Selasa, 20 November 2012

Aku Pernah {Final Part}

- Aku Pernah Merasa Tak Percaya Lagi.. -

Aku pernah merasa tak percaya lagi. Seperti kepada orang yang baru ku kenal. Membutuhkan proses agar bisa kembali mendapatkan kata percaya itu lagi.
Saat itu. Saat dia memintaku untuk kembali, mengisi hari-harinya lagi.

“Kasih aku satu kesempatan, untuk kita sama-sama lagi, Fy. Kita perbaikin semuanya sama-sama.”

Tanganku membeku dalam genggamannya. Aku tak ingin membalas tatapannya. Semua masih terasa sakit disana, disuatu tempat yang tak bisa dia lihat, hatiku.

“Kamu yang minta 'udahan', Yo--”

“--dan sekarang izinkan aku untuk minta 'lanjut' lagi sama kamu.” Potongnya cepat.


*Ohh..Mengapa? Mengapa kau tak mengerti halusnya perasaanku, kau goreskan keraguan..*


Aku memejamkan kedua mataku. Mencari jawaban yang paling tepat untuknya.
Aku berusaha memunculkan kembali kenangan-kenangan kebersamaan kami. Namun, bayangan tentang kesakitanku ikut menghampiri.
Rasanya..susah untuk -langsung- percaya lagi.

Aku menghembuskan nafas, lirih.

*Namun ku menyayangimu walau hilang percayaku, biar cinta menuntunku..untukmu..*

“Maaf, Yo. Aku ngga bisa..”

Dia melepaskan tanganku--dengan cepat, yang sebelumnya berada dalam genggamannya. Kemudian, kedua tangan kokohnya beralih pada kedua pundakku, dan diguncangnya pelan.

“Bohong! Kamu masih sayang sama aku, dan aku bisa rasain itu. Karena aku juga sama, masih sayang sama kamu. Please jangan bohongin perasaan kamu sendiri, Fy!”

“Kemana kamu waktu papah aku meninggal? Waktu aku butuh support saat aku bener-bener down? Aku butuh banget semangat dari kamu tapi kamu malah having fun sama Dea!” Ucapku tak terkendali.

“Maaf..” Lirihnya.

Aku memejamkan mataku sebentar. “Kamu yang memutuskan, nggak ada lagi kata 'kita' diantara aku sama kamu. Dan aku penuhin itu. Sekarang kamu bilang kamu pengen memperbaiki semuanya?”

Dia memandangku dengan tatapan memohon.

“Perlu waktu buat aku bener-bener bisa berani menunjukkan perasaan aku ke kamu, Yo. Perlu waktu buat aku menata hati lagi setelah kamu mutusin buat udahan. Dan..sekarang, aku juga perlu waktu untuk bener-bener bisa kembali lagi sama kamu.”

“Maaf. Mestinya, aku tau itu..” Dia menatapku dalam. ”Dan aku janji akan nunggu saat itu.”

“Dan sebelum saat itu tiba, kalau kamu emang udah nggak sanggup, aku nggak ngelarang kamu untuk pergi, dan ninggalin janji kamu ini.

Aku pernah merasa tak percaya lagi. Meski dia berusaha sekuat hati, namun diri ini tak bisa dipaksakan. Krisis kepercayaan? Yah, kekecewaan memang selalu berdampak pada krisis kepercayaankan?
***

Aku pernah merasa tak percaya lagi. Saat itu, karenanya..

•••


Aku sedang merasakan mati rasa. Hampa. Kosong. Tak ada bahagia, sebahagia dulu lagi. Tak ada sedih, sesedih dulu lagi. Semua bagaikan biasa saja.

“Fy, ada salam dari Gabriel.” Ucap Sivia yang baru saja mengambil tempat disebelahku. Ia menyodorkan gelas minuman pesananku, kemudian menyantap pesanannya.

“Terus, gue harus bales salam dia lagi, gitu?” Tanyaku malas. 'Tisam' dari Gabriel bukan kali ini saja ku dapatkan, tapi..entahlah, aku lupa sudah berapa banyak.

“Dihhh..lo gitu banget sih, baru pacaran sekali tapi patah hatinya udah parah banget, sampe trauma gitu. Untung baru pacaran, gimana kalau dulu lo udah merried ama Rio, jadi perawan tua kali.” Ucapnya. “Duhh, kok gue dijitak sih?!”

Aku memutar kedua bola mataku dengan kesal. “Masa lalu, please... Lagian, siapa yang trauma pacaran coba?”

“Lah terus, kenapa lo ga pernah pacaran lagi? Kenapa lo selalu jaga jarak tiap ada cowok yang PDKT? Kenapa lo anti banget sama Gabriel?” Jeda. Sivia menatapku dengan lekat, sesaat. “Bukan karena lo masih ngarepin Rio, kan?”

“Nggaklah!” Bantahku cepat. “Ada juga Rio kali yang masih ngarepin gue~”

Sivia mengangguk berulang-ulang. “Ohh iya juga yah? Kan dia udah nyesel banget karena mutusin lo, sampe rela ga pacaran demi nunggu elo nerima dia lagi.” Kemudian Sivia menggeleng.

“Ya udahlah, Fy. Pokoknya, kalau oneday lo berubah pikiran, lo berniat buat ngebuka hati sama Gabriel, tell me please...” Ucapnya setengah memohon.

Aku tertawa kecil. “Nggak janji yah, siapa tau gue berubah pikiran, tapi ga berniat buat ngebuka hati gue untuk Gabriel.”

“Terus, buat siapa?”

“Al..vin, mungkin?” Jawabku setengah menggoda.

Sivia mendelik. “Nggak boleh!” Tegasnya setengah menjerit.


Aku seperti sedang mati rasa. Bukan tak lagi bahagia, hanya saja..kebahagian ini tak sama. Tak seperti dulu, ketika bersamanya.
Kapankah aku berhenti 'mati rasa'?

•••

Aku pernah merasa suka, kepadanya..seorang pemuda yang akhirnya mengisi hariku.
Aku pernah merasa jatuh cinta, kepadanya..yang kemudian menyatakan isi hatinya kepadaku.
Aku pernah merasa cemburu, karenanya..yang pernah berhasil menguasai hatiku.
Aku pernah merasa bahagia, karenanya..yang pernah mampu melambungkan hatiku.
Aku pernah merasa kecewa, karenanya..yang pernah mengabaikanku.
Aku pernah merasa tak percaya lagi, karenanya..yang sempat pergi meninggalkanku, dan berbalik memintaku kembali.

Aku pernah merasakannya. Merasakan semua pahit-manisnya rasa dalam kehidupan. Tangis kesakitan, yang membuatku enggan kembali merasakan cinta. Hingga berujung pada hampanya perasaan. Hambar. Dan mati rasa.

Namun, jika bisa ku mengulang. Aku ingin kembali ke masa itu.
Masa dimana aku tersenyum karena cinta, dan menangis karena cinta.
Meski pedih, meski perih..
Setidaknya aku masih bisa 'merasa', bukan seperti sekarang...mati rasa...

---

Well, sebenernya story ini agak random. Gabungan antara kenyataan dan imajinasi. Hem..agak freaky sih, tapi gue nekat! :D
Ada yang baca atau nggak..nggak masalah. Tapi..pasti gue lebih seneng dan bersyukur kalau ada yang baca..ahahaha
Koment juga deng. Like? Terserah anda (•̯͡.•̯͡)
NAH! Ini baru..bener2 FINAL PART!
Finally, thanks for reading, thanks for coments, thanks for your thumb guys! Thanks for all support to me!

NB : kalimat yg gue kasih tanda * itu adalah lirik lagu Kepastiannya Rossa.

Tunggu cerpen random gue selanjutnya yah! Kalau minat :p judulnya, InsyaAllah...PDKT Gagal! Couplenya....


Cheers!

@sugargirl08

0 komentar:

Posting Komentar