Rabu, 12 Juni 2013

Akhiri Saja (Eksekusi Cinta Terlarang)

Tidak semua yang kau rencanakan akan berjalan sebagaimana mau-mu. Seperti apa yang telah kau rencanakan terhadap hubungan ini. Hubungan terlarang kita.
-Ify-

•••

“Sampai saatnya tiba, aku berjanji akan mengakhiri semua ini. Semua cinta tersembunyi yang kita jalani saat ini.”

Aku masih mengingat jelas ucapannya kala itu. Ucapan yang setidaknya mampu meyakinkah hatiku bahwa kisah yang kami jalani akan berakhir happy ending. Seperti yang kami harapkan, dan telah kami rencanakan, segala yang tadinya hanya menjadi ‘kisah’ kami berdua, akan kami tunjukkan pada semua.
Tapi, ternyata, semua hanya rencana. Begitu di lain waktu ia datang menemuikan dengan keadaan frustasi. Kemeja dengan dasi yang tak jelas bagaimana ikatanya. Matanya yang memerah, rambutnya yang berantakan, mungkin habis menjadi korban kedua tangannya.
Sebagai seseorang yang menyayanginya, tentu aku merasa iba melihatnya. Ikut sedih dan kasihan melihat kondisinya.

“Fy, maafkan aku.”

Aku yang tengah menggenggam keduanya, berharap dapat sedikit memberikan kekuatan dan ketenangan ditengah kegelisahannya mengernyit heran mendengar permintaan maafnya. Disudut hatiku yang lain ada perasaan tak nyaman menyelimuti. Pertanda buruk kah?

“Kau kenapa, Yo?”

Dia nampak memejamkan kedua matanya, kepalanya menggeleng. Dan entah mengapa tiba-tiba, setelah sepersekian detik menghembuskan nafas dengan kasar, ia justru memperbaiki raut wajahnya menjadi seperti biasa.
Sebenernya apa yang sedang mengisi pikirannya?

”Yo? Apa kau baik-baik saja?” Aku mengulang pertanyaan yang sama dalam format berbeda.

Dia berbalik menggenggam kedua tanganku, kemudian menciumnya mesra, seperti biasa.

”Lupakan. Maaf telah membuatmu cemas.”

Dalam kebingungan, aku mengangguk ragu. Ekspresi wajahnya yang meskipun sudah seperti biasa, lengkap dengan senyum memikatnya yang penuh pesona tetap tidak mampu membuatku yakin bahwa ia sedang baik-baik saja.

”Yo...”

Nada bicaraku terasa memohon. Berharap ia benar-benar mau sedikit lebih terbuka padaku, malam ini.

Dengan senyuman manisnya, ia menjawab. ”Tidak apa-apa Ify. Aku baik-baik saja. Maaf telah membuatmu cemas.” Ia segera menegakkan tubuhnya, dengan kilat ia mendaratkan sebuah kecupan pada keningku. ”Sebaiknya aku pulang. Maaf telah membuatmu bingung.”

Seolah tak membutuhkan jawaban dariku, ia segera berlalu menghampiri CRV silver yang terparkir diluar gerbang halaman rumahku.

•••

Kadang, yang terbaik dalam hidup ini adalah melepaskan sesuatu yang teramat kita sayang demi kebahagiaan kita. Daripada harus keukeh menjaganya, padahal kita sadar itu tidak mudah.
-Ify-


Alunan musik klasik yang memenuhi cafe ini tak cukup mampu untuk menulikan telingaku dari sederet kalimat yang dilontarkan oleh Sivia, sahabatku.

“Fy, lepaskan Rio. Mulailah mencari cinta yang lain.” Ucapan Sivia terdengar mendesak. Tak heran, karena ini adalah untuk kesekian kalinya ia berujar demikian. ”Bayangkan jika kau ada di posisi Alyssa. Tanpa kau tahu, dibelakangmu, pacar yang selama ini kau sayang ternyata menjalin cinta dengan wanita lain.”

”Lalu, apakah Alyssa bisa membayangkan jika dia ada diposisiku? Menjadi orang yang selalu di nomer dua kan?” Aku nampak puas ketika mampu membalikkan serangan Sivia dengan perkataanku, yang memang cukup ampuh untuk membungkam mulutnya.

Desah nafas Sivia yang terdengar putus asa dapat aku dengar. Dengan tatapan melembut, Sivia melanjutkan kalimatnya.

“Fy, dalam kisah ini, kau tidak bisa menghakimi Alyssa karena dia tidak bersalah.“

“Maksudmu, aku yang bersalah?”

Sivia menggeleng. ”Lebih tepatnya kalian. Kau dan Rio. Kalian dengan teganya menyakiti hati seorang gadis yang tidak tahu apa-apa.” Sivia mengangkat sebelah tangannya saat melihat mulutku yang hampir terbuka. ”Jangan menyelaku! Kau tahu Rio sudah berdua, dan Rio pun sadar itu. Tapi kalian nekat menjalin hubungan terlarang ini.” Sivia mengambil jeda, disesapnya teh hijau yang mulai berkurang panasnya. ”Kenapa kau meminta Alyssa membayangkan sedang berada diposisimu, sedangkan ia tak mengenalmu? Berbeda dengan kau, yang jelas tau betul siapa dia.”

”Vi...”

”Kau tahu betul, Ify. Perasaan wanita itu halus, mudah tersentuh dan mudah tersakiti. Tidakkah kau dapat membayangkan hal terburuk yang akan dialami Alyssa?”

Aku tercenung. Aku mungkin tidak bisa dikatakan sangat mengenal Alyssa. Tapi aku cukup tahu, bahwa gadis denga kursi roda yang menjadi penopang hidupnya itu berhati baik. Yah, baik. Berbeda dengan ku yang telah menerima ajakan kekasihnya untuk mendua. Aku memang jahat. Tapi Rio juga, kan?

”Dan kau pikir aku jahat? Lantas, bagaimana dengan Rio? Dengan mudahnya ia mengajakku menjalin hubungan ini, dan seolah melupakan bahwa ia telah memiliki kekasih.” Tanpa sadar nada ucapanku berubah sinis. Kenapa harus aku yang disalahkan?

”Lantas, bagaimana denganmu yang dengan mudahnya menerima ajakannya, dan melupakan kalau ia tak sendiri lagi?”

Skak!
Aku harus menjawab apa?

”Fy, aku sahabatmu. Aku menyayangimu sebagaimana aku menyayangi diriku sendiri.” Sivia menyodorkan Ice Vanilla Latte kepadaku, yang kusambut dengan cepat dan segera meminumnya. ”Entah kau sadar atau tidak. Tapi, pernah kah kau berpikir bahwa sebagai lelaki yang menjanjikan 'sesuatu' kepadamu, Rio tak cukup adil?” Aku menelaah maksud pertanyaan Sivia. ”Ketika ia sedang lelah dengan Alyssa, siapa orang yang pertama ia cari? Kau kan?” Aku mengangguk dalam diam. ”Dan kau selalu ada untuknya saat itu. Lalu, ketika kau mulai lelah melihat kemesraannya dengan Alyssa, dan kau membutuhkannya, apakah dia ada pada saat itu, untukmu?”

Tidak! Batinku menjawab tegas.
Justru gadis yang tengah menasehatiku saat inilah yang selalu bisa ku andalkan kapanpun.

Melihat aku yang tak berekspresi, Sivia meneruskan ucapannya. ”Lalu, pernahkah ia menjadikanmu pilihan pertama di antara 'kau dan Alyssa' se..kali..saja, dalam hidupnya.”

Dan kali ini aku refleks menggeleng. Tanpa bisa ku cegah, air mata yang telah menganak sungai dikelopak mataku perlahan berlomba-lomba melepaskan diri.

”Jadi, aku harus apa?” Tanyaku frustasi. Aku salah! Tapi bukan hanya aku yang salah. Tapi kenapa aku harus merasa paling berdosa?

”Lepaskan dia, Ify. Kau gadis yang baik --kecuali untuk masalah yang satu ini, karena kau tanpa sadar telah berusaha merebut apa yang bukan hakmu---”

”---Rio mencintaiku, Sivia! Mengapa kau mengatakan aku tak berhak atasnya?!” Selaku marah.

”Ify, apa yang memang menjadi hakmu pasti akan jatuh ke tanganmu tanpa harus kau merebutnya dari siapapun. Tuhan tidak pernah salah saat menurunkan rezeki kepada hamba-Nya. Pun termasuk apa yang menjadi hakmu dan yang bukan!” Ucap Sivia tegas.

Nada bicara Sivia yang tak terbantahkan membuat aku sadar, Sivia sedang marah, dan aku tak suka itu.”Maafkan aku.”

”Lupakan. Jadi, mau kah kau melepasnya untuk ketenangan dan kebahagiaan hidupmu?”

”Bantu aku, Sivia..”

Sivia nampak tersenyum lega saat menatapku. ”Tentu, Ify. Aku tak ingin kau semakin jauh terjatuh dalam jurang kesalahan. Cukup sampai disini kalian menyakiti hati Alyssa.”

•••

Wajahnya berseri bahagia. Senyum manis terukir dibibirnya, matanya pun nampak tak lepas memandangiku yang tengah menunduk.
Yah, aku memperhatikannya dalam diam. Meski kini ia ada disampingku.

“Mengapa kau tiba-tiba mengajakku bertemu? Apakah kau merindukanku?“ Nada bicaranya terdengar menggoda. Apakah nada bicara itu masih akan keluar ketika aku menyampaikan hasratku?

“Aku sangat merindukanmu.“ Jawabku seadanya.

“Aku juga. Seharian kemarin aku terlalu sibuk menemani Alyssa merawat kebun bunganya sampai-sampai aku melupakan gadisku yang cantik ini.“ Tawanya berderai, tangan kanannya mengacak halus puncak kepalaku.

Apa dia bilang? Melupakan aku?
Aku tertawa sinis. Segitu tidak pentingnya kah aku, sampai keasyikan merawat kebun bunga pun mampu menggeserku dalam ingatannya?

“Kau selalu melupakanku.“

Tawanya terhenti. “Hei! Mengapa kau jadi serius seperti ini? Kau ada masalah?“

“Jadi selama ini kau menganggapku tak pernah serius? Atau mungkin memang kau sendiri yang tak pernah serius denganku.” Ucapku mengabaikan pertanyaanya.

”Ify? Kau kenapa?”

”Lebih penting mana, aku? Atau Alyssa?”

”Kk..kau...”

Aku tertawa miris. ”Sepertinya kau bingung untuk menjawab. Kau ingin menjawab aku, tapi pada kenyataannya kau selalu mementingkan Alyssa. Kau ingin menjawab Alyssa, tapi kau takut menyakitiku. Begitukah isi hatimu?”

Aku dapat melihat, Rio mengepalkan kedua tangannya. Hal yang biasa ia lakukan ketika sedang berusaha meredam emosi.

”Bisakah kita membahas hal lain?” Pintanya datar.

Aku tersenyum kecut. Mengalihkan pembicaraan rupanya. ”Apa kau mencintaiku?”

Rio ternganga. ”Pertanyaan macam apa itu? Kau tahu jelas kalau aku mencintaimu. Kalau tidak, untuk apa aku memintamu menjadi kekasihmu?”

”Ralat. Kekasih gelapmu. Yah, aku hanya simpananmu kan?”

Rio meraih kedua bahuku. Mau tak mau membuatku menatap wajahnya yang mulai tak bersahabat. ”Sejak kapan kau mempermasalahkan hubungan ini?”

Aku melepaskan cengkramannya pada kedua bahuku. ”Sejak aku menyadari kalau kata cinta yang kau ucapkan hanya sekedar kata-kata belaka! Kau tak pernah sekalipun melakukan pembuktian kepadaku kalau kau benar-benar mencintaiku!” Seruku marah.

”Ify...”

”Maafkan aku Rio. Mungkin ini salahku karena terlalu nekat memaksa masuk kedalam hidup kau dan Alyssa. Mestinya aku sadar, kau bukan milikku. Aku tak berhak atasmu.”

”Apa maksudmu?!”

Aku memilih diam sebentar. Berusaha meredamkan emosi yang mulai mengumpul di ubun-ubun.

”Rio. Ini tidak akan adil, baik untukku, atau pun Alyssa. Kami sama-sama perempuan, dan aku rasa, aku...” Ah, mengapa menelan saliva pun terasa sulit untukku saat ini? ”Aku mungkin bisa membayangkan bagaimana perasaan Alyssa jika tahu kekasihnya mendua. Ini salah, Rio. Dan kesalahan ini harus segera diperbaiki.”

”Dengan mengakhiri hubungan kita? Begitu?”

”Apapun yang terbaik, akan ku lakukan.”

”Kau egosi!” Desisnya tajam.

Tidakkah kau sadar kalau kau juga egois, Mario?

”Kau tidak merasa egois, setelah kau memintaku menjadi kekasih (gelap) mu, dan melupakan Alyssa yang telah lebih dulu kau miliki?”

Rio terdiam. Baguslah. Mungkin dia sadar.

“Mulai lah hubungan yang baik dengannya. Jangan ulangi kesalahan yang pernah kau lakukan bersamaku. Meski tak mengenalnya, aku cukup tahu kalau dia baik.“ Ucapku lirih.

“Semudah itu kau melepaskanku? Mengakhiri semuanya?“

Aku mengerjap. “Aku tak ingin menyakiti hatiku lebih lama lagi, dan aku tak ingin membuat Alyssa terluka lebih jauh lagi. Biarkan aku memilih apa yang ingin aku pilih. Untuk kita semua.“

“Semudah itu?“ Rio masih mengulang pertanyaan yang sama.

“Jangan kau pikir semudah itu, Rio. Sedangkan kau tahu, apa yang telah kita lewati bersama selama ini tidaklah mudah. Kau pernah berusaha mengikhlaskan benda atau apapun kesayanganmu yang tiba-tiba menghilang? Tiada lagi.“

Rio tak menjawab. Tapi aku yakin jawabannya, iya!
Karena bulan lalu, ia sangat bersedih ketika kucing kesayangannya menghilang ditaman kota. Sampai detik ini belum ditemukan.

“Tidak mudah kan? Akupun begitu. Tapi yang harus kau pelajari, cinta tak melulu soal memiliki, atau saling berbagi. Tapi juga keikhlasan. Ikhlas ketika sesuatu atau seseorang yang kita cinta pergi menjauh dari kita, apapun alasannya.“ Aku menepuk pundaknya sekali. “Percayalah, tidak mudah bagiku menyudahi semua ini.“

Cukup. Tidak perlu aku memperpanjang drama perpisahan kisah cinta ini. Cukup sampai disini. Aku harus segera beranjak meninggalkan tempat ini. Meninggalkannya, dan semua kenangan yang pernah ada diantara kami.
Eksekusi cinta yang telah aku selesaikan hari ini akan ku jadikan pelajaran dikisah percintaanku mendatang.

Finish!

----

Yeayyyy!!! Nia punya yg baru nih..ahaha sebenernya judulnya rada freaky dan absurd ya, kesannya berat gitu padahal... Ya gue bingung sih mau kasih judul apaan, tapi buat kalian yg ga bingung buat berkomentar ya silahkan (?) Ahahahaa
FYI! Ini terinspirasi dari lagu TAKUT nya Yuna jadi kalau rada ga ngeh sama ceritanya, buruan cari lagunya dan dengarkan yahhh^^




@Kania08_

0 komentar:

Posting Komentar