Selasa, 06 Maret 2012

-- Berakhir --


-- Berakhir --




Dalam hatiku ada kamu
Namun dihatimu, adakah aku?
Tolonglah katakan, sayang...
Karena ku rasa kini kau, berubah..
•••••

Kurang perhatian, kurang kasih sayang, merasa terlupakan itulah yang aku rasakan. Aku seseorang yang sudah memiliki kekasih, tapi bagaikan seorang wanita single dalam keadaan terikat.
Sebenernya apa yang dia pikirkan? Sampai-sampai, aku merasa digantung seperti ini.

Aku tak mempermasalahkan kesibukannya -yang entah apa aku tak tahu, karena memang tak pernah sekalipun ia memberitahukannya kepadaku- yang kian menanjak belakangan ini. Aku juga tak meributkan minimnya waktu kebersamaan yang bisa kami lewati. Hanya saja, bisakah perhatian itu tetap ia berikan?
Sekedar "say hi" pun sepertinya terlalu enggan ia lakukan. Lebih dari seminggu ini, inbox di ponselku bersih dari namanya. Sedangkan out box? Oh may...80 % dari semua pesan keluar yang tersimpan disana ku tujukan hanya untuknya!
Lebih dari seminggu ini pula, daftar panggilan keluar dalam ponselku diisi secara -mungkin- tetap oleh namanya.

Lost contact!
Terkecuali disekolah. Oh no..bahkan disekolah pun ia seperti melenyapkan diri dariku. Hi! What's wrong with you?!

"Udahlah, Fy.. Mending loe lupain Rio, dan mulai belajar buat ngebuka hati loe ke cowok-cowok lain." ujar Agni disuatu ketika, saat aku menyampaikan seluruh unek-unek yang memenuhi otakku.

Aku mendesah lirih. "Nggak semudah itu, Ag.. Loe tau sendiri, kan? Gue--"

"--teramat sayang dan nggak bisa kalau harus pisah sama Rio, right?" potong Agni dengan menatap tajam pada kedua bola mataku.

Aku mengangkat sebelah alisku, kemudian mengangguk pelan.

Agni melengos. "Oh may.. Come on, Fy! Elo bahkan udah lost contact, sa-tu-ming-gu!" ucapnya sambil menekankan kata satu minggu tadi, lengkap dengan sebuah telunjuk yang mengacung didepanku. "Satu minggu kalian kayak orang jomblo," Agni menepuk jidatnya. "Oh God..bahkan lebih parah! Kalian kayak orang yang nggak saling kenal! Never meet!"

Oke, untuk penuturan Agni yang ini aku tak bisa menyangkal. Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh seorang gadis yang-terlalu-cinta sepertiku? Meninggalkannya kemudian menangisinya dalam jangka waktu yang tidak bisa ditentukan? Atau tetap bersamanya sambil menyimpan sejuta luka yang terus menggores tanpa tahu kapan akan menghilang?

"So, gue harus gimana? Tiba-tiba putus tanpa kata putus adalah hal terbodoh yang pernah ada dalam suatu hubungan!" ucapku. "Senggaknya itu menurut gue."

Agni mengambil ice lemon tea didepannya, dan menyedotnya dengan khidmat. Ia memejamkan kedua matanya, kemudian menghembuskan nafas secara perlahan. Membuatku yang sedang memperhatikannya, mengernyit heran. Woo..what are you doing, Ag?

"Kalian ketemu, duduk berdua, obrolin dan selesein semuanya!"

Keputusan yang bagus. Tapi bagaimana caranya aku mengajak Rio untuk mau bertemu denganku sedangkan kenyataanya, dia selalu menghindariku.

"Elo tau banget kan, Ag.. Seminggu ini Rio kayak sengaja ngindarin gue. Telphone nggak di angkat, sms nggak dibales, jadi gimana?" tanyaku putus asa.

Agni mengetuk-ngetukkan telunjuknya diatas meja, sambil ber 'am-em-am-em' ria.

Tuk. "Nggak bisa pake cara halus, terpaksa loe harus make cara kasar!

You say what?!

Walau dirimu masih milikku
Namun ku ragu akan cintamu
Ku mohon katakan, sayang...
Karena ku takut kehilangan cintamu
•••••

Brakk...
Aku terkejut saat secara tiba-tiba, Rio menghempaskan kedua tangannya diatas meja dengan keras. Ya, beberapa menit yang lalu -seperti saran Agni- aku mencegatnya dilorong kelas, dan menggiringnya menuju cafetaria yang mulai sepi.

"Itu lagi, itu lagi, itu lagi! Gue bosen dengerin omongan loe yang itu-itu aja!" bentaknya pelan.

Aku ternganga.
Itu lagi? Itu lagi, dia bilang?!
Aku hanya menanyakan penyebab perubahan sikapnya. Apa aku punya salah? Bilang! Biar aku minta maaf. Biar aku bisa memperbaiki semua kesalahanku.
Apa salah kalau aku mengucapkan semua kata-kata itu?

Masih dengan mulut setengah terbuka, aku menatapnya dengan pandangan tidak percaya.

"Elo kenapa sih, Yo? Gue cuma minta elo jelasin apa yang salah dari gue! Itu doang! Tapi kenapa sih loe nggak mau ngerti?!"

Aku muak. Sekian lama aku mencoba bersabar menghadapi sikap aneh -yang baru-baru saja ada- Rio. Ingin pergi, tapi buatku itu terlalu sulit.

"Elo yang kenapa?!" Ia mengarahkan telunjuknya tepat didepan mukaku. "Elo ngomong seakan-akan gue udah ngekhiantin elo! Elo ngomong seakan-akan gue selingkuh dibelakang elo!"

Hahh?! Apa salahku juga, kalau tadi aku bertanya, "apa ada yang lain dihati loe, selain gue?"
Aku hanya bertanya, bukan menuduh!
Kalau memang ada, biar aku yang mundur. Meski memang tak kan mudah.

Aku mulai memegangi kepalaku yang terasa pening. Oh God..

"Gue cuman nanya, Yo, dan elo cuman perlu jawab, iya atau nggak.." ucapku halus, mencoba menyabarkan hatiku. Karena aku tak ingin pertemuan hari ini membawaku pada suatu hal yang paling ku hindari.

Aku menatapnya sendu. Ia mulai memejamkan kedua matanya, dan meremas kepalanya sekilas.

"Huft, Fy.." ia mendesah sambil menatapku dengan putus asa. Kamu kenapa sih, Yo?
Di cengkramnya kedua pundakku dengan lembut, dan..hangat. "Yang perlu loe tau, yang perlu loe inget, sampe hari ini..gue masih cowok loe, dan bukan cowok dari orang lain." ucapnya penuh penekanan, kedua matanya menatap bola mataku dengan hangat, seolah-olah ingin menyampaikan sesuatu namun tak bisa.

Aku menatap tak mengerti kepadanya. Bukannya menjelaskan lebih detail, ia memilih pergi meninggalkanku.

"Rio! Gue cuman pengen loe tau, gue sayang banget sama loe! Gue nggak mau kehilangan loe!" teriak ku tak terkontrol. Seolah lupa bahwa saat ini aku berada ditempat umum. Cafetaria memang mulai sepi, tapi bukan berarti tak ber-orang, kan?

Air mata dan keringat bercampur jadi satu, membasahi wajahku.
Rio yang sepertinya mendengar teriakanku hanya menghentikan langkahnya sebentar, tanpa menengok, dan kembali meneruskan langkahnya sambil mengacak-acak rambut hitamnya.

"Gue sayang sama loe, Yo.. Sayang banget..hikss.." ucapku lirih.

Brukk..aku menghempaskan kembali tubuhku dibangku cafetaria ini. Kemudian menenggelamkan wajahku diatas meja, hingga sebuah usapan lembut mendarat dipundakku.

"Sabar, Fy.."

Agni. Pasti dia! Sahabat terbaik yang selalu bisa mengerti akan keadaanku. Tanpa berkata apa-apa, aku langsung berbalik menghadapnya, dan menangis dipelukannya.

"Rio kenapa sih, Ag? Hikss... Kenapa dia berubah banget? Hikss..  Dia nggak pernah ngebentak gue sebelumnya..hikss.. Dia.. Dia nggak pernah sekasar ini sama gue.."

Agni menenangkanku dalam dekapannya. Mengusap lembut punggungku, membuat perasaanku lebih tenang.

"Semua pertanyaan ada jawabannya, Fy. Meskipun sulit ditemuin, tapi pasti ada. Dan gue bakal ngebantu loe untuk nemuin jawaban itu!" janjinya padaku.

Aku menguraikan pelukan kami, dan menatap Agni penuh terima kasih. "Thanks yah, Ag.. Elo selalu bisa ngebuat gue lebih tenang."

Agni tersenyum sangat manis. "That's what friends are for, kan, Fy?"

Aku mengangguk.

"Udah ah, stop nangisin dia! Liat tuh.." Agni menunjuk wajahku. "Muka loe jadi jelek banget.." lanjutnya sambil memeletkan lidah. Kemudian berlari meninggalkanku.

"Agniii! Jangan lari, loe!"

Jujur saja kau anggap aku ‎​apa?
Mengapa kau tak berterus terang?
Jujur saja ku ragukan cintamu
Karena dirimu tak seperti dulu
•••••

Menikmati pagi dengan berjogging ria bersama Agni memanglah hal yang menyenangkan. Membahas berbagai macam hal yang kadang sempat terlupakan ketika kami mulai dipusingkan dengan masalah percintaan kami masing-masing. Salah satunya tentang kami, tentang persahabatan Ify dan Agni. Ahahaa

"Dan elo tetap memilih untuk menjadi secret admirer nya dia.
Sesuatu yang gue anggap terlalu bodoh, karena sama aja loe nyiksa hati loe sendiri!" ucapku pada Agni.

Yah, Agni terlalu pemendam. Apa-apa dipendam. Marah, kesal, benci dan cinta pun selalu ia pendam. Sampai-sampai, lebih dari satu setengah tahun masa putih abu-abu kami ia lewati dengan memendam dalam perasaannya untuk bintang basket disekolah kami.

Agni melayangkan tinju halusnya dipundakku. "Sialan loe. Gue bukan nyiksa diri, tapi cuman ngerasa belum nemuin waktu yang tepat. Just it, kok!"

Aku tertawa mengejek. "Ha-ha-ha.. Apa namanya kalau bukan nyiksa diri sendiri, dengan pura-pura seneng waktu ngeliat dia lagi having fun bareng Dea?" tanyaku telak, Agni terdiam dengan mata menyipit. "Loe pasti cemburu, kan? Ngeliat dia ngajarin Dea ngebasket lah, hang out bareng Dea lah, non--"

"Stop it!" Agni membekap mulutku dengan cepat. "Jelek banget sih, loe! Sahabat sendiri digituin.."

Hahaha Agni ngambek nih ceritanya.. Mulutnya sudah manyun sempurna sambil membuang muka.
Aku baru saja akan membujuknya ketika secara tak sengaja kedua bola mataku menangkap sosok yang ...

"Fy! Fy! Fy!!"

Aku terkesiap dan lantas menatap Agni yang tengah melambai-lambaikan kelima jarinya didepan wajahku, dengan perasaan tak karuan.

"Ri--"

Aku mengangguk lirih, mengerti kemana arah ucapannya. "Iya, Rio, sama..Dea.." ucapku agak berat diakhir kalimat.

Tiba-tiba aku merasa ingin menertawakan diriku sendiri. Baru saja aku menyebut-nyebut Dea saat mengejek Agni, eh..kenyataannya justru aku lah yang merasa terejek ketika melihat gadis cantik itu, berjalan bersisian dengan Rio, kekasihku. Atau mungkin calon mantan kekasih-ku?

Sebuah rangkulan hangat kembali menyapa tubuhku, disusul dengan senyum penyemangat yang dihadirkan oleh seorang gadis manis, Agni sahabatku.

"Apapun yang terjadi, jangan langsung percaya sama apa yang loe liat, penjelasan dari Rio juga perlu loe dengerin, Fy." ucapnya bijak.

Hahh.. Penjelasan macam apalagi yang harus ku dengar? Penjelasan kalau selama ini Dea lah alasannya menjauhiku? Atau penjelasan bahwa memang kami -aku dan Rio- sudah game over, dan mereka -Rio dan Dea- akan memulai permainan baru?

"Ntahlah, Ag. Kurang apalagi sih gue selama ini? Kok Rio setega itu sama gue?" tanyaku miris.

Agni mengeratkan rangkulannya. Kemudian tanpa berkata apapun, ia menuntun langkahku, untuk meninggalkan taman menyebalkan ini dengan segera.


Jujur saja kau menganggap ku apa?
Mengapa kau tak berterus terang?
Jujur saja, jujurlah saja
Walau dirimu tak lagi untukku
•••••

Hening.
25 menit jam kosong dikelasku ku gunakan dengan menyambangi taman belakang sekolah yang masih sepi.
Jangan tanya dimana Agni, karena saat jam kosong seperti ini, ia lebih memilih untuk mengintai sang bintang basket pujaan hatinya.

"Huhhh.."

Aku menghembuskan nafas panjangku dengan mata terpejam. Berharap dengan hembusan nafas ini, semua masalah yang memenuhi otakku ikut menghilang walau hanya sesaat.

"Seandainya elo tau, Yo... Gue kangen banget sama loe... Apa loe nggak kangen sama gue?" tanyaku lirih. Ku tekuk kedua lututku dan kemudian menumpukan kepalaku padanya.

"Hampir dua minggu kita jalan sendiri-sendiri. Sekalinya ketemu...malah berantem kayak tentara mau perang."

Aku menengadahkan wajahku menatap langit luas. Memperhatikan putihnya awan yang entah mengapa terlihat membentuk menjadi senyuman nya, senyuman Rio.

"Gue kangen liat senyum loe, Yo.." aku tertawa lirih, miris, sedih. Sakit rasanya saat membayangkan senyum manis yang dulu selalu menyapa hariku, kini menghilang dan membuat hari-hariku menjadi..suram..

"Maaf.."

Hahh?!
Maaf? Suara siapa?

"Maafin gue, Fy.."

Aku mengangkat sebelah alisku. Dengan sedikit ragu aku berniat menengok ke belakang. Belum sempat niatku terlaksana, sebuah dekapan hangat telah membungkus tubuhku, diiringi isakan tertahan.
Rio?

"Maafin gue, Fy.."

"Yo.."

Rio masih terisak. "Maaf, Fy.."

Baru saja aku ingin mengucapkan sederet kalimat kerinduan bercampur kebahagiaan, aku sudah teringat akan kejadian kemarin. Sakit? Jelas aku merasakannya.

Dengan sekali sentakan aku membebaskan diri dari pelukan Rio, dan menatapnya dengan putus asa.

"Maaf? Maaf loe, bilang?" tanyaku dengan intonasi pelan. Ia mengangguk.

"Setelah semua yang loe lakuin ke gue? Loe bikin gue nangis tiap malam! Loe bikin gue ngerasa bersalah tiap hari! Loe bikin gue mikirin gimana caranya supaya elo balik lagi jadi dulu tiap waktu!" aku mengutarakan semua emosi terpendam dalam hatiku dengan meluap-luap.

Rio terdiam, entah merasa bersalah atau apa aku tak tahu.

"Dan elo dengan gampangnya bilang maaf?" tanyaku, aku menggeleng tak percaya. "Kalau aja gue nggak ngeliat elo sama Dea ditaman pagi kemaren, mungkin gue bakal tersentuh, bahagia, dan langsung maafin loe, Yo! Tap--"

"Itu nggak seperti yang loe liat, Fy! Gue udah bilang, cuman elo cewek yang gue punya, dan sampe detik ini semua itu ngga berubah, Fy.."

"Terus Dea?!" tanyaku cepat.

"Dea.." Rio terdiam, tak melanjutkan kalimatnya.

Come on, Yo! Jelasin ke aku, apa hubungan kamu sama Dea? Kenapa selama ini kamu ngejauhin aku? Kenapa kamu berubah?

"Kenapa diem? Bingung mau jawab apa?!" tanyaku lagi. Rio tetap diam. Aku mulai tak bisa menahan laju air mata yang sudah menganak sungai di pelupuk mataku. "Tolong bilang kalau emang elo udah nggak sayang lagi sama gue, Yo... Jangan gantungin gue kayak gini.. Sakit, Yo.." pintaku.

Rio menggeleng, ia mulai melangkah maju mendekatiku. "Nggak, Fy. Nggak! Gue masih sayang sama loe! Gue sayang banget sama loe!" ucapnya dengan kedua tangan yang telah menyentuh pundakku.

"Bulshit! Kalau emang loe sayang sama gue, jelasin kenapa elo ngejauhin gue? Kenapa elo berubah? Ada hubungan apa antara elo sama Dea?! Kasih tau gue, Yo!" raungku

Tett..tett..tettt
Bel tanda istirahat berbunyi.
Rio mulai mengusap wajahnya yang acak-acakkan, kemudian menengok ke belakang. Mungkin memastikan bahwa ditempat ini, hanya ada kami.

"Kenapa loe nggak jawab gue, Yo?!"

Rio menghempaskan kedua tangannya ke sisi tubuhnya. "Please jangan desak gue, Fy! Gue nggak bisa."

"Terus loe bisanya apa? Nyakitin gue? Ngegantungin gue?!"

"Ka--"

"Kita putus!" ucapku tanpa pikir panjang.

Rio ternganga, aku sendiri merutuki sikap gegebahku. Tak mungkin aku menarik lagi ucapanku, kan?"

"Fine! Ki-ta pu..tus.." ucapnya lirih, tubuhnya berbalik dan mulai melangkah gontai dengan kepala tertunduk.

Dan semua benar-benar berakhir. Rio meninggalkanku sendiri, diantara perasaan sakit, menyesal dan tak percaya.
Mengapa secepat ini?

-----

Dan semua benar-benar berakhir!
Muahahahaa..ini cerita mungkin alurnya, ide ceritanya, pokoknya semuanya emang aneh, nggak jelas, buram (?), apabanget lah... Tapi yaaaa...namanya orang suram (?), banyak pikiran, dan bener-bener deh perasaannya kacau, kayaknya wajar kalau yang dihasilkan malah kerandoman seperti ini.

Back to my short story!
Ekhem, berhubung titik permasalahan dicerita ini tidak ditemukan, kayaknya bakal ada sekuel deh. Eitsss! Tapi on plan! Udah on the way juga sih sebenernya, hampir ke pertengahan mungkin sedikit nyelesein intinya udah bisa masuk ke ending terus dipost deh \m/ . Errr tolong tinggalkan kritik dan saran dalam kolom komentar dibawah ini jika berminat!
Memories menyusul yahhh…


FYI...
song title : Jujur Saja
artist : Wonder Boys
fhoto : sumber dari blog orang yang gue lupa nama alamatnya, izin save + copast yakkk :D
Seeyaa..

Nia 'nistev' stevania_

0 komentar:

Posting Komentar