Lama sudah ku pendam ini..
Lama sudah ku makan hati, menghadapimu..
-----
Lama sudah ku makan hati, menghadapimu..
-----
Menekan rasa sakit yang kian menusuk tepat diulu hati. Meredam
setumpuk amarah yang kian menggunung dibenak ini, tealh ku lakukan bukan hanya
untuk sekali. Ironisnya, semua terjadi hanya karena satu orang yang sama, orang
yang mengaku cinta namun justru membuatku tersiksa. Ingin berakhir, tapi sulit
bagiku untuk mengakhirinya. Dia begitu indah tuk ku benci.
“Loe
itu terlalu banyak bersabar, Fy..” Ujar Sivia disuatu kesempatan, saat aku sedang
menunggu giliran tampil di salah satu event sekolah.
Dan Pricilla pun menambahkan.
“Cinta emang butuh pengorbanan, tapi ini udah bukan pengorbanan lagi namanya,
Fy..”
Aku hanya terdiam kala itu. Karena bagaimana pun juga, mereka benar
Huftt..berulang kali aku membuang nafas. Jengah dengan keadaan yang ku alami saat ini. Mungkin memang sudah seharusnya semua ini di sudahi. Tapi bagaimana caranya?
Teringat disaat dia yang berulang kali mengabaikanku demi hal lain—yang ia sebut penting, dan aku hanya bisa tersenyum memakluminya. Mengabaikan semua desas-desus buruk yang mengatakan, bahwa ia telah mendua.
***
Aku tersenyum lega saat melihat dia yang masih duduk manis dibangkunya, membereskan buku-buku pelajaran yang berserakan diatas meja. Perlahan, aku melangkah mendekatinya, dan memberanikan diri untuk menyentuh pundaknya.
Aku hanya terdiam kala itu. Karena bagaimana pun juga, mereka benar
Huftt..berulang kali aku membuang nafas. Jengah dengan keadaan yang ku alami saat ini. Mungkin memang sudah seharusnya semua ini di sudahi. Tapi bagaimana caranya?
Teringat disaat dia yang berulang kali mengabaikanku demi hal lain—yang ia sebut penting, dan aku hanya bisa tersenyum memakluminya. Mengabaikan semua desas-desus buruk yang mengatakan, bahwa ia telah mendua.
***
Aku tersenyum lega saat melihat dia yang masih duduk manis dibangkunya, membereskan buku-buku pelajaran yang berserakan diatas meja. Perlahan, aku melangkah mendekatinya, dan memberanikan diri untuk menyentuh pundaknya.
“Yo,”
“Hemm…” Dia berdehem tanpa menatapku, tetap dengan kesibukannya.
Aku mendesah pelan, “Errr..hari ini, kamu jadi nemenin aku ke tempat les, kan?” Tanyaku penuh harap. Dia mulai meraih ranselnya, dan menyampirkan dipundaknya. Tanpa menjawab pertanyaanku, dia mulai melangkah hendak keluar. Aku kembali mendesah, kali ini diiringi rasa kecewa. Tapi aku sudah cukup terbiasa dengan sikap barunya ini. Baru? Karena memang dia berubah acuh seperti ini sejak 2 minggu yang lalu. Aku menyabarkan hatiku, kemudian mengikuti langkahnya. “Kamu udah janji lho, Yo…” Sambungku, sedikit mengingatkan janjinya dua hari yang lalu, menemaniku les piano sebagai ganti batalnya acara menonton kami waktu itu.
Aku terkaget saat menyadari dia menghentikan langkahnya. Setelah menghembuskan nafas, ia mulai menatapku dengan tatapan sayaunya. Tatapan yan terbukti ampuh untuk meluluh lantakkan hatiku, seperti biasanya.
“Fy, hari ini aku ada janji buat belajar bareng Dea, sorry..”
Aku tersenyum masam mendengarnya. Dea lagi?
“Tapi kan kamu udah janji..” Sahutku pelan.
“But, sorry to say—“
Aku buru-buru menyela ucapannya, “—hari ini kan aku ada ujian memainkan musik klasik, Yo. Kamu pernah bilang pengen liat aku mainin musik kalsik dengan bagus. Ak—“
“Fy, please dong! Jangan kayak anak kecil!” Aku menunduk, ketika mendengar nada suaranya yang mulai meninggi. “Aku kan bisa liat kamu main piano ntar di rumah kamu—“
“Ya, ya, ya, sorry. Aku egois..” Potongku cepat. “Aku duluan, Yo. Have fun belajarnya..” Pamitku.
Kata have fun yang ku lontarkan sebenarnya lebih bermakna sindiran. Tapi, ntahlah. Mungkin ia pun tak ambil pusing dengan sindiran halus dariku tersebut.
Hahh..rasanya aku ingin menangis. Tapi, untuk apa?
Bukankah aku suah biasa mengalami ini semua?
***
Aku berulang kali menghembuskan nafas lega. Sebuah ujian yang sangat ku tunggu-tunggu akhirnya berhassil ku lalui dengan baik, meskipun tanpa dia. Ugh, kenapa aku harus kembali mengingatnya? Dia mungkin sedang asyik belajar bersama dengan Kak Dea, teman kelompak belajarnya. Tak memikirkanku? Sepertinya iya.
Sebaiknya, aku refreshing sedikit sebelum pulang ke rumah, sekedar untuk memperbiki moodku hari ini.
Aku memilih sebuah mall yang berada tak jauh dari tempat lesku. Kebetulan sekali, aku sepertinya sedang membutuhkan novel baru untuk menambah koleksi. Dengan santai aku menyusuri luasnya gedung ini seorang diri. Hingga dering ponselku bernyanyi, aku pun segera meraihnya.
“Ya, hallo! Kenapa, Vi?” Tanyaku langsung, begitu melihat nama pemanggil yang tertera didisplay ponselku.
Aku mendengar nada bicara Sivia yang sepertinya sedang menahan amarah. Sedikit mengernyit, aku melangkahkan kakiku sambil memasang kuping dengan baik untuk mendengarkan Sivia.
“Loe, jangan bercanda deh, Vi.. Rio bilang sendiri kok, kalau dia ada jadwal belajar bareng Kak Dea, bentar lagi kan UN, Vi..” Ak mencoba mengelak dari penuturan Sivia yang menyebutkan bahwa Rio sedang bersama Kak Dea di sebuah mall. Tetntu saja aku –sedikit- tidak percaya, bukankah Rio membatalkan janjinya denganku karena sebuah alasan? Alasan yang sudah ia jelaskan, dan itu bukan seperti apa yang baru saja Sivia bilang.
“Hemm…” Dia berdehem tanpa menatapku, tetap dengan kesibukannya.
Aku mendesah pelan, “Errr..hari ini, kamu jadi nemenin aku ke tempat les, kan?” Tanyaku penuh harap. Dia mulai meraih ranselnya, dan menyampirkan dipundaknya. Tanpa menjawab pertanyaanku, dia mulai melangkah hendak keluar. Aku kembali mendesah, kali ini diiringi rasa kecewa. Tapi aku sudah cukup terbiasa dengan sikap barunya ini. Baru? Karena memang dia berubah acuh seperti ini sejak 2 minggu yang lalu. Aku menyabarkan hatiku, kemudian mengikuti langkahnya. “Kamu udah janji lho, Yo…” Sambungku, sedikit mengingatkan janjinya dua hari yang lalu, menemaniku les piano sebagai ganti batalnya acara menonton kami waktu itu.
Aku terkaget saat menyadari dia menghentikan langkahnya. Setelah menghembuskan nafas, ia mulai menatapku dengan tatapan sayaunya. Tatapan yan terbukti ampuh untuk meluluh lantakkan hatiku, seperti biasanya.
“Fy, hari ini aku ada janji buat belajar bareng Dea, sorry..”
Aku tersenyum masam mendengarnya. Dea lagi?
“Tapi kan kamu udah janji..” Sahutku pelan.
“But, sorry to say—“
Aku buru-buru menyela ucapannya, “—hari ini kan aku ada ujian memainkan musik klasik, Yo. Kamu pernah bilang pengen liat aku mainin musik kalsik dengan bagus. Ak—“
“Fy, please dong! Jangan kayak anak kecil!” Aku menunduk, ketika mendengar nada suaranya yang mulai meninggi. “Aku kan bisa liat kamu main piano ntar di rumah kamu—“
“Ya, ya, ya, sorry. Aku egois..” Potongku cepat. “Aku duluan, Yo. Have fun belajarnya..” Pamitku.
Kata have fun yang ku lontarkan sebenarnya lebih bermakna sindiran. Tapi, ntahlah. Mungkin ia pun tak ambil pusing dengan sindiran halus dariku tersebut.
Hahh..rasanya aku ingin menangis. Tapi, untuk apa?
Bukankah aku suah biasa mengalami ini semua?
***
Aku berulang kali menghembuskan nafas lega. Sebuah ujian yang sangat ku tunggu-tunggu akhirnya berhassil ku lalui dengan baik, meskipun tanpa dia. Ugh, kenapa aku harus kembali mengingatnya? Dia mungkin sedang asyik belajar bersama dengan Kak Dea, teman kelompak belajarnya. Tak memikirkanku? Sepertinya iya.
Sebaiknya, aku refreshing sedikit sebelum pulang ke rumah, sekedar untuk memperbiki moodku hari ini.
Aku memilih sebuah mall yang berada tak jauh dari tempat lesku. Kebetulan sekali, aku sepertinya sedang membutuhkan novel baru untuk menambah koleksi. Dengan santai aku menyusuri luasnya gedung ini seorang diri. Hingga dering ponselku bernyanyi, aku pun segera meraihnya.
“Ya, hallo! Kenapa, Vi?” Tanyaku langsung, begitu melihat nama pemanggil yang tertera didisplay ponselku.
Aku mendengar nada bicara Sivia yang sepertinya sedang menahan amarah. Sedikit mengernyit, aku melangkahkan kakiku sambil memasang kuping dengan baik untuk mendengarkan Sivia.
“Loe, jangan bercanda deh, Vi.. Rio bilang sendiri kok, kalau dia ada jadwal belajar bareng Kak Dea, bentar lagi kan UN, Vi..” Ak mencoba mengelak dari penuturan Sivia yang menyebutkan bahwa Rio sedang bersama Kak Dea di sebuah mall. Tetntu saja aku –sedikit- tidak percaya, bukankah Rio membatalkan janjinya denganku karena sebuah alasan? Alasan yang sudah ia jelaskan, dan itu bukan seperti apa yang baru saja Sivia bilang.
“Dan
loe percaya, gitu?! Non..loe inget deh, inget! Rio udah pernah bo’ong sama loe
dan itu nggak cuman sekali..”
Hening…
Dan kalimat Sivia barusan, terasa menyudutkan. Memang untuk yang satu ini, hatiku pun membenarkannya. Lantas, apa yang harus ku laku kan?
“Sorry, Fy, sorry.. Gue nggak bermaksud—“
Aku menggeleng pelan, meski ku tahu Sivia takkan melihatnya. “Nggak, Vi.. Gue ngerti kok, thanks udah perhatian sama..”
Brukk..
Oh my, aku baru saja menabrak seseorang!
Buru-buru ku putuskan sambungan telponku, dan mengabaikan suara Sivia yang terdengar bingung –mungkin- karena suara ku yang tiba-tiba terhenti.
“Ah, maaf-maaf, gue ggak sengaja..” Ucapku pelan, sambil memunguti beberapa lembar foto yang tersebar di lantai. Ku dengar desahan kesal seorang wanita yang sepertinya menjadi ‘korban’ ku.
Sepertinya dua muda-mudi –yang belum ku ketahui siapa namanya, karena yang baru ku lihat hanya alas kaki yang mereka kenakan— ini baru saja keluar dari salah satu photobox didekat sini.
Nafasku seakan tertahan, saat kedua bola mata ini menangkap sosok yang berada paa lembar foto tersebut. Dengan hati tak menentu, aku mengangkat wajah. Sambil berdoa dalam hati, semoga penafsiran ku salah.
“In..Ri..o?” Aku menutup mulut dengan tangan kananku saat mendapati kenyataan bahwa sepasang manusia yang saling merangkul dihadapanku ini memang Rio dan…Kak Dea.
Hening…
Dan kalimat Sivia barusan, terasa menyudutkan. Memang untuk yang satu ini, hatiku pun membenarkannya. Lantas, apa yang harus ku laku kan?
“Sorry, Fy, sorry.. Gue nggak bermaksud—“
Aku menggeleng pelan, meski ku tahu Sivia takkan melihatnya. “Nggak, Vi.. Gue ngerti kok, thanks udah perhatian sama..”
Brukk..
Oh my, aku baru saja menabrak seseorang!
Buru-buru ku putuskan sambungan telponku, dan mengabaikan suara Sivia yang terdengar bingung –mungkin- karena suara ku yang tiba-tiba terhenti.
“Ah, maaf-maaf, gue ggak sengaja..” Ucapku pelan, sambil memunguti beberapa lembar foto yang tersebar di lantai. Ku dengar desahan kesal seorang wanita yang sepertinya menjadi ‘korban’ ku.
Sepertinya dua muda-mudi –yang belum ku ketahui siapa namanya, karena yang baru ku lihat hanya alas kaki yang mereka kenakan— ini baru saja keluar dari salah satu photobox didekat sini.
Nafasku seakan tertahan, saat kedua bola mata ini menangkap sosok yang berada paa lembar foto tersebut. Dengan hati tak menentu, aku mengangkat wajah. Sambil berdoa dalam hati, semoga penafsiran ku salah.
“In..Ri..o?” Aku menutup mulut dengan tangan kananku saat mendapati kenyataan bahwa sepasang manusia yang saling merangkul dihadapanku ini memang Rio dan…Kak Dea.
“If..Ify..”
Aku menggeleng tak percaya. “Oh,
jadi gini cara kamu belajar bareng?!” Tanyaku dengan nada tak suka. “Belajar bareng, atau foto bareng sih?!”
Tanyaku lagi.
Dia mulai melepaskan rangkulannya pada Kak Dea yang sedang memasang tatapan tidak sukanya padaku. Kemudian, beralih menyentuh kedua bahuku. “Fy, aku bisa jelasin. Kamu sekarang pulang ke rumah dan tunggu aku disana.” Pintanya.
Aku tertawa miris. Semudah itu?
Ku lemparkan foto-foto milik mereka dengan kasar, dan bersiap pergi.
“Nggak perlu!”
Dengan cepat aku meninggalkan mereka. Samar-samar aku masih mendengar suaranya yang menyerukan namaku.
Pernahkah dia tahu? Berada di posisiku ini sangat sulit!
Sangat sakit! Mencintai dengan sepenuh hati, dan dibalas dengan sikap –yang terkesan— tidak perduli seperti ini. Jadi, untuk apa dia meminta hatiku saat itu? Untuk disakiti?
Ini semua tentang dirimu
Tentang caramu, memperlakukanku
-----
To : Mario
Yo, ke rumah sekarang bisa?
ada yang mau aku omongin.
Send!
Aku melemparkan ponsel tersebut ke atas kasur, setelah memastikan pesan yang baru saja aku ketik telah terkirim.
Huhhh..akhirnya, setelah sempat terjadi perdebatan antara hati dan pikiran, aku rasa memang seharusnya aku melakukan sesuatu. Sesuatu yang menyakitkan, tapi akan membawaku keluar dari penderitaan, tentu jauh lebih baik dibanding dengan bertahan hanya untuk suat yang sia-sia, kan?
Maka izinkan aku memilih jalan bahagia untuk diriku sendiri.
Dia mulai melepaskan rangkulannya pada Kak Dea yang sedang memasang tatapan tidak sukanya padaku. Kemudian, beralih menyentuh kedua bahuku. “Fy, aku bisa jelasin. Kamu sekarang pulang ke rumah dan tunggu aku disana.” Pintanya.
Aku tertawa miris. Semudah itu?
Ku lemparkan foto-foto milik mereka dengan kasar, dan bersiap pergi.
“Nggak perlu!”
Dengan cepat aku meninggalkan mereka. Samar-samar aku masih mendengar suaranya yang menyerukan namaku.
Pernahkah dia tahu? Berada di posisiku ini sangat sulit!
Sangat sakit! Mencintai dengan sepenuh hati, dan dibalas dengan sikap –yang terkesan— tidak perduli seperti ini. Jadi, untuk apa dia meminta hatiku saat itu? Untuk disakiti?
Ini semua tentang dirimu
Tentang caramu, memperlakukanku
-----
To : Mario
Yo, ke rumah sekarang bisa?
ada yang mau aku omongin.
Send!
Aku melemparkan ponsel tersebut ke atas kasur, setelah memastikan pesan yang baru saja aku ketik telah terkirim.
Huhhh..akhirnya, setelah sempat terjadi perdebatan antara hati dan pikiran, aku rasa memang seharusnya aku melakukan sesuatu. Sesuatu yang menyakitkan, tapi akan membawaku keluar dari penderitaan, tentu jauh lebih baik dibanding dengan bertahan hanya untuk suat yang sia-sia, kan?
Maka izinkan aku memilih jalan bahagia untuk diriku sendiri.
Biarkan aku berbicara, tentang dia dan sikapnya.
Tentang hatiku yang terluka, karena perlakuannya.
***
Hanya keheningan yang ada diantara aku dan dia,
yang sedang duduk santai ditaman belakang rumahku. Ah, mungkin hanya dia yang
santai. Aku? Aku justru sedang berusaha mengolah hati dan emosiku sebelum aku
benar-benar memulai cerita yang ingin ku dongengkan. Aku..
"Fy,"
Suaranya memecahkan konsentrasi yang sedang ku susun. Dengan gerakan pelan, aku
memutar pandanganku ke arahnya. "Kamu
nyuruh aku kesini cuman buat diem-dieman kayak gini doang?" Sambungnya
bertanya,
dengan nada bicara yang –sungguh, aku tidak menyukainya.
Terdengar malas dan bosan. Entah malas karena bersamaku, atau bosan karena aksi
diamku.
“Kita udah lama
nggak punya waktu berdua, Yo..” Desahku
lirih.
Aku bisa mendengar halus hembusan nafasnya. “Err..okay, jadi kamu mau nya hari ini kita
ngapain? Jalan-jalan? Nonton? Atau duduk berdua sambil
diem-dieman nggak jelas gini?” Tanya
nya lagi, kali ini nada bicara yang ku rindukanlah yang ia suguhkan. Lembut dan
penuh perhatian. Kedua tangannya bertumpu pada paha, dan membiarkan kedua
tangannya menahan bobot wajah yang mulai menatapku lembut.
Aku tak ingin terbuai. Setidaknya untuk saat ini.
Karena jika itu terjadi, dapat ku pastikan segala kalimat yang telah aku susun
sedemikan rupa akan berantakan.
“Duduk disini, temenin aku dan..dengerin
cerita aku..” Jawabku
dengan wajah menunduk. Jemari saling terkait, semoga itu bisa sedikit menekan
kegugupanku.
Dia mulai memperbaiki posisi duduknya, dan menatap antusias padaku. “Okay, kamu akan berdongeng dan
aku akan dengerin. Silahkan..”
Aku
menelan saliva –yang entah mengapa begitu sulit ku teguk— dengan
bersusah payah. Dan kemudian, memulai cerita..
“Ini tentang..dia..” Ucapku
agak berat.
Dia menyatukan kedua alisnya, bingung. “Dia?”
Aku mengangguk tanpa menjawab, kemudian meneruskan ceritaku. “Dia, seorang pria yang dicintai seorang wanita.
Dia yang baik, dia yang ramah, dia yang pengertian, dia yang penyayang, dia
yang...mulai berubah semenjak kedatang seorang
gadis lain dikehidupannya.”
“Oh ya? Kok bisa gitu?”
Aku mengangkat kedua bahuku dengan acuh. “Entahlah, mungkin ada daya tarik tersendiri
yang--mungkin, hanya ada pada gadis 'baru' tersebut. Sedangkan gadisnya yang
dulu, yang masih berstatuskan sebagai
kekasihnya, mulai membosankan.”
“Berarti tu cowok nggak bener-bener cinta, Fy.
Buktinya, ada yang baru ngelupain yang lama.”
Responnya dengan kepala menggeleng.
Aku tertawa miris dalam hati. Oh, jadi dia tidak
benar-benar mencintaiku?
“Semenjak dekat dengan gadis 'baru' itu, dia
seperti melupakan pacarnya, menganggap nggak penting tentang apa yang dianggap
pacarnya penting, dan bahkan dengan terang-terangan memilih
untuk menepati janji yang..” Aku
mengambil jeda
sekedar untuk menghela nafas. “..mungkin baru dia buat dengan gadis 'baru' itu,
daripada janji yang sudah jauh-jauh
hari dia buat dengan pacarnya.”
Dia kembali merespon. Kali ini hanya dengan
gelengan kepala dan decakan lidah.
“Pacarnya sudah terlalu kecewa, Yo, tapi..alasan
klise, 'masih cinta' ngebuat dia terlalu sulit buat ngelepasin cowok yang sudah
jelas nyia-nyiain dia.”
“Wawww! Cewek yang hebat. Aku salut sama dia!
Kalau aku jadi cowok itu, aku nggak bakal
nyia-nyiain cewek kayak dia.”
Lagi-lagi aku tertawa dalam hati. Jadi aku hebat?
Lantas, apa yang dia lakukan kepadaku sekarang?
Bukankah dia telah menyia-nyiakan ku?
“Menurut kamu, baiknya..cewek itu gimana, Yo?
Apa yang harus dia lakuin?”
“Cari cowok lain kali, Fy. Cowok di dunia ini
nggak cuman satu. Dan aku yakin, cewek baik kayak dia pasti bisa ngedapetin
cowok yang lebih baik dari pacarnya
yang kurang ajar itu.” Jawabnya menggebu-gebu.
Jadi, itu artinya aku harus mundur?
Aku harus melepaskanmu, Mario?
“Kalau dia cinta banget, sampe ngerasa nggak bisa
hidup tanpa cowok itu, apa dia tetep
harus ngelepasin cowok itu?!”
Tanyaku lagi, tanpa sadar nada bicaraku mulai terdengar menantang.
Ia mengangkat sebelah alisnya, mungkin tak
mengerti dengan alasan perubahan nada bicaraku.
“Ya, ya..kan jelas, Fy, cewek baik-baik, juga akan
mendapatkan cowok baik-baik. We'll see, cowok dia itu nggak baik, dan untuk
cewek baik kayak dia, berarti tu cowok emang pantes
dilepas.”
Hehhh..jadi memang sebaiknya aku melepaskanmu,
Mario?
“Sebenernya ini tentang siapa sih, Fy?” Tanya
nya kemudian.
Tentang kamu, Rio!
Kalau saja aku mampu, mungkin kalimat itu yang akan
aku lontarkan. Namun kenyataannya, aku
justru memilih untuk menggeleng sambil memejamkan mataku sebentar. Berharap
sedikit kepenatan diotak ku menguap sementara.
“Nggak, okay, thanks udah
mau ngedengerin cerita aku.”
Dia tersenyum. Jemarinya bergerak naik ke puncak
kepalaku, dan kemudian membelai
halus rambut panjangku. “Sama-sama cantik, ini nggak seberapa dibandingin
seringnya janji kita yang aku batalin.”
Ucapnya terdengar tulus.
Membuat kalimat utama yang sangat ingin aku
ucapkan semenjak diawal terhenti hanya ditenggorokan. Biarlah aku memberi
sedikit waktu untuk hatiku, agar bisa mengambil jalan terbaik tanpa diakhiri
dengan penyesalan.
Aku membuang pandanganku, diam-diam aku tersenyum masam. “Kamu sadar sama semua itu, tapi kenapa kamu nggak
sadar sama perasaanku?” Aku
bertanya lirih.
Selirih hembusan angin yang menyapa dedaunan
kering dibawah kakiku, dan menerbangkannya semakin jauh dari tempatku berpijak.
Angin...
Bolehkah aku menitipkan rasa sakit ini padamu?
Bisakah kau lemparkan sejauh mungkin sesak ini
dari hatiku?
Tak sadarkan kau selama ini?
Bukan
cuma hati yang kau sakiti, juga hidupku
Diriku
ini pasanganmu!
Bukannya
musuhmu, tak perlu kau siksa aku
-----
“Loe, loe kurang
aja banget yah sama gue!” Bentak seorang perempuan
kepadaku.
Aku memang baru saja menyiramkan segelas jus
jeruk di seragam putihnya, saat secara tak sengaja mendengar ia
menjelek-jelekkan ku, dengan temannya yang entah siapa.
Sekuat hati aku menajamkan tatapanku dikedua bola
matanya, dan menahan getar suara yang aku rasa akan merusak keberanianku.
“Itu semua gara-gara kakak! Kakak
yang bikin aku kayak gini!” Balasku sengit.
Ia mulai berdiri, dan memasang tampang angkuhnya,
diikuti dengan tatapan tak suka dari beberapa temannya yang mungkin..tak
menyukaiku.
“Oh, jadi loe denger omongan gue sama
temen-temen gue tadi? Iya?!”
“Kalau iya memang kenapa?!”
Balasku dengan nada bicara yang kian meninggi. Situasi kantin cukup sepi
untuk saat ini, tapi bukan berarti tak ada yang memperhatikan kami.
Murid-murid yang sedang berada disini tentu saja
mulai menonton pertengkaran diantara aku dan Kak Dea. Tapi aku bersikap acuh.
Kak Dea mulai melangkah mendekatiku, dengan kedua
tangan terlipat di dada. Sungguh angkuh!
“Asal loe tau yah, apa yang gue omongin tuh fakta!
Rio udah bosen sama loe!” Dengan
keras ia mendorong bahuku. “Dia bertahan karena
kasian sama loe! Ngerti?!”
“Gue-nggak-percaya-sama-loe!”
Dia
tertawa remeh kepadaku. “Ya, wajar sih. Secara...dia selalu maniss..banget
di depan loe, tapi dibelakang loe?”
Rasanya aku ingin menjambak rambut seniorku yang
satu ini. Inginku robek mulut yang masih setia menyunggingkan senyum meremehkan
itu. Dia semakin mendekat ke arahku dan..
“Apa loe tau, apa aja
yang udah dia lakuin sama gue?”
Tanyanya dengan berbisik halus ditelinga kananku.
Aku mulai merasa rongga paru-paruku mulai
menyempit.
Oksigen yang masuk mulai menipis, dan aku bagai
kehilangan kemampuan untuk bernafas. Perlahan ia mulai melangkah mundur, sambil
membelai lembut bibir yang dilapisi lip balm berwarna peach miliknya. Tetap
dengan senyum meremehkan, serta kerlingan kecil.
Oh Tuhan, apa maksud ucapannya?
Apa maksud dia menyentuh bibirnya?
Aku mulai tak bisa berpikir jernih. Berbagai
macam pikiran negatif menghinggapi otakku.
Entah mendapat kekuatan darimana, tangan kananku
bergerak mengayun dan tepat mendarat dipipinya..
Plakk..
“Ify!!”
Dan seruan itu membuat semua pasang mata
mengalihkan perhatian, begitu pula denganku.
Aku membeku ditempat saat tahu, siapa pria yang
menyerukan namaku. Oh Tuhan, terima kasih telah mengirimkan Rio untukku. Dengan
keyakinan ia akan membelaku, aku ingin segera melangkah menghampirinya. Namun
niatku terhenti saat tubuh itu lebih dulu ditubruk dengan kuat oleh seorang
gadis.
Seorang gadis yang baru saja ku hadiahi cap lima
jari dipipi kanannya. Gadis itu mulai menangis tersedu-sedu, dengan tangan
kanan memegang pipi, dan tangan lainnya memeluk tubuh pria itu, kekasihku..
“Dia jahat, Yo! Dia nampar aku setelah ngotorin
baju aku dengan minuman, aku..hikss..hikss..”
Acting! Mengadu!
Rio memicingkan kedua matanya, aku tentu saja
menciut melihat tatapan yang tak pernah ku suka itu. Karena tak mampu
berkata-kata, aku hanya mampu menggeleng sambil mengigit bibir bawahku.
Please, Yo..jangan percaya omong kosong dari Kak
Dea..
“Jangan
percaya, Yo! Dia bohong!” Kak Dea yang masih berada
dalam pelukan Rio kembali bersuara, sambil menatapku dengan air mata buayanya. “Liat! Baju aku ada noda jus yang dia tumpahin, anak-anak
satu kantin juga liat..” Dia menunjukkan bajunya yang kotor pada Rio,
membuat tatapan Rio semakin menajam padaku.
Aku semakin merasa tersudut. Bagaikan kurcaci
diantara raksasa-raksasa yang tengah tertawa mengejek padaku. Tuhan, mengapa
begini?
“Pipi aku sakit, Yo..” Kak
Dea merengek sambil memegang pipinya. Dan Rio pun tanpa sungkan mulai membelai
lembut pipi merah tersebut. Sorot matanya sarat akan kekhawatiran.
Tapi..apa dia tidak merasakan keberadaanku?
Keberadaan seonggok hati yang berdenyut ngilu. Dan aku hanya bisa menyaksikan
adegan itu dengan tetes air mata yang tanpa bisa ku cegah, mengalir dari kedua
sudut mataku.
“Loe keterlaluan kak!”
Aku buru-buru menyusut air mataku saat mendengar
suara itu. Suara Sivia. Tentulah objeknya Rio. Dan setelahnya, ku rasakan kedua
tangan telah merengkuh ku hangat, tangan milik Pricilla.
“Loe apa-apaan sih?!” Rio
balik membentak dengan nada yang jelas-jelas menunjukkan ketidak sukaannya.
Aku bisa melihat raut penuh amarah yang menghiasi wajah Sivia. “Loe yang apa-apaan?! Cewek
ini udah ngina-ngina Ify!” Ucap Sivia kesal sambil
menunjuk wajah Kak Dea, yang kian menenggelamkan wajahnya dalam pelukan Rio. “Dan loe malah meluk-meluk dia, ngusap-ngusap pipi
dia, nggak punya hati loe!”
“Eh temen loe tuh yang kurang
ajar! Ngapain dia nampar Dea?!”
Kalimat itu...
Kenapa rasanya sakit sekali saat mendengar ia
berkata seperti itu?
Aku merasa semakin bingung dengan semua yang
terjadi, dan akhirnya memilih meninggalkan Pricilla dan Sivia.
“Fy! Ify!!”
Samar-samar aku mendengar teriakan Sivia dan
Pricilla yang saling bersahut-sahutan memanggil namaku.
***
Ibaratkan berlari sekuat tenaga, menyusuri ribuan
kilo meter jalan berliku, hanya untuk mencapai suatu ujung yang tak ku tahu
dimana titiknya.
Mengabaikan banyaknya rambu-rambu sebagai
pertanda adanya rintangan yang akan ku hadapi saat menyusurinya.
Tapi kini aku telah lelah, meski belum menemukan
titik akhir dari apa yang ku cari selama ini.
Aku menyerah aku tak sanggup.
“Loe terlalu baik buat dia, Fy..”
Ku rasakan tangan halus Sivia mengusap-usap
punggungku. Aku yang berada dalam pelukannya hanya bisa menangis tanpa suara.
“Gue nggak tega liat loe begini, Fy..
Udahlah, putus aja sama dia.”
Pricilla menambahkan. Tangannya ikut mengusap-usap pundakku. “Gue tau itu semua berat, tapi pikirin hati loe,
Fy..”
Sambungnya.
Sivia menguraikan pelukannya. Tangannya mulai
menyingkirkan poni panjangku
yang sudah berantakan. “Loe sendiri yang pernah bilang sama gue, Tuhan
nggak suka sama hamba-Nya yang menyakiti diri sendiri. Lets see..apa
yang loe lakuin sekarang?” Aku tetap diam mendengarkan 'ceramah' dari Sivia. “Loe nyakitin diri loe sendiri, cantik.. Loe
biarin hati loe menahan semuanya, semua rasa sakit yang bahkan gue nggak bisa
bayangin, apa jadinya kalau gue yang
ada di posisi loe selama ini.”
Pricilla meraih jemari kananku dan menggenggamnya. “Gue tau, Fy.. Selama ini loe cuman pengen
berjuang. Mertahanin apa yang loe anggep pantes buat dipertahanin. Tapi,
perjuangan juga harus segera diakhiri saat loe emang ngerasa
udah nggak sanggup lagi.”
Baiklah, Tuhan. Ku turuti kehendak dia. Ku
loloskan nasihat dia dulu, untuk gadis malang yang pernah ku dongengkan
padanya.
***
Harusnya aku tak berada disini. Harusnya aku tak
melihat semua ini. Mengunjungi tempat penuh kenangan, yang ku kira hanya ia tunjukkan
kepadaku.
Tempat spesial, dan hanya untuk orang yang juga
spesial. Begitu tuturnya yang ku ingat, dulu.
Tapi, apa yang ku lihat sekarang?
Dia dan seorang gadis terlihat asyik duduk
berdua. Posisi mereka memang membelakangiku. Namun aku dapat menangkap
gerak-gerik mereka. Dia yang memangku gitar, dengan gadis disebelahnya yang
nampak menyandarkan kepala dibahunya. Ugh..bahkan, telingaku masih sanggup
mendengar suara mereka, meski samar-samar.
“..Oh sayangku
kau begitu, sempurna~”
Dia mengakhiri lagunya, bukan untukku. Gadis
disebelahnya bertepuk tangan dengan riang.
Oh Tuhan, haruskah aku mendengar senandung yang
ia tujukan untuk gadis lain?
Tanpa sadar, derai air mata kembali meninggalkan
jejak-jejak kecil dikedua pipi tirisku. Andaikan luka hati seperti air mata
ini, mengering tanpa memakan waktu yang lama.
Tess..tess..
Awan gelap yang memang sedari tadi mengiringi
langkahku mulai menghadirkan titik kecil air langit.
Aku tak beranjak. Tetap diam ditempat,
menyaksikan dia dan 'gadisnya' yang dilanda kepanikan. Keduanya berlari sambil
bergandengan tangan dibawah rinai hujan.
Tanpa ku perintah, kakiku bergerak menjauh dari
pepohonan. Bertepatan dengan itu, ia dan 'gadisnya' telah ada dihadapanku.
Aku diam tak berekasi, tanpa ekspresi. Sedangkan dia
buru-buru melepaskan tautan yang terjalin diantara mereka.
“If..Ify..”
Kau masih bisa menyebut namaku, Mario? Setelah tadi pagi –hingga
saat ini, membuatku benar-benar merasa tak
berarti.
“Ak..aku..” Dia
mulai gelagapan. Aku tak tahu, dan sudah tak mau tahu apa yang menyebabkan
semua itu.
“Rio! Ayo! Ujannya makin gede!” Kak
Dea—gadis
itu, mengajaknya pergi sambil menarik-narik paksa
lengannya.
Dia
menepis tarikan itu. “Loe duluan
ke mobil! Entar gue nyusul!” Serunya
terdengar..membentak?
Dengan kesal Kak Dea berlari menerobos hujan,
setelah sebelumnya sempat menghentakkan kaki.
Aku menatap punggung Kak Dea yang kian menjauh.
Mungkin memang dia telah bosan denganku. Dan gadis seperti Kak Dea lah yang
bisa menghilangkan rasa bosan itu.
“Fy..Fy, aku
minta maa—“
Aku
berhenti sayang
Ku tak
bisa lanjutkan
Kisah
ini, bersamamu..
Aku
takkan mampu
Aku menaikkan sebelah tanganku sambil menggeleng. “—stop, Yo! Stop!”
Dia mulai berusaha menyentuh pundakku. “Ify, aku tau aku
salah, aku khilaf, aku—“
“—cukup,Yo! Cukup!” Teriakku
yang mulai menangis.
“Aku..tadi pagi aku cuman kaget,
kamu bisa sekasar itu, Fy..” Lirihnya.
“Its all because of you, Mario!” Teriakku,
kini petir pun ikut menyahut. “Kamu yang bikin aku kayak gitu! Kamu yang
berubah! Kamu yang nggak perduli lagi sama aku! Kamu..kamu adalah 'dia' yang
aku maksud dicerita aku waktu itu..”
Aku tersungkur jatuh dihadapannya. Tak ku
perdulikan beceknya tanah yang ku duduki, derasnya hujan yang mengguyur
tubuhku, semua ku abaikan.
“Fy, maaf..aku nggak
bermaksud—“
“—kamu bohong sama aku, kamu lupain janji-janji kita
dan semua cuman karena Kak Dea! Aku sakit, Yo!
Sakit!”
Dia ikut berlutut dihadapanku, tangannya bergerak
ingin merengkuhku dalam pelukannya. Namun, dengan cepat ku tepis rengkuhannya,
hingga ia terjerembab ke tanah.
Menghadapi
semua
Kebohongan
yang biasa kau lakukan
Aku
hanya minta, bebaskan diriku..
“Aku nggak sanggup, Yo..”
‘Fy! Maksud kamu apa?!”
Aku menatap lembut kedua bola mata hitamnya.
Berusaha menguatkan hati, meyakinkan diri bahwa setelah ini, sosok dihadapanku
bukan lagi milikku. Ku lepaskan dia, membiarkannya pergi menjauh dari
kehidupanku, mencari tempat persinggahan yang baru.
“Aku mau kita...” Ku
ambil jeda sesaat untuk memejamkan mata dan menghembuskan nafas keyakinan. “...putus, Yo..” Ucapku tegas namun lirih.
Jujur, disudut hatiku nama itu masih ada. Cinta itu masih terasa. Namun aku telah
memilih.
“Nggak! Nggak, Fy!” Dia
menggeleng dan..Tuhan, dia menangis?
“Aku nggak bisa tanpa kamu, Fy! Aku tau aku salah dan
aku minta maaf. Tapi, please..jangan tinggalin
aku..”
Dia berusaha menggapai jemariku. Sekuat apapun ia
berusaha, namun sekuat itu pula aku menyingkirkan tanganku.
Dengan lemah aku menggerakkan tubuh ku untuk
berdiri. Dan untuk -mungkin- terakhir kalinya, aku menatap dalam kedua magnet
terkuat yang ada didirinya.
Sekali lagi, untuk yang terakhir. Izinkan aku
melakukan ini.
Aku maju satu langkah, dan sedikit membungkuk
untuk menuntun tubuh lemahnya berdiri. Begitu tubuh tegap itu berdiri
dihadapanku, segera ku peluk dengan erat. Kemudian dengan kilat, aku
mendaratkan sebuah sapuan terakhir dipipi kanannya.
“Sakit
itu ada, sakit itu terasa..” Bisikku. Kemudian aku menjauh sedikit darinya,
dan memandang wajahnya yang nampak terkejut. “..disini,
Yo..” Sambungku
sambil menunjuk bagian dimana aku sering merasakan detak-detak tak karuan,
namun begitu menyenangkan, dan membuatku merasa ketagihan.
Sebuah reaksi yang baru pernah ku rasakan sekali,
dan semua itu karenanya. Mario...
Song : Bebaskan diriku by Armada
Kalau ada yang punya, bisa sekalian menambahkan "Kau
harus mencintaiku by Rumor" juga dibawah track nya Armada ituuu..soalnya
lagunya saling berkesinambungan. Cocok dan...gue rasa sih pas!
Enjoy!
0 komentar:
Posting Komentar