Selasa, 20 November 2012

Akhir Kisah Kita (short story)

Sejak engkau mendua
Entah apa yang ku rasakan
Memendam perih, menyimpan luka...
• • • • •


“Loe udah putus sama Rio?”

“Kemaren gue liat dia jalan sama Dea.”

“Semalem dia juga dinner sama Dea.“

“Terus Rio selingkuh?“

Ke empat kalimat itu terus berdengung di telinganya. Mengikis kepercayaan yang sebelumnya tertanam kuat didasar hatinya. Like it or not, tapi banyak orang yang sering menyampaikan hal serupa padanya.

“Ya Allah, gue harus gimana? Kenapa jadi susah banget sih percaya sama dia?!“ tanya nya putus asa.

Adakah seseorang yang bisa membantunya terlepas dari kegalauan ini?

Seketika bayangan seorang gadis manis, berambut panjang, melintas dalam benaknya. Tanpa berpikir dua kali, ia meraih ponsel flip disebelahnya, dan menekan tombol speed dial untuk menghubungi gadis manis itu, sahabatnya.

“Hallo, Vi! Jemput gue dirumah, please.. I'm bored now..“

Setelah menyampaikan maksud nya secara singkat, dan mendapat respon setuju dari sang penerima telphone, ia segera berbenah diri. Membuat wajah kusut itu menjadi lebih fresh.
***

Sivia--gadis manis itu, terlihat bosan menanti kehadiran seseorang yang beberapa menit lalu menghubunginya, dan mengajaknya untuk menghabiskan waktu bersama. Lebih dari 10 menit gadis itu membolak-balik majalah ditangannya, namun yang ditunggu tak kunjung datang.

“Hei!“

Ah, akhirnya yang diunggu datang juga.

“Kemana aja sih loe, Fy? Gila lama amat.“ Sivia menggerutu sebal. Diletakkannya majalah Gadis yang sempat ia gunakan sebagai pengalihan rasa bosan tadi, ke tempat semula.

“Sorry lah, Vi. Gue berbenah diri dulu, biar cantik.“

Sivia melengos mendengar ucapan sahabatnya itu. Sebenarnya ia merasa ada kejanggalan pada diri Ify-sahabatnya itu, tapi ia mencoba biasa. Kalau memang ingin, Ify pasti akan bercerita.

“Udah ah, stop talking about something yang nggak penting gini. Cabut, yuk!“ ajak Sivia cepat. Di raihnya kunci mobil dengan gantungan shaun the sheep, yang sempat ia letakkan di atas meja tadi.
Sedangkan Ify mengikuti langkahnya, dengan merangkul hangat bahu gadis tersebut.
***

Dua jam ber-having fun ria bersama Sivia ternyata tak dapat membuat kegalauan yang melanda hati Ify, menghilang secara sempurna. Ia masih memikirkan omongan orang-orang tentang kekasihnya.
Ah, apalagi sampai detik ini, orang yang ia sebut kekasih itu tak kunjung menghubunginya. Ada apa lagi ini?

“Nomer yang anda hubungi sedang--“

Klik..
Ify menutup flip ponselnya begitu sang operator menjawab telphonenya lebih dari 5 kali.
Entah apa maksud Rio membuat gadis cantik itu kebingungan hari ini. Sudah tak memberi kabar, tak dapat dihubungi pula.

“Arghh! Rio jelek! Loe kemana sih?“ teriaknya sambil mendekap bantal berbentuk hati pemberian Rio.

Dihembuskannya nafas dengan kasar. Kemudian ia meraih sebuah ikat rambut kecil disampingnya, dan merapikan rambut panjangnya yang mulai tak beraturan.

“Huhh! Gue harus ngomong sama dia besok!“ tekadnya.
***

Sorry barbie, aku ga bisa jemput
kamu pagi ini.
Kita ketemuan jam
istirahat dilapangan indoor yah?
Udah lama ga
ngebasket sambil ditemenin kamu.
Love you :*

Sender : Rio


Lagi-lagi Ify menghembuskan nafasnya dengan kasar. Tadi ia bangun lebih pagi agar tidak membuat Rio menunggu seperti biasanya saat menjemput dirinya.
Kemudian, akibat pria yang ditunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya, gadis ini juga menghabiskan 10 menit waktunya, didepan gerbang rumah, persis penumpang yang sedang menunggu angkutan umum.
Parahnya, barusan ia mendapatkan kabar bahwa yang ditunggu benar-benar tidak akan datang untuk menjemputnya.
Huhh, what a wonderfull life?!

“Ya udahlah, pergi sekarang aja.“ putusnya kemudian, setelah beberapa menit menghabiskan waktu dengan menatap nanar layar ponselnya.
***

Bel tanda istirahat berbunyi 3 kali. Membuat hati Ify berbunga-bunga. Dengan terus mengulum senyum, gadis cantik itu merapikan segala peralatan tulisnya dengan sedikit tergesa-gesa. Tak ingin membuat kekasihnya menunggu terlalu lama.

“Fy, kantin yuk!“

Lengkingan keras tiba-tiba saja bergaung didalam kelas Ify. Dengan segera gadis itu menoleh ke pintu kelas, dan mendapati sang sahabat tengah menyeringai lebar.

“Apaan sih, Vi? Gue nggak ke kantin. Ada janji sama Rio!“ serunya yang masih sibuk merapikan beberapa buku pelajaran.

Sivia yang masih berdiam didepan pintu kelas memberengut. Capek-capek nyamperin dari lantai 1 ke lantai 2, eh nggak ada hasilnya, bathinnya gondok.
Namun sedetik kemudian gadis itu tersadar, beberapa hari belakangan ini Ify dan Rio jarang terlihat bersama. Dan akan terkesan jahat jika ia memaksa gadis yang sedang sibuk itu pergi ke kantin bersamanya.

“Ya udah deh,“ ucapnya pelan.

“Sorry yah, Vi!“

Sivia mengangguk maklum. “Have fun yah, Fy!“ ucapnya seraya berlalu pergi.

Ify tersenyum, dalam hati berharap ucapan Sivia akan sesuai dengan apa yang beberap saat lagi akan terjadi. Semoga..
***

Peluh mulai membanjiri pelipis pemuda putih dengan raut wajah sedikit oriental. Kaos hitam yang ia kenakan terlihat semakin basah oleh keringatnya. Tanpa merasa lelah, ia terus mendribble bolanya, menggiringnya menuju ring, dan..shoot! Memasukkannya dengan sempurna.

Membuat gadis cantik yang sedang duduk di pinggir lapangan melongo sempurna, karena kagum.
Ia terus bertepuk tangan kecil setiap 'pemudanya' itu berhasil memasukkan bola dengan tembakan-tembakan indah yang mengaggumkan.
Hingga sebuah dering ponsel mendominasi riuh tepukannya, gadis itu segera berhenti dan melirik smartphone berlayar touchscreen yang sedang berkelap-kelip disebelahnya. Menampilkan sebuah nama pemanggil yang cukup membuat gadis itu menahan nafas beberapa saat.

“Dea?“ gumamnya dengan nada bertanya.

Ia masih membiarkan ponsel itu bernyanyi keras. Dalam hati ia dilema, angkat atau biarkan. Melalui ekor matanya, ia melirik Rio yang terlihat asik dengan dunianya. Seolah lupa bahwa disana ia tak sendiri, namun ada seorang gadis cantik yang masih setia dengan handuk dileher, dan air mineral dipangkuan.

“Well, kayaknya Rio lagi asik banget, gue angkat aja kali yah..“ ucapnya menimbang-nimbang.

Tepat ketika suara itu berdering untuk ke lima kalinya, tanpa ragu Ify menyentuh layar smartphone tersebut, dan menempalkan pada telinganya.

“Hallo, beib! Lama banget sih ngangkatnya? Ak--“

Nafas Ify bagai tersangkut ditenggorkan. Terlalu sulit untuk ditarik, seolah betah bertahan disana. Belum sempat ia mengucapkan salam pembuka, racauan gadis bersuara manja itu lebih dulu menyerangnya. Membuat tubuhnya melunglai perlahan. Dengan gerakan pelan ia menurunkan smartphone tersebut. Tak lagi didengernnya kalimat-kalimat mengumpat dari gadis yang ia yakini merupakan selingkuhan milik kekasihnya
Apa ia terlalu cepat mengambil kesimpulan? Tidak. Tentu saja tidak.
Suara manja dan panggilan sayang yang ia dengar sudah cukup menjadi bukti akan kesimpulannya.

Ify tertawa miris. “Tega kamu, Yo..“ ucapnya lirih.

Dengan setengah kesadaran yang ia miliki, Ify berdiri. Membuat air mineral dipangkuannya terjatuh, sehingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Rio yang mendengar, menghentikan permainannya. Ditatapnya Ify yang nampak bagai raga tak bernyawa itu melangkah gontai tanpa berpamitan padanya.

Alis Rio bertaut, masih dengan rasa heran ia menyerukan nama Ify. “Fy! Where are you going? Aku belum selesai.“

Ify yang mendengar menghentikan langkahnya. Tanpa menoleh ia berucap, "Dea nelpon kamu, Yo. Maaf aku lancang udah ngangkat tanpa izin.." ucapnya pelan, namun cukup untuk didengar oleh Rio.
Tanpa menunggu reaksi dari Rio, Ify kembali melanjutkan langkahnya dengan pelan.

Ditempatnya Rio terdiam membisu. Masih berusaha mencerna ucapan Ify barusan.

“Dea nelpon gue? De..“ Rio membulatkan kedua matanya dengan sempurna. “Astaga! Dea...“

Setengah berlari Rio menuju pinggir lapangan untuk mengecheck ponselnya. Dan ia semakin panik ketika menyadari hal buruk telah terjadi.

“Sial! Ify! Fy..“


• • • • •
Sampai pada saat ini
Aku memulihkan rasa dihatiku
Baru aku bisa, bisa bicara...
• • • • •


“Kalau emang elo nggak sanggup, dan berpikir buat mundur, loe harus mundur sekarang, Fy..“

Ify balas menatap Sivia, yang tengah mengelus punggung tangannya. Beberapa menit yang lalu kedua gadis ini terlibat pembicaraan penting, tentang bocornya perselingkuhan Rio yang diketahui Ify secara langsung, tanpa mata-mata!
Sivia yang mendengarnya, tentu tak terima kalau sahabat terbaiknya disakiti seperti itu.

“Dan..apa menurut loe, emang lebih baik gue mundur?“ Ify balik bertanya.

Sivia mendesah panjang. Ia mulai beranjak dari duduknya, dan melangkah menuju jendela kamar Ify, yang terbuka lebar

“Ada kalanya, kita harus ngelepas seseorang yang kita sayang. Bukan sekedar untuk kebahagiaan dia, tapi juga kebaikan kita.”

”Dan yang terbaik buat gue, menurut loe adalah ngelepasin, Rio?” sahut Ify bertanya.

Sivia mengangkat kedua bahunya pelan. ”Follow your heart, karena jawaban dari segala pertanyaan loe itu, sebenernya berasal dari sana.”
***

Bunyi sedotan dan gelas yang beradu, sedikit meramaikan meja gadis cantik ini. Sambil menunggu pemuda dihadapannya membuka mulut, ia memilih untuk menyedot sedikit demi sedikit cappucinno ice, minuman favoritenya.

”Fy, please...” pemuda itu membuka suara dengan nada memohon. Berharap gadis didepannya segera meralat deklarasi singkat yang baru saja terucap.

”Sorry, Yo. Keputusan gue udah bulat. Dan gue nggak bakal ngubah apapun itu.” ujar Ify dengan nada bicara yang teramat tenang. Dibuangnya kebiasaan ber 'aku-kamu' yang dulu sering ia ucapkan ketika berbicara dengan pemuda tersebut.
”Kamu bohong, Fy! Aku tau, kamu masih sayang sama aku!” ucapnya pelan, namun penuh keyakinan.

Ify tertawa hambar. ”Masih sayang?” tanya Ify dengan kening berkerut. Seolah sedang memikirkan makna kata tersebut. ”Yah..masih sayang atau udah nggak, tetep nggak ngerubah kenyataan kan, Yo? Lo selingkuh..”

Rio mendengus kesal mendengarnya. Okay, pemuda ini mengakui perselingkuhan itu memang terjadi, tapi bisakan untuk tidak selalu mengungikatnya? Kali ini ia bersungguh-sungguh, tidak akan mengulang kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Tidak ingin menyia-nyiakan anugrah Tuhan yang -mungkin baru ia sadari- berharga, untuk kedua kalinya.

”Iya, Fy. Iya! Aku tau, aku ngerti, aku salah sama kamu, tapi kita bisa perbaikin itu semua..” Rio mulai putus asa, nada bicaranya semakin melemah ke akhir kalimatnya.

Ify kembali tertawa hambar. “Hehh..kita? Elo aja kali, gue nggak..“

“Fy!” semakin tak kuasa, Rio meninggikan suaranya. Mengabaikan tatapan tak suka pengunjung lain yang merasa terganggu engan lengkingan suaranya yang tiba-tiba. “Kenapa sih, kamu nggak mau ngertiin aku? Kenapa kamu nggak mau ngasih kesempatan sama aku? Tuhan aja Maha Pemaaf, kenapa ka--“

“Siapa bilang gue nggak maafin loe?“ potong Ify bertanya.

Rio terkesiap. Tadi Ify sendiri yang bilang, mereka harus mengakhiri petualangan cinta yang pernah mereka arungi bersama. Dan itu artinya..

“Kamu bilang kita mending putus aja, itu berarti..“

Ify menggeleng acuh. “Loe minta maaf, okay gue maafin. Tapi untuk jalan bareng lagi...“ Ify menggantung kan kalimatnya. Dipejamkannya kedua matanya sambil menghembuskan nafas secara perlahan. “...sorry, Yo, kayaknya nggak bakal bisa.“

The final answer. Tidak aka berubah kecuali Tuhan berkehendak lain. Tapi yang jelas, untuk saat ini, memang inilah yang terjadi.
Tanpa memikirkan bagaimana kondisi Rio -yang entah mengapa menjadi shock- setelah mendengar penuturannya, Ify segera berlalu meninggalkan pemuda tersebut, dengan selembar uang seratus ribu rupiah, di bawah gelas minumannya.

• • • • •
Demi aku yang pernah ada dihatimu
Pergi saja dengan kekasihmu yang baru Dan aku yang terluka oleh hatimu
Mencoba mengobati perih ku sendiri
• • • • •

“Fy...”

Ify menghentikan langkahnya saat mendapati sesosok pemuda --yang akhir-akhir ini sering 'mengganggunya'-- tengah berdiri dihadapannya.
Dengan alis terangkat, ia menatap pemuda yang memasang tampang penuh harap kepadanya.

“Please, kita perlu bicara.”

Ify meniup poni dikeningnya dengan malas. “Rio, kita nggak perlu bicara--”

“Rio!"

Dan lengkingan manja seorang gadis yang tengah berlari-lari kecil menghampiri mereka -Ify dan Rio- menghentikan ucapan Ify.

Ify tersenyum sinis, dengan tangan terlipat di dada. “Tuh,” ia mengedikkan dagunya ke arah Dea yang kian mendekat. “Yang perlu bicara itu bukan kita, tapi..”

"Hai!” Sapa Dea semangat, mengabaikan kehadiran Ify yang menatapnya tak suka.

“..kalian.”

Ify segera berlalu meninggalkan koridor yang mulai terasa panas itu. Di hiraukannya suara Rio yang terus menyerukan namanya.
Matanya terpejam, nafasnya memburu. Tak dapat dipungkiri, rasa itu masih ada, namun sakit itu masih jelas terasa, bahkan kian nyata. Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Ify membatin miris.
***

Sivia menatap Ify iba. Ia tahu benar tentang apa yang dirasakan sahabatnya itu.
Dua tahun menjalin hubungan dengan Rio, tentu telah meninggalkan banyak kenangan dalam benak Ify. Dan selama itu, mereka -nyaris- selalu menghabiskan waktu bersama, jika kini tiba-tiba saja mereka -atau lebih tepatnya Ify- memilih untuk sendiri-sendiri, tentu kecanggungan itu akan terasa kan?

“Kalau lo udah yakin dengan keputusan yang lo pilih, lakuin! Tapi kalau lo masih ngerasa belum yakin..gue rasa masih ada waktu buat kembali sama dia.”

Sivia mengucapkannya dengan setengah hati. Jujur, kekecewaannya akan sikap Rio -yang telah menduakan sahabatnya- masih ada, namun ia juga tak ingin egois. Jika memang Ify memiliki keputusan yang berbeda dengannya, ia akan menghargai.

Ify menggeleng pelan, “Nggak, Vi. Mungkin bener kata lo maafin kesalahan seseorang itu jauh lebih gampang ketimbang ngelupain kesalahan yang dia perbuat, dan itu yang gue rasain sekarang.”

“Terus, lo ngerasa udahan ama Rio itu pilihan terbaik?” Ify mengangguk. “Dan lo seneng? Lo ikhlas? Lo rela ga sama-sama Rio lagi?” Cecar Sivia, lagi-lagi Ify mengangguk.

Sivia mendesah. “Dengan lo nangis-nangis kayak gini, apa itu yang lo maksud seneng, rela dan ikhlas itu?”

Jeda. Sivia melangkah perlahan, mendekati Ify.

“Kalau emang lo ngerasa seneng sama keputusan lo, mestinya lo sekarang lagi ketawa sama gue. Kalau emang lo rela, mestinya lo biasa aja ngeliat Rio sama Dea. Kalau lo ikhlas, mestinya sekarang lo nggak lagi meratapi nasib kayak sekarang.”

Ify tertawa kecil mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Sivia. Dengan cepat ia menyeka air matanya, kemudian berbalik menghadap Sivia.

“Sialan lo! Gue nggak lagi meratapi nasib tau!” Serunya setengah kesal, dalam tawa kecilnya. “Thanks ya, Vi Lo bisa bikin gue lebih baik, dan tau gimana harus bersikap.”

Sivia tersenyum lega, kemudian menepuk pelan pundak Ify “That's what friend are for kan? Eh jadi lo mau...balikan gitu, sama Rio.”

“Nggaklah.” Bantah Ify cepat. “Gue cuman berpikir, dulu gue ama dia jadiannya kan baik-baik, jadi ya mestinya kita udahannya juga baik-baik, at least dengan begitu perasaan gue pasti jadi lebih baik, karena nggak ada dendam sama dia.”

Sivia ternganga, membuat Ify menatapnya dengan kening berkerut. “Oh my friend! Lo habis nelen bukunya Mario Teguh ya? Kok bijak banget.”

Ify menggeram, “Sivia!”
***

Ketemuan di lapangan indoor,
istirahat kedua yah.


Sender : Alyssa


Rio menatap 'percaya tak percaya' pada display ponselnya. Ia ingat betul bahwa sender bernama Alyssa tersebut adalah Ify-nya. Alyssa memang panggilan khusus dari teman-teman dekat Ify, termasuk Rio dan Sivia.

“Yo, sampai kapan sih lo mau gantungin gue? Lo kan udah putus sama Ify.” Keluh Dea dengan muka ditekuk.

Rio yang seolah tak mendengar ucapan Dea, justru segera bangkit dari duduknya.

“Sorry, De. Gue mau cabut dulu.”

Tanpa menunggu jawaban dari Dea, Rio segera berlari meninggalkan gadis yang tengah merutuki dirinya itu.
***

“Vi! Sivia!”

Sivia menoleh sebentar ketika mendengar seseorang menyerukan namanya.

“Bentar yah, Gab gue mau ke sana dulu.” Pamitnya pada Gabriel. Setelah mendapat anggukan dari Gabriel, Sivia segera melangkah menghampiri Rio, seseorang yang memanggilnya.

“Kenapa?” Tanya nya tanpa basa-basi.

Rio menyeringai kecil dengan canggung. Ia dapat merasakan tatapan tak bersahabat dari Sivia, namun ia menganggap wajar dan memilih untuk bersikap acuh.

“Err..lo liat, Ify?”

“Ya lo cari aja di kelas nya, lo nggak lupa dimana kelasnya Ify kan?” Jawab Sivia setengah menyindir.

Rio menggaruk-garuk tengkuknya, malu. Bagaimana bisa ia lupa, kalau Sivia dan Ify tidak sekelas.

“Err...itu--”

“Lo cari aja di kelasnya, kalau ga nemu ya paling dia ada di perpus, kantin atau taman sekolah.” Sela Sivia.

Rio mengangguk-anggukkan kepalanya. “Lo ada perlu apa sampe nyariin dia?” Tanya Sivia menyelidik.

“Emm..itu tadi ada janji ama dia.”

Sivia mengangguk, teringat akan pembicaraanya dengan Ify semalam. “Ohh okay, by the way, biasa aja kali sama gue, nggak usah nervous gitu sampe ngomong aja gagu.”

“Hahh?! Iya.”

Sivia menggeleng heran melihat tingkah Rio. “Ya udah deh gue cabut, bye!”
***

Ify mengangkat wajahnya dari novel yang ia baca, ketika merasakan ada sesosok bayangan dihadapannya.

“Ngapain lo ke sini?” Tanya nya dengan alis terangkat.

Rio--pemilik bayangan itu, menatap Ify dengan kikuk. “Ehh itu--”

Ify menutup novelnya. “Gue kan bikin janji sama lo istirahat kedua nanti, dan bukan di kelas gue.”

Hening. Ify masih menunggu Rio yang terlihat bingung untuk berbicara.

“Hhhh, daripada keberadaan lo disini sia-sia, kayaknya lebih baik gue ngomong sekarang.” Ucap Ify membuka mulut. “Ya, mana tau Dea udah nungguin lo juga..” Sambungnya, “Eh, atau lo emang nemuin gue sekarang karena istirahat kedua nanti mau bareng Dea?” Tanya Ify dengan nada bicara yang dibuat-buat.

Rio menggeleng cepat. Bukan. Bukan itu maksudnya. Ia hanya merasa tidak sabar untuk bertemu Ify. Ia terlalu bersemangat, sehingga memilih menghampiri Ify dengan segera dan meninggalkan Dea di kantin sendirian. Tapi kenapa jadi salah paham begini?

Ify tertawa kecil. Terdengar renyah, wajahnya terlihat semakin manis dengan sepasang lesung dikedua pipinya. Mata kecilnya menyipit. Sungguh, ingin rasanya, Rio memeluk tubuh mungil itu saat ini juga. Namun apa daya, tangan tak sampai.

“Aduh, Yo..biasa aja deh responnya, gue biasa aja kok.” Ify mulai mengontrol tawanya. “Gue cuman bercanda, tapi kalau beneran juga nggak papa sih--”

“Fy, please! Jangan bikin aku makin ngerasa bersalah sama kamu. Aku sadar aku udah bikin kamu sakit, aku tau aku udah selingkuh sama Dea, tapi demi Tuhan dari dulu sampe sekarang perasaan aku nggak pernah berubah.” Rio meluapkan segala isi hatinya, sebagai 'sahutan', Ify hanya terdiam menatap kedua mata elang milik Rio. Mencari kebenaran akan kata-kata yang dilontarkan oleh pemuda tersebut. “Aku, sayang sama kamu, Fy. Masih sayang..” Sambung Rio lirih.

Ify tersentuh. Setengah hati merasa melayang mendengar pengakuan pemuda tersebut. Tak bisa dipungkiri, ia masih menyimpan rapi rasa itu disana, hatinya. Namun, pengalaman membuatnya takut untuk memulai, ragu untuk mempercayai kata-kata dari Rio.

Ify memejamkan kedua matanya kemudian mengangguk paham.

“Okay, okay, gue nggak tau saat ini lo lagi bohong at--”

“--sekian lama kamu natap mata aku, dan kamu masih berpikir kalau aku bohong?” Potong Rio bertanya. “Kamu sendiri yang bilang, mata nggak pernah bohong. Apa tadi kamu ngeliat kebohongan itu dimata aku?”

Ify membuang nafas. “Maaf.”

“Aku yang harusnya minta maaf. Aku yang udah nyakitin perasaan kamu, aku yang udah ngebuat kamu susah untuk percaya lagi sama aku.”

“Gue udah maafin, dan karena itu...gue ngajakin lo buat ketemu.”

Rio menatap Ify dengan mata berbinar. “Jadi kamu udah maafin aku?” Diraihnya tangan gadis tersebut, lantas digenggamnya erat. “Berarti kamu..”

Ify menangkap jelas binar kebahagiaan yang tercetak di wajah tampan Rio, hatinya luluh. Tapi, tekad dalam hatinya telah kuat, dan tak bisa diganggu gugat.

Ify menarik salah satu tangannya dari genggaman Rio. “--nggak, Yo. Kalau untuk balikan lagi sama kamu maaf, aku ga bisa.” Jelas Ify yang memahami makna binar-binar bahagia yang terpancar diwajah pemuda tersebut.

Genggaman Rio melemah, matanya berubah sendu. “Apa aku udah nggak punya kesempatan lagi, Fy?”

Tanpa sadar tangan Ify bergerak naik menuju pipi Rio, diusapnya pipi pria tersebut dengan halus.

“Lo percaya 'kalau jodoh nggak akan kemana' kan? Kalau emang lo jodoh gue, someday..kita pasti bakal bersatu lagi kok.” Ify menurunkan tangannya, dan memberikan senyum terbaiknya untuk Rio.

Meski pun sulit, Rio mencoba untuk menerima dan mengerti akan keputusan yang dipilih Ify.

“Aku nggak yakin bisa baik-baik aja tanpa kamu, Fy.” Ucap Rio dengan wajah tertunduk.

Ify meletakkan sebelah tangannya pada pundak Rio. “Hei, everythings gonna be okay. Trust me..”

Dan entah siapa yang memulai, keduanya telah menyatuh dalam pelukan hangat. Pelukan sebagai tanda dari akhirnya kisah cinta mereka, dan awal dari persahabatan mereka.
***

Aku bisa, aku pasti bisa..tanpamu...


“Nyesel? Pengen mutar waktu dan ngeganti jawaban yang kemaren?” Goda Sivia pada Ify, yang terlihat sedang melamun didepan jendela kamarnya.

Ify menggeleng pelan. “Nggak kok.”

“Beneran? Yakin bisa tanpa dia?” Sivia masih menggoda sambil memainkan kedua alisnya, membuat Ify menggeram ditempat.

“Err..sebelum gue sama Rio bersama pun, gue bisa hidup kan? Ya berarti bisa lah..”

Sivia menjentikkan jarinya. “Yep! Everythings gonna be okay, with or without him. Right?”

***

The random of my mind! Ahahaha yah saya sedang random, saya sedang...nggak tau deh apa yang ada diotak gue dan apa yang ada dihati gue, intinya gue cuman pengen ngeshare isi hati dan otak gue dalam sebuah tulisan yang berakhir seperti ini-_-
Yah, gaje kaliyah jadi buat yang udah terlanjur, alias ga sengaja baca tolong dimaafkan-_-
Huhh, judulnya aneh yah :/ gaje ga sih? Gue bingung mikirin judulya begitu deh (•̯͡.•̯͡) kalau ada yg punya saran judul lebih baik dari ini silahkan ngomong yah ahahahaa
Btw, ini kan cerita aslinya bukan pake tokoh IC tapi (lagi-lagi) Naura, Naufal, Nia, Andrean, dan Vannesa. So, kalau ada typo seputaran namanya doang lah, ya bisa dipahami dong yah (•̯͡.•̯͡)
Kritik, saran, dan segala sesuatu yang pengen diungkapkan silahkan tuangkan dikolom komentar dibawah ini.


Song : Aku Bisa (Flanella)

Cheers!


@sugargirl08

0 komentar:

Posting Komentar