Jumat, 23 September 2011

-- Sang Waktu --

-- Sang Waktu --

Aku belajar untuk tidak
Mendapatkannya sekarang
Karena aku mau menunggu
+++

Terkadang aku merasa aneh ketika anak-anak seusiaku menyatakan tengah jatuh cinta. Bagaimana bisa? Seorang anak berumur 12 tahun malah ada yang masih berusia 11 tahun mengatakan bahwa mereka mencintai lawan jenisnya.
Namun, seiring berjalannya waktu. Tepat ketika tahun kedua aku menjadi murid disalah satu SMP swasta ternama di Jakarta, aku mulai merasakan apa yang merasakan. Tidak..tidak, ralat. Ini berbeda. Jika mereka berharap balasan akan perasaan mereka, aku tidak sama sekali. Cukup melihat senyumnya, mendengar tawa renyahnya itu semua sudah mampu membahagiakanku. Meskipun amarah dan cemburu menggelayuti hatiku, saat melihat ia tengah bersenda gurau dengan teman perempuannya.

"Masih nggak percaya sama ucapan gue?"

Aku buru-buru mengalihkan perhatianku, saat mendengar sebuah suara yang tak asing lagi ditelingaku.

Setengah mendengus, aku menjawab "iya, gue percaya Tian." ucapku gemas.

Septian atau kerap disapa Tian, menempatkan dirinya disebelahku. Dia adalah orang terdekatku -selain keluargaku-.
Kami telah bersama-sama sejak pertama kali menginjakkan kaki di Sekolah Dasar, dulu. Dan kini, saat kami sudah resmi 2 tahun menggunakan putih biru, kami kembali bersama-sama. Disatukan dalam kelas yang sama pula, sejak awal sekolah.

"Terus, apa yang mau lo lakuin sekarang?" tanya nya, ia menekuk kedua lututnya dan mengurungnya dengan kedua tangannya.

Aku menatap Tian dengan alis terangkat "maksudnya?"

"Diakan udah jadian sama kapten cheers itu," disaat Tian menggantungkan kalimatnya, aku melengos. Ternyata apa yang kuperkirakan benar adanya "dan elo, terlalu lambat menangkap sinyal cinta dia, waktu dulu buat lo."

Yah, Tian benar. Andai saja dulu aku mau sedikit memberikan ruang untuknya di hatiku -meski hanya sebagai sahabat mungkin-, mungkin detik ini aku masih memiliki peluang untuk menjadi pemegang tahta tertinggi dikerajaan hatinya.

"Elo bener, Yan."

Puk..puk..tepukan sebagai penambah semangat Tian berikan padaku. Ah, dia memang sahabat terbaikku.

"Yang perlu lo lakuin sekarang cuman," aku menatapnya dengan pandangan bertanya, dan dia membalasnya dengan senyuman "belajar untuk nggak memiliki dia sekarang dengan memaksakan keadaan, dan menunggu sampe apa yang mau lo raih itu, berhasil lo raih."

Aku mengangkat kedua bahuku. Merasa tak yakin dengan ucapannya itu.

"Come on, girl. Ini semua cuman masalah waktu. Lo gak inget sama apa yang pernah lo bilang ke gue tentang Zahra?"

Aku terdiam, sedikit memutar memori ku pada beberapa potongan-potongan kisah dimasa lalu tentang aku, dia dan Zahra. Ah ya, aku ingat.

Aku mengangguk pelan "kalau Zahra emang jodoh lo, meskipun dia sekarang sama orang lain tapi pasti ujung-ujungnya dia bakalan jadi milik lo." ucapku mengulang apa yang pernah aku ucapkan, saat membesarkan hati Tian.

"Ingatan lo bagus." pujinya.

Aku melengos "ucapan itu gue ucapkan setahun yang lalu, bagaimana gue bisa lupa."

Tian hanya tersenyum mendengarnya. Detik berikutnya aku jadi berpikir, apa itu yang menyebabkan Tian tidak memilki kekasih saat ini. Ya, meskipun secara umur kami memang masih muda -kelas 2 SMP, mudakan?-. Tapi bila dibandingkan dengan anak-anak sebaya kami di zaman ini, rasanya cukup aneh.

"Dan lo masih berpegang sama kata-kata gue yang itu?" tanyaku cepat, dia mengangguk "berarti elo masih ngarepin...Zahra?" tanyaku -lagi- agak ragu.

Tian mengendikan kedua bahunya "entahlah. Dibilang ngarepin, ya nggak gitu juga. Soalnya gue cuman belum nemu yang bener-bener bisa bikin gue fall in love kayak Zahra dulu. Tapi ya..dibilang nggak ngarepin..fiuhh," Tian mendesah panjang, membuatku semakin penasaran menantikan kelanjutan kalimatnya "gue emang masih, eumm ya kepikiran kalau-kalau suatu saat nanti gue bisa jadian sama dia."

Aku menatap haru pada Tian. Dia benar-benar hebat, sepertinya apa yang ia ucapkan benar. Semua hanya masalah waktu. Yang penting sekarang, aku harus belajar bersabar sampai apa yang aku inginkan, berhasil ku raih.

"Thanks, Yan."

"Buat?"

"Elo emang, the best. Gue emang harus belajar untuk nggak ngedapetin dia sekarang, karena gue mau menunggu."

Dan akhirnya, kami saling melempar senyum. Senyum yang selalu mampu mengobati rasa nyilu hati, saat kepahitan melanda jiwa. Senyum seorang sahabat.

+++
Sampai apa
yang ku ingini itu
Benar-benar menjadi
yang terbaik untukku
+++

"Mencari yang terbaik diantara yang baik itu nggak gampang. Butuh proses dan perjuangan panjang."

Aku menatap Tian dengan bosan. Entah apa yang ia ucapkan, aku sendiri bingung.
Okay, satu hal yang perlu kalian ketahui. Dia baik. Sangat baik malah. Selalu berusaha membesarkan hatiku saat aku merasa kalah pada keadaan. Menenangkanku saat aku berada dalam kegalauan. Menghiburkan saat berada dalam kerapuhan. Dan satu lagi, menguatkan ku saat aku benar-benar berada dalam keterpurukan. Dia adalah kiriman teristimewa yang Tuhan berikan untukku.
Well, kembali ke pembicaraan Tian. Dia sedari tadi sibuk mengeluarkan argumennya tentang pria itu. Ya, siapa lagi kalau bukan si 'kapten basket' yang masih berstatuskan sebagai kekasih dari 'kapten cheers' disekolah kami.
Ini adalah tahun ketiga aku dan Tian menjadi penghuni SMP ini. Dan selama itu pula, aku memendam perasaanku dalam-dalam. Dan membiarkannya tersamar dengan senyum kepalsuan yang terus aku tujukan pada pria itu, saat secara tak sengaja kedua bola mata kami beradu pandang.
Tian? Dia juga sama. Masih sendiri. Tapi bedanya, tanda-tanda tentang 'jodoh' nya dia dan Zahra mulai terlihat. Zahra yang beberapa bulan lalu putus dengan kekasihnya, mulai memiliki kedekatan yang tak biasa -menurutku- dengan Tian.

"Dan apa lo yakin, dia yang terbaik buat lo?"

Aku terlonjak saat Tian menampakkan wajahnya persis didepan muka ku. Belum lagi saat ia melontarkan pertanyaan itu, nadanya terdengar sangat mengejutkan ditelingaku.

"Apa-apaan sih lo?!" sungutku, tak terima dengan perlakuan mengejutkannya barusan.

Tian menepuk jidatnya. Kemudian berdiri menantang dengan tangan dipinggang. Persis majikan yang sedang memarahi pembantunya.

"Elo aneh deh. Gue ngomong panjang lebar, elo malah ngelamun. Mikirin apaan sih?"

Aku mendengus "gak ada, lagi suntuk aja."

"Lo pikir kita baru sahabatan kemaren sore? Jawab pertanyaan gue!" perintahnya, ketus.

Aku menggaruk-garuk keningku "gue cuman mikir, kayaknya elo ama Zahra beneran jodoh. Tanda-tandanya udah keliatan banget soalnya." jawabku malas.

Tian tersipu malu, wajahnya malah menjadi lucu saat seperti ini.

"Apaan sih, ada-ada aja deh." sahutnya, dengan tangan mengusap tengkuknya.

Aku bergidik, geli "Muka lo jijay banget deh, Yan."

Tuing..sebuah toyoran melayang ke kepalaku "sembarangan lo, lanjutin obrolan kita yang tadi."

"Yang mana?" tanyaku polos.

Tian meringis, gemas "dia. Apa dia benar-benar yang terbaik buat lo, atau nggak?"

Aku menggeleng lemah "i hope so, he's the best for me."

"Cuman berharap? Pastiin dong."

Aku mencibir pelan. Bagaimana bisa aku memastikan dia yang terbaik untukku atau bukan, kami kan tidak memiliki hubungan khusus. Berteman pun seperti tak berteman.

"Caranya?" tanyaku malas.

"use your heart and mind, then you will find the answer."

Aku melemparkan sebuah karet penghapus ditanganku "nggak segampang itu bro, lagian buat apa sih? Gue kan belum jadi pacarnya dia."

Tian meringis sambil mengusap-usap kepalanya "belum tapi berkemungkinan akan, kan?" refleks aku mengangguk "senggaknya, lo cukup tau kalau dia pantes untuk lo tunggu, karena dia memang yang terbaik buat lo."

Harus ku akui. Apa yang dikatakan Tian benar. Untuk apa aku setia menunggunya, kalau ternyata dia tak pantas untukku. Mungkin memang akan lebih baik kalau aku yakin, dia memang pantas untuk ku tunggu karena dia yang terbaik untukku.

"We'll se." jawabku misterius.

Dengan santainya, Tian mengacak-acak poni andalanku "gue harap lo ngelakuin yang terbaik buat lo."

"Amin."

+++
Karena aku yakin
semua akan indah
pada waktu-Nya
+++

Semilir angin berhembus menyapa mesra permukaan kulit wajahku. Mengibarkan helai demi helai rambut panjangku, yang tergerai bebas. Disini, ditempat ini, aku bisa sedikit menenangkan perasaanku. Lapangan kecil dibelakang sekolah.

Kubiarkan kekalutanku berkurang seiring desah nafas yang silih berganti mengisi rongga dadaku. Aku tak tahu, apa ini suatu masalah? Atau hanya suatu hal yang ku anggap dan ku buat menjadi suatu masalah? Yang jelas, saat ini aku merasa sedang berada diambang keputus asa-an. Penantian panjangku seakan tak berujung. Dan selamanya hanya menjadi impian semu. Tapi entah mengapa, sebagian dari hati kecilku terus bersikukuh untuk bertahan. Mengharap pada suatu keadaan yang masih samar-samar bagaimana akhirnya. Happy ending kah? Atau justru sebaliknya.

Plukk..aku merasakan sebuah benda agak keras menabrak kepalaku.
Benar saja. Saat ku putar kepalaku kesamping kanan, aku mendapati Tian tengah menyeringai lebar sambil memainkan alisnya.
Hiuhh..pasti itu ulahnya. Dengan malas aku hanya memutar kedua bola mataku sebagai tanda tak terima atas perlakuannya. Kemudian ku kembalikan posisi kepalaku seperti semula, menatap sendu rerumputan liar dihadapanku.

"Kenapa sih? Ada masalah?" tanya nya "elo bolos lagi, ya?" sambungnya.

Aku mengendikan bahuku malas "ya menurut lo?"

"Kok bolos?" tanya nya lagi, tanpa menjawab pertanyaanku.

Sepintas aku melirik Tian yang masih dengan seragam olahraganya. Sepertinya, dia juga sedang membolos.

"Elo sendiri? Bolos juga, kan?" cibirku.

Tian terkekeh. Ia mulai membaringkan tubuh dan menyilangkan kedua tangannya, guna menopang beban kepalanya.

"Males. Olahraganya ngebosenin. Masa' kasti?" jawabnya setengah mengeluh.

Aku hanya menatapnya sekilas. Kemudian kembali diam. Hahhh..ini adalah tahun kedua dimana aku dan Tian sama-sama mengenakan seragam putih abu-abu. Tapi, berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Jika dari SD sampai SMP kami selalu tergabung dikelas yang sama, di SMA ini kami justru terpisah. Kesal memang. Teman sejawat yang paling mengerti aku harus berada dikelas lain, yang tak sama denganku.

"Jiah malah ngelamun gak asik deh."

Aku terkekeh kecil. Pelan-pelan, aku ikut membaringkan tubuhku disamping Tian, dan menyilangkan kedua tanganku sebagai alas kepala -seperti Tian-.

Ahh, silau juga ternyata. Dengan malas ku angkat tangan kiriku, dan menjadikannya pelindung wajah dari sengatan matahari.

"Lo masih make tu gelang?" tanya Tian, sambil menunjuk ke arah gelang perak yang melingkar ditangan kiriku.

Gelang tersebut nampak berkilau akibat pantulan sinar matahari yang jatuh tepat diatasnya. Aku menatap gelang perakku, gelang yang mulai ku gunakan kira-kira satu setengah tahun yang lalu. Hadiah pemberian darinya, si kapten basket di SMP ku, dulu.
»»

"Fy! Fy!"

Aku mendengar seruan itu. Seruan yang memanggil namaku, yang tanpa ku lihat pun aku sudah tahu siapa pemiliknya. Buru-buru aku menyelesaikan ikatan terakhir pada sepatuku, kemudian mengangkat wajahku dan menatap penuh tanya ke arahnya.

Drap..drap..dia berlari-lari kecil. Sepertinya ingin menghampiriku. Sedikit penasaran, aku melirik ke pinggir kanan lapangan basket. Dimana sekelompok anak cheers sedang berkumpul, menanti waktu tampil mereka.
Ah ya! Hari ini, sekolahku akan mengikuti pertandingan basket putri antar SMP se-Jakarta. Dan aku yang kebetulan salah satu peserta ekskul bakset putri, dipilih menjadi salah satu pemain dipertandingan kali ini.

Kilatan penuh amarah tertangkap jelas oleh kedua indera penglihatku saat kedua mata gadis itu mengarahkan bola matanya padaku. Oh bukan, lebih tepatnya ke arah aku dan pria itu. Si kapten basket yang resmi menjadi mantan kekasihnya sejak seminggu yang lalu. Entah apa penyebabnya, yang jelas mereka...PUTUS!

"Fy?"

Aku terkesiap, dan buru-buru membenarkan tampangku yang ku yakini terlihat sangat konyol sebelumnya.

"Ah ya? Ada apa, Yo?" tanyaku to the point. Tak ada waktu untuk berbasa-basi karena pertandingan akan segera dimulai kurang dari 12 menit lagi.

Dia menggaruk-garuk tengkuknya. Entah karena apa. Dengan alis terangkat, aku terus diam menanti jawabannya.

"Eum itu..good luck yah, semoga menang!" ucapnya penuh semangat. Aku mendengus pelan. Hanya itu? Astaga, apa yang ku pikirkan. Memang hal apa lagi yang harus ia katakan?
Aku menggeleng kecil kemudian mencoba tersenyum ke arahnya.

"Oh okay. Thanks ya." ucapku setulus mungkin.

Merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan, aku segera pamit padanya. Namun belum sepenuhnya aku berbalik, dia menahan pergelangan tanganku. Membuat nafasku tercekat seketika, dadaku berdesir. Oh Tuhan!

"Eumm, ada apa lagi, Yo?" tanyaku setenang mungkin. Sebisa mungkin ku jaga suaraku agar tak terdengar gugup atau malah salah tingkah didepannya.

"Bentar," suruhnya. Aku tak menjawab. Hanya membiarkan ia dengan aktifitasnya yang sedang merogoh saku celananya. Untuk apa?

"Buat lo." dia menunjukkan sebuah gelang rantai berbahan perak. Sangat bagus karena rantainya kecil. Selain itu ditengahnya terdapat hiasan berbentuk persegi dengan taburan permata diatasnya. Sedangkan disisi kanan dan kiri hiasan tersebut, terdapat hiasan -lagi- berbentuk bunga dengan 5 kelopak. Barulah ketiga hiasan tersebut disatukan dengan rantai kecil berbahan perak.

Ragu-ragu aku menatapnya "buat gue?" tanyaku dengan telunjuk mengarah padaku. Dia mengangguk cepat.

"Gue pakein yah?" izinnya yang tanpa persetujuan langsung menarik pergelangan tangan kiriku. Kemudian memasangkan gelang cantik tersebut disana "nah kan. Bagus dan cocok buat lo." ucapnya setelah selesai memasang gelang tersebut.

Aku tersipu. Entahlah pipiku memerah atau tidak, karena aku sendiri tak dapat melihatnya. Yang jelas, aku tak mampu menahan senyum kebahagianku saat menerima gelang tersebut.

"Disimpen yah, jaga semampu lo." ucapnya yang lebih terdengar seperti sebuah permintaan. Aku yang tadinya asyik menatap gelang tersebut berbalik menatapnya.

"Maksudnya?" entah mengapa kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku. Aku merasa permintaannya itu terdengar..janggal.

"Ya, gimana yah. Eum intinya, semampu lo sebisa lo, lo jaga apa yang gue kasih itu karena gue..gue juga akan menjaga apa yang lo kasih ke gue, semampu gue sebisa gue."

Keningku berkerut, kedua alisku kian menyatu. Apa yang telah ku berikan padanya?

"Eumm, gue gak ngerti." ucapku jujur.

Dia tersenyum, kemudian menepuk-nepuk pundakku. Dan untuk kesekian kalinya, detak jantungku berdetak tak normal. Berkali-kali lipat lebih cepat dari yang semestinya.

"Elo emang mungkin gak sadar kalau elo udah ngasih gue sesuatu. Sesuatu yang gue janji bakalan gue jaga," dia masih menepuk pundakku "nanti juga lo ngerti. Udah. Kesana gih, pertandingannya bentar lagi, kan?" suruhnya kemudian.

Dengan menyimpan sejuta pertanyaan yang terbingkai oleh rasa penasaran, aku mengikuti perintahnya. Segera bergabung dengan tim basketku yang sedang melakukan pemanasan ringan.

"Good luck ya! Harus menang!" serunya lagi. Aku membalasnya dengan sebuah senyuman dan acungan jempol.

'Gue pasti menang. Buat lo, Yo.'
««

Tuk..tuk..
Tian memainkan dua buah batu kecil dengan cara melemparkannya ke atas secara bergantian, sehingga menghasilkan bunyi 'tuk' yang sangat mengganggu konsentrasiku saat ini.
Setengah mendengus, aku langsung menangkap salah satu batu yang sedang melambung tinggi.
Happ..aku berhasil meraihnya. Dengan kesal Tian merebut batu tersebut dari tanganku.

"Ganggu aja lo." sungutnya.

Dengan gemas, aku mendorong pelan punggung Tian "ada juga elo yang ganggu gue. Udah dateng gak dijemput kayak jelangkung eh guenya lagi konsen malah diganggu dengan suara 'tuk tuk' gak jelas lo itu." balasku.

"Ya habis, elo nyebelin. Ngelamun gak ngajak-ngajak," ia meletakkan kedua batu ditangannya diatas rerumputan yang kami duduki "ngelamunin apa sih?" tanya nya.

"Nggak tau, kadang gue ngerasa gak sanggup untuk terus bertahan dalam penantian semu ini. Sampai-sampai, gue malah berpikir untuk mundur," aku menghela nafas sejenak "tapi..gue juga nggak tau, kenapa sebagian hati kecil gue justru menolak untuk melakukan itu."

Tian menatapku, kemudian ku rasakan salah satu tangannya sudah merangkulku erat.

"Kenapa lo tiba-tiba pengen mundur? Padahal lo udah berjuang sejauh ini. 3 tahun bukan waktu yang singkat loh, Fy."

Aku mengamini perkataan Tian. 3 tahun memang bukanlah waktu yang sebentar untuk penantianku selama ini. Menahan tangis dalam tawa, menyembunyikan duka dalam suka.

"Semua..semua terlalu menyiksa gue, Yan. Dan..lo tau kan? Selepas pertandingan basket waktu itu, dia ngilang gitu aja. Tanpa jejak, tanpa kabar." ucapku lirih. Tian mengeratkan rangkulannya, sambil sesekali mengusap-usap pundakku.

"Dan gue ngerasa seperti manusia bodoh, yang terus berharap sama sesuatu yang udah nggak ada."

Tian memutar tubuhku menghadapnya, diusapnya lelehan air mata yang mengaliri pipi tirusku.

"Udah, jangan nangis dong. Kan ada gue disini."

Dan..ucapan Tian memang selalu berhasil menenangkan perasaanku. Masih sesenggukan, aku mencoba tersenyum penuh terima kasih padanya.

"Lo tau, Fy?" aku menggeleng pelan "semua akan indah pada waktunya."

"Tapi kapan, Yan? Lo sendiri yang bilang, 3 tahun itu bukan waktu yang singkat," aku diam sebentar, sekedar menghirup oksigen baru "lagipula, dia udah nggak ada, Yan." sambungku.

Ya, dia memang sudah tidak ada. Bukan meninggal, tapi..dia menghilang. Tepatnya sehari setelah pertandingan basket yang ku ikuti usai. Dan dia pergi tanpa meninggalkan pesan. Membiarkan diriku dibelenggu rasa penasaran, akan segala pernyataannya kala itu.

"Waktu itu pasti dateng Fy. Cuman kita gak tau kapan dia akan datang, karena Tuhan sudah mengaturnya."

Tian kembali merangkulku erat. Sebelah tangannya bergerak nakal mengacak-acak rambut panjangku.

"Senyum dong," pintanya "lo jelek tau kalau cemberut."

Aku mendengus kesal, tapi tetap berusaha mengukir seulas senyum untuk Tian, sahabatku.
Septian kembali merebahkan tubuhnya diatas hamparan rumput hijau yang kini mengalasi duduk kami. Membiarkan keharuan yang sempat terjadi berganti dengan kesunyian.

"Yan.." panggilku ditengah keheningan yang tercipta diantara kami.

Dengan mata setengah terbuka, Tian beralih menatapku.

"Ya?"

"Hari ini tanggal 24," ucapku lirih, kerutan dikening Tian semakin bertambah. Oh iya, Tian kan tidak mengetahui makna tanggal 24 bulan ini untukku "bulan oktober." sambungku, berharap Tian segera mengerti kalau ini hari yang bermakna untukku.

Tian terdiam. Kemudian melalui ekor mataku, kulihat Tian mengangguk cepat. Apa dia sudah paham?

"Emang kan? Hari ini tanggal 24 di bulan oktober." ucapnya, aku memutar kedua bola mataku dengan kesal. Ku pikir dia mengerti..huhh

"Ahh malesin lo." sungutku sambil beranjak dari posisiku yang sebelumnya berbaring.

Tian memicingkan matanya "mau kemana lo?"

"Kantin, udah jam istirahat nih."

Tian segera bangkit dan merangkulku -atau lebih tepatnya menyeretku, dengan tangan kanan melingkar erat dileherku-.

"Bareng!" serunya.

Dan kami pun segera pergi mengakhiri acara bolos hari ini. Setidaknya kini perasaanku jauh lebih nyaman.
.....

Aku meletakkan sebuah mini tart dengan sebatang lilin diatasnya, disebelah tempatku duduk saat ini. Lapangan basket, tempat dimana aku pernah mengikuti turnament basket saat SMP. Tempat dimana dia, memberikan gelang perak nan cantik padaku sebelum kepergiannya.

Pandanganku menyisir kesekililngku. Gelap dan sunyi. Yah, waktu sudah menunjukkan pukul 23.55 saat ini. Wajar saja kalau keadaan disini saat ini terbilang sepi.
Aku berniat mengambil sekotak korek api yang tersimpan didalam tasku. Namun niat itu tertahan, karena gelang perak yang melingkar dipergelangan tanganku tersangkut pada restleting tas.
Uhh..ini benar-benar menyebalkan. Dengan hati-hati aku mencoba membebaskan gelang tersebut, namun terlalu sulit. Hingga tanpa sadar aku merasakan cairan bening menyusuri pipi tirusku.

Semua terjadi tiba-tiba. Entah akibat kesal, karena gelangku tak bisa lepas atau karena tiba-tiba aku kembali teringat padanya.
Oh Tuhan! Apa memang hanya sebatas ini penantian panjangku? Apa hanya akan berakhir dengan tangisan seperti malam ini?

"Aku udah ngelulusin permintaan kamu, Yo. Semampuku aku ngejaga pemberian kamu ini." aku menatap nanar pada gelang perak yang masih tersangkut pada resleting tasku.

Hiks..sesekali aku terisak. Aku merasa semakin merindukannya.

"Meskipun aku masih belum ngerti kenapa kamu minta aku buat ngejaga ini," ku sentuh gelang itu dengan lembut "apa..apa kamu juga bisa ngelulusin satu permintaanku, Yo? Hiks."

Pertanyaanku terbawa angin yang berhembus, ku harap angin akan menyampaikan padanya. Semua rindu terpendam, rasa tersimpan, dan pengharapan tertahan akan dirinya, dariku. Dengan sebelah tangan yang masih bebas -karena sebelah tanganku (lebih tepatnya gelang perakku) yang masih tersangkut pada resleting tas-, aku berusaha menyalakan api pada lilin ulang tahun. Sebelumnya aku sempat mengeluarkan sekotak korek api yang tersimpan didalam tasku dengan susah payah.

"Aku cuma minta kamu balik kesini lagi Yo."

Ku pejamkan kedua mataku yang mulai menghentikan produksi airmatanya. Berusaha menikmati hembusan angin yang semakin malam kian menusuk kulitku. Bertepat dengan itu, alarm pada ponselku berbunyi. Menandakan jam telah menunjukkan pukul 12 malam.
Setelah menghirup udara sedikit, membuang kegundahan hati yang ada agar nafasku semakin ringan. Aku mencoba menarik ujung-ujung bibirku, dan membentuknya menjadi seulas senyum. Ku angkat mini tart yang tergeletak disampingku, kemudian memejamkan mata sekali lagi, make a wish as Rio. Mungkin terdengar aneh, tapi aku telah melakukannya..eumm ini untuk yang kedua kalinya.

"Happy birthday, Yo. Aku cuman pengen satu," aku menghela nafas sejenak "kamu ada disini, malam ini."

Fiuhh..ku tiup lilin angka 17 tersebut dengan keras.

"Cuman itu?"

Aku tersentak. Suara itu..
Ini mimpi? Halusinasi? Atau...masih dalam keadaan mata terpejam, aku menggeleng sekali. Berusaha mengusir igauan akan suara lembutnya yang sudah 3 tahun ini tak menyapaku.

"Cuman itu? Apa cuman itu permintaan kamu malam ini?"

Ya Tuhan! Apa aku benar-benar sedang bermimpi? Mengapa aku mendengar suara itu hingga 2 kali? Mengapa suara itu terasa begitu nyata?
Mengapa..aku refleks membuka mataku, menghentikan pertanyaan hati yang terus terlontar dalam kebimbangan diri saat sebuah sentuhan halus menyapa permukaan kulitku.

"Ri..Rio.." ucapku tertahan.

Bolehkan aku meminta kepastian? Tentang sesosok makhluk adam yang tengah duduk bersimpuh didepanku saat ini. Ia yang sedang dengan sabarnya berusaha melepaskan gelang perak yang tersangkut pada restleting tasku.
Apakah dia benar-benar orang yang kutunggu-tunggu?
Apakah dia benar-benar...Rio?

"Selesai." ucapnya, sekaligus menyadarkanku.

Ia berdiri, dan tersenyum manis padaku. Sedangkan aku, aku masih terpaku, tak percaya pada sosok nyata didepanku.

"Ini jawaban dari permintaan kamu tadi." sambungnya masih tersenyum.

Aku kembali menangis, tak sedikitpun membalas semua perkataannya. Karena yang aku rasakan saat ini memang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata. Terlalu..ini terlalu mengejutkan untukku.

Brukk..dia menghempaskan tubuhnya disebelahku. Dengan kasar dihembuskannya nafas melalu rongga pernafasannya. Sedangkan aku, aku tetap setia menatap tak percaya pada sosoknya yang entah bagaimana caranya telah berada disampingku saat ini.

"Aku seneng, kamu bisa ngejaga itu sampai aku kembali." ucapnya disertai seulas senyum.

Aku bergeming. Membiarkannya berceloteh panjang lebar tentang hal-hal yang sebelumnya pernah menjadi pertanyaan hatiku. Mengapa ia tiba-tiba menghilang, dimana selama ini ia berada, dan banyak hal yang ia ceritakan tanpa sedikitpun mendapatkan respon dariku.
Hingga...

Slerrr..semilir angin berhembus tiba-tiba. Menerbangkan setiap anak rambut, beserta poni ku yang mulai memanjang. Aku masih menatapnya, saat kedua matanya mulai beralih menyapaku setelah sebelumnya puas menatapi lapangan kosong ini.

"Aku masih menjaga sesuatu yang pernah kamu kasih ke aku, Fy." ucapnya. Tatapan teduhnya menusuk tepat dikedua manik mataku. Dengan senyuman manis yang selalu berhasil mendebarkan hatiku.

"Apa kamu masih belum ngerti, sesuatu itu apa?" tanyanya kemudian.

Aku menggeleng lemah.

"Cinta." ucapnya singkat.

Entah bagaimana awalnya, aku mulai bisa menghirup aroma maskulin tubuhnya yang tetap sama, tak berubah. Dan merasakan betapa hangatnya dekapan sang pujaan hatiku selama ini. Untuk pertama kalinya.
Tanpa balas mendekap, aku membiarkan kedua telapak tangannya silih berganti mengusap punggungku. Dan yang ku lakukan hanya satu. Membiarkan tangis kebahagianku menyusuri pipi tirusku. Bermuara pada bahu tegapnya yang memang tepat berada didepan mataku.

Dan inilah waktunya. Waktu terindah yang pernah Tian ucapkan. Waktu terindah yang pernah Tuhan janjikan.

....

Singggg...hening..
Ini krik krik yah..
Gak tau lah, kalau gue pribadi sih ngerasanya masih lumayan ngefeel sampe pertengahan (just my opinion._.v)
Tapi agak kebawah...i don't know. Ini nyelesin endingnya disaat yang gak tepat sih. Disaat gue masih benar-benar galau. Dan masih berada dalam dilema, doi bohong atau jujur?
Biarkan waktu yang menjawab.

Satu hal yang pasti bakalan membuat gue bener-bener kecewa. Saat gue tahu kalau ternyata apa yang selama ini gue duga, itu bener. Dia bohong.
Just it. Soal kepada siapa di melabuhkan hatinya, itu terserah (dengan berat hati).
Dan gue rasa lo semua tau siapa yang gue maksud.
Okay cukup yaaa..
Gue beneran seneng banget, karena ditengah kekalutan hati karena doi ini..gue tetep bisa nyelesein cerpen ini dengan couple ending yang gak mengalami perubahan ehehee..

Bytheway..seperti biasaaaaa.. Big thanks banget yaaa buat semua yang udah nyempetin baca, baik itu cuman judulnya doang, sebaris kalimat doang. Ya intinya sempet kebaca ama kalian. Terus likenya juga, komentnya apa lagi. Gak pernah bosen menantikan komentar-komentar, kritik dan saran yang gue harap bisa membangun dan membuat gue menjadi lebih baik lagi ☺


_with love Nia 'nistev' Stevania_

0 komentar:

Posting Komentar