Angkuh....
-----
Aku yang sombong..
Menghempaskanmu dalam penantian..
Acuhkan cintamu..
"Riooo!!"
Derap langkah setengah berlari yang mendominasi suara
memanggil, dari gadis itu tidak membuat sosok dingin tersebut menghentikan
langkahnya. Jangankan berhenti, menoleh pun tidak.
Ia justru semakin mempercepat laju langkahnya, mengacuhkan
panggilan yang sekuat tenaga -karena gadis itu mulai berlari untuk mengimbangi
langkah Rio- diucap kan oleh gadis
tersebut.
"Ri...o.."
Panggilannya melemah, seiring menghilangnya punggung tegap
milik lelaki hitam manis yang sedari tadi di kejarnya.
Ia menghela nafas kecewa, kemudian tertawa miris. Apa ada
yang salah, jika ia memanggil pria tersebut? Atau memang pria tersebut
merasa...ia tak pantas berbicara dengannya?
"Fy~"
Ify, gadis tersebut segera mengalihkan pandangan nya.
Didapatinya seraut wajah tampan dengan gurat penuh kekhawatiran sedang
menatapnya.
"Sampai kapan
sih, Fy? Lo tau kan, dia--"
"Gue cuman mau
bilang kalau dia dipanggil sama Bu Ira,
Vin. Tapi..dia malah ninggalin gue gitu aja." Ify memotong
cepat ucapan Alvin dan menjelaskan maksudnya, sambil menunduk, memandangi
ujung-ujung sepatu hitamnya.
Fiuhh...terdengar desah nafas Alvin yang berhembus keras.
Seolah kesal setelah mendengarkan penuturan Ify, sahabatnya. Entahlah, kesal
karena Ify yang selalu 'mengejar-ngejar'
Rio, kah? Atau karena sikap sombong Rio yang tak pernah sekalipun menggubris
tingkah laku Ify?
Sesaat kemudian, ia mengulurkan tangannya, dan mengusap
lembut tiap helai rambut panjang, milik Ify.
Ia tahu, Ify tak pernah suka melihatnya marah.
"Ya udah, lupain
aja yang tadi. Kita ke kelas aja, yuk!" ajak Alvin.
Ify tersenyum, dan mengangguk cepat. "Yuk!" sambutnya. Diraihnya lengan Alvin, dan memeluknya
erat.
Selalu begitu, Alvin selalu mengerti dirinya. Memahami
inginnya. Dan itulah yang membuat Ify selalu nyaman berada disisi Alvin,
sahabat yang juga dianggap 'kakak' olehnya.
***
"Kenapa kamu
kemarin tidak menemui saya? Saya kan sudah bilang, temui saya selepas jam
pulang!"
Pria itu mengernyit heran. Ia menggaruk-garuk tengkuknya
yang mendadak gatal. Sungguh, ia tidak mengerti dengan maksud gurunya ini.
"Maaf, Bu.
Maksudnya?" ia bertanya polos.
"Mario..saya
menyuruh kamu menemui saya kemaren sepulang sekolah untuk membicarakan
nilai-nilai kamu yang mulai menurun akhir-akhir ini!" jelas Bu Ira,
tegas.
Rio mengangguk kecil, "tapi..saya
tidak merasa kalau Ibu memanggil saya kemaren.."
"Jadi Alyssa
tidak menyampaikan pesan saya kepada kamu?"
"Alyssa?"
Bu Ira mengangguk, "ya.
Saya menitipkan pesan kepada Alyssa, apa dia tidak menemui kamu?"
Ia bungkam. Tidak mungkin berkata 'tidak' karena memang gadis tersebut sempat (ingin) menemuinya.
Namun ia mengacuhkan gadis tersebut. Ya, Rio tahu bahwa Alyssa yang dimaksud
oleh Bu Ira pastilah gadis yang kemaren. Karena, selain gadis tersebut adalah
satu-satunya penghuni sekolah (nya) yang memiliki nama seperti itu, gadis itu
pun merupakan satu-satunya...
"Mario!"
Rio tersentak dari lamunannya. "Eh, iya Bu, maaf. Kemaren, dia memang sempat memanggil saya, tapi..karena
saya buru-buru jadi saya diemin aja.."
Bu Ira berdecak kesal, "ckckkk..baiklah.
Mario..kalau nilai kamu terus menurun, Ibu rasa..tidak menutup kemungkinan
beasiswa kamu akan dicabut." ucap Bu Ira to the point, lirih.
Rio melebarkan matanya, "jadi.."
Bu Ira segera berdiri, dan melangkah maju menghampiri siswa
kesayangannya tersebut. Diusapnya pundak Rio penuh kasih sayang, tak tega
rasanya, jika beasiswa untuk Rio benar-benar dicabut. Karena, ia tahu bagaimana
perekonomian keluarga muridnya tersebut. Dan..ia pun tahu, betapa sedari dulu
Rio sangat mengidam-idamkan sekolah ini untuk menjadi tempat dimana ia akan
menghabiskan masa-masa putih abu-abu nya.
"Kamu ada
masalah? Ceritakan saja pada Ibu, Rio.."
Rio menghela nafas dan mulai bercerita. "Ibu saya sakit, Bu. Dan beberapa minggu yang lalu saya..."
Bla..bla..
Rio mulai menceritakan masalah yang melanda hidupnya. Masalah yang (ia rasa)
datang secara bertubi-tubi semenjak ayahnya meninggal.
"Jadi..bagaimana
kondisi Ibu kamu sekarang?"
"Puji Tuhan,
sudah membaik. Tapi..saya masih bingung, bagaimana mungkin saya membiarkan Ibu
saya yang baru sembuh untuk mencari uang.." Rio menunduk dalam. Dari
semalam, hanya satu yang mengisi pikirannya "ingin bekerja!"
Apapun jenisnya, selagi halal dan bisa membantu perekonomian
keluarganya, pasti akan ia lakoni.
"Bagaimana kalau
kamu bekerja di rumah teman ibu saja?"
Rio mengangkat wajahnya di sertai senyuman. "Boleh! Apapun, selagi halal, saya
mau!"
"Tapi...tugasnya
membersihkan kolam renang, Yo.."
"Nggak masalah,
Bu. Saya bisa. Apa saya boleh meminta alamat rumah teman Ibu itu?"
Bu Ira mengangguk cepat, "kamu
tidak perlu khawatir, karena anaknya teman Ibu itu kebetulan murid disini
juga."
"Oh, ya?
Siapa?"
***
Seminggu sudah, sejak Rio memutuskan untuk mencari
pekerjaan, ia menjadi 'pembersih kolam
renang' di rumah mewah milik salah satu teman sekolahnya. Bukan hanya teman
sekolah, tapi juga teman sekelas. Dan, tahukah kalian siapa pemiliknya?
"Ify, mama sama
ayah akan pulang minggu depan. Jaga diri kamu baik-baik, yah.."
Ify tersenyum kecut mendengar ucapaan Ibu nya tersebut. Tak
bisakah kedua orang tua nya meluangkan sedikit waktu untuknya? walau hanya
sehari.
"Yes, mom.."
sahutnya malas. Bu Gina mengusap lembut puncak kepala anak gadis, satu-satunya
yang ia punya.
"Ayah janji,
pulang dari Bandung, kita akan menyusul ka Eizel ke Spore, mau?"
Sebuah kelingking tersuguh di hadapannya secara tiba-tiba.
Membuat wajah Ify yang semula suram menjadi lebih berwarna. Disambutnya
kelingking sang ayah, dengan senyum mengembang.
"Promise.."
Tok..tok..tok...
Suara ketukan halus didekatnya membuat Rio buru-buru
mengalihkan pandangan -yang semula asyik memperhatikan sebuah drama keluarga
mengharukan-. Ia bergegas menuju pintu depan dan membukanya.
Cklik..
Sesosok pria tampan, berkulit putih lengkap dengan mata
sipit -yang membuat ia terkesan seperti aktor-aktor Korea yang sedang
digandrungi para remaja putri- menyunggingkan seulas senyuman tulus pada Rio.
Dengan kikuk Rio membalas senyum tersebut.
"Hai, Yo!" sapanya
ramah.
Rio mengangguk dan tersenyum kecil. "Hai, Vin! Ayo, silahkan masuk!" suruhnya mengajak.
Dengan santai Alvin melangkah masuk melewati ruang tamu, dan
menuju salah satu ruangan untuk mencari Ify.
"Ify ada kan,
Yo?" tanya nya, dengan kepala memutar ke segala arah.
Rio tertegun.
Dia..dan Alvin. Perbandingan yang terlalu banyak akan di
jabarkan, jika membandingkan antara dirinya dan Alvin.
Dan..itulah salah satu alasan mengapa ia selalu menghindar.
Menghindar dari pujaan hatinya, yang jelas-jelas memiliki satu rasa yang sama
dengannya.
"Yo!"
"Oh iya, sorry.
Ada, Vin! Tuh di ruang tengah, sama orang tua nya." ucap Rio cepat,
dengan telunjuk mengarah pada ruang tengah yang berada tepat di depan mereka.
Alvin menepuk pundak Rio sebentar, "gue kesana dulu, Yo.." pamitnya.
Rio mengangguk, ia memperhatikan punggung Alvin yang
membelakanginya. Bahkan, dilihat dari belakang pun pria tersebut terlihat lebih 'enak di pandang' dibanding dirinya.
T-shirt bermerk dengan kaos oblong? So
funny..
Hingga kau larut dalam kesedihan
yang tiada bertepi
Lelah hadapi sikapku..
Alvin sedang duduk manis di salah satu sofa ruang tengah
milik Ify. Ia sedang menunggu Ify yang sedang 'melepas' kepergiaan orang tua nya. Lama, tapi wajar. Ia mengerti,
Ify sengaja 'bertingkah' untuk
mengulur-ulur keberangkatan orang tua nya. Gadis itu hanya ingin merasakan
sedikit waktu untuk bersama, sebelum kedua orang tua nya pergi meninggalkan nya
dalam waktu yang cukup lama.
"Vin, om titip
Ify, ya~" ucap Ayah Ify tiba-tiba.
"Jagain dia,
jangan sampai macam-macam ya, Vin." tambah Ibu Ify, Alvin mengangguk
sambil tersenyum sebagai jawaban.
Ify? Gadis itu menggembungkan kedua pipinya dengan kesal.
Memangnya dia masih kecil?
"Ayah, Ify bukan
anak kecil lagi." rajuknya. Ayah Ify segera menarik putrinya ke dalam
pelukannya.
"Sampai kapanpun,
kamu akan selalu menjadi putri kecil Ayah."
Cup..dan satu kecupan penuh kasih mendarat di kening Ify
sebagai salam perpisahan dari ke dua orang tua nya.
"Udah, jangan
nangis deh. Kita jalan yuk?"
Ajak Alvin untuk menghibur Ify yang mulai bersedih.
Ify menatap Alvin, lama. "Kemana?"
"Kemana kamu
mau.."
Ify menimbang-nimbang sejenak, "ajak Rio, boleh?"
Alvin kembali menghela nafas. "Yakin dia mau ikut?"
Ify mengulum senyum. Dalam hati ia berharap semoga pria
tersebut mau memenuhi ajakannya.
"Di ajak dong,
Vin. Kalau nggak di ajak, gimana kita bisa tahu dia mau ikut atau nggak."
ucapnya, sambil menarik lengan Alvin menuju halaman belakang rumahnya. Tempat
dimana sebuah kolam berukuran besar tertanam disana. Sekaligus tempat, dimana
Rio mencari penghasilan tambahan untuk kehidupannya.
Alvin tersenyum. Ia mengikuti langkah Ify yang menyeretnya.
"Gue pake baju
ini aja, nggak papa kan, Vin?" tanya Ify sambil meneliti
penampilannya. Simple, tapi terlihat manis dan santai.
"Aduhh, kayak mau
jalan sama siapa aja deh, seneng yah lo, gue ajak jalan?" tanya Alvin
dengan alis yang di naik-turunkan, menggoda Ify.
Pletak..sebuah jitakan kecil mendarat ditempurung kepalanya.
"Ngarep yah. Kan
siapa tahu aja, Rio mau ikut." ucap Ify berharap. Alvin menggeleng
pelan, dengan senyum terkulum.
***
Langit sore mulai menghitam. Pertanda airmata langit akan
menyerbu bumi. Dengan buru-buru Rio membereskan alat-alat yang ia gunakan untuk
menguras kolam renang milik keluarga Umari. Ia harus segera pulang, selain
karena Ibu nya sedang sendirian dirumah, juga karena ia merasa membutuhkan
waktu untuk merilekskan pikirannya. Menenangkan perasaan gundah yang
menyelimuti hatinya, saat melihat kedekatan dua anak manusia yang sedang
berdiri tidak jauh darinya.
"Yo.."
Suara halus yang memanggilnya tidak membuat Rio mengalihkan
pandangan meski sekilas. Sekalipun pemilik suara tersebut kini telah menjadi 'majikannya', hal itu tidak lantas
membuat Rio bisa bersikap sedikit lebih bersahabat pada gadis tersebut.
"Hem.."
"Emm..itu,
gue..emm," Ify memilin ujung sweater soft pink yang ia kenakan, sambil
sedikit menggigit bibir bawahanya. Di sebelahnya, Alvin menggunakan sikutnya
untuk menyenggol Ify. Memberikan isyarat agar gadis tersebut segera melanjutkan
ucapan yang tak selesai tersebut.
"Ada perlu apa?
Gue buru-buru, nyokap sendirian di rumah." ucap Rio -agak- ketus.
"Ohh..gitu, ya?
Padahal aku mau ngajakin kamu jalan-jalan sama Alvin, tapi--"
"Lo dengerkan?
Gue buru-buru, nyokap sendirian di rumah. Kalau mau ngomong penting, to the
point aja! Nggak usah berbelit-belit!"
Alvin menahan kesal mendengar ucapan Rio yang terdengar
kasar ditelinganya. Ingin rasanya memukul pria di depannya tersebut, tapi ia
tahu..Ify tak suka dan tak kan pernah suka jika ia melakukannya.
"So..sorry, Yo.
Aku minta maaf.." Ify menunduk dalam. Ia mulai takut mendengar ucapan
kasar Rio. Jika biasanya ia tak masalah karena di acuhkan Rio, sekarang justru
ia merasa 'sakit' mendengar
kata-kata ketus yang terlontar dari mulu pria tersebut.
"Ahh, udahlah gue
pulang." Rio menarik ransel miliknya, yang tergeletak persis di depan
kaki Ify dengan kasar. Ify menarik mundur kakinya, secara refleks.
"Sorry, Vin. Gue pulang dulu." pamit Rio dengan nada
lebih santai dibanding pada saat berbicara pada Ify.
Ify menahan langkah Rio, dengan merengkuh lengan kanan pria
tersebut dalam jemarinya.
"Apa lo nggak
bisa ngeluangin sedikit waktu lo buat jalan-jalan sama gue, Yo?" tanya
Ify memberanikan diri. Pertanyaan yang lebih mengarah kepada sebuah harapan.
Rio meringis dalam hati. Ingin sekali berkata 'bisa' namun apa daya.. Mulut kadang tak pernah sama dengan hati. Apa yang kita ucapkan tak selalu sesuai
dengan apa yang kita inginkan..
Rio menepis kelima jari Ify dengan kasar. Kemudian menatap
gadis itu dengan tajam.
"Lo budek?! Gue
bilang, gue buru-buru! Nyokap gue sakit dan lagi sendirian di rumah! Dan elo
minta gue buat nemenin elo jalan-jalan?!"
Rio mulai membentak. Satu hal yang tak pernah Ify alami
sebelumnya, dibentak. Alvin yang sebenarnya hendak angkat suara terpaksa urung
melakukannya karena Rio kembali berucap..
"Gue digaji untuk
ngebersihin kolam renang yang ada dirumah lo! Bukan nemenin elo
jalan-jalan!"
Ify menciut. Air mata itu mulai menggenang di pelupuk
matanya. Sekali berkedip, luluh lah pertahanannya.
"Kenapa sih, Yo?
Kamu nggak pernah mau ngertiin aku! Kamu nggak pernah nganggep aku! Kamu nggak
pernah meduliin aku! Aku punya salah sama kamu? Kasih tahu aku, Yo.. Biar aku
bisa memperbaiki kesalahanku."
Alvin tak berucap, merasa mungkin ini saatnya, sahabat
tersayang nya itu mengungkapkan semua rasa yang ada di hatinya, untuk pria
didepan mereka saat ini.
Berharap bisa menyalurkan sedikit kekuatan, Alvin
mengulurkan tangan kanannya untuk merangkul Ify.
Rio bergeming. Tepat disaat Alvin merangkul Ify, ia membuang
muka. Dua hal yang membuatnya seperti itu. Air mata Ify, dan rangkulan Alvin.
"Jawab, Yo!
Kenapa kamu nggak pernah bersikap baik sama aku? Apa aku terlalu mengganggu
buat kamu?" lanjut Ify bertanya, masih diiringi isak tangis yang tak
kunjung reda.
"Iya! Elo
terlalu, dan bahkan sangat mengganggu buat gue! Puas lo?!"
Dan itu adalah kalimat terakhir yang Rio ucapkan, sebelum ia
mengayunkan langkah kakinya untuk meninggalkan kediaman Ify.
Alvin kembali ingin angkat bicara, ia rasa Rio sudah
berlebihan. Namun seperti memberikan isyarat untuk diam, Ify menaikkan sebelah
tangannya persis di depan wajah Alvin.
"Fine! Kalau buat
kamu aku mengganggu, aku nggak akan pernah gangguin kamu lagi! Aku nggak akan
pernah gangguin kamu lagi!" racau Ify dengan suara lantang, dan itu
cukup membuat Rio menghentikan langkahnya dengan nafas tertahan. Sadar bahwa
apa yang ia ucapkan sudah terlalu kelewatan.
"Aku nggak akan
pernah...ganggu..in..ka..kamu..la..gi.." Ify kembali menggumam lirih
seiring tubuhnya yang mulai merosot ke tanah.
Alvin tak tahu harus berbuat apa. Ia terlalu shock dengan
semua ini. Shock dengan teriakan Ify. Shock dengan tingkah Rio yang seakan tak
perduli. Padahal satu hal yang ia tahu, satu hal yang dapat ia tangkap dari
mata pria tersebut. Ia memiliki rasa yang sama dengan Ify. Mencintai dan
menyayangi.
"Fy, kita ke
dalem aja yah!" ajak Alvin seraya menyentuh lembut pundak Ify.
"Aku nggak akan
ganggu dia lagi, Vin. Nggak akan.." ucap Ify lirih. Sepertinya ia
terlalu 'sakit' mendengar ucapan Rio
tadi.
"Iya, Fy. Iya..
Kita ke kamar aja yah.."
Alvin yang tak tega pun secara perlahan mengangkat tubuh
Ify. Membawa gadis manis yang terus mengucapkan satu kalimat yang sama 'aku nggak akan ganggu dia lagi', ke
dalam rumah menuju kamar gadis tersebut.
Terlalu lelah menangis, tanpa sadar Ify mulai tertidur.
Alvin masih setia mengangkat tubuh mungil sahabatnya tersebut hingga ke kamar.
Perlahan, Alvin meletakkan tubuh Ify dan menyelimuti nya.
Diusapnya rambut panjang Ify dengan lembut sambil menatap sendu pada paras
cantik Ify yang terlihat lelah.
"Jangan nangis,
Fy! Gue pastiin, semua akan baik-baik aja." ucapnya sungguh-sungguh.
Dalam hati Alvin bertekad akan membuat semua yang tak
mungkin -bagi Ify- menjadi nyata.
Karena ia menyayangi Ify, terlalu menyayangi gadis tersebut. Bukan lagi sebagai
sahabat, bukan juga sebagai kakak-adik. Tapi, murni rasa sayang yang tak bisa dilukiskan dengan ungkapan 'sebagai'
melainkan dengan kata 'karena'... Karena
Alvin sahabat sejati Ify..
Sesal yang kini menghantui perasaan
dan jiwaku sesaat kau pergi..
Beri kesempatan untukku benahi
tahta cinta kita..
Hingga terwujud kembali..
Rio menatap diary rusak di tangannya. Diary yang tidak hanya
dipenuhi dengan banyak sobekan di sana- sini, tapi juga rangkaian
kalimat-kalimat sakti yang mampu membuat hatinya menjerit, meraung, menangis,
benar-benar menyesali apa yang ia perbuat.
Rio memejamkan kedua matanya, pikirannya kembali melayang ke
beberapa jam yang lalu. Saat ia melakukan pertemuaan khusus dengan seseorang.
Seseorang yang memberikan diary rusak yang ada padanya saat ini.
"Kenapa elo kasar
banget sih, Yo sama Ify? Dia punya salah apa sama, lo?" tanya Alvin to
the point.
Rio menghela nafas, "kenapa?
Emang gue nggak boleh bersikap kasar sama dia?"
Pertanyaan aneh. Tentu saja jawabannya "nggak" kalau Rio bersikap kasar kepada seseorang tanpa
alasan yang jelas, seperti apa yang ia lakukan pada Ify.
"Elo boleh
bersikap semau lo, yang lo anggap benar selagi ada alasannya, jangan tanpa
sebab gini dong.." Alvin mulai sewot.
Rio melengos,
"elo nggak perlu tahu apa alasan gue!"
"Gue cuma nggak
mau Ify selalu nangisin cowok kayak lo!"
Selalu? Berarti waktu itu bukan kali pertama Ify menangis
karenanya? Bathin Rio bertanya. Ya, meskipun ia sadari ia sering mengacuhkan
gadis tersebut, tapi ia tak pernah menyangka kalau gadis itu akan 'selalu' menangisi nya.
"Maksud lo
apasih?!" tanya Rio antara mengerti dan tak mengerti.
Alvin mulai kesal, "elo
dapet beasiswa karena kepinteran lo, kan? Mestinya lo ngerti sama maksud
gue."
Rio menggeleng, "to
the point aja, Vin. Biar cepet ngerti."
"Ify suka sama
lo! Dia sayang banget sama lo! Tapi apa?! Elo selalu nyakitin dia! Dia selalu
nyari perhatian ke elo, dia selalu bersikap manis ke elo, dia selalu nolak
cowok lain juga karena lo, tapi yang elo lakuin...sangat-sangat bikin Ify sakit
tau?!"
Rio terdiam tak percaya. Well, Ify memang sering menyapanya,
mencari perhatian padanya, bersikap manis padanya. Rio akui itu! Tapi ia tak pernah
menyangka bahwa gadis tersebut benar-benar menaruh hati padanya.
"Jangan bercanda,
Vin!" Rio tertawa miring "gue,
anak beasiswa yang nggak berharta, nggak punya apa-apa. Tampang aja masih kalah
jauh sama lo,"
Alvin benar-benar geram. "Kalau
gue bercanda, buat apa dia perhatian sama lo? Buat apa dia nangis sampe
segitunya waktu elo sama dia bertengkar? Buat apa dia selalu ngebahas elo di
buku diarynya?!"
Alvin melempar kecil diary berwarna hijau kepada Rio dengan
agak kasar.
Masih dengan ke-gamangan-nya, Rio meraih diary tersebut.
Nampak coretan-coretan asal terukir pada sampul diary
tersebut. Ia membukanya perlahan. Ada beberapa kertas yang sepertinya baru di
sobek.
Dia mungkin tak
sempurna jika dilihat dengan menggunakan mata kepala..
Tapi dia akan
sangat sempurna jika dilihat dengan mata hati kita..
_love Mario_
Kata orang, dia
tak baik untukku..
Namun bagiku, dia
yang terbaik di hatiku..
_love Mario_
Dan masih ada kata-kata sederhana lain yang Ify tulis dengan
2 kata penutup 'love Mario'. Seolah
menjelaskan bahwa tulisan itu ditujukan pada sosok pria hitam manis tersebut.
Alis Rio terangkat heran, "sobek?" tanya nya saat melihat selembar foto dirinya
yang tertempel pada salah satu lembar diary tersebut dalam keadaan sobek.
"Dia nyobekin tu diary
sehari sehabis elo berantem sama dia. Bertepatan saat dia nyuekin lo, dan
benar-benar menjauh dari lo."
Rio mengangguk, memang sehari setelah pertengkarannya dengan
Ify, gadis itu sempat absen sehari. Ke esokannya, Ify kembali masuk ke sekolah
dengan tampang ceria seperti biasanya. Namun yang membedakan, tidak ada lagi
sapaan untuk Rio, tidak ada lagi senyuman untuk Rio. Bahkan saat berpapasan pun
Ify seakan menghindar, dan tak menganggap akan keberadaan Rio.
"Masih nggak
percaya sama omongan gue?" tanya Alvin jengkel.
Rio melemas di kursinya. Di tutupnya diary rusak tersebut.
"Kenapa mesti
sama gue? Gue nggak punya apa-apa untuk dibanggain.."
"Ify nggak perlu
harta, rupa, atau apapun.. Dia cuman perlu elo!"
"Tapi..gue harus
gimana? Dia pasti udah benci banget sama gue."
Alvin mendesah, kemudian menepuk halus pundak Rio. "Cuman elo yang tahu, apa yang harus lo
perbuat."
Rio mengernyit heran, "maksudnya.."
Alvin berdecak kesal. Kenapa siswa sepandai Rio bisa selemot
ini?
"Elo pernah ngebuat dia jatuh cinta dengan sikap cuek lo yang
nggak pernah dia harepin. So, kenapa elo nggak bisa ngebuat dia jatuh cinta
dengan sikap manis lo yang selalu dia pengenin?"
Rio mengangguk paham. Mulai tahu apa yang harus ia perbuat.
"Doain gue ya,
Vin!"
"Elo mau
perang?"
"Sebelah dua
belas lah, intinya sama-sama berjuang."
"Doaku
menyertaimu kawan.."
Dan pelukan persahabatan pun terurai oleh keduanya. Dengan
senyum mengembang, keduanya memiliki satu tekad yang sama..mengembalikan senyum
Ify yang pudar.
Bukk...Rio tersentak bangun, saat diary rusak di tangannya
terjatuh secara tiba-tiba. Kedua mata yang sempat terpejam pun mendadak
terbuka.
Ia segera melirik jam dinding di kamarnya.
"Astaga!! Gue
harus kerja!" pekiknya panik. Lantas buru-buru mengganti seragam
sekolah yang masih ia kenakan.
***
Huhhh..hahhhh..huhhh..hahhh...
Berulang kali ia menghirup udara untuk menenangkan
kegugupannya. Di tatapnya pintu jati berukir di hadapannya. Untuk pertama
kalinya, ia merasa dag dig dug saat akan membuka pintu rumah ini. Padahal
sebelumnya...biasa saja.
"Ketuk, ngebel,
langsung masuk.." Rio mengabsen ke tiga pilihan tersebut
berulang-ulang. Ia mendadak linglung hari ini.
"Ketuk aja
ah," Rio mulai menaikkan tangannya, untuk mengetuk pintu. Namun
kemudian, ia menarik kembali tangannya dan bergumam pelan. "Biasanya kan gue langsung masuk, kalau tiba-tiba ngetuk pintu
begini..ntar disangka aneh lagi."
Ia menggaruk tengkuknya sambil berpikir, "emm..ngebel aja deh," ia kembali menaikkan tangannya,
untuk menekan bel kediaman keluarga Umari. Saat hampir menyentuh bel, ia
menarik kembali tangannya. "Apabanget
deh, kayak tamu aja gue ngebel segala."
"Wayolohhhhh...ngapain
diem disini!"
Rio terkaget-kaget mendengar teriakan yang hadir secara
tiba-tiba itu. Teriakan yang ternyata bersumber dari seorang Alvin.
Belum sempat memarahi Alvin, pintu rumah pun terbuka.
"Ngapain sih,
ribut-ribut di luar?!" tanya Ify jutek, dengan tangan kanan yang masih
memgang handle pintu.
"Rio nih, mau
masuk aja pake malu-malu segala." jawab Alvin jujur. Rio mendelik
kesal, kemudian menyunggingkan senyuman kikuk kepada Ify.
"Eh, Ify.. Maaf,
nggak bener kok, sama--"
"Udahlah. Vin,
gue mau pergi, tolong jagain rumah gue dulu." pamit Ify, menyela
ucapan Rio. Rio mendesah kecewa, sepertinya butuh usaha ekstra keras untuk
mengembalikan sosok Ify yang dulu.
Baru beberapa langkah meninggalkan Rio dan Alvin, Ify
kembali berbalik.
"Minuman, sama
cemilan buat lo udah ada di kulkas sama meja dapur, jadi lo bisa ambil sendiri
disana." ucap Ify datar.
Meski tak menyebut nama, Rio tau bahwa kata 'lo' yang Ify ucapkan ditujukan
untuknya.
"Butuh waktu,
butuh usaha, butuh doa. Stay calm, slow but sure. Ify pasti maafin, elo!"
hibur Alvin sambil merangkul pundak Rio, dan membawanya masuk ke dalam rumah
Ify.
Kan ku basuh laramu..
Tepis keangkuhanku..
Hapus kepedihanmu..
Tak ada cara lain, Rio mau tak mau harus menurunkan sedikit
gengsinya dan memulai hari baru dengan sikap manis untuk menyambut kedatangan
Ify pagi ini, di sekolah. Sulit memang, mengingat sifat cuek -hampir tak perduli- yang memang sudah
biasa ia tunjukkan pada Ify sudah mendarah daging. Tapi demi Ify, demi cinta
nya, dan demi kebahagiaan mereka bersama ia harus melakukannya.
Dan benar saja, begitu ia melihat sosok Ify dari kejauhan,
ia segera memasang senyum paling manis yang hanya khusus dipersiapkannya untuk
Ify. Tapi sayangnya, hal itu tidak berarti apa-apa bagi Ify. Yang kena efeknya
justru siswi-siswi lain yang sedang berkeliaran di sepanjang koridor. Melihat
senyum asli tanpa paksaan dari bibir seorang Mario Stevano bisa dikategorikan
dalam hal langka. Sudah pasti, ketika pria itu menyunggingkan senyumnya, banyak
siswi yang terpana bahkan hampir menahan nafas sampai pada akhirnya senyum itu
memudar secara perlahan.
"Pagi, Fy!" sapanya
semangat.
Ify melengos dan melewati Rio begitu saja. "Pagi.."
Nyali Rio sedikit menciut, tapi ia sudah bertekad dan
pantang untuk mundur. "Di anter Mang
Udin, Fy?" tanya nya basa-basi.
"Biasa juga
begitu.."
Rio menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Ia terus
berjalan mengikuti langkah Ify dengan kepala menunduk. Haahhhh..bingung juga,
hal apa lagi yang harus ia bicarakan pada gadis ini? Ya hanya sekedar untuk
berbasa-basi saja lah...
Dukkk..
Karena terlalu lama menunduk, Rio sampai tak menyadari bahwa
pintu kelasnya dalam keadaan terbuka. Dan tentu saja membuat ia menabrak pintu
tersebut..
"Awww.." rintihnya.
Ify sempat menoleh kaget, namun rasa kaget itu di tahan nya
hingga yang tampak di wajahnya ketika menatap Rio hanyalah wajah datar dengan
alis terangkat.
"Kalau jalan liat
ke depan, jangan ke bawah. Duit lo, jatuh?" celetuk Ify, tanpa niat
bertanya. Rio meringis pelan sambil mengelus sayang jidatnya yang menjadi
korban.
Tanpa memperdulikan Rio, Ify segera memasuki kelas.
"Ahahahaa..ketauan
banget blo'on nya, Yo.." ledek seseorang dari belakang.
Rio menoleh dan mendengus kesal. Di belakangnya ada Alvin
yang sedang tertawa. Tentu saja menertawakannya.
"Siapa yang
blo'on?"
"Ya elo lah..
Nggak nyadar sampe ke jedot gitu?"
"Huhhh..jahat
lo, Vin. Bantuin gue kek, Ify beneran marah kayaknya.." Rio menunduk lesu. Ia membatalkan
niatnya memasuki kelas, dan memilih duduk di teras kelasnya, di ikuti Alvin
yang mengambil posisi di sebelahnya.
"Ya ialah, marah.. Lo nggak nyadar
sih, omongan lo tuh nyakitin! Dan jleb.." Alvin menggerakkan tangannya, seolah-olah
sedang menusukkan pisau pada jantungnya. "Banget
tau nggak. Gue juga kalau jadi Ify pasti sakit hati banget."
sambungnya.
"Tapi..gue kan mau minta maaf,
Vin.."
Alvin mendengus, "hehhh..buat Ify, ngebuat elo jadi
kayak gini aja nih susah banget, harus sampe nyakitin hatinya dulu.
Jadi--"
"Jadi menurut lo, gue harus
ngerasain sakit hati dulu baru Ify bakal maafin gue, gitu?"
Alvin
melayangkan toyoran kecil di kepala Rio. "Motong
aja lo, kayak tukang kebun. Ya, gue yakin sih Ify lebih berperasaan daripada
elo--"
"Nggak pake ngejelekin gue juga
kali,"
Alvin tertawa, "ahahha..iya, iya sorry. Okay, lo tau
lah Ify tuh cewek, dia nggak akan setega elo," Alvin mengacungkan jari
tengah dan telunjuknya secara bersamaan saat berkata 'nggak setega elo' pada Rio. "Usaha
dikit lagi deh, dia cuman belum ngeliat ketulusan dan kesungguhan lo doang kok.
Ntar gue bantu ngomong deh ama dia." sambung Alvin membesarkan hati
Rio.
Rio menepuk
pundak Alvin penuh terima kasih. Entah sejak kapan, keduanya mulai terlihat
seperti sahabat dekat, seperti saat ini. Yang jelas, Rio merasa nyaman dan tak
lagi menganggap Alvin sebuah 'perbandingan'
yang waw untuk dirinya. "Thanks,
Vin! Elo baik banget deh ama gue." ucapnya tulus.
***
Sore ini, Ify memilih untuk menghabiskan waktunya dengan
duduk santai di balkon kamarnya.
Ditangannya, ponsel berlayar touchscreen itu terus menyala,
menayangkan photoslide dari seseorang yang sampai saat ini masih ia kagumi.
"Dorrr.."
Alvin yang sebelumnya mengendap-endap memasuki
kamar Ify langsung mengejutkan gadis tersebut dengan teriakannya.
"Ya Allah, kaget gue.. Alvin sarap!
Ngapain sih? Ngagetin gue aja lo.."
Alvin
menyeringai kecil, ia merebut ponsel Ify dan menahan tawanya saat mengetahui
objek apa yang sejak tadi di pandangi oleh sahabatnya tersebut.
"Ohhh, Rio," ia mengangguk sambil memegangi dagunya. "Kangen yah, sama dia~" godanya
sambil mengembalikan ponsel tersebut ke tangan pemiliknya.
"Apaan sih~"
"Jangan bo'ong deh, makanya..maafin
dong.."
Ify memajukan
bibirnya beberapa senti, "kok elo
sekarang cs-an ama dia sih? Kan elo sahabat gue?"
"Yee..tapi sejak elo berantem ama
dia, dia juga udah jadi sahabat gue, lagi."
"Nyebelin!"
"Siapa? Elo? Emang! Orang mau minta
maaf kok bukannya di maafin, malah di cuekin."
"Dia yang duluan jahatin gue,"
Alvin tersenyum
dan mengelus halus puncak kepala Ify.
"Ify, semua orang berhak salah, tapi bukan berarti dia nggak berhak
mendapatkan maaf. Kan elo yang ngajarin gue untuk nggak jadi seorang yang
pendendam, sekarang?"
"Gue nggak dendam!"
"Tapi elo nggak mau maafin
dia.."
"Gue kesel ama dia, gue sakit hati
sama omongan dia.."
"Tapi dia udah berusaha keras buat
ngedapetin maaf lo, kan?" tanya Alvin, Ify menatap Alvin dengan mulut menggembung. "Coba lo inget deh, hal apa aja yang
udah 3 hari terakhir ini dia lakuin buat lo? Apa itu nggak cukup ngebuktiin
kalau dia bener-bener ngerasa bersalah sama lo?"
Ify terdiam,
pikirannya berjalan mundur ke 3 hari kemarin. Saat di mana Rio memulai aksinya
untuk mendapatkan maaf dari seorang Ify.
Dari menunggu
gadis itu setiap pagi sebelum memasuki kelas, menawarkan ke kantin bersama saat
jam istirahat. Menemaninya setiap pulang sekolah, saat gadis itu menunggu Mang
Udin menjemputnya. Rela bolak-balik naik-turun tangga untuk mengantarkan
baju-bajunya yang baru disetrika karena Bik Sumi yang harus menyelesaikan
pekerjaannya yang lain. Dan terakhir, kemarin saat sepulang sekolah...
Ify melirik arloji di tangannya berulang
kali. Jam pulang sudah berbunyi dari 2 jam yang lalu, tapi Mang Udin belum juga
tiba dengan mobilnya, untuk menjemputnya.
Sesekali matanya melirik ke atas, pada
langit biru yang mulai menghitam. Sepertinya hujan akan turun..
"Aduhh..Mang Udin
kemana sih? Kok lama banget.." keluhnya, tangannya
bergerak naik mengusap keringat yang mengalir dari pelipisnya.
"Ify?"
Mendengar namanya disebut, gadis itu
segera menoleh. Begitu mengetahui siapa yang memanggilnya, ia pun langsung
mengembalikan fokus pandangannya.
Rio, seseorang yang menyapa Ify hanya
bisa menghela nafas kecewa untuk kesekian kalinya.
Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya,
Rio langsung ke perpustakaan begitu bel pulang berbunyi. Ia harus mengerjakan
tugas tambahan yang diberikan Bu Ira untuk memperbaiki nilai-nilai nya yang
menurun, agar beasiswa untuknya tidak di cabut. Tapi berhubung ia hari ini
mendapat tugas matematika, pelajaran yang paling susah menurutnya, jadilah pria
tersebut harus menghabiskan waktu lebih lama sampai ia benar-benar bisa
menyelesaikan tugasnya tersebut.
"Belum pulang,
Fy?" tanya nya basa-basi.
Ify melengos, "elo liatkan gue disini? Ya berarti gue belum pulang."
Rio merutuki pertanyaan bodohnya dalam
hati. "Emm..Mang Udin belum jemput,
atau nggak bisa jemput?"
Ify mengendikkan kedua bahunya, acuh. "Tau! Belum jemput kali, nggak ngabarin
gue juga lagian." ucapnya, dengan kepala yang terus bergerak ke sana
ke mari mencari mobil jemputannya.
Rio mengangguk kecil, "kenapa nggak naik taksi aja? Bentar lagi kayaknya ujan
loh.."
Ify misuh-misuh dalam hati, mau nya sih
begitu tapi dia lagi tongpes alias nggak berduit. Mau bayar taksi pakai apa
coba?
"Nggak ada duit."
Rio tak lagi berbicara, ia justru ikut
menggerakkan kepalanya seperti mencari sesuatu. Ify hanya melirik pemuda
tersebut dengan kening berkerut.
'Kirain mau nawarin pulang
bareng atau apa gitu, nggak taunya..' bathin Ify dongkol.
Tik..tik..tik..
Perlahan-lahan, air hujan mulai menyentuh
bumi. Untungnya masih berupa rintik-rintik.
"Ahhh, Mang Udin mana
sih?" tanya nya kesal.
"Stoppp!!"
Ify langsung menoleh kaget saat mendengar
teriakan Rio tersebut. Sebuah taksi biru telah berhenti dihadapannya sekarang.
Ify masih menunggu apa yang akan dilakukan Rio dengan taksi tersebut.
"Buruan,
Fy..masuk!"
Alis Ify menyatu, sambil menatap Rio yang
sedang memayunginya dengan tangan. "maksudnya?"
Rio langsung meraih handle pintu taksi,
dan membukanya. Kemudian sedikit mendorong tubuh Ify untuk masuk ke dalamnya.
"Rio..Rio.."
"Udah nggak papa,
entar ujannya makin deres, biar gue yang bayarin." jelas
Rio menenangkan, Ify menatapnya tak enak hati.
"Ya..ya udah, bareng
aja kalau gitu.." Ify menawarkan.
Rio menggeleng kecil, "uang gue nggak cukup, Fy." ucapnya setengah meringis,
Ify semakin tak enak hati. "Nih.
Pak. Segini cukup kan, buat nganter dia ke Nusa Indah?" tanya Rio
sambil menyodorkan beberapa lembar uang yang ia punya.
Supir taksi tersebut tersenyum dan
mengangguk. "Cukup mas."
"Ya udah, jalan Pak!
Hati-hati ya, Fy.."
"Tapi, Yo--"
Rio memotong ucapan Ify dengan lambaian
tangan, kemudian ia segera berlari menerobos rintik hujan untuk segera pulang.
"Jadi?" tanya
Alvin membuyarkan lamunan Ify.
"Hahhh?! Jadi
apanya?" tanya Ify, dengan tampang polos.
Alvin menggeram gemas, "ya
jadi...elo--"
"Elo mau maafin
gue atau nggak?" tanya seseorang memotong ucapan Alvin, yang refleks
membuat Ify dan Alvin menoleh secara bersamaan.
"Mau? Atau
nggak?" tanya nya, lagi. Siapa lagi kalau bukan Rio.
"Ri..Rio?"
"Ahhh, kirain elo
nggak jadi dateng, Yo.. Eh tapi, bukannya elo lagi sakit yah?" seloroh
Alvin menimpali keterkejutan Ify.
"Gue pengen minta
maaf soalnya, sama Ify. Elo mau maafin gue nggak, Fy? Gue tau gue salah banget
sama lo, tingkah gue keterlaluan banget sama lo. Tapi gue..gue udah nyadar itu
salah..salah banget.." ucap Rio menyesal.
Alvin yang paham situasi memilih pergi meninggalkan
keduanya. Sebelumnya ia sempat menepuk halus pundak Rio, dan membisikkan
sesuatu pada pria tersebut.
"Good luck,
Yo!" bisik Alvin, yang di balas senyuman tipis oleh Rio.
Dan kan ku serahkan cintaku..
Jatuh di pelukanmu..selamanya..
Ify terdiam, masih dalam posisi yang sama, menatap Rio.
Sedangkan Rio menanti jawaban Ify dengan harap-harap cemas.
"Uhuk..uhuk.."
Rio refleks menutup mulutnya yang mendadak batuk.
Ify menatap khawatir, sedikit tak enak hati juga karena
telah membuat Rio menemuinya disaat sakit hanya karena satu kata 'maaf'. "Kamu sakit, Yo?" tanya Ify yang tanpa sadar mulai
melunak.
"Gue bakal lebih
sakit lagi kalau elo nggak mau maafin gue, Fy. Gue beneran nyesel.."
jawab Rio bersungguh-sungguh.
Ify menelan ludah. "Emm..sebenernya,
asal kamu tau aja, kamu nggak perlu minta maaf sama aku, Yo. Karena sesakit apa
pun aku karena sikap kamu...aku nggak akan pernah bisa bener-bener marah sama
kamu.." ujar Ify tanpa ragu. Ia menunduk, menyembunyikan semburat
malu-malu yang mulai menghiasi pipinya. "Karena..karena
aku--"
"Karena aku cinta
sama kamu.."
Ify mengangkat wajahnya yang menunduk. Di tatapnya Rio yang
juga sedang menatap dalam kepadanya. Ia terdiam menantikan penjelasan dari pria
di hadapannya ini.
"Maa..maksud,
kamu?"
Rio mengulum senyum sambil melangkah perlahan mendekati Ify.
Begitu berhadapan dengan gadis manis tersebut, ia mengulurkan tangannya
menyentuh wajah Ify. Di telusurinya tiap lekuk wajah Ify dengan telunjuknya.
Ify membeku, menahan nafas. Matanya terpejam menikmati sentuhan halus jemari
pria yang menjadi pemilik hatinya tersebut.
"Hanyalah dirimu,
mampu membuatku jatuh dan mencinta...Kau bukan hanya sekedar indah, kau tak
akan terganti~"
Ify ternganga, tak percaya dengan apa yang baru saja keluar
dari mulut Rio.
"Senandungku, isi
hatiku, ungkapan rasa cintaku buat kamu, Fy.."
Prok..prokk...
Tepuk tangan teramat keras tersebut sukses membangunkan Ify
dari keterpanaannya akan sikap Rio. Sontak keduanya menoleh, mencari sumber
keributan yang menghancurkan moment romantis mereka.
Dengan tampang santai, tak bersalah. Alvin, sang pengganggu
itu hanya menunjukkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.
"PJ nya jangan
lupa yaaa...!!!" serunya, sesaat sebelum berlari meninggalkan kediaman
Ify.
"Alvinnnnn!!"
Ify menggeram kesal.
Rio terkekeh kemudian menggenggam lembut jemari Ify."Jadi kita?"
Ify tersenyum, "baikan
dong!"
"Bukan
pacaran..??" tanya Rio menggoda.
"Apaan sih~"
"Pacaran
nggak~?"
"Maunya?"
"To be
'something' for everything in my life, ngerti maksud
aku?"
"Tentu!"
-----
Song : Angkuh_Cappucino
Krik..krik..
Endingnya kurang greget yahh-__- jadi nggak klimaks gitu
rasanya. Tapi gimana dongggg...gue galau *ehh
Err tapi ya gitu, kalau bikinnya dipotong-potong, efeknya ya
ke 'feel' nya yang juga ke potong-potong. Paham dong? Ini dibikin nya
mood-mood-an. Awal nulis mood lagi on bangetttt, sampe tiba-tiba drop dan
distop dulu. Finally, baru disambung lagi tadi malem-_-
Maafkan buat feel 'krik-krik' yang bener-bener krikk ini
yah..ahahahhaa
Thankso for readers, likers, komentator, and all people in
my life yang selalu kasih semangat buat nerusin WL *ehh melenceng-__-v
Follow..
•
Http://niastevania.blogspot.com/
• @NiaStvnia
Seeyaa..
Nia 'nistev' Stevania_