Senin, 09 Juli 2012

Aku dan Kamu (dan Tuhan yang tahu)





Ku sadari ku salah melakukan ini

Ku cintai dirimu se-egois ini

Kau tak sendiri lagi, aku tak perduli

Hatiku tlah terlanjur jatuh padamu

• • •


Cinta memang buta. Cinta memang tak ada logika. Sekalipun ku tahu dia telah berdua, hati ini tetap memaksa untuk mendekatinya.

“Fy!”

Langkah kakinya mulai melambat seolah menanti kehadiranku yang baru saja menyerukan namanya. Begitu berhadapan, nafas yang masih memburu ku atur sedemikian rupa agar tak mengganggu rangkaian kalimat ajakan yang ingin ku utarakan.

“Ya, Yel? Kenapa?” Lengkungan cantik tersungging dibibirnya. Sebuah garis senyum yang selalu mampu menarik siapa saja yang melihatnya untuk ikut tersenyum, termasuk aku.

“Errr..sabtu, kamu ada acara nggak?” Tanyaku bersusah payah.

Ia mengerutkan kening seolah berpikir, telunjuknya mengetuk-ngetuk dagu tirus yang menjadi pembeda antara kecantikannya, dengan kecantikan gadis lain disekolah ini.

“Tergantung sih. Kalau siang aku mau nemenin mamah ke tukang jahit. Malem jalan bareng Rio...” Ia menghentikan kalimatnya sambil tersenyum senang. Yah, siapa yang tidak akan bahagia jika memiliki waktu berdua dengan kekasih hati?

“...tapi kalau sore, adalah~”

Aku mendesah lega. Memang disaat itulah aku mengharapkan kesediaannya.

“Pas banget! Aku besok sore ada seleksi pemilihan finalis lomba freestyle di Senayan, kamu..mau nemenin?” Tanyaku-lebih bersifat ajakan, agak ragu.

”Basket?“ Aku mengangguki pertanyaannya. “Boleh. Jam berapa? Kamu jemput aku at--”

“Jam 3 sore, aku yang jemput dirumah kamu. Gimana?” Potongku bersemangat.

Ia tertawa kecil. "Gabriel..kamu itu udah kayak anak kecil yang baru dapet permen tau, nggak? Okay deh, aku tunggu.”

Aku menarik -naik turun- tali ranselnya dengan agak canggung. Rasa bahagia ini memang layaknya kebahagiaan seorang bocah yang mendapat permen. Ah, mungkin ditambah juga dengan ice cream, dan mainan. Sangat membahagiakan!

“Ify!”

Ah! Seruan itu...mengganggu.
Terbukti, Ify menolehkan kepalanya ke belakang, dan mulai mengukir senyum cerianya.

“Ya udah, Yel, aku ke Rio dulu yah. Bye!” Dan perlahan tubuhnya menjauh dari tempatku berdiri, bermuara pada sesosok pria hitam manis -yang bahkan banyak orang menyebutkan bahwa aku dan pria tersebut memiliki kemiripan- yang berdiri ditikungan antara kantin, dan ruang guru.

“Bye, Fy..” Balasku lirih.

Yah, sulit memang untuk bisa meraih hatinya. Dia, gadis cantik berdagu tirus, yang telah merenggut hatiku. Bagaimana tak sulit, jika di hatinya telah bertahta seorang pria yang tadi memanggilnya.

Mungkin aku berdosa masuk dihidupmu

Biar menjadi harapan dalam hatiku

• • •


Riuhnya tepuk tangan yang menyambut kehadiranku untuk beraksi di atas podium tak membuat kecemasan ini menguap. Sosok itu belum datang. Ia yang sangat kuharapkan kehadirannya.

“Gabriel!!”

Oh Tuhan! Aku mengedarkan pandanganku mendengar suara yang meneriakkan namaku. Suara yang teramat ku hafal dalam ingatanku.

“Semangat ya! You can do it!” Sambungnya dengan tangan terkepal diudara, begitu kami beradu pandang.

Dengan kepercayaan penuh, aku melambungkan bola basket ditanganku, dan memulai aksiku memainkan si orange bundar seindah mungkin.
***

“Gabriel! You're so cool! Kamu bener-bener bikin aku melongo kayak orang bego.” Ia berceloteh dengan antusias. Membuat bunga-bunga dihatiku bermekaran, pujian itu mungkin memang sederhana dan teramat sering ku dengar. Tapi, jika yang mengucapkan sang pujaan hati, tentu akan lain ceritanya.

”Makasih, Fy. Aku pikir..kamu nggak jadi dateng.”

Ia memekik, dengan tangan kanan yang tiba-tiba saja telah berada dipundakku. “Ya ampun, Gabriel..nggak mungkinlah. Aku kan udah janji.” Ucapnya, yang ku balas dengan senyuman. Kami melangkahkan kaki menuju sebuah stand makanan dan minuman yang sengaja didirikan untuk para pengunjung tempat pertunjukan ini.

“Ice cappucinno nya satu, mbak.” Pesanku pada penjaga stand. “Kamu, Fy?”

“Samain aja.” Sahutnya. “Tadi tuh mamah kelamaan ditukang jahit, ya biasalah orang tua terlalu teliti, jadi pas ngeliat hasil jahitan ada yang nggak rapi mamah complain ke tukang jahitnya, udah deh kelamaan disana.”

Aku hanya tersenyum mendengar ceritanya. Sambil mencari tempat beristirahat-setelah menerima ice cappucinno, ku biarkan ia meneruskan celotehannya yang sesekali ia hentikan karena ingin menikmati cappucinno dingin pesanannya. Dia tak berubah, sama seperti perasaanku yang justru kian menggebu.

“Rio..tau kalau kamu pergi nemenin aku?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku. Ia menghentikan ceritanya dan menggeleng dengan tenang. “Emang nggak papa?”

Ia bergumam pelan. “Emm..karena aku cuman nemenin kamu sebagai teman yang baik, dia pasti nggak bakal marah. Kecuali, aku pergi nemenin kamu sebagai pacar yang baik.” Jelasnya setengah bercanda, sambil menepuk-nepuk pundakku.

Ternyata pria itu memang sosok impiannya. Pengertian dan bukan pengekang. Tentu saja ia merasa nyaman bersama pria tersebut.
Apa itu artinya aku memiliki sedikit celah untuk merebut hatinya? Bukankah kekasihnya bukan pria pencemburu?

Karena ku yakin ini jalan kita

Takdir pertemukan kita untuk bisa bersama

• • •


Seiring waktu berjalan, hubunganku dengannya kian akrab. Ia yang setia menemaniku dalam di setiap kesempatanku menjalani hobiku, membuat jarak yang dulu ada kian menipis. Ia bahkan tak sungkan menceritakan segala hari-hari yang ia lalui bersama kekasihnya.
Berbagai macam perasaan menggeluti hatiku, kala itu. Cemburu, ketika mendengar ia memuji kekasihnya. Bahagia, karena melihat senyum dan binar kebahagian yang terpancar dari matanya. Kecewa, karena senyum dan pujian itu bukan untukku. Kadang marah dan tak terima pun juga ku rasakan saat mendengar keluhannya tentang sikap cuek pria yang disayanginya.

“Hufftt..aku kadang mikir, harus seneng karena dia nggak cemburu, atau marah karena dia nggak cemburu.”

Aku menatap sepasang kilau mata yang mulai meredup itu. “Kenapa gitu? Bukannya bagus kalau dia nggak cemburu? Kita jadi nggak perlu takut atau sungkan kalau mau berdua aja kan?” Mungkin pernyataan ini terdengar konyol dan egois. Tapi aku hanya ingin mencoba jujur.

“Tapi aku jadi nggak tau dia sayang nya segimana sama aku. Aku..aku ngerasa dia terlalu kaku, nggak bisa mengekspresikan perasaan. Aku bingung.”

Aku mendesah berat. Perasaannya terlalu kuat untuk pria itu. Dengan ragu, aku menyentuh puncak kepalanya, dan membelai lembut rambut panjangnya.

“Sayang itu nggak cuman diukur dari seberapa besar cemburunya pasangan kita, Fy. Hati lebih berperan, kadang cemburu juga bisa dibuat-buat, kan?”

“Tapi--”

Aku menggigit kecil bibir bawahku. Tangan ini terus bergerak mengusap rambut panjangnya. Menenangkan ia yang nampak gusar. “Mungkin ini cara dia sayang sama kamu. Dia mencoba buat ngertiin kamu, percaya sama kamu dengan nggak cemburu meskipun kamu lagi berduaan dengan cowok lain kayak sekarang ini. Dia nggak mau membuat kamu marah karena dicemburuin, yang ya..mana tau ujung-ujungnya berakibat buruk ke hubungan kalian.”

“Gitu?”

Aku mengangkat kedua bahuku dengan enggan. “Mungkin memang ini cara dia nunjukin sayang dia ke kamu, karena dia nggak mau kehilangan kamu.”

Ia menatap kedua bola mataku secara tiba-tiba. Membuat gerakan tanganku terhenti diudara.

“Kamu baik banget sih, Yel.” Lagi-lagi ia memuji dengan pancaran mata yang ku suka. Terlihat manja dan menggoda, membuatku jadi tak tahan untuk mencubit kedua pipinya -yang meski tak chubby- menggemaskan.

“Karena kamu juga udah baik sama aku--” Ucapku -sedikit menggantung- dengan sungguh-sungguh. '--sama hatiku, untuk tetap bisa terus deket sama kamu.' Sambungku, hanya dalam hati.

Mungkin memang ini jalannya. Tuhan menggariskan dia bersama pria lain, namun tetap memberi celah untuk aku menyusup ke dalamnya. Jika Tuhan mengizinkan lebih, mungkin aku akan mendapatkan posisi yang sama dengan pria itu dihatinya.

Ku sadari ku salah melakukan ini

Tapi mengapa aku tak pernah sadar?

Mungkin aku berdosa masuk dihidupmu

• • •


Aku memainkan bola basket ditanganku dengan tak tenang. Oh Tuhan! Rasa ini kian nyata, semakin memaksa diriku untuk segera melabuhkan pada sang dermaga. Tapi..

“Yel..” Sapaan lembut, disertai sentuhan halus yang mendarat dipundakku membuat permainanku terhenti secara tiba-tiba. Si orange sudah menggelinding entah kemana. Mata ini hanya terfokus padanya yang menatapku dengan kening berkerut.

“Kamu nggak papakan?”

Astaga! Aku harus bagaimana? Apa rencanaku semalam terlalu terburu-buru ku laksanakan?
»»

“Gue naksir sama Ify, Vin.” Aku membuat sebuah pengakuan yang tentu saja membuat Alvin -teman sebangku ku- melotot sempurna. Yah, meskipun ia tahu itu pasti sia-sia, mengingat matanya yang sipit.


“Serius, loe?! Ify ceweknya Rio?!”


Aku mengangguk acuh.


“Gila!! Pantes aja loe sering bareng sama Ify, loe ada main--”


“--gue nggak pacaran sama Ify, jangan nething loe.” Bantahku cepat. Sebesar apapun perasaanku pada Ify takkan membuatku menjadi pecundang. Seseorang yang tega menusuk manusia tak bersalah dari belakang. Meski tak kenal dekat, aku cukup tahu bahwa Rio adalah pria yang baik.


“Ya kali aja~” seloroh Alvin. Ia meraih kaleng biskuit didepannya, dan melahap isinya. “Jadi?” Aku menaikkan sebelah alisku, tak mengerti maksud Alvin. “Jadi, apa rencana loe dengan perasaan terlarang loe itu, oon...” Sambungnya seolah mengerti kebingunganku.


“Nggak tahu.” Jawabku seadanya. Jujur, aku pun bingung. Dan itu alasan mengapa aku berterus terang kepada Alvin. Mungkin saja, ia memiliki saran?


“Nggak kepikiran buat nyatain?”


Aku mendelik. Bagaimana ingin menyatakan? Jika status Ify masih in relationship with her boyfriend.


“Gila! Nyuruh gue mati?!” Tanyaku tak serius.


Alvin tergelak. Ia meletakkan kaleng biskuit yang sebelumnya berada dalam pangkuannya ke atas meja. “Gini, bro..elo tuh cowok, jangan ragu buat nyatain cinta. Karena kodrat yang bener emang kita yang nembak. Ya, status dia emang masih 'milik' orang tapi belum sah jadi 'milik' orang dalam artian yang sebenernya kan?”


“Loe nyuruh gue jadi yang kedua?!” Tanyaku tak percaya.


Alvin menepuk keningnya. "Oh Tuhan! Nggak segitunya juga kali~ kalau status mereka masih pacaran, bukan suami-istri, sekedar nyatain perasaan loe doang nggak masalah kok. Tapi, ya itu, loe harus siap nerima resikonya karena loe pasti udah bisa nebak gimana jawabannya kan?” Aku mulai paham dengan maksud Alvin. “Etapi, ya loe kan cuman nyatain, bukan minta, jadi nggak butuh jawaban berupa yes or no, right?” Aku mengangguk, membenarkan.


“Jadi menurut loe?”


“Akuin perasaan loe ke dia, sebelum loe makin berharap lebih ke dia.”

««

Sebuah suara jentikan membangunkan ku dari lamunan semalam. Ternyata ia tengah menatapku dengan khawatir -mungkin- sambil mengulang pertanyaan yang sama seperti yang ku dengar sebelumnya.

“Kamu, baik-baik aja kan, Yel?”

“Errr..i..iya, Fy.”

“Kok diem? Ngelamun? Mikiran apa?” Tanya nya berturut-turut, dengan kening berkerut.

Aku menggeleng cepat, sambil menarik nafas dalam-dalam. Baiklah Gabriel, ini waktunya. Cepat atau lambat, aku memang harus membuat pengakuan ini.

“Aku boleh ngomong sesuatu ke kamu?”

Ia mengangguk pasti. “Tentu! Bukannya kamu ngajakin aku ketemuan emang buat ngomongin sesuatu?”

Aku mengepalkan kedua tanganku yang mulai berkeringat dingin. Berusaha menetralkan kegugupan yang bisa mengacaukan konsentrasiku.

“Jadi...”

Karena ini soal perasaan

Tak seorangpun mengerti

Hanya aku, dan kamu..dan Tuhan yang tahu


Ia masih menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Kedua tangannya saling terkait. Aku mungkin memang terlalu cepat melakukannya, tapi semua sudah terlanjur.

“..perasaan ini datang dengan sendirinya. Jauh sebelum kita deket kayak sekarang. Sebelum kamu sering nemenin aku latihan. Sebelum kamu sering cerita soal Rio ke aku. Sebelum semuanya..” Aku menunduk, mengalihkan pandangan dari tatapan matanya yang tak terbaca.

“..aku cuman nyatain, ngakuin, bukan nembak atau minta hati kamu kok, Fy. Jadi kamu nggak perlu pusing-pusing mikirin yes or no untuk pengakuan ku ini.”

“..aku cuman nggak mau nyesel karena nggak ngakuin perasaanku, aku nggak mau jadi loser.”

Hal yang terjadi berikutnya diluar dugaanku. Tubuh mungilnya memeluk tubuhku dari samping. Sedikit bergetar dan perlahan terdengar isakan kecil.

“Bodoh!” Makian pertama yang keluar dari bibirnya tak membuatku sakit hati. Justru isak tangisnya lah yang membuatku merasa bersalah. Karena air mata itu keluar disebabkan olehku. “Kenapa kamu nggak ngaku dari dulu, kenapa kamu tenang-tenang aja ngeliat aku bareng Rio, nyebut-nyebut nama dia, muji-muji dia..”

Maksudnya apa? Apa ia memiliki perasaan yang sama denganku?

“Maksud kamu?” Tanyaku mencari kepastian.

“Kalau aku tau kamu punya perasaan lebih ke aku, aku nggak akan setega itu ngebiarin kamu sakit hati karena celotehanku tentang Rio. Aku sayang sama kamu. Kamu udah kayak abangku sendiri, Gab..”

Hanya itu? Baiklah, setidaknya itu jauh lebih baik. Karena ia pun membalas rasa sayangku, meski dalam judul yang berbeda.

“Jahat banget kalau aku ngaku sayang, tapi aku justru nyakitin hati orang yang aku sayang.”

Tanganku yang sejak tadi membalas pelukannya, bergerak teratur mengusap punggungnya.

“Semua udah lewat, Fy. Sekarang aku udah jujur, jadi..kamu udah bisa ngejaga supaya aku nggak sakit hati lagi kok..ehehee.” Aku berusaha mencairkan suasana tegang ini dengan candaanku yang ku akui memang garing.

Perlahan, ia melepaskan pelukannya padaku, dan mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya.

“Maaf untuk semuanya..”

Aku menggeleng. “Nggak ada yang perlu dimaafin kok. Aku minta satu hal sama kamu, boleh?”

Dia mengangguk pelan. “Nggak usah kasih tau Rio tentang semua ini. Cukup aku, kamu dan Tuhan yang tahu..”

Dan melepaskan tak selalu menyakitkan. Apalagi atas dasar rasa yang tulus. Memberi tanpa mengharapkan balasan yang setimpal. Ikhlas kunci kebahagiaan hati yang sesungguhnya. Apapun akan terasa lebih mudah jika kita ikhlas. Maka ku ikhlaskan perasaanku padanya, dan ku ikhlaskan hatinya untuk seseorang yang ku akui kehebatannya. Sang penguasa hati, pujaan hatiku.

•• FIN ••

Errr ini beneran gue no comment deh. Kelamaan nggak nulis bikin gue jadi...apayah yah susah lah untuk memulai sebuah tulisan. Lancar ke tengah, eh malah ngadet ke belakang-_-
Ini rekor deng, setelah vakum nulis beberapa bulan (sok amat yak-_-') gue bisa menghasilkan sesuatu (yang mungkin nggak sesuatu) hanya dalam waktu *ngitung* kurang lebih 2 jam?

Yah dari hampir setengah 10 malem sampe 11 lewat berapa deh nggak merhatiin. Ditambah waktu re-read, ngedit jadi..pokoknya berakhir di jam 12 malem teng! Nulisnya dalam keadaan bete karena bla bla bla dan kebetulan bosan juga karena orang rumah pada nonton bola sedangkan gue? Gue nggak ngerti bola--'

Okay, tulisan ini gue persembahin khusus buat semua-semua yang maksa gue buat nulis lagi. Nagih lanjutan WL sampe dijadiin wish pas say hbd ke gue ehehe ini gantinya ya~ karena sumpah! Gue udah lupa sama jalan cerita WL kecuali untuk beberapa part deng.

Gue berterima kasihhhh banget kalau ada yang rela koment sejujurnya tentang tulisan ini. Pengen tau aja kemampuan gue tetep, naik, apa menurun? *halahhh*
Like? Nggak maksaaaa..nggak dilike juga nggak papa, ada yang baca & koment aja gue udah seneng. Like gue anggap bonus dari kalian ehehehe

Btw, special buat sobat tersayang gue, Amhye yang besok pagi berangkat untuk memulai perjalanan umroh bareng mamahnya..take care ya! Semoga perjalanannya lancar, ibadahnya khusyuk, dan kembali ke tanah air menjadi haji (kecil) yang mabrurrr *hasekk* aminin yakkk :D


Lupyumuahmuah buat semua yang baca!


Title song : Aku & Kamu (Tuhan Yang Tahu)
Artist : d'massiv


Tanah Grogot, 08 juli 2012

0 komentar:

Posting Komentar