-- Memories --
Part 5
"Aishilla, kamu
duduk disana!" ujar Bu Sarah sambil menunjuk bangku yang dekat dengan
jendela. "Dan Alvin, kamu duduk
semeja dengan..Shilla!" lanjut Bu Sarah. Alvin dan Shilla meraih tas
mereka dan berpindah ke bangku yang baru. Sebelum menuju tempatnya Shilla
berhenti disebelahku.
"Sorry yah, jangan
cemburu sama gue.." bisiknya pelan, aku memutar bola mataku lantas
mencubit kecil lengannya.
"Nggak lucu! bodo
amat dia mau duduk sama siapa."
"Alyssa, kamu
duduk disitu bersama Andryos!" Bu Sarah menunjuk bangku pada barisan
kedua, seperti yang ku bilang tepat bersebelahan dengan Alvin. Aku mulai mendengar celotehan-celotehan
menggoda dari teman-temanku
“Hati-hati Shill, ntar si Ify cemburu lagi~” ujar Lintar
setengah berteriak.
“Ecieeee..Ify duduknya deketan sama Alvin
nih yeee~” sambung temanku yang lain, ntahlah siapa, yang jelas laki-laki!
"Bodo deh, mau
dikatain apa juga.." aku hanya melangkah pasrah.
Setelah selesai
mengacak tempat duduk kami, Bu Sarah memberikan tugas kepada kami, karna
beliau ingin menjemput anaknya di TK.
"Jangan ada yang
berpindah tempat!" pesan Bu Sarah setengah mengancam, sebelum
benar-benar pergi.
Benar saja perkiraan Bu Sarah, setelah beliau meninggalkan
kelas semua teman-teman ku sibuk ingin kembali ke tempat asal merka. Tapi sebuah suara menghentikan
aksi tersebut.
"Ehem..ehem.." seseorang berdehem keras,
sehingga mau tak mau semua mengalihkan perhatian pada sang pemilik suara. "Jangan ada yang pindah tempat yah, kalau
nggak, gue laporin ke Bu Sarah." ujarnya sambil tersenyum nakal
ke arahku. Semua mengerti maksud Lintar yang menjabat sebagai ketua kelas -sang pemilik suara tadi-, yang memang
sengaja agar posisi duduk ku tetap bertahan seperti ini.
'Aaahhh..nggak adil! ini nggak adillll!' teriak ku dalam hati.
"Shill, loe
duduk disini yah, gue disitu." pinta seseorang, siapa lagi kalau bukan
A-L-V-I-N!
"Iya deh, gue
juga mau deketan sama Ify.." ujar Shilla menyetujui, lantas ia
merapikan peralatan tulisnya.
"Eit..eit..mau
kemana lo, Vin?" lagi-lagi Lintar mencegah
niat teman-temanku yang ingin bertukar posisi, termasuk Alvin.
"Aduhhh Lint,
cuman pindah bangkunya doang juga. Yang pentingkan gue tetep semeja ama Shilla!"
"Iya Lint, garing
banget duduk deket tembok, nggak bisa ngegosip." tambah Shilla, Lintar
mengangguk tanda mengizinkan.
"Lintar gak adil
ihh.." seru salah satu temanku.
"Loe semua juga
boleh tukeran tapi kaya Alvin, tetep duduk sama teman semeja yang sekarang,
cuman pindah duduknya aja." putus Lintar.
-----
Aku menatap
bangku barisan urutan ke 3, barisan ke 4 dari pintu. Yahh...itu adalah bangku
dimana aku harus merelakan masa satu semesterku waktu kelas 3 awal dengan duduk
bersebelahan dengan Alvin, meskipun tidak semeja.
Waktu kelas 3
semester awal kelas kami memang tidak berpindah, pasalnya kelas kami yang
semestinya masih dalam tahap renovasi dan kemungkinan baru bisa ditempati pada
semester kedua nanti.
Lagi-lagi sebuah
cerita menyenangkan teringat kembali, dimana pada saat itu aku mulai merasa
karma itu ada. Dimana aku mulai jatuh cinta pada Alvin, yang awalnya memang
sempat membuat aku kagum pada prestasinya namun begitu awal SMP aku sedikit
ilfeel karena sikap ‘nakal’ nya yang menurutku diakibatkan karena kebanyakan bergaul dengan gank nya Cakka. Gank nakal, yang memang terkenal pemberontak, tapi nggak pernah
absen dalam pelajaran olahraga, apalagi sepak bola.
Dan satu hal yang
tak pernah ku sangka, aku juga mulai memiliki rasa pada Rio, orang yang pernah
aku tolak mentah-mentah. Oh my Gosh......
Aku ingat, waktu
itu aku sempat merasa tersanjung saat aku dengar dari teman-temanku kalau Alvin
mengkhawatirkanku. Benarkah?
......
Jam menunjukkan pukul 07.05 menit. Itu artinya aku akan
terlambat jika tidak segera berangkat ke sekolah, mana ini hari senin.
Yahh..sekolahku selalu membunyikan bel lebih cepat 15 menit dari hari biasanya
jika hari senin. Salah satu alasannya adalah karena upacara bendera. Aku yang
belum sempat mencomot sepotong roti pun bergeges meneguk susu yang masih
terbilang hangat. Lalu dengan tergesa-gesa aku menghampiri Papa yang sudah
stand by diluar.
Aku mempercepat langkahku -setengah berlari- begitu melihat semua murid mulai berbaris sesuai
kelas masing-masing dilapangan. Huhhh..padahal tadi aku berencana untuk sarapan
disekolah, kalau begini ceritanya gagal lah rencanaku.
"Hah...huh...hah...huhh.."
aku ngos-ngosan, lelah sekali rasanya meskipun hanya berlari-lari kecil. Tapi
jarak dari gerbang depan hingga kelasku terbilang jauh, belum lagi aku harus segera siap dilapangan
sebelum Pak Budi berjaga dibelakang barisan kelasku. Aku menumpukan
kedua kakiku dilutut, sambil terus mengatur nafasku yang tak beraturan.
Disebelahku, Sivia tertawa geli melihat wajahku yang
berlelehan keringat.
"Telat bangun lo?"
tanya Shilla, aku hanya mengangguk. Masih terlalu lelah untuk berbicara.
"Sstt..sstt...Pak
Budi dibelakang tuh, jangan berisik!" ujar Lintar selaku pemimpin
barisan kelasku.
Aku kembali menegakkan badanku, dengan tissue pemberian
Shilla aku menghapus keringat yang membanjiri wajahku.
Haduhhhhh....matahari kayanya ngajak ribut nih. Ngapain sih
mengeluarkan energi panas seterik itu, membuat keringatku semakin mengucur
deras saja. Aku berkali-kali menyeka keringatku dengan tissue yang lagi-lagi ku
dapatkan dengan cara meminta pada Shilla. Bukannya tak punya tissue sendiri,
hanya saja tissue ku tertinggal didalam tas jadilah aku selalu meminta.
Ngomong-ngomong soal tissue, itu memang sudah menjadi kebiasaan gank-ku untuk
mengantongi tissue. Sekedar antisipasi, kalau-kalau kami membutuhkan tissue
secara mendadak. Dan memang tissue kami terbukti bermanfaat, terutama bagi Pak
Abdul guru agama kami yang memang alergi debu. Terkadang beliau bersin-bersin
saat melewati anak-anak yang sedang bertugas piket dan kalau sedang tak
mengantongi tissue, Pak Abdul selalu menghampiri salah satu diantara kami.
Terik matahari
semakin menantang. Aku merasakan sakit diperutku, selain itu pandanganku
pun terasa mengabur. Aduhh...apa ini pengaruh tidak sarapan tadi pagi? Aku
memejamkan mataku sambil menahan sakit diperutku. Perlahan-lahan pandanganku
semakin mengabur dan kepalaku terasa pusing. Dari pada pingsan ditempat lebih
baik aku segera izin. Aku menarik-narik tangan Angel.
"Ngel, tolong
anterin gue sebentar, kepala gue pusing banget.." pintaku dengan suara
yang teramat lemah sambil memegangi perutku.
"Ya ampun Ify! Loe,
kenapa?!" seru Zahra pelan, aku hanya menggeleng. Kemudian dengan
dibantu Angel, aku keluar dari barisan menuju kelasku yang tak jauh dari
lapangan.
Aku sempat melihat tampang panik Rio, seseorang yang pernah
menyukai ku waktu kelas VII. Masih ingat?
Kebetulan, dia berdiri pada barisan paling belakang.
Dan entah aku salah liat atau itu memang benar, aku juga
sempat melihat tampang Alvin yang sepertinya juga -ehmm- mengkhawatirkanku. Atau aku yang GR?
***
Aku membuka lembaran buku paket Bahasa Indonesia milikku.
Hanya sekedar membuka tanpa membaca isinya. Jangankan membaca, melirik pun
tidak. Mataku menatap lurus ke depan. Entah mengapa saat ini aku justru
memikirkan Rio, orang yang pernah ku tolak mentah-mentah. Aku jadi teringat,
guratan wajah paniknya tadi pagi. Untuk ku kah?
"Eh Fy, loe tau nggak
tadi tuh yah Alvin khawatir gitu pas loe mau pingsan.." ujar Lintar
yang tiba-tiba sudah berdiri didepanku, disampingku Debo mengangguk-angguk
setuju.
"Apaan sih~"
"Yee...nggak percaya, tadi tuh yah dia panik
banget tau, ya kan, Deb?" ujar Lintar -lagi- meminta persetujan Debo.
"Iya Fy, dia
bilang gini 'Ify kenapa tuh?' sambil
clingukan gitu.." tambah Debo,
aku tak tahu maksud kedua orang ini. Membuatku GR kah? Atau memang kenyataannya
demikian?
Aku merasa jantungku berdetak lebih cepat, tiba-tiba rasa
senang itu merasuki tubuhku. "Udah
ah, gue mau ke depan." aku
berusaha menghindari Lintar dan Debo yang terus-terusan menggodaku. Ketika aku
hampir berada di ambang pintu kelas, Alvin juga ingin memasuki kelas dan nyaris
saja kami bertabrakan.
"Ecieee...yang
dikhawatirin Alvin~" goda Lintar.
"Ecieee...yang
ngekhawatirin Ify~" tambah Debo,
aku membuang muka dan segera meninggalkan kelasku.
-----
Hemmm...senyum tipis menghiasi bibirku saat ini, aku
merindukan masa-masa itu. Masa-masa dimana aku diolok-olok dengan Alvin, aku
merindukannya. Aku meraba permukaan meja yang pernah menjadi mejaku dulu, satu
yang membuatku terkejut. Ukiran itu....ukiran sederhana yang dibuat dengan
menggunakan, entahlah mungkin penggaris mungkin juga silet. Alvin cinta Ify,
tulisan sederhana yang dibingkai dengan ukiran berbentuk hati yang
mengelilinginya. Ukiran itu bukan buatan tanganku ataupun Alvin, melainkan
Lintar...
To be continue
•••••
0 komentar:
Posting Komentar