Minggu, 10 Juli 2011

"_With Love Part 22_"





Part 22

Ify mondar mandir didepan pintu kamarnya sambil bersungut-sungut kesal. Pertemuanya dengan Rio tadi sore sangat jauh dari harapannya, sangat buruk.
Ia menghempaskan tubuhnya diatas sofa panjang dengan kaki terselonjor kedepan.
Diraihnya handphone yang tergeletak rapi diatas meja. Ia langsung memainkan jemarinya diatas keypad handphone dan membuka menu phonebook. Ditatapnya salah satu list contact yang ia rasa tepat untuk diajaknya curhat.

Send. Setelah kalimat itu tertera pada display handphonenya, ia segera meletakkan kembali handphone itu ke tempat semula.
Belum ada satu menit handphone tersebut terlepas dari tangannya, sebuah dering nada yang memang disetting khusus sebagai penanda sms masuk, berbunyi.

"Cepet amat dibalesnya." gumamnya dengan kening berkerut.
Kerutan di kening Ify semakin bertambah saat tau bahwa pengirim pesan singkat tersebut bukanlah Agni -orang yang baru saja dikiriminya sms-, melainkan Gabriel.

From : Gabriel

Fy, gue pengen kerumah lo ya sekarang.
Jangan kemana-mana :)

Ify melebarkan bola matanya saat membaca kalimat yang tertulis pada sms yang dikirimkan oleh Gabriel. Oke, dia memang tidak melarang Gabriel untuk bertandang kerumahnya. Tapi masalahnya sekarang, dirumah ini sedang ada Cakka, seseorang yang jelas-jelas tidak menyukai Gabriel. Bukan hanya karena dulu Gabriel pernah menyakiti Ify, tapi juga karena belum lama ini Cakka pernah menceritakan pada Ify bahwa Gabriel itu termasuk dalam rival abadi buat Cakka dan Rio, dari di SMP dan entah sampai kapan.

Cklekk..pintu kamar Ify terbuka tiba-tiba, membuat Ify yang sedang terfokus pada layar handphonennya sedikit terlonjak kaget.

"Eh kunyuk, elo kalau mau masuk kamar orang ketuk pintu dulu kek, jangan asal masuk bisa nggak sih?!" seru Ify kesal, Cakka yang baru saja menyembulkan kepalanya menyeringai lebar.

"Fy, ntar malem gue nginep disini yah. Bokap ke Yogja, gue nya ditinggal." pinta Cakka, mengindahkan seruan kekesalan Ify. Ia melangkah masuk dan ikut menghempaskan diri disebelah Ify.

Ify terkejut, kalau Cakka ingin menginap itu artinya makhluk narsis disebelahnya ini tidak akan pulang. Dan itu artinya, akan sangat berbahaya kalau sampai Gabriel datang kerumah ini dan ada Cakka juga disini.

"Hahh? Eh maksud lo, elo mau tidur disini gitu?"

"Ya ialah, kan gue bilang nginep, gimana sih lo," Cakka membentangkan kedua tangannya ke samping "udah ah, gue mau nonton tv dulu." ujarnya, seraya melangkahkan kaki keluar dari kamar Ify.
......

'Oh my God, oh my God, oh my God.'

Shilla mulai ketar ketir, badannya panas dingin. Tak henti-hentinya ia menggumam kecil, memohon akan keselamatan yang entah darimana datangnya. Suara mini bus itu terdengar semakin mendekat, namun Shilla yang seperti mati rasa hanya bisa diam, tetap berdiri ditempat. Dan...sreet, seseorang menarik tubuhnya ke belakang. Hingga secara refleks membuat tubuh Shilla terperangkap dalam dekapan seseorang yang -tanpa melihat wujudnya pun- Shilla yakin bahwa orang tersebut pasti laki-laki.
Entah sadar atau tidak, dalam hitungan detik sejak kejadian 'tenggelamnya tubuh Shilla kedalam pelukan lelaki' itu, Shilla membalikan tubuhnya. Membuat posisi diantara mereka menjadi berhadap-hadapan dan tanpa berkata-kata Shilla memeluk -kembali- tubuh orang tersebut.

"Huaaaa gue takut, gue takut mati, gue masih pengen idup, gue takut." racaunya, masih sambil memeluk lelaki tersebut.

Secara perlahan sebuah sentuhan bergerak naik turun secara teratur menyusuri helai demi helai rambut Shilla. Membuat perasaan Shilla mau tak mau menjadi sedikit lebih tenang.

"Tenang, ada gue disini."

Tunggu. Suara itu. Shilla sangat mengenali suara itu, suara seseorang yang memang terus menghantui dirinya baik dalam mimpi atau pun tidak. Seseorang yang baru saja dimata-matainya secara diam-diam. Seseorang yang secara tidak langsung hampir membuat Shilla celaka.

"Udah yah, jangan nangis."

Tangan yang tadinya bergerak bebas membelai lembut rambut Shilla beralih menggenggam erat lengan gadis tersebut. Menuntun gadis itu menuju sebuah halte yang berada dibelakang mereka.
Shilla tersentak, sedetik kemudian gadis itu malah balik menggenggam pergelangan tangan pria tersebut. Sehingga pria tersebut memutar tubuhnya ke belakang dan menatap bingung pada Shilla yang tiba-tiba saja menghentikan langkahnya.

"Riko, gue kangen sama lo." ucap Shilla lirih, nyaris berbisik.

Riko yang mendengar bisa merasakan betapa tulusnya ucapan gadis tersebut. Membuat perasaan hatinya menjadi tak karuan, segala macam jenis rasa kebahagian seketika menyelimuti hatinya.

"Gue..gue juga kangen kok sama lo, Shill.." balas Riko ragu "..kita kesana dulu yuk." ajaknya menunjuk halte bus yang letaknya beberapa meter dari tempat mereka berdiri saat ini.

Riko kembali menggengam lembut pergelangan tangan Shilla. Menuntun gadis yang memang sangat dirindukannya beberapa waktu terakhir ini. Dengan perasaan berbunga-bunga, Riko tak henti-hentinya tersenyum pada setiap orang yang ditemuinya, entah ia mengenalnya atau pun tidak.
Disebelahnya, Shilla hanya menatap genggaman tangan Riko dengan tatapan kebahagiaan.
....

Seorang pria berambut gondrong berlari-lari kecil dengan membawa selembar kertas ditangannya. Dari jauh nampak seorang gadis yang sedang menunggunya dengan tatapan jengkel.

"Oliv...Oliv...liat dong, liat!!"

Ray berseru dengan semangat sambil menunjukkan selebaran yang ia genggam dengan bahagia. Oliv mencondongkan tubuhnya, sedikit lebih kedepan. Ia menyipitkan kedua bola matanya -yang sebenarnya memang agak sipit-, membaca baris demi baris kalimat yang tercetak disana.

Kening Oliv berkerut, ia menyilangkan kedua tangannya didada dan menatap bingung pada Ray.

"Terus?" tanya nya polos.

Ray memutar bola matanya dengan sedikit kesal "ihh, lo nggak asik banget deh, ini tuh kesempatan gue buat nunjukin bakat gue, mestinya lo ngasih dukungan kek apa kek, huhh." dengusnya.

"Ehehe, sorry Ray, sorry gue gak maksud bikin elo jadi kesel kok, beneran deh suer. Jadi kapan festival drumnya diadain?"

Ray tersenyum sambil melepat selebaran yang mengumumkan tentang festival drum remaja se Jakarta.

"Seminggu sebelum UKK."

"Lah, kalau elo ikutan ini gimana elo bisa ngebagi waktu lo buat latihan, sama belajar coba?"

Ray menyeringai kecil, tangan kanannya bergerak naik kebahu Oliv. Merangkul gadis itu, dan membuat jarak diantara keduanya semakin mendekat.

"Kan ada elo, jadi nanti selama gue latihan elo nemenin gue yah, sekalian kita belajar bareng juga. Kan kalau belajar bareng lebih cepet ngertinya."

Ucap Ray lembut, Oliv sedikit bergidik mendengar ucapan Ray yang lebih pantas disebut berbisik. Apalagi ia dan Ray berdampingan sedekat ini.
Dengan sedikit kikuk Oliv menurunkan tangan kanan Rau yang masih bertengger manis dibahunya.

"Iya deh, tapi..ini berat tangan lo."

Ray menyeringai sambil menggaruk-garuk tengkuknya. "Ehehe, sorry."
.....

Ting...Tong...Ting...Tong..
Bel dirumah Ify berdengung keras, Ify yang sudah berpakaian rapi segera berlari menuruni anak tangga.

"Kka..Kka..Kka tunggu!" ujar Ify setengah berteriak, saat melihat Cakka yang berniat membuka pintu depan.

"Biar gue aja yang buka." sambung Ify, yang tanpa menunggu jawaban dari Cakka langsung berlari ke luar rumah.

Cakka menatap punggung Ify yang semakin menjauh dengan kening berkerut. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan sikap Ify tadi.
.....

Brukk..Ify membanting pintu mobil Gabriel dengan kasar. Gabriel yang sedari tadi asyik merapikan rambutnya terlonjak kaget, dan refleks mengelus dada.

"Buruan cabut!" perintah Ify.

"Emang kenapa, Fy?"

Ifye memutar kedua bola matanya dengan kesal "udah, buruan." desaknya. Gabriel menurut, dengan sedikit bingung ia memutar kunci mobilnya dan segera melajukan kendaraan roda empat tersebut menuju sebuah tempat.

"Kenapa sih, Fy? Gue heran?"

"Ishh, elo tuh banyak tanya banget tau nggak. Elo tau kan, Cakka gak suka sama lo, ntar yang ada elo sama dia ribut. Udah gak usah banyak tanya." jelas Ify. Gabriel membulatkan mulutnya sambil mengangguk paham.

"Elo mau bawa gue kemana?" tanya Ify cuek.

"Jalan-jalan."

"Kemana?"

"Ke hatimu." Gabriel tersenyum menggoda, membuat Ify bergidik. Geli sendiri melihat senyuman pria tersebut.

"Apaan sih, norak banget."

"Tapi suka kan." goda Gabriel -lagi- sambil menaik turunkan alisnya.

"Nggak."

Gabriel mencibir "Bilang iya aja malu."

"Eh gue denger yah, dan apa yang barusan lo bilang itu salah." ralat Ify cepat.

"Iya deh tau yang udah jadian ama Rio mah, beda deh perasaannya ke gue sekarang." ujar Gabriel kesal.

"Belum kok."

"Berarti ada kemungkinan iya kan?"

Ify menggidikkan kedua bahunya. Mengingat hubungannya yang kian memburuk, rasanya sulit untuk meng-iya-kan pertanyaan Gabriel tadi.

Gabriel memutar stir mobilnya ke arah kanan. Membawa kendaraan hitam itu memasuki sebuah kawasan yang cukup sering dikunjunginya dulu, bersama Ify.
.....

"Selamat sore..spada..ada orang didalam.."

Cakka meletakkan remote tv yang sedari tadi berada dalam genggamannya, saat mendengar teriakan yang dikenalnya dari arah luar.

"Si Ify kemana sih? Tadi katanya mau ngebukain pintu." gumam Cakka.

Dengan malas, pria itu beranjak dari sofa dan meninggalkan acara musik kesayangannya, untuk melihat tamu yang sedari tadi berkoar-koar didepan pintu rumahnya, lebih tepatnya rumah Ify.

"Spada...ada or..eh Cakka udah nongol." Rio menggaruk-garuk tengkuknya saat menyadari keberadaan Cakka dihadapannya.

Cakka mendengus, ni orang baru sadar apa pura-pura baru sadar? Dari tadi juga Cakka udah nongol didepan dia kan? Sampe-sampe, Cakka ngerasa kupingnya hampir budek gara-gara teriakan Rio yang tepat persis 'jatuh' ditelinganya.

"Baru nyadar lo? Udah dari tadi kali," balas Cakka agak kesal "Ngapain lo disini? Nyari Ify?" sambungnya bertanya. Sedetik kemudian Cakka teringat akan sesuatu.

"Eh Ify..kemana tu anak? Kok nggak ada disini sih? Lo umpetin ya, Yo?" tanya Cakka -lagi- sambil menggerakkan kepalanya, mencari sosok Ify.

Rio menatap Cakka dengan alis bertaut "Ify? Nggak ada Ify disini, daritadi ni rumah pintunya udah kebuka kali."

Kening Cakka mengkerut "serius lo?" Rio mengangguk "daritadi pintunya kebuka?" Rio mengangguk lagi "bukan Ify yang bukain?"

Dan untuk ketiga kalinya pria hitam manis itu mengangguk "iya, emang kenapa sih? Ribet banget kayaknya."

"Tadi gue denger suara mesin mobil, Yo, berenti didepan rumah, kayaknya sih. Terus ada orang ngebel, eh pas gue mau ngebukain, sama Ify malah dilarang katanya sih biar dia aja yang buka. Nah sekarang tu anak malah ngilang." jelas Cakka sambil mengingat-ingat, mungkin saja ada sesuatu yang bisa menjawab kebingungannya saat ini.

Rio yang mendengarkan penjelasn Cakka terdiam. Entah mengapa ia jadi teringat akan Gabriel. Apa suara mesin tadi punya Gabriel? Terus yang ngebel tadi juga Gabriel? Terus si Ify akhirnya pergi sama Gabriel?

Rio mulai bertanya-tanya dalam hati. Jangan-jangan, Gabriel serius dengan ancamannya tempo hari. Lalu, apa yang harus Rio lakukan? Memberitahu Cakka tentang Gabriel? Karena memang Cakka belum mengetahui tentang Gabriel yang kembali hadir dikehidupan mereka.

"Yo..Yo, malah ngelamun ni anak. Elo kenapa sih? Belum makan siang?" tanya Cakka membuyarkan lamunan Rio.

"Eh, engga. Gue balik yah."

"Loh, gak jadi ketemu Ify?"

"Ify kan nggak ada."

"Titip pesen?"

"No thanks, gue balik aja. Duluan Kka." pamit Rio sambil melambaikan tangan kanannya, Cakka membalasnya dengan anggukan kecil.

"Aneh." gumamnya, sambil menutup pintu.
.....

Suasana disini tidak berubah. Masih ramai, masih sejuk, masih menyenangkan. Membuat ingatan Ify tentang masa lalunya bersama Gabriel, hadir kembali saat ini. Secepat mungkin Ify menggelengkan kepalanya, membuang jauh semua memory yang terputar kembali bagai jarum jam yang bergerak teratur. Bahkan, Ify masih mengingat hari bahagia terakhirnya bersama Gabriel dengan status sebagai kekasih dari pria tampan tersebut.
»»

Seorang remaja pria menarik lembut pergelangan gadis cantik yang berjalan disisinya, menuju sebuah perosotan berwarna biru muda yang terletak ditengah-tengah taman.

"Aaahhh, mau kemana sih Gab? Sakit nih tangan aku ditarik-tarik gitu." rengek Ify, gadis cantik yang berjalan bersisian dengan remaja pria tersebut.

"Ke situ Ify," Gabriel mengarahkan telunjuknya ke sebuah perosotan biru yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini "kita main perosotan yah." tambahnya semangat.

Ify mendengus sebal, masa' iya kencan pertama mereka -setelah 1 minggu yang lalu resmi jadian- harus dilalui dengan bermain perosotan ala anak TK? Nggak ada yang lebih bagus gitu?

Merasa tidak ada respon, Gabriel menghentikan langkahnya "kok diem? Gak mau yah main perosotan sama aku?" tanya nya sedikit kecewa.

Ify memaksakan sebuah senyuman untuk Gabriel "nggak kok. Yuk deh kita main kesana." ajaknya sambil menggandeng Gabriel menuju perosotan biru tersebut.

Dengan sedikit takut dan -emm- malas, Ify bersiap-siap menaiki perosotan tersebut. Ia akan terjun dari puncak perosotan tersebut setelah sebelumnya Gabriel menerjunkan dirinya terlebih dahulu.

Gabriel menatap gadis dibelakangnya dengan senyuman "Siap?" tanyanya, Ify tersenyum masam "oke, 1-2-3..."

Gabriel memulai aksinya diiringi dengan teriakan kecil bernada ceria. Memang, perosotan yang mereka naiki saat ini memiliki tinggi yang tidak biasa. Karena, perosotan ini memang tidak dikhususkan untuk anak-anak.
Setelah Gabriel sampai dengan selamat didasar tanah, Ify segera mempersiapkan hatinya yang mulai ketar-ketir. Ify menelan ludah saat melihat dasar tanah dari tempatnya berdiri saat ini. Cukup tinggi, dan ia rasa itu juga cukup mampu membuat nyalinya menciut. Kalau saja dibawah sana Gabriel tidak berteriak menyerukan namanya, menyuruh gadis manis itu untuk segera terjun, mungkin Ify sudah turun dan mengurungkan niatnya untuk beraksi saat itu.

'Oke, aku pasti bisa.'

Setelah berulang kali menghirup nafas, Ify mulai memposisikan dirinya. Bersiap untuk segera meluncur.

'Bismillah ya Allah'

Ucapnya dan..wushhhhh Ify meluncur sambil menutup kedua matanya. Dalam hati gadis itu membathin, berharap semoga ia bisa selamat sampai dibawah.
Sampai pada akhirnya, ia merasa tubuhnya sudah terduduk didasar tanah. Dan tepat ketika ia membuka matanya, Ify menemukan setangkai mawar merah didepan matanya.

"Aku sayang kamu." ucap Gabriel polos.

Ify tersenyum malu "apaan sih Gab, masih SMP bilang sayang."

"Tapikan kita udah pacaran," protes Gabriel "nggak papa dong aku bilang gitu."

Ify mengangguk kecil "ehehe, iya yah."
««

Gabriel baru saja memarkirkan kendaraan roda empatnya. Sambil mengotak-atik ponselnya, pria jangkung tersebut berjalan santai menghampiri Ify yang terdiam mematung, tatapannya terfokus pada perosotan yang cukup tinggi, letaknya tidak jauh dari tempat Ify berdiri saat ini.

'Masih ada ternyata'

Gabriel membathin dalam hati, sambil ikut menatap perosotan lama yang sudah berubah warna. Kalau dulu seingat Gabriel perosotan tersebut berwarna biru, kini warna nya menjadi merah cerah.

"Emm Fy," tegur Gabriel sambil menepuk pundak Ify. Ify tersentak dari lamunannya "inget sama-"

"Eh elo kapan dateng, Yel?" tanya Ify, memotong ucapan Gabriel. Ia tau kemana arah ucapan Gabriel nantinya, maka dari itu Ify memotong ucapan pria tersebut.

"Emm baru kok, kita main perosotan itu yuk." ajak Gabriel menunjuk perosotan tadi.

"Enggak ah, kayak anak kecil aja." tolak Ify cepat.

"Ayolah Fy, cuman hari ini gue banyak minta sama lo," pinta Gabriel "besok-besok nggak lagi deh." tambahnya.

Ify menggembungkan kedua pipinya dengan kesal. Namun gadis tersebut tetap pasrah mengikuti Gabriel yang mulai menuntunnya menuju perosotan tersebut.

Entah hanya kebetulan atau memang...Gabriel sengaja mengulang apa yang pernah terjadi dulu. Setelah ia sampai didasar tanah, Gabriel segera menjauh dari perosotan tersebut. Ia membiarkan Ify meluncur dengan kedua mata tertutup. Masih ekspresi yang sama, seperti dulu, pikir Gabriel.

Ify yang merasa sudah meluncur dengan selamat membuka kedua bola matanya. Dan bagaikan de javu, kini gadis tersebut mendapati Gabriel yang tengah menyodorkan sesuatu didepan wajahnya. Berbeda dengan 4 tahun silam, kini yang berada dihadapannya bukanlah mawar merah, melainkan ice cream rasa cappucino bertabur chocochips, ice cream kesukaan Ify.

"Gue masih sayang sama lo." ucap Gabriel tulus.

Ify menatap Gabriel dengan perasaan tak enak "emm makasih." ucapnya sambil menerima ice cream tersebut.
.....

Duk..duk..dukkk
Cakka memantulkan bola basket miliknya dengan kurang semangat. Ia masih memikirkan sesuatu tentang Ify yang terasa janggal, menurutnya.
Ia berpikir keras, mencoba menerka-nerka kemungkinan apa yang bisa menyebabkan sedikit perubahan pada diri Ify. Kalau menurut Cakka, Ify yang sekarang lebih banyak diam dan terkesan memendam sesuatu yang Cakka sendiri tidak tahu apa.

"Kka, Kka, Cakka!!" panggil Agni setengah berteriak karena Cakka mengabaikannya.

Cakka yang sedikit terkejut lantas memantulkan bola basketnya dengan asal. Dan bughhh..bola basket itu jatuh dengan cukup keras diatas kakinya.

"Aduhhh." ringis Cakka sambil mengelus-elus sepatu basketnya. Maksud hati sih ingin mengelus kakinya, tapi...

"Eh maaf, Kka. Maaf. Aku gak sengaja," ucap Agni panik.

Ia ikut membungkukkan badannya dan mengelus-elus ujung sepatu Cakka.

"Sakit ya?"

Cakka tersenyum miris "iya, gak papa kok, Ag. Aku baik-baik aja," ucap Cakka menenangkan "kesana aja yuk." ajak Cakka sembari menggandeng tangan kanan Agni.

Kedua sejoli itu menghempaskan tubuhnya di bangku panjang yang terletak di pinggir lapangan.

"Nih," Agni menyerahkan sebotol isotonik kepada Cakka.

"Lagi mikirin sesuatu?" sambung Agni bertanya.

Cakka mendesah. Ia menerima botol minuman tersebut dan meneguknya setengah.

"Ify pernah curhat sesuatu nggak, Ag sama kamu?"

Kening Agni berkerut "soal?"

"Ya soal apa aja gitu. Dia aneh banget deh beberapa hari belakangan ini dan...gue kok mikirnya ini semua ada hubungannya sama-"

"Sama siapa?" potong Agni penasaran.

"Gabriel."

Agni ternganga, sedikit kaget ketika mendengar Cakka menyebutkan nama pria yang pernah menjadi 'cinta monyet' nya Ify dulu.

"Kok ke dia?" tanya Agni tak mengerti.

Cakka kembali meneguk minumannya. Detik berikutnya, kedua bibirnya mulai menceritakan apa yang mengganjal pikirannya -tentang-Ify-tentunya- beberapa hari ini.
Agni sesekali mengangguk paham.

"Iya sih, aku juga ngerasa ada yang aneh sama dia," Agni meraih jemari Cakka dan memainkannya "terus, hubungan dia sama Rio gimana? Kok kayaknya mereka emm musuhan deh." tambah Agni menebak.

Cakka menggidikkan kedua bahunya "nggak tau, Ag. Tapi kayaknya sih iya, eh tapi kok tadi sore, Rio ke rumah ya?"

"Ke rumah lo?"

"Bukan. Ify. Kan gue dari tadi siang di rumah Ify, soalnya ntar malem rencananya gue pengen nginep."

"Minta maaf kali." ceplos Agni.

"Emm maybe."
.....

Shilla menundukkan kepalanya. Kelima jarinya terlihat sibuk memilin ujung dressnya.
Disebelahnya, Riko menggigit-gigit kecil ujung bibirnya. Ia menggaruk-garuk tengkuknya karena bingung, bingung mencari bahan obrolan yang pas.

"Ko-"

"Shill-"

Keduanya saling pandang setelah sesaat sebelumnya saling mengucapkan nama lawan bicara mereka satu sama lain. Detik berikutnya keduanya justru mengurai tawa yang entah disebabkan oleh apa.

"Emm elo mau ngomong apa, Shill?" tanya Riko akhirnya.

Shilla menggertak-gertakkan -pelan- giginya karena sedikit gugup. Ia bingung bagaimana menjawab pertanyaa Riko. Jujur, tapi malu. Kalau bohong, nggak ada waktu lagi buat mikirin alasan yang tepat buat mengelak.

"Eh itu emm gue..."

Alis Riko bertaut mendengar ucapan menggantung yang dilontarkan Shilla barusan "kenapa, Shill?"

Shilla bolak-balik menghirup nafas. Hatinya masih berdebat, antara berkata yang sebenarnya atau terus memendam perasaan yang ia sendiri masih ragu akan kepastiannya.

Riko menatap Shilla dengan penasaran. Berharap gadis tersebut akan segera mengungkapkan sesuatu yang akan kembali membuat hatinya melayang. Setelah sesaat sebelumnya Shilla sempat membuat hatinya terlonjak mendengar pernyataan 'rindu' dari mulut gadis cantik tersebut.

"Emm tadi siapa lo, Ko?" tanya Shilla mencoba mengalihkan pembicaraan.

Riko nampak berpikir sejenak, menerka-nerka tentang siapa yang dimaksud Shilla "yang cewek tadi?" tanya nya, Shilla mengangguk kecil "ohh..dia Aren, dia adek sepupu gue. Jadi.."

Bla..bla..blaa..Riko mulai menceritakan tentang siapa Aren dan apa yang menyebabkan ia bisa bersama Aren hari ini. Tak satu pun ia lewatkan saat menceritakan prihal tersebut, termasuk tentang statusnya yang menjadi salah satu pegawai di toko buku milik kakak sepupunya yang tak lain adalah kakaknya Aren.
Shilla mendengarkan dengan antusis, sesekali ia mengangguk paham dan memandang Riko dengan kagum. Pemuda seperti Riko yang masih masuk dalam kategori keluarga berada mau bersusah payah untuk mencari uang, ya meskipun hanya dengan menjadi pegawai toko buku. Sedangkan dirinya? Shilla mengoreksi dirinya sendiri dalam hati. Gadis manja yang selalu bergantung dengan orang lain. Apa-apa pembantu, apa-apa supir. Mau melakukan ini pembantu, itu pembantu lagi. Jalan kesini sama supir, kesana dan kemana pun ia mau, Shilla selalu mengandalkan supirnya dalam urusan antar-jemput tersebut. Benar-benar berbeda. Dan hal tersebut membuat kekaguman akan Riko -yang-entah-sejak-kapan-muncul-dihatinya- semakin bertambah besar. Hasrat hati yang dulunya selalu dikuasai oleh satu nama dalam 3 huruf -Rio- berubah menjadi satu nama dalam 4 huruf, R-I-K-O!

"Shill! Ngelamun aja lo." tegur Riko setelah menyelesaikan ceritanya. Shilla tersentak sesaat.

"Eh iy, sorry."

"Ada masalah?" tanya Riko lembut. Shilla menggeleng pelan "emm kayaknya lo masih rada shock ya, Shill? Gue anterin balik aja deh ya." tambahnya menawarkan, Shilla mengangguk ragu.

Kemudian, tanpa ragu Riko menarik lembut tangan Shilla dan menuntunnya menuju toko buku tempat Riko bekerja tadi. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk mengambil kunci motor Riko sekaligus kendaraan roda dua tersebut yang masih terparkir rapi di toko buku tersebut.
.....

Ify mendengus kesal berulang kali. Sedari tadi Gabriel tak henti-hentinya menarik tangan Ify dan membawa gadis itu menuju berbagai macam stand favorite yang sering mereka kunjungi dulu.

"Isshhhh, udah ah, Yel. Cape gue ditarik-tarik mulu sama lo." sungut Ify kesal.

Gabriel menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Ify "cape yah?" tanya nya penuh perhatian, Ify mengangguk malas "ya udah, duduk disana aja yuk." ajaknya sembari menggandeng -atau-lebih-tepatnya-menarik-sedikit-paksa- tangan Ify.

Ify menurut, pasrah. Dengan langkah malas ia mengiringi Gabriel yang berjalan selangkah lebih dulu didepannya. Begitu sampai disalah satu stand minuman, keduanya memilih sebuah meja yang letaknya persis dibawah pohon rimbun.

"Bentar yah, gue ambil minuman dulu. Jangan kemana-mana." pesan Gabriel, dengan nada yang terkesan memerintah. Ia mengacak pelan puncak kepala Ify sesaat sebelum ia meninggalkan gadis manis tersebut. Selang beberapa menit kemudian, Gabriel kembali dengan segelas vanilla latte dingin ditangannya.

"Nih." Gabriel menyodorkan gelas vanilla latte tersebut yang disambut sumringah oleh Ify.

"Makasih," sahut Ify gembira "masih inget aja minuman favorite gue." tambahnya.

Gabriel tersenyum masam "sampai kapan pun, gue nggak mungkin lupa kali, Fy."

"Eh kok jadi melow gini, lanjut main yuk, bosen nih."

Ify mencoba mengalihkan pembicaraan Gabriel yang ia yakini ujung-ujungnya akan mengacu pada hal yang paling dihindarinya, perasaan Gabriel yang masih tertuju padanya.
Gabriel menghela nafas, merasa -sedikit- kesal dengan Ify karena gadis itu selalu berusaha menghindari kenyataan bahwa ia -Gabriel- masih memiliki rasa itu pada Ify, meskipun sekarang semua itu sudah terlambat.
Dengan enggan Gabriel mengiringi Ify yang berjalan lebih dulu didepannya.

Srettt...Gabriel menarik tangan Ify saat gadis itu ingin menyebrang jalan. Dan mungkin karena tidak berkonsentrasi -akibat-pembicaraan-antara-ia-dan-Gabriel- Ify hampir saja menyebrangkan diri ditengah ramainya lalu-lalang kendaraan. Untung saja Gabriel sempat menahan Ify, membuat tubuh mungil gadis tersebut terdorong hingga ke dadanya.
Tak bisa dipungkiri, bahwa Ify merasa dadanya berdebar-debar saat tubuhnya melesak masuk ke dalam pelukan Gabriel.

Disudut keramaian yang tidak terlalu jauh dari keberadaan Ify dan Gabriel, sepasang mata menatap kejadian itu dengan nanar.
Ingin marah? Tentu, tapi ia cukup sadar diri bahwa Ify bukanlah miliknya. Dengan sedikit berat, ia meneruskan langkah kakinya saat Ify dan Gabriel kembali menggerakkan kaki mereka menuju tempat yang ia sendiri tidak tahu kemana. Dalam pikirannya saat itu hanya satu emm ralat. Bukan satu, tapi dua. Ia akan mengikuti Ify dan memastikan bahwa gadis itu akan baik-baik saja bersama pria yang -kalau- dalam pikirinnya jelas jauh lebih baik dirinya, apalagi untuk mendampingi Ify.

"Lain kali kalau mau nyebrang hati-hati ya, Fy," pesan Gabriel, tangan kanannya masih melingkar di pundak Ify "liat kiri kanan, jangan asal nyelenong kayak tadi." tambahnya.

Ify mengulum senyum "thanks, Yel."

"Udah kewajiban gue," ucap Gabriel tulus, Ify terdiam. Berusaha acuh dengan ucapan tulus tersebut "senggaknya, sebelum gue bener-bener pergi...gue akan selalu ngejagain elo, semampu gue."

Gabriel memfokuskan kedua manik matanya pada sepasang mata bening milik Ify. Entah mendapat keberanian darimana, Gabriel mengecup lembut puncak kepala Ify. Tak menolak, Ify membiarkan perlakuan Gabriel dengan pikiran melayang jauh memahami akan makna 'kepergian' yang diucapkan Gabriel beberapa detik yang lalu.

"Gue nggak akan pernah berhenti buat bilang," Gabriel menggantungkan kalimatnya, membiarkan bermili-mili oksigen memenuhi rongga dadanya "gue masih sayang sama lo."

Ify terdiam, tak mampu berucap. Untaian kalimat yang semestinya terlontar dari mulutnya, berganti dengan derai air mata yang menyeruak dari kedua pelupuk matanya.
Dan dengan sekali gerakan, Gabriel kembali merengkuh Ify kedalam pelukannya. Menghapus berjuta-juta rindu yang sebelumnya hanya mampu ia pendam dan tak tersampaikan.
.....

Menyakitkan tapi tak mampu menangis. Ingin berontak tapi untuk apa?
Dari kejauhan, Rio masih setia menyaksikan detik demi detik, adegan demi adegan yang sudah tentu menyakitkan hatinya.
Menangis bukan dirinya. Berontak? Siapa dia? Apa dia memiliki hak untuk memaki Gabriel dan menyeret Ify menjauh dari pria yang sudah dianggapnya rival sejak dulu?
Rio tertawa hambar, merasa dirinya pecundang, bunglon, dan entah apalagi. Perasaan berubah-ubah yang dimilikinya untuk Ify, membuat pria itu selalu mengulur waktu untuk mengungkapkan isi hatinya. Begitu yakin, waktu seolah tak berpihak padanya mengingat begitu banyak nya kendala saat akan menyampaikan hasrat hatinya. Dan sekarang, yang mampu ia lakukan hanya tersenyum palsu menyaksikan pemandangan pahit dihadapannya tanpa berusaha melakukan sesuatu agar gadis tersebut tidak jatuh cinta untuk kedua kalinya pada pria yang sama. Rivalnya, orang yang tak lain juga pernah menyakiti gadis tersebut dimasa lalu.

Drt..drttt
Getar disertai melodi indah yang berasal dari ponselnya membuat Rio mengalihkan pandangannya sejenak. Detik berikutnya, pria tersebut langsung merogoh saku jinsnya dan buru-buru menerima panggilan yang berasal dari Ibu nya tersebut.

"Hallo..iya mah, iya, Rio jemput mamah sekarang. Bye."

Klik..sambungan terputus. Mungkin memang cukup sampai disini ia menyaksikan semuanya. Dan sekarang, saatnya ia meninggalkan tempat 'menyedihkan' ini kemudian memacu kendaraannya menuju tempat dimana sang ibu menunggunya.


=====

No coment. Sadar diri makin kesini makin ngaret. Makin kesini makin garing. Makin kesini makin emm ya apalah pendapat kalian, kayaknya gue setuju.
Well, silahkan kritiknya, sarannya, komentarnya, cuap-cuapnya, unek-uneknya disalurkan dengan mengisi kolom kosong dibawah ini. Apapun statement kalian gue ikhlas (?)
Sekali lagi, sorry karena ngaret._.v


_With Love Nia Stevania_

0 komentar:

Posting Komentar