Dalam hatiku ada kamu
Namun dihatimu, adakah aku?
Tolonglah katakan, sayang...
Karena ku rasa kini kau, berubah..
•••••
Kurang
perhatian, kurang kasih sayang, merasa terlupakan itulah yang aku rasakan. Aku
seseorang yang sudah memiliki kekasih, tapi bagaikan seorang wanita single dalam keadaan terikat.
Sebenernya
apa yang dia pikirkan? Sampai-sampai, aku merasa digantung seperti ini.
Aku tak
mempermasalahkan kesibukannya -yang
entah apa aku tak tahu, karena memang tak pernah sekalipun ia memberitahukannya
kepadaku- yang kian menanjak belakangan ini. Aku juga tak meributkan
minimnya waktu kebersamaan yang bisa kami lewati. Hanya saja, bisakah perhatian
itu tetap ia berikan?
Sekedar "say
hi" pun sepertinya terlalu enggan ia lakukan. Lebih dari seminggu
ini, inbox di ponselku bersih dari
namanya. Sedangkan out box? Oh may...80
% dari semua pesan keluar yang tersimpan disana ku tujukan hanya untuknya!
Lebih dari
seminggu ini pula, daftar panggilan keluar dalam ponselku diisi secara -mungkin- tetap oleh namanya.
Lost contact!
Terkecuali
disekolah. Oh no..bahkan disekolah
pun ia seperti melenyapkan diri dariku. Hi!
What's wrong with you?!
"Udahlah, Fy.. Mending loe lupain Rio,
dan mulai belajar buat ngebuka hati loe ke cowok-cowok lain."
ujar Agni disuatu ketika, saat aku
menyampaikan seluruh unek-unek yang memenuhi otakku.
Aku
mendesah lirih. "Nggak semudah itu,
Ag.. Loe tau sendiri, kan? Gue--"
"--teramat sayang dan nggak bisa kalau
harus pisah sama Rio, right?"
potong Agni dengan menatap tajam pada
kedua bola mataku.
Aku
mengangkat sebelah alisku, kemudian mengangguk pelan.
Agni
melengos. "Oh may.. Come on, Fy! Elo
bahkan udah lost contact, sa-tu-ming-gu!" ucapnya sambil menekankan
kata satu minggu tadi, lengkap dengan sebuah telunjuk yang mengacung didepanku. "Satu minggu kalian kayak orang
jomblo," Agni menepuk jidatnya. "Oh
God..bahkan lebih parah! Kalian kayak orang yang nggak saling kenal! Never
meet!"
Oke, untuk
penuturan Agni yang ini aku tak bisa menyangkal. Lalu, apa yang bisa dilakukan
oleh seorang gadis yang-terlalu-cinta sepertiku? Meninggalkannya kemudian
menangisinya dalam jangka waktu yang tidak bisa ditentukan? Atau tetap
bersamanya sambil menyimpan sejuta luka yang terus menggores tanpa tahu kapan
akan menghilang?
"So, gue harus gimana? Tiba-tiba putus
tanpa kata putus adalah hal terbodoh yang pernah ada dalam suatu
hubungan!"
ucapku. "Senggaknya itu menurut
gue."
Agni
mengambil ice lemon tea didepannya,
dan menyedotnya dengan khidmat. Ia memejamkan kedua matanya, kemudian
menghembuskan nafas secara perlahan. Membuatku yang sedang memperhatikannya,
mengernyit heran. Woo..what are you
doing, Ag?
"Kalian ketemu, duduk berdua, obrolin
dan selesein semuanya!"
Keputusan
yang bagus. Tapi bagaimana caranya aku mengajak Rio untuk mau bertemu denganku
sedangkan kenyataanya, dia selalu menghindariku.
"Elo tau banget kan, Ag.. Seminggu ini
Rio kayak sengaja ngindarin gue. Telphone nggak di angkat, sms nggak dibales,
jadi gimana?"
tanyaku
putus asa.
Agni
mengetuk-ngetukkan telunjuknya diatas meja, sambil ber 'am-em-am-em' ria.
Tuk.
"Nggak
bisa pake cara halus, terpaksa loe harus make cara kasar!
You say what?!
Walau dirimu masih milikku
Namun ku ragu akan cintamu
Ku mohon katakan, sayang...
Karena ku takut kehilangan cintamu
•••••
Brakk...
Aku
terkejut saat secara tiba-tiba, Rio menghempaskan kedua tangannya diatas meja
dengan keras. Ya, beberapa menit yang lalu -seperti
saran Agni- aku mencegatnya dilorong kelas, dan menggiringnya menuju
cafetaria yang mulai sepi.
"Itu lagi, itu lagi, itu lagi! Gue
bosen dengerin omongan loe yang itu-itu aja!"
bentaknya pelan.
Aku
ternganga.
Itu lagi?
Itu lagi, dia bilang?!
Aku hanya
menanyakan penyebab perubahan sikapnya. Apa aku punya salah? Bilang! Biar aku
minta maaf. Biar aku bisa memperbaiki semua kesalahanku.
Apa salah
kalau aku mengucapkan semua kata-kata itu?
Masih
dengan mulut setengah terbuka, aku menatapnya dengan pandangan tidak percaya.
"Elo kenapa sih, Yo? Gue cuma minta
elo jelasin apa yang salah dari gue! Itu doang! Tapi kenapa sih loe nggak mau
ngerti?!"
Aku muak.
Sekian lama aku mencoba bersabar menghadapi sikap aneh -yang baru-baru saja ada- Rio. Ingin pergi, tapi buatku itu terlalu
sulit.
"Elo yang kenapa?!"
Ia mengarahkan telunjuknya tepat didepan
mukaku. "Elo ngomong seakan-akan gue
udah ngekhiantin elo! Elo ngomong seakan-akan gue selingkuh dibelakang
elo!"
Hahh?! Apa
salahku juga, kalau tadi aku bertanya,
"apa ada yang lain dihati loe, selain gue?"
Aku hanya
bertanya, bukan menuduh!
Kalau
memang ada, biar aku yang mundur. Meski memang tak kan mudah.
Aku mulai
memegangi kepalaku yang terasa pening. Oh
God..
"Gue cuman nanya, Yo, dan elo cuman
perlu jawab, iya atau nggak.."
ucapku halus, mencoba menyabarkan hatiku.
Karena aku tak ingin pertemuan hari ini membawaku pada suatu hal yang paling ku
hindari.
Aku
menatapnya sendu. Ia mulai memejamkan kedua matanya, dan meremas kepalanya
sekilas.
"Huft, Fy.."
ia mendesah sambil menatapku dengan putus
asa. Kamu kenapa sih, Yo?
Di
cengkramnya kedua pundakku dengan lembut, dan..hangat. "Yang perlu loe tau, yang perlu loe inget, sampe hari ini..gue
masih cowok loe, dan bukan cowok dari orang lain." ucapnya penuh
penekanan, kedua matanya menatap bola mataku dengan hangat, seolah-olah ingin
menyampaikan sesuatu namun tak bisa.
Aku menatap
tak mengerti kepadanya. Bukannya menjelaskan lebih detail, ia memilih pergi
meninggalkanku.
"Rio! Gue cuman pengen loe tau, gue
sayang banget sama loe! Gue nggak mau kehilangan loe!"
teriak ku tak terkontrol. Seolah lupa
bahwa saat ini aku berada ditempat umum. Cafetaria memang mulai sepi, tapi
bukan berarti tak ber-orang, kan?
Air mata
dan keringat bercampur jadi satu, membasahi wajahku.
Rio yang
sepertinya mendengar teriakanku hanya menghentikan langkahnya sebentar, tanpa
menengok, dan kembali meneruskan langkahnya sambil mengacak-acak rambut
hitamnya.
"Gue sayang sama loe, Yo.. Sayang
banget..hikss.."
ucapku lirih.
Brukk..
aku menghempaskan kembali tubuhku dibangku
cafetaria ini. Kemudian menenggelamkan wajahku diatas meja, hingga sebuah
usapan lembut mendarat dipundakku.
"Sabar, Fy.."
Agni. Pasti
dia! Sahabat terbaik yang selalu bisa mengerti akan keadaanku. Tanpa berkata
apa-apa, aku langsung berbalik menghadapnya, dan menangis dipelukannya.
"Rio kenapa sih, Ag? Hikss... Kenapa
dia berubah banget? Hikss.. Dia nggak
pernah ngebentak gue sebelumnya..hikss.. Dia.. Dia nggak pernah sekasar ini
sama gue.."
Agni
menenangkanku dalam dekapannya. Mengusap lembut punggungku, membuat perasaanku
lebih tenang.
"Semua pertanyaan ada jawabannya, Fy.
Meskipun sulit ditemuin, tapi pasti ada. Dan gue bakal ngebantu loe untuk
nemuin jawaban itu!"
janjinya padaku.
Aku
menguraikan pelukan kami, dan menatap Agni penuh terima kasih. "Thanks yah, Ag.. Elo selalu bisa
ngebuat gue lebih tenang."
Agni
tersenyum sangat manis. "That's what
friends are for, kan, Fy?"
Aku
mengangguk.
"Udah ah, stop nangisin dia! Liat
tuh.."
Agni
menunjuk wajahku. "Muka loe jadi
jelek banget.." lanjutnya sambil memeletkan lidah. Kemudian berlari
meninggalkanku.
"Agniii! Jangan lari, loe!"
Jujur saja kau anggap aku apa?
Mengapa kau tak berterus terang?
Jujur saja ku ragukan cintamu
Karena dirimu tak seperti dulu
•••••
Menikmati
pagi dengan berjogging ria bersama
Agni memanglah hal yang menyenangkan. Membahas berbagai macam hal yang kadang
sempat terlupakan ketika kami mulai dipusingkan dengan masalah percintaan kami
masing-masing. Salah satunya tentang kami, tentang persahabatan Ify dan Agni.
Ahahaa
"Dan elo tetap memilih untuk menjadi
secret admirer nya dia.
Sesuatu yang gue anggap terlalu bodoh,
karena sama aja loe nyiksa hati loe sendiri!"
ucapku pada Agni.
Yah, Agni
terlalu pemendam. Apa-apa dipendam. Marah, kesal, benci dan cinta pun selalu ia
pendam. Sampai-sampai, lebih dari satu setengah tahun masa putih abu-abu kami
ia lewati dengan memendam dalam perasaannya untuk bintang basket disekolah
kami.
Agni
melayangkan tinju halusnya dipundakku.
"Sialan loe. Gue bukan nyiksa diri, tapi cuman ngerasa belum nemuin waktu
yang tepat. Just it, kok!"
Aku tertawa
mengejek. "Ha-ha-ha.. Apa namanya
kalau bukan nyiksa diri sendiri, dengan pura-pura seneng waktu ngeliat dia lagi
having fun bareng Dea?" tanyaku telak, Agni terdiam dengan mata
menyipit. "Loe pasti cemburu, kan? Ngeliat
dia ngajarin Dea ngebasket lah, hang out bareng Dea lah, non--"
"Stop it!"
Agni membekap mulutku dengan cepat. "Jelek banget sih, loe! Sahabat sendiri
digituin.."
Hahaha Agni
ngambek nih ceritanya.. Mulutnya sudah manyun sempurna sambil membuang muka.
Aku baru
saja akan membujuknya ketika secara tak sengaja kedua bola mataku menangkap
sosok yang ...
"Fy! Fy! Fy!!"
Aku
terkesiap dan lantas menatap Agni yang tengah melambai-lambaikan kelima jarinya
didepan wajahku, dengan perasaan tak karuan.
"Ri--"
Aku
mengangguk lirih, mengerti kemana arah ucapannya. "Iya, Rio, sama..Dea.." ucapku agak berat diakhir
kalimat.
Tiba-tiba
aku merasa ingin menertawakan diriku sendiri. Baru saja aku menyebut-nyebut Dea
saat mengejek Agni, eh..kenyataannya justru aku lah yang merasa terejek ketika
melihat gadis cantik itu, berjalan bersisian dengan Rio, kekasihku. Atau
mungkin calon mantan kekasih-ku?
Sebuah
rangkulan hangat kembali menyapa tubuhku, disusul dengan senyum penyemangat
yang dihadirkan oleh seorang gadis manis, Agni sahabatku.
"Apapun yang terjadi, jangan langsung
percaya sama apa yang loe liat, penjelasan dari Rio juga perlu loe dengerin,
Fy."
ucapnya
bijak.
Hahh..
Penjelasan macam apalagi yang harus ku
dengar? Penjelasan kalau selama ini Dea lah alasannya menjauhiku? Atau
penjelasan bahwa memang kami -aku dan
Rio- sudah game over, dan mereka -Rio dan Dea- akan memulai permainan
baru?
"Ntahlah, Ag. Kurang apalagi sih gue
selama ini? Kok Rio setega itu sama gue?"
tanyaku miris.
Agni
mengeratkan rangkulannya. Kemudian tanpa berkata apapun, ia menuntun langkahku,
untuk meninggalkan taman menyebalkan ini dengan segera.
Jujur saja kau menganggap ku apa?
Mengapa kau tak berterus terang?
Jujur saja, jujurlah saja
Walau dirimu tak lagi untukku
•••••
Hening.
25 menit
jam kosong dikelasku ku gunakan dengan menyambangi taman belakang sekolah yang
masih sepi.
Jangan
tanya dimana Agni, karena saat jam kosong seperti ini, ia lebih memilih untuk
mengintai sang bintang basket pujaan hatinya.
"Huhhh.."
Aku
menghembuskan nafas panjangku dengan mata terpejam. Berharap dengan hembusan
nafas ini, semua masalah yang memenuhi otakku ikut menghilang walau hanya
sesaat.
"Seandainya elo tau, Yo... Gue kangen
banget sama loe... Apa loe nggak kangen sama gue?"
tanyaku lirih. Ku tekuk kedua lututku dan
kemudian menumpukan kepalaku padanya.
"Hampir dua minggu kita jalan
sendiri-sendiri. Sekalinya ketemu...malah berantem kayak tentara mau
perang."
Aku
menengadahkan wajahku menatap langit luas. Memperhatikan putihnya awan yang
entah mengapa terlihat membentuk menjadi senyuman nya, senyuman Rio.
"Gue kangen liat senyum loe,
Yo.."
aku
tertawa lirih, miris, sedih. Sakit rasanya saat membayangkan senyum manis yang
dulu selalu menyapa hariku, kini menghilang dan membuat hari-hariku
menjadi..suram..
"Maaf.."
Hahh?!
Maaf? Suara
siapa?
"Maafin gue, Fy.."
Aku
mengangkat sebelah alisku. Dengan sedikit ragu aku berniat menengok ke
belakang. Belum sempat niatku terlaksana, sebuah dekapan hangat telah
membungkus tubuhku, diiringi isakan tertahan.
Rio?
"Maafin gue, Fy.."
"Yo.."
Rio masih terisak. "Maaf, Fy.."
Baru saja
aku ingin mengucapkan sederet kalimat kerinduan bercampur kebahagiaan, aku
sudah teringat akan kejadian kemarin. Sakit? Jelas aku merasakannya.
Dengan
sekali sentakan aku membebaskan diri dari pelukan Rio, dan menatapnya dengan
putus asa.
"Maaf? Maaf loe, bilang?"
tanyaku dengan intonasi pelan. Ia
mengangguk.
"Setelah semua yang loe lakuin ke gue?
Loe bikin gue nangis tiap malam! Loe bikin gue ngerasa bersalah tiap hari! Loe
bikin gue mikirin gimana caranya supaya elo balik lagi jadi dulu tiap
waktu!"
aku
mengutarakan semua emosi terpendam dalam hatiku dengan meluap-luap.
Rio
terdiam, entah merasa bersalah atau apa aku tak tahu.
"Dan elo dengan gampangnya bilang
maaf?"
tanyaku, aku menggeleng tak percaya.
"Kalau aja gue nggak ngeliat elo sama Dea ditaman pagi kemaren, mungkin
gue bakal tersentuh, bahagia, dan langsung maafin loe, Yo! Tap--"
"Itu nggak seperti yang loe liat, Fy!
Gue udah bilang, cuman elo cewek yang gue punya, dan sampe detik ini semua itu
ngga berubah, Fy.."
"Terus Dea?!"
tanyaku cepat.
"Dea.."
Rio terdiam, tak melanjutkan kalimatnya.
Come on,
Yo! Jelasin ke aku, apa hubungan kamu sama
Dea? Kenapa selama ini kamu ngejauhin aku? Kenapa kamu berubah?
"Kenapa diem? Bingung mau jawab
apa?!"
tanyaku
lagi. Rio tetap diam. Aku mulai tak bisa menahan laju air mata yang sudah
menganak sungai di pelupuk mataku.
"Tolong bilang kalau emang elo udah nggak sayang lagi sama gue, Yo...
Jangan gantungin gue kayak gini.. Sakit, Yo.." pintaku.
Rio
menggeleng, ia mulai melangkah maju mendekatiku. "Nggak, Fy. Nggak! Gue masih sayang sama loe! Gue sayang banget
sama loe!" ucapnya dengan kedua tangan yang telah menyentuh pundakku.
"Bulshit! Kalau emang loe sayang sama
gue, jelasin kenapa elo ngejauhin gue? Kenapa elo berubah? Ada hubungan apa
antara elo sama Dea?! Kasih tau gue, Yo!"
raungku
Tett..tett..tettt
Bel tanda
istirahat berbunyi.
Rio mulai
mengusap wajahnya yang acak-acakkan, kemudian menengok ke belakang. Mungkin
memastikan bahwa ditempat ini, hanya ada kami.
"Kenapa loe nggak jawab gue,
Yo?!"
Rio menghempaskan
kedua tangannya ke sisi tubuhnya.
"Please jangan desak gue, Fy! Gue nggak bisa."
"Terus loe bisanya apa? Nyakitin gue?
Ngegantungin gue?!"
"Ka--"
"Kita putus!"
ucapku tanpa pikir panjang.
Rio ternganga,
aku sendiri merutuki sikap gegebahku. Tak mungkin aku menarik lagi ucapanku,
kan?"
"Fine! Ki-ta pu..tus.."
ucapnya lirih, tubuhnya berbalik dan mulai
melangkah gontai dengan kepala tertunduk.
Dan semua
benar-benar berakhir. Rio meninggalkanku sendiri, diantara perasaan sakit,
menyesal dan tak percaya.
Mengapa
secepat ini?
-----
Dan semua
benar-benar berakhir!
Muahahahaa..ini
cerita mungkin alurnya, ide ceritanya, pokoknya semuanya emang aneh, nggak
jelas, buram (?), apabanget lah... Tapi yaaaa...namanya orang suram (?), banyak
pikiran, dan bener-bener deh perasaannya kacau, kayaknya wajar kalau yang
dihasilkan malah kerandoman seperti ini.
Back to my
short story!
Ekhem,
berhubung titik permasalahan dicerita ini tidak ditemukan, kayaknya bakal ada
sekuel deh. Eitsss! Tapi on plan! Udah on the way juga sih sebenernya, hampir
ke pertengahan mungkin sedikit nyelesein intinya udah bisa masuk ke ending
terus dipost deh \m/ . Errr tolong tinggalkan kritik dan saran dalam kolom
komentar dibawah ini jika berminat!
Memories menyusul yahhh…
FYI...
song title : Jujur Saja
artist : Wonder Boys
fhoto : sumber dari blog orang yang gue lupa nama alamatnya, izin save + copast yakkk :D
Seeyaa..
Nia
'nistev' stevania_
0 komentar:
Posting Komentar