Jumat, 04 November 2011

-- Dia 'Peri Cintaku' -- Short Story

The true story of me....




•• •• ••
Setiap aku teringat wajahmu
Bisakah hati ini memendammu?

Berulangkali aku mencoba
Pergi jauh melupakan dirimu
•• •• ••

Siluet-siluet itu kembali membayangi pikiranku. Membuat hasrat ingin melupakan yang telah ku tanam jauh-jauh hari, perlahan menyeruak kembali. Entah atas dasar apa bayang-bayang dirinya kembali bermain dalam benakku. Seolah senang mempermainkanku, menyiksaku dalam dilema berkepanjangan.

"Huftt...gue benci keadaan ini."

Aku menghela nafas berat.
Sebuah benda yang tanpa sengaja ku lihat, membuatku teringat akan sosoknya.
Aneh, hanya dengan se pack kertas fhoto, aku sudah mampu membuat rangkaian kisah lama yang pernah ku pendam, terurai kembali.
»»

Aku berhenti disebuah kios dengan plang besar "Detail Computer" didepannya.
Ku perhatikan kios yang penuh dengan laptop, notebook, CPU dan berbagai macam alat-alat yang berhubungan dengan komputer tersebut. Aku sedang mencari apa yang memang sedang aku butuhkan saat ini.

"Ify.."

Aku mengangkat wajah saat sebuah suara yang sangat familiar menyapa telingaku. Sesosok pria jangkung tengah tersenyum menatapku.

"Eh, Ri..o." ucapku agak ragu. Sedang apa ia disini?

Ah ya, aku baru ingat. Dia masih memiliki hubungan darah dengan pemilik kios ini.

Masih dengan senyumnya, ia bertanya..

"Eumm, cari apa?"

Aku yang sedang sibuk menahan debar jantungku, tentu saja langsung terkesiap. Dan dengan sedikit salah tingkah, aku kembali memutar pandanganku sambil menjawab pertanyaannya.

"Aa..aku lagi..nyari kertas photo. Ada?"

Dia tertawa kecil, kemudian beranjak dari posisinya. Mungkin mencarikan apa yang ku mau...mungkin.

"Ini.."

Ku terima se-pack kertas photo berisi 25 lembar tersebut. Kemudian ku serahkan selembar uang berwarna biru tua kepadanya.
Sambil menunggu Rio mengambil kembalian, aku membaca -iseng-iseng- tulisan-tulisan yang menghiasi pembungkus kertas photo tersebut.

Mungkin aku terlalu asyik, sampai-sampai...aku tak menyadari kalau ia sudah kembali ke hadapanku, menatap dengan senyuman yang entah apa maksudnya.

"Ee..Rio." ujarku gugup.

"Kamu cantik."

Aku tercengang. Sebuah kalimat pendek, yang terdiri dari dua kata itu sukses membuatku tersipu.

"Hahh?!" ucapku yang agak terkejut.

Dia terkekeh, lalu merebut se-pack kertas photo ditanganku dan membungkusnya dengan kantong plastik hitam yang ia ambil -mungkin- bersamaan dengan pada saat mengambil uang kembalian untukku.

"Kamu cantik banget malam ini." ulangnya dengan kalimat yang lebih panjang.

Dengan agak kaku, aku tersenyum. Kemudian buru-buru mengambil belanjaanku.

"Emm..makasih, aku pulang dulu yah, bye!" pamitku. Tanpa menunggu balasan darinya, aku segera berlari-lari kecil meninggalkan kios tersebut.
««

Huftttt...aku mendesah panjang. Terlalu banyak potongan-potongan kisah sederhana yang masih tersimpan rapi di otakku, hingga detik ini. Dan itu semua hanya karena...dia..
.....

Koridor kelas yang nampak lengang saat ini membuatku lebih leluasa untuk bercerita pada Sivia. Sahabat yang paling ku percaya dalam segala hal.

"Mario!"

Aku mengangkat wajahku tiba-tiba, saat seseorang menyerukan nama itu. Hanya sekedar 'sama', kah? Atau memang...

Dan dalam kondisi nafas tercekat, aku mencuri-curi pandang pada sosoknya, yang baru saja menghampiri Gabriel, orang yang memanggilnya.

"Eh, Gab!"

Dia melewatiku. Hanya dua kalimat itu yang tertangkap oleh indera pendengaranku, saat ia berucap sambil melewatiku.
Dan selanjutnya, -masih-dengan-mencuri-curi-pandang- aku terus memperhatikan sosok yang selalu mampu membuat detak jantungku berpacu hebat, hanya karena mendengar namanya.

Entah sedang berhalusinasi, atau memang itu yang terjadi. Ia melirik ku, dan tersenyum ragu sambil menatapku.
Secepat kilat aku membuang muka, berusaha menghindari tatapan magisnya yang terasa menghanyutkan.

"Lupakan! Lupakan! Lupakan! Life must go on, and i must move on! It's a must!" gumamku pelan, sambil berjalan semakin jauh, dari tempat ia berpijak.

"Kenapa, Fy?"

Aku menggeleng cepat -tanpa sadar- sebagai jawaban atas keheranan Sivia. Kemudian menarik tangannya, untuk mengimbangi langkah cepatku.


•• •• ••
Ku gelisah..Ku tak kuasa
Menghapus kenangan indah bersamamu
•• •• ••

Aku ingin engkau s'lalu
Hadir dan temani aku
Di setiap langkah
Yang meyakiniku
Kau tercipta untukku

Suara Pasha Ungu yang mengalun merdu dari salah satu siaran radio yang sedang ku dengarkan lagi-lagi membawaku pada sekeping kisah yang pernah tertulis karenanya.
Ah, harus apa lagi? Agar aku benar-benar bisa melupakannya?
Tak adakah satu cara terampuh agar sosok itu bisa menghilang secara sempurna dari pikiranku?
Oh, tidak, tidak. Bukan menghilangkan sosoknya, hanya saja..aku ingin Tuhan menghilangkan sejuta rasa termanis yang masih tersimpan dihatiku, untuknya. Just it! No more.
»»

Aku menatap jam dinding berukuran sedang, yang tertempel di dinding kamarku. Sudah lewat dari jam sepuluh malam, tapi...kenapa tak ada satu pun pesan darinya?
Ku tatap jam dinding dan ponselku berulang-ulang, secara bergantian.

"Tumben?" tanyaku dengan alis bertaut. Ku buka tombol pengunci pada ponselku, dan hasilnya tetap sama. Tak ada satu pun 'new messege' darinya.
Sudah tidur mungkin?

Sebenarnya aku tidak sedang menunggu pesan singkat dari seseorang yang -emm- kebanyakan orang menyebutnya, pacar.
Tapi bagiku, dia memiliki arti yang lebih dari sekedar 'pacar'. Dan tanpa ikatan terucap pun (jadian), dimata orang-orang terdekat kami, ikatan itu sudah terjalin lama.

Biasanya, ia akan mengirimiku pesan singkat pada jam..yah kurang lebih jam 9 malam. Dan paling lambat, jam setengah 10 malam. Pasalnya, ia baru terlepas dari rutinitas wajibnya (belajar) pada jam-jam tersebut.
Disaat aku masih bergelut dengan sejuta pertanyaan dan kekalutan karenanya, ponsel yang ku setting dalam modus 'silent' bergetar. Dengan segera ku tekan tombol pengunci, dan sebuah senyum bahagia tercipta seketika saat namanya mengisi display ponselku, sebagai pemberitahu bahwa pengirim pesan singkat itu adalah dia.

Malem, Fy ☺
Lagi apa?
Ganggu nggak?

Sender : Mario

Malem, Yo ☺
Baru selese makan. Kamunya?

To : Mario

Ehehe, kirain ganggu.
Aku lagi gitaran nih, Fy. Sama anak-anak.

Sender : Mario

Waa..kamu bisa main gitar? Bisa nyanyi juga dong?

To : Mario

Ahahaa, little2 i can lah.
Ini lagi ngegitar sambil nyanyi.
Mau request?

Sender : Mario

Keren.
Boleh. Tercipta Untukku, yah?
Tapi kamu yang nyanyi :D

To : Mario

Sip. Dengerin yah, ahaha.
Btw, udah malem nih, Fy. Habis ini tidur yah. Besok kan sekolah ☺

Sender : Mario

Okay (y)
Aku pasti dengerin lewat hati aku :D
Malem, Yo ☺

To : Mario

Malem, Fy.
Lagu ini spesial untuk kamu, tercipta untukku.

Sender : Mario

Aku tersenyum-senyum memandangi sekelumit pesan-pesan singkat yang ia kirimkan kepadaku. Hemm, masih terkesan kaku dan malu-malu.
Hahh?
Aku membuka kedua mataku lebar-lebar, saat membaca ulang pesan balasan dariku, untuknya.

Okay (y)
Aku pasti dengerin lewat hati aku :D
Malem, Yo ☺

To : Mario

Oh my God! Memalukan. Ini apa? Gombalan gagal? Ya ampun, Ify...what's wrong with you?

Plak..aku menepuk jidatku secara refleks.

"Arghh..Ify, bego! Ngapain juga ngebales gini? Kan kesannya gombal banget." rutukku pada diri sendiri.

"Aaaa..masa' cewek ngegombal?!"

Aku menenggelamkan wajahku pada bantal besar yang ku senderi, sebelumnya. Malu sendiri rasanya, saat rentetan kalimat dari pesan balasanku, terbayang kembali dalam benakku.

"Aduh..maluuuu! Besok kalau ketemu dia, gimana?!"

Aku terus meracau tidak jelas. Hingga akhirnya ku putuskan untuk memejamkan kedua bola mataku, teringat pesan terakhirnya yang menyuruhku untuk segera beristirahat.

"Okay Ify, lupakan! Sekarang waktunya tidur, huftt.."

Setelah berulang kali menghembuskan nafas, pelan-pelan ku tutup kelopak mataku, dan bersiap menembus malam bersama mimpi-mimpi indah yang terus menghiasi tidurku, sejak mengenalnya.
««

Ku ingin kau tahu
Ku s'lalu milikmu
Yang mencintaimu
Sepanjang hidupku

Klik..aku mematikan radio itu begitu saja. Menghentikan rol film lawas yang kembali berputar tanpa izin.

"Jangan inget-inget dia lagi, Fy! Semua udah beda!" larangku pada diri sendiri.
Meski sulit, aku harus mampu. Karena aku telah memilih, dan tak mungkin menarik kembali apa yang telah ku putuskan.

***

•• •• ••
Pantaskah bila aku tak mampu melupakanmu?
Kini aku telah bersamanya

Haruskah ku sesali apa yang telah terjadi?
Aku tak mungkin denganmu
•• •• ••

Senyumnya, tawa renyahnya, tingkah polosnya...tak ada satu pun yang terlupakan olehku. Setiap pergerakannya selalu terpantau jelas oleh kedua indera penglihatanku.
Mungkin ia tak tahu, dan tak akan pernah tahu kalau sampai sejauh ini, aku masih terus membayanginya.
Entahlah, aku pun tak tahu mengapa dimata ini sosoknya begitu indah. Dan bagiku, terlalu bodoh jika aku melewatkannya begitu saja.

"Ngeliatin apa sih, Yo?"

Pandanganku seketika beralih, dari sebuah meja yang terletak di sudut kantin, menjadi ke sebelahku sendiri.

Aku menggeleng cepat, "Eh, nggak kok, De."

"Kamu baik-baik aja kan?"

Ah, nada bicara yang sangat tulus dan penuh perhatian. Terkadang aku selalu merasa bersalah ketika menyadari bahwa hanya ragaku yang dapat Dea -gadis disampingku- miliki, sedangkan hatiku...meski tak seutuhnya, namun tak bisa ku pungkiri hati ini masih milik gadis itu. Gadis yang mengambil posisi bersantap siang di sebuah meja yang terletak di sudut kantin.

Aku mencoba tersenyum, "Aku baik-baik aja kok, De. Nggak usah khawatir gitu~"

Dea mengangguk disertai sebuah senyuman manis di bibirnya.

"Okay, kalau sakit bilang aja yah. Biar aku anterin ke UKS."

Aku hanya mengangguk menanggapi ucapannya. Semakin banyak berbicara, aku takut akan semakin menumpuk rasa bersalahku kepadanya.
Dan setelah melihat Dea kembali khusyuk dengan pesanannya, aku kembali mencoba mecuri-curi pandang ke meja sudut kantin.
Argh, sial. Dia sudah tidak ada. Mungkin masuk kelas.
Entah mengapa, semangatku menguap seketika. Akhirnya, aku memutuskan untuk menandaskan segelas es jeruk dihadapanku, tanpa menghabiskan nasi goreng yang tersisa setengah porsi dihadapanku.
.....

"Please deh, bro. Kan elo sendiri yang bilang, kakaknya Ify nggak setuju kalau sampe elo pacaran sama Ify, ya elo juga udah bilang nggak akan macarin Ify, kan?"

Aku mengangguk. Apa yang diucapkan Alvin memang benar. Aku menyukai Ify, dan selama ini aku pun banyak menceritakan masalah perasaanku kepada Riko, kakaknya Ify.

"Gue nggak ngelarang Ify buat temenan sama siapa aja, tapi kalau soal pacaran...maaf aja nih, Yo. Ya..lo tau lah.."

Begitulah tanggapan Riko saat mendengar pengakuan hatiku. Yeah, meskipun menggantung, aku tahu maksud dari ucapannya.
Intinya, perbedaan. Alasan klise yang sering kali menjadi penghalang dalam suatu hubungan. Entah itu perbedaan status sosial, atau kepercayaan. Seperti aku, dan Ify.
Dan aku hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan, serta senyuman samar yang sebenarnya terlukis secara 'mau nggak mau'.

"Terus, menurut lo, gue mesti gimana, Vin?" tanyaku berat.

"Ya, kalau sekedar ngungkapin perasaan, nggak dosa lah. Tapi, ya kalau pacaran...elo kan udah janji ama Riko."

Mungkin memang, sudah jalannya kami diciptakan untuk 'sempat' merasakan saling cinta. Namun tidak untuk 'selalu' bersama, selamanya.

Aku tersenyum, "Thanks, Vin."

"Sama-sama, Yo."

***

•• •• ••
Memang semua salahku melangkah
Menjalani kisah yang tak mungkin

Saat harus ku sudahi semua
Perjalanan cinta yang tak pasti
•• •• ••

"Fy..."

Aku menghentikan langkahku dengan ragu. Panggilan itu memang nyata, hanya saja...

"Aku..ak--"

"Em..Ma-af, Yo. Aku mau ke toilet." aku menyela cepat. Nada bicara ku mulai tak biasa, karena jujur saja, aku sedang berusaha menahan debaran dihatiku yang kian berpacu cepat.

Tanpa melihatnya, aku buru-buru meneruskan langkahku yang sempat tertunda.

Srett..kurasakan sebuah sentuhan mengunci lembut pergelangan tanganku.

"Please, Fy.. Izinin aku buat ngomong sama kamu, sebentar aja.."

Aku tak tega, mendengar ia meminta penuh harap seperti itu padaku. Ku putar pandanganku seolah mengisyaratkan -tapi-ini-toilet-, kepadanya. Seolah mengerti ia menggeleng, seakan berkata tak masalah.

"Ya udah, mau ngomong apa?" tanyaku to the point.

Tak selangkah pun aku bergeser dari posisiku semula. Tepat didepan lorong menuju toilet.

"Kamu marah sama...aku?"

Pertanyaan bodoh! Cetusku dalam hati. Apa maksud dari semua perhatian yang dia beri selama ini jika pada akhirnya ia memilih gadis lain dalam hidupnya?
Okay, aku bukan siapa-siapanya. Tapi..tidakkah dia berpikir untuk lebih bisa menjaga perasaanku, setelah 2 minggu yang lalu ia menyatakan "aku cinta sama kamu, kamu mau nggak jadi pacarku" kepadaku?
Oh, no! Dimana hatimu, Rio?

"Nggak!"

Dia menatapku sendu, tatapan yang sering ia berikan saat memohon kepadaku.

"Kamu bohong, Fy.."

Dia menunduk. Tak melihat bahwa kini aku sedang tersenyum sinis kepadanya.

"Aku minta maaf~" ucapnya lagi.

"Kamu ngerasa punya salah samu aku? Nggak, kan? Jadi kamu nggak perlu minta maaf." ucapku tanpa jeda, sengaja tak membiarkannya menjawab pertanyaanku karena aku takut jika nantinya ia akan menjawab "nggak" akan pertanyaanku barusan.

Tanpa menunggu tanggapan selanjutnya, darinya, aku memutuskan untuk segera memasuki toilet. Membiarkannya terpaku ditempat, sepertinya bergelut dengan pikiran yang entah apa.
.....

"Gue nggak bisa ngebohongin perasaan gue, Vi. Gue sayang banget ama Rio. Ya lo tau lah, dia itu cinta pertama gue." curhatku disela-sela jam istirahat, kepada Sivia, sahabatku.

"Gue tau, tapi..lo tau sendirikan? Dia kayak mainin lo tau, nggak. Nembak elo, terus meskipun lo tolak, tetap bersikap manis sampe-sampe orang ngiranya kalian pacaran, dan..dengan santainya dia jadian sama cewek lain tanpa ngasih tau ke elo? Oh Tuhan..itu keterlaluan, Fy!"

"Bahkan gue tau dia udah punya pacar dari orang lain, Vi." sambungku lirih.

Yah, alasan sakit hatiku bukan hanya karena dia sudah memiliki pacar. Tapi..dia seolah tidak menganggapku, dengan tidak memberitahukan ku bahwa sekarang ia sudah memiliki kekasih. Padahal, setelah aku memutuskan untuk menolaknya, dia tetap setia bahkan lebih perhatian kepadaku. Membuat aku yang sempat tak memiliki rasa kepadanya menjadi benar-benar jatuh cinta pada pesonanya. Dan saat ia berhasil melambungkan ku setinggi mungkin, dalam sekejap ia membuatku terhempas menyakitkan. Oh ya, bahkan..sebelumnya kami pernah membuat kesepakatan...

"Kalau salah satu dari kita naksir seseorang, atau pacaran ama orang lain...janji yah, orang pertama yang tau bukan orang lain, tapi kamu atau aku."

Ujarnya kala itu. Dan aku hanya menjawabnya dengan senyuman.

"Putusin, Fy--"

"Hahh?! Siapa yang pacaran, Vi?" tanyaku cepat, memotong ucapan Sivia.

Sivia menggeram gemas, "ishh, maksud gue, putusin! Elo ngelupain dia, atau ngelupain gue!"

Aku terkejut, namun berusaha tenang. Apa maksudnya? Aku diberikan pilihan sekonyol ini. Jelas saja, aku tidak mungkin memilih dia. Seseorang yang sudah pasti tak kan pernah bisa aku miliki. Sedangkan Sivia...dia lah satu-satunya orang yang selalu bersedia menyiapkan telinganya saat aku bercerita, menyiapkan mulutnya saat aku bertanya, menyiapkan sejuta hiburan saat aku benar-benar putus asa. Apa aku harus memilih dia? Itu bodoh, Ify...
Tapi, tak mau munafik. Sampai kapanpun, rasanya terlalu sulit untukku, melupakannya. Sosok cinta pertama yang terlukis indah jauh didasar hatiku. Menciptakan garis-garis penuh warna, untuk semakin mengindahkan hariku.

"Ya..gue milih elo lah~" ucapku, setelah sekian menit aku mengadakan debat terbuka dengan hati dan pikiranku.

"Tapi, untuk ngelupain dia juga butuh waktu kali, Vi." sambungku jujur.

Sivia tersenyum lega sambil mengacungkan kedua ibu jarinya. "That's good idea! Elo nggak perlu lagi mikiran cowok kayak dia. Nggak peka, nggak berperasaan!" tegasnya.

Aku mengangkat kedua bahuku acuh.

"Cukup sekali, elo dibikin kayak gini sama dia!"

Dan aku hanya menanggapinya dengan seulas senyum tanpa paksaan. Sivia benar, kalau sampai aku jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya berarti aku bodoh. Karena mestinya, apa yang ku alami saat ini, sudah cukup untuk ku jadikan pelajaran.

"Thanks, Vi. Terus...eum, elo sama Alv--"

Sivia menaikkan telunjuk kanannya, seolah memintaku untuk berhenti bicara.

"Gue cuman sekedar kagum sama dia!"

"Tapi dia suka sama lo?"

Sivia tertawa kecil, membuat keningku berkerut, bingung.

"Satu konsep lah sama lo, tapi..bedanya, gue sekedar kagum bukan cinta."

Aku meringis kecil. Alvin, cowok putih berwajah oriental yang juga sahabat karib Rio itu menyukai Sivia.
Memang, sejak aku mengenal Rio, Sivia juga mulai mengenal Alvin. Satu nasib denganku, Sivia mulai menyukai Alvin. Dan tidak bertepuk sebelah tangan, Alvin pun jatuh hati pada Sivia. Tapi...Sivia yang statusnya 'berpacaran' dengan Dayat, tentu lebih bisa mengontrol perasaannya. Berbeda denganku yang 100% single.

"Ngeledek aja bisanya," ujarku setengah mendengus.

Bukannya menghiburku, Sivia justru tertawa heboh.

"Peri cintaku banget ya, Fy~" ujarnya disela-sela tawanya.

Aku mendelik kesal, "maksud lo??!!" tanyaku seolah tak mengerti.

"Aku untuk kamu...kamu untuk aku...namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda~"


Tuhan memang satu...
Kita yang tak sama...
Haruskah aku lantas pergi...
Meski cinta takkan bisa pergi...


Tanah Grogot, 23/12/2007...


=====

Haiiiiiii...yang sudah baca, gimana pendapatnya? gaje yah?
Eummm, sadar sih. Tapi...ini cuman sekedar coretan ditengah kegalauan. Cerita real yang sumpah nyata. Etapiiii..cuman dibagian Ify P.O.V, kalau Rio P.O.V....ya ngaranglah..ahahaa
Jadi ya kalau ditanya gimana endingnya...gue juga ga tau. Karena emang sampe detik ini, gue ngerasa kisah ini, rasa ini belum ending *upsss..
Ohh iyaaa... Tanda "***" itu artinya pergantian P.O.V yaa..gue sengaja ga nulis "Ify P.O.V" atau "Rio P.O.V" karena kesannya kurang rapi terus ga enak aja dibacanya ehehee just in my opinion._.v

Oh iya, soal judul. Dia 'peri cintaku'. Sengaja gue kutip karena emang maksud dari peri cintaku disini bukan kayak yang ada dipikiran orang-orang sebelumnya *emang pikiran orang-orang sebelumnya apa--?* tapi....lebih ke, tau lagunya Marcell yang peri cintaku, kan? Nahhh itu maksudnya...

Okay...okay...masih ada yang suka nanyain WL yah? Maaf deh, baru 2hal idenya ilang...sabar yah buat yang nunggu (⌣́_⌣̀)\('́⌣'̀ )

Salam sayang buat semua readers, likers, dan komentator (?) ahahahaaa


@Niastvnia


_Nia 'nistev' Stevania_

0 komentar:

Posting Komentar