Vi! Sivia!”

Sivia menoleh sebentar ketika mendengar seseorang menyerukan namanya.

“Bentar yah, Gab gue mau ke sana dulu.” Pamitnya pada Gabriel. Setelah mendapat anggukan dari Gabriel, Sivia segera melangkah menghampiri Rio, seseorang yang memanggilnya.

“Kenapa?” Tanya nya tanpa basa-basi.

Rio menyeringai kecil dengan canggung. Ia dapat merasakan tatapan tak bersahabat dari Sivia, namun ia menganggap wajar dan memilih untuk bersikap acuh.

“Err..lo liat, Ify?”

“Ya lo cari aja di kelas nya, lo nggak lupa dimana kelasnya Ify kan?” Jawab Sivia setengah menyindir.

Rio menggaruk-garuk tengkuknya, malu. Bagaimana bisa ia lupa, kalau Sivia dan Ify tidak sekelas.

“Err...itu--”

“Lo cari aja di kelasnya, kalau ga nemu ya paling dia ada di perpus, kantin atau taman sekolah.” Sela Sivia.

Rio mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lo ada perlu apa sampe nyariin dia?” Tanya Sivia menyelidik.

“Emm..itu tadi ada janji ama dia.”

Sivia mengangguk, teringat akan pembicaraanya dengan Ify semalam. “Ohh okay, by the way, biasa aja kali sama gue, nggak usah nervous gitu sampe ngomong aja gagu.”

“Hahh?! Iya.”

Sivia menggeleng heran melihat tingkah Rio. “Ya udah deh gue cabut, bye!”
***

Ify mengangkat wajahnya dari novel yang ia baca, ketika merasakan ada sesosok bayangan dihadapannya.

“Ngapain lo ke sini?” Tanya nya dengan alis terangkat.

Rio--pemilik bayangan itu, menatap Ify dengan kikuk. “Ehh itu--”

Ify menutup novelnya. “Gue kan bikin janji sama lo istirahat kedua nanti, dan bukan di kelas gue.”

Hening. Ify masih menunggu Rio yang terlihat bingung untuk berbicara.

“Hhhh, daripada keberadaan lo disini sia-sia, kayaknya lebih baik gue ngomong sekarang.” Ucap Ify membuka mulut. “Ya, mana tau Dea udah nungguin lo juga..” Sambungnya, “Eh, atau lo emang nemuin gue sekarang karena istirahat kedua nanti mau bareng Dea?” Tanya Ify dengan nada bicara yang dibuat-buat.

Rio menggeleng cepat. Bukan. Bukan itu maksudnya. Ia hanya merasa tidak sabar untuk bertemu Ify. Ia terlalu bersemangat, sehingga memilih menghampiri Ify dengan segera dan meninggalkan Dea di kantin sendirian. Tapi kenapa jadi salah paham begini?

Ify tertawa kecil. Terdengar renyah, wajahnya terlihat semakin manis dengan sepasang lesung dikedua pipinya. Mata kecilnya menyipit. Sungguh, ingin rasanya, Rio memeluk tubuh mungil itu saat ini juga. Namun apa daya, tangan tak sampai.

“Aduh, Yo..biasa aja deh responnya, gue biasa aja kok.” Ify mulai mengontrol tawanya. “Gue cuman bercanda, tapi kalau beneran juga nggak papa sih--”

“Fy, please! Jangan bikin aku makin ngerasa bersalah sama kamu. Aku sadar aku udah bikin kamu sakit, aku tau aku udah selingkuh sama Dea, tapi demi Tuhan dari dulu sampe sekarang perasaan aku nggak pernah berubah.” Rio meluapkan segala isi hatinya, sebagai 'sahutan', Ify hanya terdiam menatap kedua mata elang milik Rio. Mencari kebenaran akan kata-kata yang dilontarkan oleh pemuda tersebut. “Aku, sayang sama kamu, Fy. Masih sayang..” Sambung Rio lirih.

Ify tersentuh. Setengah hati merasa melayang mendengar pengakuan pemuda tersebut. Tak bisa dipungkiri, ia masih menyimpan rapi rasa itu disana, hatinya. Namun, pengalaman membuatnya takut untuk memulai, ragu untuk mempercayai kata-kata dari Rio.

Ify memejamkan kedua matanya kemudian mengangguk paham.

“Okay, okay, gue nggak tau saat ini lo lagi bohong at--”

“--sekian lama kamu natap mata aku, dan kamu masih berpikir kalau aku bohong?” Potong Rio bertanya. “Kamu sendiri yang bilang, mata nggak pernah bohong. Apa tadi kamu ngeliat kebohongan itu dimata aku?”

Ify membuang nafas. “Maaf.”

“Aku yang harusnya minta maaf. Aku yang udah nyakitin perasaan kamu, aku yang udah ngebuat kamu susah untuk percaya lagi sama aku.”

“Gue udah maafin, dan karena itu...gue ngajakin lo buat ketemu.”

Rio menatap Ify dengan mata berbinar. “Jadi kamu udah maafin aku?” Diraihnya tangan gadis tersebut, lantas digenggamnya erat. “Berarti kamu..”

Ify menangkap jelas binar kebahagiaan yang tercetak di wajah tampan Rio, hatinya luluh. Tapi, tekad dalam hatinya telah kuat, dan tak bisa diganggu gugat.

Ify menarik salah satu tangannya dari genggaman Rio. “--nggak, Yo. Kalau untuk balikan lagi sama kamu maaf, aku ga bisa.” Jelas Ify yang memahami makna binar-binar bahagia yang terpancar diwajah pemuda tersebut.

Genggaman Rio melemah, matanya berubah sendu. “Apa aku udah nggak punya kesempatan lagi, Fy?”

Tanpa sadar tangan Ify bergerak naik menuju pipi Rio, diusapnya pipi pria tersebut dengan halus.

“Lo percaya 'kalau jodoh nggak akan kemana' kan? Kalau emang lo jodoh gue, someday..kita pasti bakal bersatu lagi kok.” Ify menurunkan tangannya, dan memberikan senyum terbaiknya untuk Rio.

Meski pun sulit, Rio mencoba untuk menerima dan mengerti akan keputusan yang dipilih Ify.

“Aku nggak yakin bisa baik-baik aja tanpa kamu, Fy.” Ucap Rio dengan wajah tertunduk.

Ify meletakkan sebelah tangannya pada pundak Rio. “Hei, everythings gonna be okay. Trust me..”

Dan entah siapa yang memulai, keduanya telah menyatuh dalam pelukan hangat. Pelukan sebagai tanda dari akhirnya kisah cinta mereka, dan awal dari persahabatan mereka.
***

Aku bisa, aku pasti bisa..tanpamu...


“Nyesel? Pengen mutar waktu dan ngeganti jawaban yang kemaren?” Goda Sivia pada Ify, yang terlihat sedang melamun didepan jendela kamarnya.

Ify menggeleng pelan. “Nggak kok.”

“Beneran? Yakin bisa tanpa dia?” Sivia masih menggoda sambil memainkan kedua alisnya, membuat Ify menggeram ditempat.

“Err..sebelum gue sama Rio bersama pun, gue bisa hidup kan? Ya berarti bisa lah..”

Sivia menjentikkan jarinya. “Yep! Everythings gonna be okay, with or without him. Right?”

***

The random of my mind! Ahahaha yah saya sedang random, saya sedang...nggak tau deh apa yang ada diotak gue dan apa yang ada dihati gue, intinya gue cuman pengen ngeshare isi hati dan otak gue dalam sebuah tulisan yang berakhir seperti ini-_-
Yah, gaje kaliyah jadi buat yang udah terlanjur, alias ga sengaja baca tolong dimaafkan-_-
Huhh, judulnya aneh yah :/ gaje ga sih? Gue bingung mikirin judulya begitu deh (•̯͡.•̯͡) kalau ada yg punya saran judul lebih baik dari ini silahkan ngomong yah ahahahaa
Btw, ini kan cerita aslinya bukan pake tokoh IC tapi (lagi-lagi) Naura, Naufal, Nia, Andrean, dan Vannesa. So, kalau ada typo seputaran namanya doang lah, ya bisa dipahami dong yah (•̯͡.•̯͡)
Kritik, saran, dan segala sesuatu yang pengen diungkapkan silahkan tuangkan dikolom komentar dibawah ini.


Song : Aku Bisa (Flanella)

Cheers!


@sugargirl08

Selasa, 06 November 2012

#somethingrandom

 Hidup itu untuk berjuang, bukan menyerah..
Hidup itu harus berlanjut, bukan berhenti...
Tapi terkadang, keadaan membuat kita menyerah dan berhenti menjalani hidup..
Salah siapa?
Keadaan kah?
Atau, hidup?

Sebuah lirik yang pernah ku dengar menyebutkan...
"berserah bukan berarti menyerah, namun tak henti percaya, bahwa kita memang harus bahagia."

Bukankah berserah lebih identik dengan arti pasrah? 
Bukankah titik pasrah seseorang karena Ia telah lelah berjuang dan memilih untuk menyerah?



@sugargirl08