A homepage subtitle here And an awesome description here!

Minggu, 02 Maret 2014

[Cerpen] I Love You, Goodbye....



Gadis itu tak henti-hentinya menarik sudut-sudut bibirnya, hingga membentuk sebuah lengkungan yang terlihat manis. Menampilkan sepasang lesung pipi yang membuat wajahnya terlihat semakin cantik. Di tangannya, tersimpan selembar foto yang menggambarkan sesosok pria tampan dengan senyuman -yang juga- manis.

Brakk..
Hentakan tangan di atas meja yang cukup keras, hingga menimbulkan suara gaduh pun terabaikan oleh indera pendengarnya.
Sedangkan sang pelaku-penggebrak meja, menatapnya dengan mulut ternganga.
Apa warna tangan yang telah memerah, dan suara yang cukup keras masih tidak dapat ditangkap oleh gadis berdagu tirus ini?
Pikirnya terheran-heran.

"Ehh! Behel! Stop ngelamun woy!" Serunya sambil memukul meja berulang-ulang.

Membuat gadis yang ia sebut behel itu langsung tersadar, dan menatapnya dengan ekspresi kesal.

"Apaan sih, Vi? Ganggu aja!" Dengusnya kesal.

Sivia yang ditanyai hanya menyeringai dengan wajah tak berdosa. "Err..ya, kasian aja sama ni kelas kalau tiba-tiba harus berubah fungsi menjadi.." Gadis ini menggantungkan kalimatnya, sambil memasang tampang berfikir. "..ah ya! Berubah fungsi menjadi kamar penghuni RSJ!" serunya. "Kan nggak elite banget.." Sambungnya meledek.

Ify, gadis berdagu tirus yang juga -tadi- dipanggil behel oleh Sivia, memutar kedua bola matanya dengan malas. "Eghh..elo penghuninya!"

"Enak aja. Yang ngelamun sambil senyum-senyum sendiri siapa? Pake mandangin foto segala lagi.." Tuduhnya. "..eh eh eh..kayaknya gue kenal tuh orang."

Sreettt..
Tanpa permisi, Sivia langsung merebut lembaran foto di tangan Ify dan memperhatikan pemuda yang terpajang disana. Merasa telah mengenali, Sivia segera mengembalikan foto tersebut kepada pemiliknya, disertai dengan sebuah senyuman menggoda.

"Eciee~ jadi Tristan nih sekarang~ Rio nya di kemanain neng?" Goda Sivia sambil menyenggol pelan lengan Ify yang duduk disebelahnya.

Ify memegangi ujung mejanya, untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. "Rio udah ke laut!" Sahutnya ketus.

Sivia tertawa lepas mendengar sahutan Ify. "Segitunya banget loe sama mantan loe yang satu itu.." Godanya lagi.

Ify menggeram ditempatnya. "Siviaaaa!! Stop talking about him! Gue males! Gue enek! Gue bosen! Huhh.." Ify membuang muka, pura-pura merajuk karena terus diledek sahabat sekaligus teman sebangkunya ini.

Sivia mulai menahan tawa. Ia memutar tubuhnya, mengelilingi sebuah meja, dan mengambil posisi duduk disebelah Ify.
"By the way, kok loe bisa punya fotonya Tristan sih? Loe kan nggak pernah akrab sama dia? Eh terus, kata anak-anak, loe pernah jalan bareng dia yah?" Tanya Sivia mengalihkan pertanyaan.

Ify kembali menatap Sivia. Sepertinya pertanyaan Sivia barusan cukup mampu mengembalikan moodnya yang sempat -sedikit- rusak.

"Jadi..waktu ekskul fotografi kemaren, kan kita praktek tuh, disuruh ngambil gambar dengan tekhnik dasar aja gitu, nah kebetulan banget dia-mungkin sih, habis latihan futsall gitu, ya gue jepret deh.." Jelas Ify dengan senyum yang tak kunjung lepas dari bibirnya.

Sivia membulatkan mulutnya sembari mengangguk. "Terus, kok bisa jalan bareng?"

"Jadi..."

Ify mulai menceritakan awal mula perkenalannya dengan Tristan. Les piano, menjadi jawaban dari pertanyaan Sivia mengenai awal perkenalan -yang lebih akrab- di antara Ify dan Tristan. Suatu kebetulan karena Ify menjadi murid baru di salah satu sekolah musik, yang tak hanya mengajarkan tentang segala macam hal yang berkaitan dengan vokal, tapi juga bagaimana cara memainkan berbagai macam alat musik dengan baik dan benar.
Dan lagi-lagi, kebetulan yang mengasyikkan karena Ify memilih untuk mengambil kelas piano -selain kelas vokal-, yang sebelumnya sudah lebih dulu di pilih Tristan.
• • • • •
  Denting bel rumahnya yang terus berbunyi mau tak mau membuat gadis itu turun tangan sendiri untuk membukanya. Kemungkinan besar, penghuni rumahnya yang lain sedang keluar dan tinggallah ia seorang diri.

"Yaa! Sebentar!" Serunya dari dalam, sambil memutar kunci rumah.

Cklikk..
Pintu rumahnya terbuka, dan menampilkan sesosok pria yang membuat terkejut setengah mati.

"Rio..."
***
Pemuda hitam manis ini tak henti-hentinya bergumam. Jari jemarinya mengetuk-ngetuk stir mobil, guna menghilangkan sedikit rasa gugup yang menyelimuti hatinya. Dari balik kaca mobilnya, kedua ekor matanya terus memantau sebuah rumah yang berdiri megah persis dihadapannya.

"Masuk..nggak..masuk..nggak..masuk..nggak.." Ia mulai menimbang-nimbang, sambil menghitung jumlah kancing kemejanya. "Ahh.. Masuk deh!" putusnya yakin.

Dengan kecepatan sedang dilajukannya kendaraan berwarna metalic miliknya, dan behenti sebentar didepan pintu gerbang, menanti sang satpam rumah membukakan untuknya.

"Loh, den Rio?!" Sapa sang satpam sedikit terkejut. Ia cukup mengenali pemuda tampan ini karena dulunya, pemuda tersebut sangat sering berkunjung ke kediaman milik majikannya ini. "Masuk den! Udah lama nggak mampir yah?"

Rio-pemuda tersebut, mengeluarkan senyuman -yang-seingatnya-dulu-selalu-dibilang-manis-oleh-gadis-yang-tinggal-di-istana-megah-ini.

"Ehehe iya nih, Pak. Ify..ada, kan?" Tanya nya sedikit ragu.

Sang satpam tersenyum sambil mengangguk cepat. "Ada den, ada. Kebetulan non Ify lagi sendiri di rumah, jadi kalau den Rio pengen ngajak keluar, bisa kok den, mumpung non Ify kayaknya lagi kesepian." Jawab satpam tersebut, yang sepertinya dapat menangkap maksud kedatangan Rio kemari.

Rio mengangguk sekilas. Setelah mengucapkan terima kasih, ia kembali melarikan mobilnya memasuki halaman rumah Ify, dan memberhentikannya persis didepan pintu masuk rumah gadis tersebut.

Dengan sedikit dag-dig-dug, Rio menekan bel rumah Ify dan sedikit berdoa sambil menunggu pintu terbuka.

"Yaa! Sebentar!"

Rio tersentak mendengar seruan yang samar-samar itu. Bahkan meski tak jelas, suara itu masih terdengar merdu di telinganya. Jantungnya pun kian berdegup kencang. Ia semakin kebingungan menyusun kalimat-kalimat manis, sebagai pembuka pada pertemuan pertamanya, setelah ia resmi menyandang status jomblo beberapa bulan yang lalu.

Cklikk..
Pintu terbuka, Rio yang sempat menunduk mulai mengangkat wajahnya perlahan-lahan. Hingga akhirnya, kedua mata itu dapat kembali melihat wajah cantik seseorang yang sekarang sudah berstatus sebagai mantan kekasihnya.

"Rio..."

Rio menelan ludah. Gadis itu masih mau menyebut namanya? Setelah hal jahat yang pernah ia lakukan dulu, hingga membuat gadis itu menangis dan terluka.
***

"Rio.."

Ify menghentikan ucapannya saat mengetahui siapa yang sedang bertamu saat ini. Perasaannya campur aduk, antara kesal, marah, kaget, tak menyangka, namun tak bisa dipungkiri ia merindukan pria ini. Tapi bukan berarti ia masih mencintainya. Ia hanya merindukan saja. Tidak lebih!

"Ng..ngapain, ngapain loe kesini?" Tanya nya dengan nada bicara -dibuat agar terdengar- tak suka.

Rio kembali menelan ludah, tangannya secara refleks menggaruk-garuk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

"Err..gue haus.."

Hening.
Rio merutuki ucapan -yang mungkin- polos yang tiba-tiba saja meluncur dari bibirnya. Sedangkan Ify menatapnya dengan alis terangkat, ujung bibirnya sedikit tertarik, dan sebenarnya ia memang sedang berusaha untuk tidak tertawa.
Dengan gerakan kepalanya, ia memberikan izin kepada Rio untuk masuk dan mempersilahkan pemuda tersebut untuk mengambil tempat disalah satu sofa ruang tamunya.

"Duduk! Gue ambilin minum bentar." Suruh Ify ketus. Tanpa mendengar apa-apa dari Rio, ia segera ke dapur untuk membuatkan pemuda yang katanya haus itu, segelas minum dingin.

Beberapa menit kemudian, Ify kembali ke ruang tamu dengan segelas syrup dingin di tangannya. Ia menyodorkan gelas minuman itu langsung kepada Rio, yang tanpa sempat berucap terima kasih, sudah menghabiskan syrup tersebut setengah gelas.

"Loe marathon ke rumah gue?" Tanya Ify sinis, sedikit bermaksud menyindir juga.

Rio jadi malu, tampangnya pasti sudah teramat konyol. Pemuda itu lantas menggaruk-garuk tengkuknya, sambil meletakan gelas minumannya ke atas meja. "Ehehee..nggak kok, Fy. Cuman tadi, gue emang udah haus dari rumah tapi nggak sempet minum." Jawabnya kagok.

"So what? Gue nggak tanya!"

Rio menggembungkan kedua pipinya, kemudian mengeluarkan nafas dari mulutnya. "Err..sendiri aja, Fy?" Tanya nya basa-basi.

"Pintu gerbang di depan dibukain sama Pak Nono, kan?" Ify balik bertanya, Rio mengangguk. "Berarti gue nggak sendiri!" Sambungnya ketus.

Rio mendengus dalam hati, salah lagi gue.

"Err--"

"Ngapain loe ke sini?" Tanya Ify cepat, menghentikan ucapan Rio yang belum sepenuhnya keluar.

"Gu..gue..gue..ma--"

Ify berdecak. "Sejak kapan sih loe ngefans sama Azis Gagap? Jawab pertanyaan gue aja lama banget!" potongnya sinis. Ify mulai jengah. Rasa rindu nya sudah cukup terobati dengan bertemu muka seperti ini. Selain itu, berbicara -meski dengan ketus- kembali dengan Rio juga cukup menjadi penawar rindunya. Dan rasanya, meninggalkan ruang tamu ini sekarang juga lebih baik daripada ia harus berlama-lama dengan pemuda pembohong seperti Rio.

"Sorry.." Ucap Rio lirih. Ify tak menyahut, ia hanya melirik pemuda itu sekilas melalui ekor matanya. "Sorry banget, Fy.."

Ify mulai mendengus. "Sorry? Setelah berbulan-bulan kita putus, dan elo baru minta maaf sekarang?" Tanya nya seolah-olah shock. "Huhhh..keren banget yah!"

"Gue tau gue salah. Gue pengen banget minta maaf sama loe dari dulu tapi--"

"Tapi apa? Tapi loe lebih milih gue yang ninggalin elo, ketimbang si-cantik itu? Iya?!" Sela Ify. Ia mulai berdiri menantang dihadapan Rio yang masih terhalang meja ruang tamu.

"Buk--"

"Loe mau bilang bukan maksud loe kayak gitu, iya?" Selanya lagi. "Arghh! Udahlah, Yo! Gue males dengerin omongan loe! Gu--"

"Dengerin gue dulu, Alyssa!" Kali ini giliran Rio yang menyela. Ia berdiri langsung dihadapan Ify, dengan kedua tangan mencengkram -agak- kuat bahu gadis tersebut. "Loe nggak pernah mau ngedengerin gue! Loe nggak pernah ngasih kesempatan ke gue!" Sambungnya membentak. Ify membeku dalam cengkraman kuat pemuda tersebut.

Nafas Rio mulai memburu. Perlahan, ia mulai melepaskan cengkramannya, dan menghempaskan tubuh jangkungnya pada sofa yang ada persis di belakangnya.
Tangannya bergerak naik mengusap wajah yang mulai dibasahi keringat.

"Loe nggak pernah ngasih gue kesempatan buat ngejelasin semuanya.." Ucapnya lirih. "..minta maaf sama loe, dan..dan ngungkapin perasaan yang bahkan sampai detik ini masih gue rasain ke elo.." Sambungnya, masih dengan nada lembut dan pelan.

Ify masih membisu, dan bertahan pada posisinya.

"Gue udah sering ngubungin nomer loe, tapi selalu loe reject. Sms gue nggak loe bales. Terakhir nomer loe malah nggak bisa dihubungin." Rio masih berkeluh kesah, tanpa mendapat tanggapan dari Ify. "Apa itu masih nggak bisa ngebuktiin kalau gue nyesel?"

Ify membuang muka saat wajah Rio menghadapnya. Dengan sepasang mata elang yang menusuk tajam pada bola matanya, akan semakin membuat gadis itu merasa lemah jika terlalu lama beradu pandang dengan pemuda tersebut.

"Gue sering banget nyamperin elo ke sekolahan loe, Fy.. Tapi, nggak pernah sekali pun gue berhasil nemuin loe."

"Gue benci sama loe, Yo.. Gue kecewa.." Ify mulai berucap, diiringi isakan tertahan. "Gue yang berusaha percaya sama loe, yakinin kalau elo nggak bakal nyia-nyiain gue, tapi nyatanya.."

"Sorry, Fy.."

"Elo selalu gue banggain di depan temen-temen gue! Rio yang manis, Rio yang perhatian, ketua Osis, jago basket, pujaan cewek-cewek, dan apalah itu semua. Gue yang selalu dengan yakinnya ngomong ke teman-teman gue kalau elo itu bakal setia.." Ify tak lagi membuang muka. Kali ini dengan berani ia menatap Rio dengan kedua mata yang mulai berair. "Tapi yang terjadi elo malah ngekhiantin gue dengan rival gue sendiri!" Ify berucap penuh penekanan sambil menunjuk dada Rio.

Dengan gerakan cepat Rio meraih telunjuk Ify yang terarah padanya, dan balas menggenggam sambil menciumi tangan gadis tersebut.

"Maafin gue, Fy. Maafin gue.. Gue salah, gue berdosa, gue emang jahat banget, tapi sumpah demi apapun gue sayang banget sama loe. Nggak pernah ada yang lain selain loe Fy.."

Ify menarik tangannya yang masih saja diciumi Rio. "Loe mungkin udah ribuan kali ngomong kayak gitu ke cewek-cewek lainnya, Yo.." Ucapnya sinis.

"Fy, gu--"

Comeback comeback to me~

Dering handphone Ify membatalkan niat Rio yang ingin meluruskan presepsi Ify mengenai ucapannya barusan. Dan tanpa memperdulikan Rio yang mengutuk kesal pada handphonenya, Ify segera meraih benda mungil tersebut dari balik saku jeansnya.

"Err..hallo, Vin.." Sapa Ify lembut.

Membuat Rio menatapnya dengan kening berkerut. Ia semakin curiga saat Ify memilih untuk menjauh darinya sambil tetap menyelipkan handphone tersebut diantara tangan dan telinganya.
10 menit kemudian, gadis itu kembali dengan wajah yang mulai tenang.

"Si--"

"Dia Alvin, cowok yang lagi deket sama gue sekarang." Potong Ify yang sudah bisa menebak apa pertanyaan Rio.

Pemuda itu menghela nafas kecewa. Wajahnya memerah, memendam amarah. Dia tak setuju jika Ify bersama pria lain selain dirinya. Ia masih menyayangi Ify, tapi kenapa gadis itu malah memberitahukan kedekatannya dengan pria lain?
'Sadar, Rio! Loe bukan siapa-siapanya Ify lagi.' Bathinnya mencelos.

"Apa itu artinya elo udah menutup hati loe buat gue, Fy?" Tanya nya lirih. Berharap Ify akan menjawab tidak akan pertanyaannya.

Ify tersenyum masam. "Loe tau jawabannya, Yo. Life must go on. Gue mesti move on. Nggak lucu kan, kalau gue stuck disitu aja cuman karena dikhianatin cowok?"

Sekali lagi, Rio menghela nafas. Diusapnya kembali wajah nya yang muram, dan mulai bangkit dari posisi duduknya.
Ia melangkah mendekati Ify. Dan tanpa permisi, pemuda tersebut mendaratkan satu kecupan dipuncak kepala Ify , sambil membelai rambut gadis itu.

"Asal loe tau, gue masih sayang sama loe, dan masih belum menyerah buat ngedapetin loe lagi." Ucapnya kemudian berlalu. Membiarkan gadis yang masih melayang karena perlakuannya tersebut, membeku ditempatnya.
• • • • •

"Kenapa sih, Fy? Nggak konsen banget kayaknya?"
Alvin-pemuda yang tengah dekat dengan Ify, membuka pembicaraan. Ia memang sedikit merasa aneh melihat sikap Ify yang mendadak jadi banyak diam, ya meskipun dari awal mengenal gadis itu, Alvin tahu bahwa Ify bukanlah gadis yang banyak bicara. Tapi setidaknya, ia akan selalu menjadi pendengar dan lawan bicara yang baik bagi siapa saja, bukan malah menghiraukannya seperti barusan.

"Ify! Hello! Are you okay?"

Alvin kembali bertanya sambil menyentuh bahu gadis tersebut.

"Ah ya! Kapan sih gue nggak terlihat okay di depan loe?" Tanya Ify berusaha biasa.

Alvin hanya tersenyum sambil menggeleng. Kemudian ia mengambil bola kaki yang sempat ia letakkan disebelahnya, dan mengacak kecil rambut Ify sebelum meninggalkan gadis itu ke tengah lapangan.

"Gue main dulu.." Pamitnya.

Ify yang mulai merah merona hanya bisa memasang senyuman kaku, sambil mengangguk sebagai isyarat mempersilahkan kepergian pemuda tampan tersebut.

"Gilaa! Sport jantung gue.." Gumamnya sambil memegangi dadanya, merasakan detak jantung yang tiba-tiba saja memiliki ritme tak berarturan.

"Hayolohhhhh! Kenapa merah merona kuning ungu jingga!!!" Seru Sivia, setelah sebelumnya memberikan salam pembuka kepada pundak Ify, berupa tepukan keras yang hampir saja membuat tubuh mungil gadis itu tersungkur ke depan.

"Slow, woy! Slow! Anarkis banget sih jadi cewek!" Sungut Ify sambi mengusap-usap pundaknya.

Lagi-lagi Sivia memasang cengiran tak bersalahnya. Kemudian dengan santainya ia mengambil kaleng softdrink milik Ify, dan meneguknya hingga menyisakan setengah kaleng.

"Eh neng, kenapa lagi loe? Perasaan sama Alvin lancar-lancar aja, tapi kok tu muka kayak baju belum disetrika gitu?"

Ify memanyunkan bibirnya sesaat setelah Sivia meletakkan kaleng minumannya. Namun kemudian, ia jadi terpikir akan pertanyaan Sivia.

"Huftt.." Ify mendesah panjang. Pandangannya terarah pada Alvin yang bergerak gesit di tengah lapangan. "Rio.."

Sivia menatap Ify dengan kaget mendengar nama yang meluncur dari bibir gadis tersebut. "Ada apa dengan Rio?"

"Dia ngajak gue balikan.."

Bla..bla..
Ify mulai menceritakan prihal kedatangan Rio beberapa malam yang lalu ke rumahnya. Adegan demi adegan, kalimat demi kalimat di ceritakannya secara rinci tanpa satupun yang terlewat.
Sivia sampai melongo ditempatnya. Antara merasa kagum karena sikap Rio yang menurut sudut pandangnya, cukup so sweet. Dan kesal karena dengan kurang ajarnya Rio masih berani mencium Ify, yang jelas-jelas berstatuskan sebagai mantannya. Catat! Mantan! Ex-girlfriend! Bukan pacar. Kurang ajar kan?

"Kok loe nggak nolak waktu dia nyium elo? Jangan-jangan loe masih sayang terus ngekhayatin ciuman tu cowok lagi?" Sivia mulai mengintrogasi.

"Ya ampun Sivia... Demi Tuhan! Gue akuin, gue emang kangen banget-banget sama dia. Tapi kalau loe bilang gue masih sayang... It's only in his dream. Gue udah nggak ada rasa apa-apa lagi sama dia. Suer!" Ucap Ify penuh keyakinan. Kedua jarinya -tengah dan telunjuk- teracung tegak membentuk huruf V sebagai bukti keseriusannya.

Sivia menghela nafas. "Ya..ya, gue percaya. Terus?"

Ify menggeleng. "Dia beneran ngebuktiin omongannya buat merjuangin gue kayaknya."

Sivia mencibir pelan. "Adudu..berat banget bahasa loe. Merjuangin? Emang loe aset penting negara?"

"Senggaknya, gue aset penting buat bonyok gue, karena gue anak satu-satunya. Gue juga aset penting buat sekolahan ini karena selain kapten cheers, gue juga merupakan 'anak olimpiade' disekolah ini. Mau apa loe?"

Sivia melengos. "Mulai deh sok pentingnya.." Sahutnya malas.

Ify melayangkan sebuah jitakan halus ditempurung kepala Sivia, karena mendapatkan respon seperti itu. "Ughh! Jadi gue harus gimana dong, Vi? Help me?"

"Lah, emang mesti gimana? Jalanin aja.. Berani apa sih Rio sama loe?"

"Sivia.. Elo nggak tau kan penderitaan gue 2 hari terakhir ini?" Sivia refleks menggeleng. "Setiap jam pulang, gue terpaksa ngatur waktu supaya nggak kepergok sama Rio, karena tu bocah mantengin gue didepan gerbang. Belum lagi dirumah, biarpun gue jelas-jelas nolak kedatangan dia, tu anak dengan songongnya beralasan pengen ketemu bonyok gue, carmuk abis kan?" Jelas Ify menggebu-gebu.

Sivia jadi menggaruk-garuk keningnya. Ternyata problema yang dihadapi Ify cukup rumit. "Huhh..sebenernya yang dimauin Rio dari loe apa sih?"

"Dia pengen gue balikan sama dia."

"Ya udah sih terima. Kalian cocok ini." Sahut Sivia asal.

Ify melotot kesal padanya. "Mesti berapa kali gue bilang kalau gue udah ilfeel sama dia?"

"Iye..iye, slow neng. Ya loe jelasin baik-baik dong, dengan halus, lembut biar dia ngerti kalau elo pengen lepas dari dia." Jawab Sivia mulai serius.

Ify melengos. "Malas! Yang ada dia besar kepala kalau dibaik-baikin."

"Fy.."

Suara seorang pria membungkam mulut Sivia yang belum sempat berujar. Begitu mengetahui siapa pemilik suara tersebut, Sivia mau tak mau harus sadar diri untuk segera menyingkir dari sana.

"Upss.. Kayaknya gue mesti get out nih." Ucapnya meledek. Ify hanya diam tak berkutik.

Alvin tersenyum penuh terima kasih pada Sivia. "Thanks, Vi." Ucapnya. "Temenin gue ke kantin bisa kan, Fy?" Alvin beralih menatap Ify yang sedang menunduk.

"Fy, atau Vi nih? Gue apa Ify?" Tanya Sivia iseng, diiringi tawa kecil diakhir kalimatnya.

"Ify yang manis dan cantik dong, Sivia sayang~"

Ify dan Sivia kompak mendelik sambil bergidik. "Ihh..gombal parah loe." Cibir Sivia sambil meninju kecil lengan Alvin. "Gue duluan deh, Fy. Pikiran saran gue tadi. Dagh!" Pamit Sivia yang segera berlari meninggalkan Ify dan Alvin.

"Saran apaan, Fy?" Tanya Alvin selepas kepergian Sivia.

Ify menyeringai kecil sambil menggeleng. "Nggak. Cuman masalah pelajaran doang kok." Dustanya.

Alvin tahu Ify berbohong, namun ia membiarkan. Mungkin bukan kapasitasnya untuk mencampuri urusan Ify. Lagian, siapa dia? Pacar bukan mau sok sibuk ngurusin masalah orang.

"Ya udah. Kantin, yuk!" Ajaknya pada Ify. Ify mengangguk, sedikit tersentak saat tau-tau tangan Alvin telah merengkuh lengannya, dan memaksa tubuh Ify untuk berjalan berdampingan dengannya.

'Fiuh..sport jantung lagi gue.'
• • • • •

“Sebaik-baik perpisahan adalah yang diakhiri dengan senyuman. Sebagaimana awal hubungan itu dimulai.“

Sender : 0823xxx

Ify mendengus kesal membaca pesan singkat itu. Meski hanya nomer, tanpa nama, ia sudah bisa menebak siapa pengirim itu. Masih dengan rasa kesalnya yang mendadak datang, Ify berniat menghapus pesan masuk tersebut. Namun, suara merdu Taylor Swift yang menyanyikan reff salah satu lagu terbaiknya menghentikan niat Ify.
Tanpa melihat nama si pemanggil, Ify menekan tombol accept pada ponselnya.

“Please, dengerin gue. Jangan tutup telphonenya!”

Ify mengernyit, apa lagi sih maksud lelaki ini?

“Gue cuman mau, lo nemuin gue untuk terakhir kalinya ditempat biasa kita ketemu. Please, biar gue bisa setegar lo buat ngadapin kenyataan ini, Fy...”

Baiklah, Ify mulai tersentuh. Mendengar lirih suara pria tersebut merupakan hal asing..hem, langka malah bagi Ify. Karena Ify jelas mengenal betul bagaimana sosok pria tersebut dengan segala tabiat.

“Gue anggap diem lo itu 'iya',” Ify tersentak mendengar suara yang tiba-tiba itu. “besok gue jemput yah. Bye Naura Safiya..” Dan sambungan pun terputus.
Well, kita lihat, besok akan seperti apa...
•••
Suasana disini tidak berubah. Masih ramai, masih sejuk, masih menyenangkan. Membuat ingatan Ify tentang masa lalunya bersama Rio, hadir kembali saat ini. Secepat mungkin Ify menggelengkan kepalanya, membuang jauh semua memory yang terputar kembali bagai jarum jam yang bergerak teratur. Bahkan, Ify masih mengingat hari bahagia terakhirnya bersama Rio dengan status sebagai kekasih dari pria tampan tersebut.
»»
Seorang remaja pria menarik lembut pergelangan gadis cantik yang berjalan disisinya, menuju sebuah perosotan berwarna biru muda yang terletak ditengah-tengah taman.

"Aaahhh, mau kemana sih, Yo? Sakit nih tangan aku ditarik-tarik gitu." Rengek Ify, gadis cantik yang berjalan bersisian dengan remaja pria tersebut.

"Ke situ Ify!" Rio mengarahkan telunjuknya ke sebuah perosotan biru yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini. "Kita main perosotan yah." tambahnya semangat.

Ify mendengus sebal, masa' iya kencan pertama mereka -setelah 1 minggu yang lalu resmi jadian- harus dilalui dengan bermain perosotan ala anak TK? Nggak ada yang lebih bagus gitu?
Merasa tidak ada respon, Rio menghentikan langkahnya. "Kok diem? Gak mau yah main perosotan sama aku?" Tanya nya sedikit kecewa.

Ify memaksakan sebuah senyuman untuk Rio. "Nggak kok. Yuk deh kita main kesana." Ajaknya sambil menggandeng Rio menuju perosotan biru tersebut.
Dengan sedikit takut dan -emm- malas, Ify bersiap-siap menaiki perosotan tersebut. Ia akan terjun dari puncak perosotan tersebut setelah sebelumnya Rio menerjunkan dirinya terlebih dahulu.

Rio menatap gadis dibelakangnya dengan senyuman "Siap?" tanyanya, Ify tersenyum masam. "Oke, 1-2-3..."

Rio memulai aksinya diiringi dengan teriakan kecil bernada ceria. Memang, perosotan yang mereka naiki saat ini memiliki tinggi yang tidak biasa. Karena, perosotan ini memang tidak dikhususkan untuk anak-anak.
Setelah Rio sampai dengan selamat didasar tanah, Ify segera mempersiapkan hatinya yang mulai ketar-ketir. Ify menelan ludah saat melihat dasar tanah dari tempatnya berdiri saat ini. Cukup tinggi, dan ia rasa itu juga cukup mampu membuat nyalinya menciut. Kalau saja dibawah sana Rio tidak berteriak menyerukan namanya, menyuruh gadis manis itu untuk segera terjun, mungkin Ify sudah turun dan mengurungkan niatnya untuk beraksi saat itu.

'Oke, aku pasti bisa!'

Setelah berulang kali menghirup nafas, Ify mulai memposisikan dirinya. Bersiap untuk segera meluncur.

'Bismillah ya Allah'
Ucapnya dan..wushhhhh Ify meluncur sambil menutup kedua matanya. Dalam hati gadis itu membathin, berharap semoga ia bisa selamat sampai dibawah.

Sampai pada akhirnya, ia merasa tubuhnya sudah terduduk didasar tanah. Dan tepat ketika ia membuka matanya, Ify menemukan setangkai mawar merah didepan matanya.

"Aku sayang kamu." Ucap Rio polos.

Ify tersenyum malu. "Apaan sih Yo, masih SMP bilang sayang."

"Tapikan kita udah pacaran," protes Rio. "Nggak papa dong aku bilang gitu."

Ify mengangguk kecil. "Ehehe, iya yah."
««

Rio baru saja memarkirkan kendaraan roda empatnya. Sambil mengotak-atik ponselnya, pria jangkung tersebut berjalan santai menghampiri Ify yang terdiam mematung, tatapannya terfokus pada perosotan yang cukup tinggi, letaknya tidak jauh dari tempat Ify berdiri saat ini.
'Masih ada ternyata'
Rio membathin dalam hati, sambil ikut menatap perosotan lama yang sudah berubah warna. Kalau dulu seingat Rio perosotan tersebut berwarna biru, kini warna nya menjadi merah cerah.

"Emm Fy," tegur Rio sambil menepuk pundak Ify. Ify tersentak dari lamunannya. "Inget sama-"

"-eh elo kapan dateng, Yo?" Tanya Ify, memotong ucapan Rio. Ia tau kemana arah ucapan Rio nantinya, maka dari itu Ify memotong ucapan pria tersebut.

"Emm baru kok, kita main perosotan itu yuk.." Ajak Rio menunjuk perosotan tadi.

"Enggak ah, kayak anak kecil aja." Tolak Ify cepat.

"Ayolah Fy, cuman hari ini gue banyak minta sama lo," pinta Rio, "besok-besok nggak lagi deh." Tambahnya.

Ify menggembungkan kedua pipinya dengan kesal. Namun gadis tersebut tetap pasrah mengikuti Rio yang mulai menuntunnya menuju perosotan tersebut.

Entah hanya kebetulan atau memang...Rio sengaja mengulang apa yang pernah terjadi dulu. Setelah ia sampai didasar tanah, Rio segera menjauh dari perosotan tersebut. Ia membiarkan Ify meluncur dengan kedua mata tertutup. Masih ekspresi yang sama, seperti dulu, pikir Rio.

Ify yang merasa sudah meluncur dengan selamat membuka kedua bola matanya. Dan bagaikan de javu, kini gadis tersebut mendapati Rio yang tengah menyodorkan sesuatu didepan wajahnya. Berbeda dengan 4 tahun silam, kini yang berada dihadapannya bukanlah mawar merah, melainkan ice cream rasa cappucino bertabur chocochips, ice cream kesukaan Ify.

"Gue masih sayang sama lo." Ucap Rio tulus.

Ify menatap Rio dengan perasaan tak enak. "Eemm makasih." Ucapnya sambil menerima ice cream tersebut.
•••

Ify mendengus kesal berulang kali. Sedari tadi Rio tak henti-hentinya menarik tangan Ify dan membawa gadis itu menuju berbagai macam stand favorite yang sering mereka kunjungi dulu.

"Isshhhh, udah ah, Yo. Capek gue ditarik-tarik mulu sama lo." Sungut Ify kesal.

Rio menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Ify. "Capek yah?" tanya nya penuh perhatian, Ify mengangguk malas. "Ya udah, duduk disana aja yuk!" Ajaknya sembari menggandeng -atau-lebih-tepatnya-menarik-sedikit-paksa- tangan Ify.
Ify menurut, pasrah. Dengan langkah malas ia mengiringi Rio yang berjalan selangkah lebih dulu didepannya. Begitu sampai disalah satu stand minuman, keduanya memilih sebuah meja yang letaknya persis dibawah pohon rimbun.

"Bentar yah, gue ambil minuman dulu. Jangan kemana-mana." Pesan Rio, dengan nada yang terkesan memerintah. Ia mengacak pelan puncak kepala Ify sesaat sebelum ia meninggalkan gadis manis tersebut. Selang beberapa menit kemudian, Rio kembali dengan segelas vanilla latte dingin ditangannya.

"Nih." Rio menyodorkan gelas vanilla latte tersebut yang disambut sumringah oleh Ify.

"Makasih!" Sahut Ify gembira. "Masih inget aja minuman favorite gue." Tambahnya.

Rio tersenyum masam. "Sampai kapan pun, gue nggak mungkin lupa kali, Fy."

"Eh kok jadi melow gini, lanjut main yuk, bosen nih."

Ify mencoba mengalihkan pembicaraan Rio yang ia yakini ujung-ujungnya akan mengacu pada hal yang paling dihindarinya, perasaan Rio yang masih tertuju padanya.

Rio menghela nafas, merasa -sedikit- kesal dengan Ify karena gadis itu selalu berusaha menghindari kenyataan bahwa ia -Rio- masih memiliki rasa itu pada Ify, meskipun sekarang semua itu sudah terlambat.
Dengan enggan Rio mengiringi Ify yang berjalan lebih dulu didepannya.

Srettt...Rio menarik tangan Ify saat gadis itu ingin menyebrang jalan. Dan mungkin karena tidak berkonsentrasi -akibat-pembicaraan-antara-ia-dan-Rio- Ify hampir saja menyebrangkan diri ditengah ramainya lalu-lalang kendaraan. Untung saja Rio sempat menahan Ify, membuat tubuh mungil gadis tersebut terdorong hingga ke dadanya.

Tak bisa dipungkiri, bahwa Ify merasa dadanya berdebar-debar saat tubuhnya melesak masuk ke dalam pelukan Rio.

"Lain kali kalau mau nyebrang hati-hati ya, Fy," pesan Rio, tangan kanannya masih melingkar di pundak Ify. "Liat kiri kanan, jangan asal nyelenong kayak tadi." Tambahnya.

Ify mengulum senyum "thanks, Yo."

"Udah kewajiban gue," ucap Rio tulus, Ify terdiam. Berusaha acuh dengan ucapan tulus tersebut. "Senggaknya, sebelum gue bener-bener pergi...gue akan selalu ngejagain elo, semampu gue."

Rio memfokuskan kedua manik matanya pada sepasang mata bening milik Ify. Entah mendapat keberanian darimana, Rio mengecup lembut puncak kepala Ify. Tak menolak, Ify membiarkan perlakuan Rio.

"Gue nggak akan pernah berhenti buat bilang," Rio menggantungkan kalimatnya, membiarkan bermili-mili oksigen memenuhi rongga dadanya, "gue masih sayang sama lo."

Ify terdiam, tak mampu berucap. Untaian kalimat yang semestinya terlontar dari mulutnya, berganti dengan derai air mata yang menyeruak dari kedua pelupuk matanya.
Dan dengan sekali gerakan, Rio kembali merengkuh Ify kedalam pelukannya. Menghapus berjuta-juta rindu yang sebelumnya hanya mampu ia pendam dan tak tersampaikan

Langit gelap malam ini terlihat indah dengan ribuan bintang yang masih setia menemani sang bulan. Membuat gadis manis yang terduduk disebuah bangku panjang yang terletak persis dibawah pohon akasia itu menatap takjub. Ya meskipun hal seperti ini sudah sering terjadi, tapi melihat pemandangan ini secara sengaja jelas berbeda dari biasanya. Disebelahnya, pria hitam manis yang sedari siang bersamanya menatap dalam siluet samping gadis tersebut. Menikmati detik-detik terakhir kebersamanya dengan sang pujaan hati, sebelum 'waktu' itu memisahkan kebersamaan mereka. Dinginnya angin malam yang hilir mudik disekitar mereka terabaikan, seolah bukanlah penghalang bagi keduanya menikmati malam ini dengan cara mereka masing -yang tentu saja berbeda-.

Sadar akan tatapan tajam yang terus mengarah kepadanya, Ify refleks memutar kepalanya dan menatap Rio dengan alis terangkat.

"Kenapa?"

Rio tertawa kecil dan menggeleng. Jemarinya saling terikat erat. "Nggak papa, pengen mandangin kamu lama-lama aja, kan buat terakhir kalinya."

Ify sedikit merasa aneh dengan sikap Gabriel hari ini. Berulang kali pria disebelahnya ini menyematkan kata 'terakhir' disetiap kalimat yang ia lontarkan. Dan memilih beraku-kamu, padahal sebelumnya tidak seperti itu.

"Kenapa? Natapin aku nya gitu banget?" Tanya Rio saat Ify menatapnya tanpa kedip.

Ify meringis kecil dengan kepala bergerak ke kanan dan ke kiri berulang kali. "Nggak, biasa aja kok."

Setelah menjawab kikuk, Ify kembali memutar arah pandangannya ke depan. Membiarkan ribuan hembusan angin menerpa wajah cantik serta membelai lembut rambut panjang yang mulai menari bebas karenanya.
Rio bergeming. Tatapannya masih tertuju pada Ify. Dihembuskannya nafas sesamar mungkin, menutupi agar gadis disampingnya tak menyadari sejumput kegelisahan yang mengisi hatinya. Dengan pelan telapak tangan Rio bergerak mendekat, merengkuh kelima jemari kanan Ify dan menggenggamnya erat. Membuat Ify tersentak kaget dan kembali menatapnya dengan alis menyatu, dilanjutkan dengan gerakan mata yang menatap genggaman Rio dan wajah tampan pria tersebut secara bergantian.

"Kamu ngerti maksud sms aku tadi siang kan, Fy?" Ify mengangguk ragu.
"Aku cuma mau, hubungan yang pernah kita awali baik-baik itu, kita akhiri dengan baik-baik juga. Ya..meskipun ada keadaan dimana hal itu udah ngebuat kamu nggak baik-baik aja."

Ify bertahan dengan diamnya, sambil menunggu Rio meneruskan kalimatnya.

"Dan sebelum aku bener-bener pergi, aku pengen..aku pengen kamu dengerin ungkapan hatiku, penyesalanku..dan semua perasaan hatiku yang sesungguhnya."

Ify masih diam. Pandangannya tak beralih dari kedua bola mata teduh milik Rio.

"Aku, aku sayang banget, Fy..sama kamu. Dan aku..aku nyesel udah nyia-nyiain kamu, dulu."

Ify menggigit kecil bibir dalamnya, dan mulai menatap Rio dengan enggan. Bukan marah atau apapun sejenisnya, hanya saja gadis ini terlalu rapuh untuk menatap mata tajam Rio yang selalu sukses menghipnotisnya.
Perlahan Rio melepaskan genggamannya. Ia menegakkan tubuhnya dan mulai berdiri menantang, didepan ribuan benda langit yang masih asyik berkerlip, seolah mengabaikan kehadiran dua insan yang tengah dilanda kegalauan.

"Aku sadar kok, Fy..sadar banget kalau semua udah terlambat. Dan aku..aku tapi gak bisa terus-terusan ngebohongin perasaan aku, bersikap seolah-olah gak sayang kamu padahal aku cemburu ngeliat kamu sama cowok lain,"

Di tatapnya kembali mata Ify yang mulai menahan laju air matanya. Dan tesss..sekali kedip kristal bening itu mulai menyembul dari pelupuk mata gadis manis tersebut. Dengan lembut Rio menyusuri pipi tirus Ify, menghapus jejak-jejak air mata yang nampak basah dikedua pipinya.

"Jangan nangis, aku kesini bukan buat bikin kamu nangis," ujar Rio lirih. "Aku nggak kayak Alvin ya, Fy? Dari dulu aku cuman bisa nyiptain kesedihan yang berujung air mata buat kamu. Alvin? Dia selalu bisa ngebuat kamu senyum, ketawa, bahagia..hahaa."

Tiba-tiba Rio tertawa hambar. Pikirannya terusik dengan sejuta penyesalan yang kembali menebal didalam hatinya. Betapa ia menyia-nyiakan gadis seperti Ify, yang dengan sabar selalu menemaninya, dan tak pernah bosan untuk selalu memahaminya. Dan pantasnya, Ify tersenyum karena cintanya bukan menangis karena 'penyiksaan-penyiksaan' bathin yang tanpa sadar sering dilakukannya.
Laju airmata Ify makin tak terkendali, meskipun tanpa isakan. Tak tahu harus berkata apa, Ify hanya mampu terdiam dan membiarkan air matanya mengalir sebagai pengganti ungkapan hatinya.
Dengan sedikit ragu, Rio merengkuh Ify kedalam pelukannya. Tanpa berkata manis untuk menghentikan tangis gadis itu. Cukup dengan sentuhan lembut penuh kasih sayang, ia mampu menenangkan kekalutan hati Ify.
Sejujurnya, tak sedikitpun rasa itu tersimpan didalam hatinya. Karena sudah sejak lama, kekosongan hati yang dulu sempat diisi oleh Rio, digantikan dengan se sosok pria berkulit putih dengan postur tubuh yang hampir menyerupai Rio.
Namun, malam ini Rio membuatnya harus merasa bersalah karena mendengar jeritan hati pria tersebut. Jeritan yang terdengar tulus, dan mampu menyentuh hati siapa pun yang mendengarnya.

Rio melepaskan dekapannya, dan berganti mencengkram -lembut- pundak gadis cantik si pemilik hatinya.

"Fy," panggilnya, sedikit menunduk karena memang sang gadis yang ia sebutkan namanya tengah menatap fokus pada rerumputan hijau yang mulai berembun. "Bisa liat aku?" Tanya nya terdengar memohon.

Dengan perlahan gadis itu mengangkat wajahnya. Masih terlihat jejak-jejak air mata yang membekas dikedua pipinya. Bahkan, kedua mata gadis tersebut terlihat memerah dengan sedikit kantung dibawah matanya.

"Maaf, aku selalu buat kamu nangis." Rio merengkuh wajah cantik Ify, membuat gadis itu mau tak mau menatapnya. "I love you, goodbye..." 

 Ify tak menjawab. Ia hanya menatap nanar wjah sendu pemuda dihadapannya itu.
 
"Aku antar pulang yah?"
Tanya Rio dengan nada mengajak. Sejujurnya Ify masih ingin berlama-lama disana, tapi akhirnya dengan mau tak mau, rela tak rela gadis itu mengikuti langkah lebar Rio sambil terus memeluk tubuhnya yang diselimuti dinginnya angin malam.

Rio menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Ify yang berjalan dua langkah dibelakangnya. "Lelet deh, Fy." Ucapnya, tanpa ragu tangan kanannya mendekap tubuh Ify dari samping.
Dengan sedikit terkejut, Ify mengangkat wajahnya dan mendapati senyuman manis terukir diwajah -yang juga- manis tersebut. "Kedinginankan? Jadi gak papa dong." Ucap Rio, jahil.

Ify mendengus, ingin menolak tapi enggan. Karena tak dapat dipungkiri, sedikit demi sedikit 'kedinginan' itu berubah menjadi 'kehangatan' saat lengan kokoh Rio melingkari bahunya.

"Makasih." Ucap Ify pelan, dengan wajah menunduk. Rio tak menjawab, ia hanya menganggukan kepalanya dengan sebuah senyum kelegaan yang terus menempel dibibirnya. 

*** 

Ikhlasku, karena aku masih ingin melihat senyummu, saat bersamaku..meski kau bukan milikku..

- I love you, goodbye...


----

Anyway, versi aslinya si Alvin itu Tristan, tapi kemudian karena untuk di publish menjadi #loveinrify Tristan gue edit jadi Alvin, tapi ga tau deh pas udah cetak gue liat perasaan balik lagi jadi Tristan :/
Yang gue post ini versi revisi, dengan Tristan yang sudah gue ganti menjadi Alvin. Dan kalau ada kalian yang ngerasa dejavu dengan scene endingnya...YUP! Ini merupakan salah satu scene di WL cerbung gue juga HAHA
Ini gue post untuk memenuhi permintaan teman-teman sekalian..

Terimakasih sudah membaca!

#muchlove!

@niyaaarasyied