[...Agustus 2016]
Aku bukan wanita solehah.
Shalatku mungkin belum sempurna meski sudah 5 waktu. Ibu menyuruh masih suka minta menunggu. Ayah tegur masih terbiasa merengut.
Aku belum sesempurna itu.
Itulah mengapa aku membutuhkan sosok pria yang matang, bukan hanya soal usia, tapi juga agama dan pemikiran. Aku ingin dunia-akhiratku terjamin. Bukan sekedar hidup merdeka di dunia yang fana.
Katakanlah aku munafik.
Di usiaku yang baru menginjak 18 tahun, aku berikrar tidak akan pacaran kecuali langsung menikah.
Teman-teman meyangsikan hatiku, yang katanya mustahil tidak tersentuh pria-pria tampan di kampusku.
Yah, beberapa pria di lampusku terlihat menarik, ada juga yang terang-terangan mendekati tapi tidak ada satupun yang berani mendatangi orang tuaku...
"Lo nggak mau pacaran, tapi mau nikah muda...." Ambar menatapku sangsi, "Please deh, Na.. Lo yakin bisa hidup bahagia setelah menikah dengan cowok yang lo nggak tau seluk beluknya?"
Aku mendecak malas. Ambar memang senang sekali mengulang pernyataan ini, disetiap kali aku menolak untuk dicomblangkan dengan teman-teman prianya. "Emang kalau udah pacaran, lo bisa jamin tau luar dalam si 'dia' dari A sampe Z?"
Ambar terlihat menutup novelnya. Sepertinya dia akan serius membahas hal ini hingga beberapa jam kemudian. Hhhh....
"At least lo tau hal-hal dasar tentang dia. Setelah lo pacaran sama dia, lo bisa tau kebiasaan dia, kesukaan dia, keburukan dia, ke---"
"---bukannya banyak yang bilang, aslinya seseorang justru baru keliatan setelah menikah." potongku cepat.
Yes! Ambar kehabisan kata.
Aku tidak paham, kenapa setiap orang yang ku beritahukan angan-anganku untuk menikah muda selalu bereaksi seperti menentang niat (baik) itu.
Daripada pacaran? keluyuran berdua, foto mesra diumbar, nggak malu peluk-cium di depan orang. Maksiat yang tak dianggap maksiat....
Itu sih yang sering ku lihat di tv.
Ada yang mengistilahkan "pacaran sehat" & "pacaran islami". Yang tidak disertai peluk-cium sembarangan, atau pegang-pegang sesukanya. Lha, kalau tetap saja berduaan apa bedanya? Kan guru agama sudah pernah mengatakan, "berduaan itu nggak boleh, bahaya kalau ada setan...tau-tau jadi zina."
Kebanyakan orang berpikir zina itu pasti m**ing love, padahal guru agama juga sudah pernah berkata bahwa zina itu terbagi dua, zina kecil & zina besar. Zina kecil termasuk diantaranya, zina mata, zina lisan, zina tangan, zina telinga. Yang mana semuanya menghiasi aktifitas pacaran.
Hmm...maaf aku jadi seperti ustadzah. Tapi, please deh, kenapa mereka harus sibuk dengan niat baik untuk masa depanku sih?
***
"Namanya niat baik, emang nggak selalu berjalan mulus, Na...." Mama yang sedang sibuk menyayur di dapur menyahuti ceritaku. "Kamu liat infotaiment tempo hari nggak? Tentang anaknya Ustadz Arifin Ilham itu lho..." tanya Mama mengingatkan pada berita tentang nikah mudanya anak seorang Ustadz kondang, yang dua hari belakangan ini menjadi topik utama acara infotaiment.
Aku mengangguk, "iya...yang jadi pro-kontra itu kan?"
Mama membawa baki berisi teh dan biskuit khas santai sore keluarga kami ke meja makan tempatku duduk. "Dia nikah muda dikatain. Ceweknya MBA lah, mesumlah..."
"Kasian yah, Mah... Padahal niatnya baik."
"Itu lah, coba kalau dia pacaran, pasti orang juga bakal nyinyirin dia, kayak; Anak Ustadz kok pacaran... Ya gitu, semua tergantung gimana orang menilai. Nggak semua hal yang baik dimata kita, bisa dinilai sama, sama mereka."
Aku mengangguk paham. Hidupku, pilihanku, tanggung jawabku. Mereka yang nyinyir tidak akan menjadi pemeran penggantiku juga kan, kalau aku jatuh?
"Kamu ngomongin ini, emang udah ada yang mau dateng?" godaan mamah membuyarkan pikiranku.
"Yaelah, Mah... Yang ngedeketin cupu semua... Kebaca deh cuma pengen main-main. Dikodein buat serius pada mundur teratur. Bye aja deh buat mereka semua..."
Mama mengelus rambutku seperti biasa. Iya, Mama memang senang sekali mengelus lembut rambutku disaat sedang menasehati atau berbicara dari hati ke hati. Itulah yang membuatku tidak pernah merasa kalau Mama sedang memarahiku. Karena Mama tidak pernah berkata kasar atau menggunakan emosi disaat sedang memberikan pengertian kepada anaknya.
"Untuk dapetin laki-laki yang baik emang nggak mudah. Sama kayak wanita yang baik. Didapetinnya butuh usaha."
Tiba-tiba bayangan wajah Naufal terlintas dibenakku. Cowok pendiam yang hampir tidak terlihat bagaimana lingkup pergaulannya itu gosipnya memang sangat alim.
Tidak pernah kurang ajar menggoda cewek-cewek cantik di Kampus. Lebih memilih untuk langsung pulang ke rumah daripada nongkrong-nongkrong di cafe. Dan, menurut anak-anak yang pernah satu kelompok tugas bersamanga, dia adalah sosok yang sangat serius dan fokus. Saatnya mengerjakan tugas, tidak akan ada yang namanya nyambi--sambil nonton, sambil makan, sambil nongkrong.
"Hayooo mikirin siapa? Udah ada nih pasti.... Kok nggak jujur aja hmm..." goda Mama lagi.
Aku hanya bisa tersipu. Mengingat pikiranku yang tanpa sadar membayangkan sosok Naufal. "Emm sebenernya Naura nggak yakin suka sama dia sih, Mah... Tapi, dia emang cowok paling beda di kampus. Nggak macem-macem." ucapku terus terang.
Mama mengangguk. Jelas beliau paham maksud dari 'nggak macem-macem' ku....
"Tapi dia cuek banget lho, Mah... Naura aja nggak yakin dia kenal sama Naura, padahal kami satu jurusan." Lanjutku kemudian.
"Tau nggak, Na? Jodoh itu emang di tangan Allah, tapi bukan berarti nggak bisa diusahakan."
"Maksudnya?" Aku merespon dengan antusias. Berarti aku bisa milih dong? Calum mungkin...hihi
"Ya, usahanya bisa dimulai dengan memperbaiki diri kamu sendiri, terus minta dia sama yang punya dia..."
Aku mengernyit bingung, "...yang punya dia?"
"Allah. Allah Yang Maha memberi. Allah Yang Maha membolak-balikkan hati hamba-Nya. Karena Allah yang punya dia, jadi Allahlah yang berkuasa atas dia."
"Pasti dikabulin? Kalau aku mintanya Calum?" Sahutku setengah bercanda. Ya, kali aja emang bisa hahaha...
Mama menggeleng gemas. "Hustt kamu ini... Yang logis dong mintanya. Kalau Allah nggak ngabulin, mungkin karena bukan dia yang terbaik. Tapi, kalau kamu baik dan dia baik insya' Allah kalau Allah berkehendak pasti ada jalan."
***
Aku meniup-niup ujung jilbabku yang masih belum juga meruncinh rapi meski sudah berulang kali ku benarkan. Pasti karena lupa disetrika.
Disebelahku Ambar sibuk bercerita tentang seorang mahasiswa yang katanya ganteng, dan katanya lagi sempat meminta id LINEku beberapa hari yang lalu.
Iya, aku tahu siapa yang dia maksud.
Rico, playboy (sok) ganteng yang entah kenapa bisa menjadi salah satu pria paling diincar di kampusku.
Beberapa hari yang lalu laki-laki itu memang sempat mengadd LINEku, kemudian lanjut chatting dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting yang hanya ku jawab seperlunya. Apa yang dia tanya, itulah yang ku jawab. Tanpa balik bertanya.
Tipikal laki-laki yang dengan cepat membuatku ilfeel. Basi-basi untuk hal yang tak perlu.
Berkenalan dengan pertanyaan-pertanyaan dasar untuk membuka percakapan. Padahal, aku bahkan sudah tahu kalau dia sudah menanyakan semua itu kepada Ambar.
"Lo ngeblokir dia yah? Katanya tiba-tiba aja kontak lo ilang..."
Aku sekedar nyengir garing kepada Ambar. Agak tak enak hati sebenarnya. Biar menyebalkan begini, Ambar tetaplah sahabat terbaikku. Meskipun kami punya banyak perbedaan, sering berselisih pendapat, tapi setiap pertengkaran yang ada tidak pernah berakhir dengan kata 'maaf'.
Meskipun itu formalitas tapi kami tidak membutuhkannya. Kami bisa berbaikan hanya dengan sekedar, 'tiba-tiba bersikap sok akrab,' ala kami.
"Mbar, lo kan udah cerita sama gue kalau dia mau kenalanlah, nanyain soal gue ini-itu lah, eh tiba-tiba dia ngechat isinya garing gitu ya gue males..." jawabku terus terang.
"Tapi, Na... Senggaknya jangan langsung main blokir dong, kan kasian, lagian gue jadi nggak enak sama dia."
"Sorry deh, Mbar.. Abis dia tuh kayak nggak paham gitu, lo kan tau, tindakan gue selalu menunjukkan apa yang gue maksud, tapi dia tuh polos atau bego sih? Masa udah gue kacangin chatnya masih berisik juga, ngechat mulu..." gerutuku sebal.
Aku memang kesal kepada Rico. Pertanyaaan basi, mengirimi pesan tak ingat waktu. Mengganggu.
"Astaghfirullah, Na... Lo ngatain orang bego..."
***
Waktu berlalu dengan cepat. Tidak terasa usia 19 semakin nampak didepan mata. Mama berulang kali menanyakan hal yang sama, "ulang tahun kali ini mau dirayain atau nggak?"
Hm, tiba-tiba aku terpikir untuk membuat acara yang sedikit berbeda dari tahun-tahun biasanya. Kumpul bersama anak yatim mungkin? Kalau begitu aku bisa meminta bantuan Naufal untuk mencarikan panti asuhan yang bisa ku ajak berbagi.
"Naufal udah nggak pernah ngajarin kamu lagi, Na?" tanya Mama tiba-tiba.
Aku mengangguk lambat. Sebenarnya aku juga tidak begitu yakin.
Oh iya, mungkin kalian bingung, bagaimana bisa tiba-tiba Naufal-yang-ku-bilang-mungkin-tidak-mengenalku itu ternyata cukup tahu tentangku?
Jadi, beberapa bulan lalu, dia yang juga merupakan asisten dosen diminta untuk menjadi tutor untuk salah sati mata kuliahku yang tidak memenuhi standart kelulusan.
Awalnya ku pikir dia akan menolak, tapi nyatanya, dia setuju tanpa pikir panjang.
Aku kira waktu akan berjalan membosankan--mengingat sosoknya yang cenderung kaku, tapi nyatanya dia termasuk pria yang menyenangkan. Dia mengajarkan dengan cara kekinian yang membuatku cepat paham.
Tapi, entah kenapa...seminggu terakhir ini dia memang tidak pernah datang ke rumah lagi. Di kampus pun ia terkesan menghindari segala kontak (bahkan kontak mata sekalipun) denganku. Untungnya nilai mata kuliahku mulai stabil, jadi ketidak hadirannya tidak menjadi masalah.
Tapi tetap saja jadi pertanyaan.
"Nggak tau deh, Mah... Tiba-tiba aja dia ngindarin Naura..."
"Kamu ada salah kali sama dia... Atau bikin dia kesel?"
Aku mengingat-ngingat moment terakhir kami bersama. Tidak ada hal penting terjadi. Masih sama seperti biasa. Hanya saja, dia terlihat bergegas menyelesaikan tugasnya, dan pamit tanpa mengobrol santai seperti biasa.
Aku menggeleng, "hm, nggak ada deh, Mah... Mungkin dia lagi ada masalah."
"Minta maaf duluan nggak ada salahnya lho, Na..." ujar Mama sebelum berlalu ke kamar.
Aku paham maksud Mama. Mungkin saja aku membuat kesalahan tanpa sadar? Atau aku salah tapi gengsi mengakuinya di depan Mama, itulah alasan ucapan beliau barusan.
***
Aku memasukan buku-bukuku dengan asal, dan buru-buru keluar. Ku acuhkan teriakan Ambar, karena saat ini yang ingin ku lakukan adalah mengejar Naufal.
"Fal!"
Naufal terlihat menghentikan langkahnya tanpa menoleh.
Dengan ragu aku melanjukan kalimatku, "Bisa kita bicara sebentar?" pintaku lamat-lamat.
Naufal mengisyaratkanku untuk mengikutinya yang mendahuluiku. Tanpa banyak tanya aku mengekor dibelakangnya.
Dan disinilah kami, kantin kampus yang cukup ramai dengan keributan khas anak-anak remaja yang sibuk bercengkrama.
"Fal, gue ada salah sama lo?" tanyaku terang-terangan. Aku memang tidak bisa berbasa-basi.
Naufal menggeleng dalam tunduknya, "nggak ada."
Kepala terus menunduk, menatapku pun enggan. Begitu bilang tidak ada masalah?
"Lo nggak lagi ngajarin gue, lo ngehindarin gue, lo sadar? Lo bikin gue bingung. Pengen minta maaf tapi gue yakin nggak ada salah. Tapi ngeliat tingkah lo yang begini, lo justru bikin gue merasa bersalah."
Naufal tetap menunduk dan terdiam cukup lama sebelum akhirnya berbicara. "Sorry, lo nggak salah. Cuma gue yang lagi bermasalah." ujarnya tetap dengan posisi kepala menunduk.
Aku mendesah pasrah. Yah, memang dia yang bermasalah. Dan mungkin, dia tipikal orang yang suka melibatkan orang lain dalam masalahnya
"Maaf, Na... Tapi lo nggak perlu ngerasa bersalah, karena emang lo nggak ada salah." ucapnya kemudian, dan segera berlalu.
***
"Gila! Dia ninggalin lo gitu aja? Bahkan tanpa natap mata lo?" Ambar menggeleng seolah tak percaya. "Freak! Sok banget sih tu orang!" makinya kemudian.
"Ihhh nggak boleh gitu, Mbar... Kan dia udah bilang, dia yang lagi ada masalah."
Ambar menatapku sinis. Bukan sinis dalam artian sebenernya. Hanya seperti mengejek.
"Lo naksir sama dia kan makanya belain dia... Jangan-jangan kalau dia nembak lo, lo bakal langsung ngehapus janji lo yang-pengen-langsung-nikah-tanpa-pacaran itu lagi..."
Aku menyikutnya pelan. "Sembarangan! Nggak bakal lah..." sahutku tak terima.
"Terus, lo mau ngapain kalau udah gini? Lo kan naksir sama dia..." godanya, lagi-lagi setengah mengejek. "Ga usah ngelak ya..karena lo tau, gue kenal lo banget."
Aku menerawang, "ikutin saran nyokap gue kali ya, Mbar... Minta dia sama yang punya dia."
***
Ambar mondar-mandir tak jelas di depanku. Beberapa kali iya nampak menggeleng sambil menggumam.
"Beneran freak tuh orang! Sekarang tau-tau pindah, maunya apasih?!"
Orang yang dimaksud Ambar disini adalah Naufal. Seminggu setelah obrolan terakhir kami di kantin, beredar kabar kalau dia pindah keluar kota. Entah apa alasannya.
Awalnya ku pikir hanya rumor, tapi dua hari setelah issue itu beredar, dia tetap tidak menampakkan batang hidungnya.
Aku menyesap latte ku yang mulai menghangat. "Mungkin dia ada masalah keluarga kaliya, sampe pindah gitu..." pikirku menerawang.
Ambar ikut meminum es jeruk miliknya. "Taulah! Beneran nggak jelas ya tu orang. Udah bikin anak orang naksir malah kabur." ujarnya setengah meledekku. "Bukannya lo udah doa buat minta dia sama Allah, tapi kok dia malah kabur..." ledeknya lagi.
Hmmm... Mungkin benar kata Mama, kalau Allah tidak mengabulkan, mungkin karena bukan dia yang terbaik.
"Jadi orang tuh jangan su'udzhon, Mbar... Apalagi sama Allah... Mungkin bukan dia yang terbaik makanya langsung sekalian dijauhin aja sama Allah." jawabku tak yakin. Kalau yang kayak dia aja bukan yang terbaik, yang baiknya bagaimana ya? Hm...
"Hei, Naura kan?"
Seorang gadis cantik dengan jilbab abu-abu tiba-tiba saja menyapaku. Sepertinya dia bukan salah satu mahasiswa di kampusku, karena aku sama sekali belum pernah melihatnya.
"Iya, kenapa?"
Gadis itu nampak sibuk merogoh tasnya sebelum menjawab pertanyaanku. "Ini buat kamu..." ia menyodorkan selembar amplop tanpa nama kepadaku. "Itu dari Naufal, lo kenal kan?"
Aku yang sedang membolak-balikan amplop pemberiannya sedikit terkejut tapi tetap mengangguk pelan.
"Aku adiknya. Sebelum balik ke kota asal orang tua kami, dia sempet nitipin itu ke aku. Katanya buat kamu, tapi karena aku sibuk baru sempet ngasih sekarang. Sorry ya..."
Aku yang masih sedikit bingung hanya mengangguk. Disebelahku, Ambar juga memasang tampang bingungnya sambil menatapku.
"Yaudah, aku pamit dulu ya. Permisi...."
Gadis itu berlalu setelah sempat mengulas senyum.
Dengan deg-degan, aku menatap surat di tanganku.
Ambar menatapku ingin tahu, berharap aku membukanya sekarang juga. Tapu sepertinya, aku akan membaca ini di rumah saja.
"Jangan kepo lo! Gue mau baca di rumah aja." aku meledek Ambar yang masih nampak penasaran bercampur kesal.
***
Seperti ingin meneteskan air mata, tapi juga tertawa.
Aku bahagia tapi juga sedih diwaktu yang bersamaan.
Genggaman tanganku yang berisi lembar surat dari Naufal semakin kuat.
Surat itu ku baca berulang kali untuk memastikan, bahwa ini bukan sekedar halusinasi.
Kalau memang itu pilihannya, mungkin aku akan berusaha melakukan hal yang sama untuknya.
Dear Naura...
Awalnya gue pikir, ngiyain permintaan Pak Bambang adalah hal yang bener.
Gue kira, berteman baik sama lo bakal berjalan sama kayak yang lainnya.
Tapi ternyata gue salah....
Lo bisa bikin gue gelisah dan bingung mau ngapain.
Lo sukses bikin gue bahagia dan sedih dalam satu waktu.
Gue tau, cinta itu anugerah. Tapi cinta juga bisa jadi musibah kalau disalurkan dengan hal yang salah.
Daya tarik lo begitu kuat...
Gue gamau menjadi dosa buat lo....
Karena ternyata, gue jatuh hati sama lo...
Suka sama lo bikin gue tanpa sadar jadi suka diem-diem cari tau tentang lo.
Termasuk prinsip lo (yang harus gue akuin) membuat gue kagum dan sadar diwaktu bersamaan.
Kalau perasaan biasa ini sudah berubah menjadi cinta, bukankah dosa kalau gue menatap lo penuh hasrat ingin memiliki?
Apa masih nggak masalah kalau kita berteman akrab seperti biasa?
Gue tau, lo butuh sosok yang matang untuk segala hal.
Jaminan untuk kebahagiaan dunia lo, dan akhirat lo.
Itu syarat wajib yang lo harapkan dari calon suami lo nanti kan?
Gue nggak mau terlalu berharap, tapi entah kenapa gue menjadi yakin.
Untuk berusaha, biar bisa menjadi sosok idaman pendamping lo kelak.
Bukan cuma menjamin kebahagiaan lo di dunia, tapi juga diakhirat.
Bukan cuma bersama untuk sementara, tapi selamanya... Di surga-Nya..
Tunggu aku,
...mengkhitbatmu...
Naura....
P/s : maafkan gue yang nggak bisa berbasa-basi. Tapi semoga ini bisa menjadi jawaban untuk semua keanehan sikap gue selama ini.
Salam,
Naufal...
•••••
Kembali hadir setelah kurang lebih 1 tahun vakum dari dunia menulis. Entah ada perkembangan atau nggak tapi emang ya, mulai nulis lagi tuh susah bgt! >,<
Sekalipun isi kepala udah penuh dengan segala macam ide, tetep aja kalau tangan dan kreatifitas (?) menciptakan kalimatnya nggak sinkron ya ga bakal jadi.
Dan ini, adalah satu-satunya (dari beberapa tulisan) yang bisa gue selesaikan dalam satu waktu. Sisanya mandek tengah jalan semua-_-
Btw, ini baru sekali edit tanpa dire-read ulang jadi kurang yakin sama hasil keseluruhannya HAHA-__-
Dan soal judul, ya ini inspirasinya dari foto cewek yang gue temukan (di google kalau ga salah HAHA) dengan pose megang kertas "Ku tunggu khitbatmu..." Dan yaaaaa jadi begitulah hehe
Bagi yang membaca, sangat boleh banget kalau mau meninggalkan kritik & sarannya di kolom komentar/socmed lainnya yang aku punya^^
Maaf, untuk kali ini, inspirasi menulis gue berasal dari sebuah foto bukan karena ngebayangin RiFy jadi ya maincastnya bukan mereka deh hehe....
Lovemuch!
Niyarsyd! Xoxo
Aku bukan wanita solehah.
Shalatku mungkin belum sempurna meski sudah 5 waktu. Ibu menyuruh masih suka minta menunggu. Ayah tegur masih terbiasa merengut.
Aku belum sesempurna itu.
Itulah mengapa aku membutuhkan sosok pria yang matang, bukan hanya soal usia, tapi juga agama dan pemikiran. Aku ingin dunia-akhiratku terjamin. Bukan sekedar hidup merdeka di dunia yang fana.
Katakanlah aku munafik.
Di usiaku yang baru menginjak 18 tahun, aku berikrar tidak akan pacaran kecuali langsung menikah.
Teman-teman meyangsikan hatiku, yang katanya mustahil tidak tersentuh pria-pria tampan di kampusku.
Yah, beberapa pria di lampusku terlihat menarik, ada juga yang terang-terangan mendekati tapi tidak ada satupun yang berani mendatangi orang tuaku...
"Lo nggak mau pacaran, tapi mau nikah muda...." Ambar menatapku sangsi, "Please deh, Na.. Lo yakin bisa hidup bahagia setelah menikah dengan cowok yang lo nggak tau seluk beluknya?"
Aku mendecak malas. Ambar memang senang sekali mengulang pernyataan ini, disetiap kali aku menolak untuk dicomblangkan dengan teman-teman prianya. "Emang kalau udah pacaran, lo bisa jamin tau luar dalam si 'dia' dari A sampe Z?"
Ambar terlihat menutup novelnya. Sepertinya dia akan serius membahas hal ini hingga beberapa jam kemudian. Hhhh....
"At least lo tau hal-hal dasar tentang dia. Setelah lo pacaran sama dia, lo bisa tau kebiasaan dia, kesukaan dia, keburukan dia, ke---"
"---bukannya banyak yang bilang, aslinya seseorang justru baru keliatan setelah menikah." potongku cepat.
Yes! Ambar kehabisan kata.
Aku tidak paham, kenapa setiap orang yang ku beritahukan angan-anganku untuk menikah muda selalu bereaksi seperti menentang niat (baik) itu.
Daripada pacaran? keluyuran berdua, foto mesra diumbar, nggak malu peluk-cium di depan orang. Maksiat yang tak dianggap maksiat....
Itu sih yang sering ku lihat di tv.
Ada yang mengistilahkan "pacaran sehat" & "pacaran islami". Yang tidak disertai peluk-cium sembarangan, atau pegang-pegang sesukanya. Lha, kalau tetap saja berduaan apa bedanya? Kan guru agama sudah pernah mengatakan, "berduaan itu nggak boleh, bahaya kalau ada setan...tau-tau jadi zina."
Kebanyakan orang berpikir zina itu pasti m**ing love, padahal guru agama juga sudah pernah berkata bahwa zina itu terbagi dua, zina kecil & zina besar. Zina kecil termasuk diantaranya, zina mata, zina lisan, zina tangan, zina telinga. Yang mana semuanya menghiasi aktifitas pacaran.
Hmm...maaf aku jadi seperti ustadzah. Tapi, please deh, kenapa mereka harus sibuk dengan niat baik untuk masa depanku sih?
***
"Namanya niat baik, emang nggak selalu berjalan mulus, Na...." Mama yang sedang sibuk menyayur di dapur menyahuti ceritaku. "Kamu liat infotaiment tempo hari nggak? Tentang anaknya Ustadz Arifin Ilham itu lho..." tanya Mama mengingatkan pada berita tentang nikah mudanya anak seorang Ustadz kondang, yang dua hari belakangan ini menjadi topik utama acara infotaiment.
Aku mengangguk, "iya...yang jadi pro-kontra itu kan?"
Mama membawa baki berisi teh dan biskuit khas santai sore keluarga kami ke meja makan tempatku duduk. "Dia nikah muda dikatain. Ceweknya MBA lah, mesumlah..."
"Kasian yah, Mah... Padahal niatnya baik."
"Itu lah, coba kalau dia pacaran, pasti orang juga bakal nyinyirin dia, kayak; Anak Ustadz kok pacaran... Ya gitu, semua tergantung gimana orang menilai. Nggak semua hal yang baik dimata kita, bisa dinilai sama, sama mereka."
Aku mengangguk paham. Hidupku, pilihanku, tanggung jawabku. Mereka yang nyinyir tidak akan menjadi pemeran penggantiku juga kan, kalau aku jatuh?
"Kamu ngomongin ini, emang udah ada yang mau dateng?" godaan mamah membuyarkan pikiranku.
"Yaelah, Mah... Yang ngedeketin cupu semua... Kebaca deh cuma pengen main-main. Dikodein buat serius pada mundur teratur. Bye aja deh buat mereka semua..."
Mama mengelus rambutku seperti biasa. Iya, Mama memang senang sekali mengelus lembut rambutku disaat sedang menasehati atau berbicara dari hati ke hati. Itulah yang membuatku tidak pernah merasa kalau Mama sedang memarahiku. Karena Mama tidak pernah berkata kasar atau menggunakan emosi disaat sedang memberikan pengertian kepada anaknya.
"Untuk dapetin laki-laki yang baik emang nggak mudah. Sama kayak wanita yang baik. Didapetinnya butuh usaha."
Tiba-tiba bayangan wajah Naufal terlintas dibenakku. Cowok pendiam yang hampir tidak terlihat bagaimana lingkup pergaulannya itu gosipnya memang sangat alim.
Tidak pernah kurang ajar menggoda cewek-cewek cantik di Kampus. Lebih memilih untuk langsung pulang ke rumah daripada nongkrong-nongkrong di cafe. Dan, menurut anak-anak yang pernah satu kelompok tugas bersamanga, dia adalah sosok yang sangat serius dan fokus. Saatnya mengerjakan tugas, tidak akan ada yang namanya nyambi--sambil nonton, sambil makan, sambil nongkrong.
"Hayooo mikirin siapa? Udah ada nih pasti.... Kok nggak jujur aja hmm..." goda Mama lagi.
Aku hanya bisa tersipu. Mengingat pikiranku yang tanpa sadar membayangkan sosok Naufal. "Emm sebenernya Naura nggak yakin suka sama dia sih, Mah... Tapi, dia emang cowok paling beda di kampus. Nggak macem-macem." ucapku terus terang.
Mama mengangguk. Jelas beliau paham maksud dari 'nggak macem-macem' ku....
"Tapi dia cuek banget lho, Mah... Naura aja nggak yakin dia kenal sama Naura, padahal kami satu jurusan." Lanjutku kemudian.
"Tau nggak, Na? Jodoh itu emang di tangan Allah, tapi bukan berarti nggak bisa diusahakan."
"Maksudnya?" Aku merespon dengan antusias. Berarti aku bisa milih dong? Calum mungkin...hihi
"Ya, usahanya bisa dimulai dengan memperbaiki diri kamu sendiri, terus minta dia sama yang punya dia..."
Aku mengernyit bingung, "...yang punya dia?"
"Allah. Allah Yang Maha memberi. Allah Yang Maha membolak-balikkan hati hamba-Nya. Karena Allah yang punya dia, jadi Allahlah yang berkuasa atas dia."
"Pasti dikabulin? Kalau aku mintanya Calum?" Sahutku setengah bercanda. Ya, kali aja emang bisa hahaha...
Mama menggeleng gemas. "Hustt kamu ini... Yang logis dong mintanya. Kalau Allah nggak ngabulin, mungkin karena bukan dia yang terbaik. Tapi, kalau kamu baik dan dia baik insya' Allah kalau Allah berkehendak pasti ada jalan."
***
Aku meniup-niup ujung jilbabku yang masih belum juga meruncinh rapi meski sudah berulang kali ku benarkan. Pasti karena lupa disetrika.
Disebelahku Ambar sibuk bercerita tentang seorang mahasiswa yang katanya ganteng, dan katanya lagi sempat meminta id LINEku beberapa hari yang lalu.
Iya, aku tahu siapa yang dia maksud.
Rico, playboy (sok) ganteng yang entah kenapa bisa menjadi salah satu pria paling diincar di kampusku.
Beberapa hari yang lalu laki-laki itu memang sempat mengadd LINEku, kemudian lanjut chatting dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting yang hanya ku jawab seperlunya. Apa yang dia tanya, itulah yang ku jawab. Tanpa balik bertanya.
Tipikal laki-laki yang dengan cepat membuatku ilfeel. Basi-basi untuk hal yang tak perlu.
Berkenalan dengan pertanyaan-pertanyaan dasar untuk membuka percakapan. Padahal, aku bahkan sudah tahu kalau dia sudah menanyakan semua itu kepada Ambar.
"Lo ngeblokir dia yah? Katanya tiba-tiba aja kontak lo ilang..."
Aku sekedar nyengir garing kepada Ambar. Agak tak enak hati sebenarnya. Biar menyebalkan begini, Ambar tetaplah sahabat terbaikku. Meskipun kami punya banyak perbedaan, sering berselisih pendapat, tapi setiap pertengkaran yang ada tidak pernah berakhir dengan kata 'maaf'.
Meskipun itu formalitas tapi kami tidak membutuhkannya. Kami bisa berbaikan hanya dengan sekedar, 'tiba-tiba bersikap sok akrab,' ala kami.
"Mbar, lo kan udah cerita sama gue kalau dia mau kenalanlah, nanyain soal gue ini-itu lah, eh tiba-tiba dia ngechat isinya garing gitu ya gue males..." jawabku terus terang.
"Tapi, Na... Senggaknya jangan langsung main blokir dong, kan kasian, lagian gue jadi nggak enak sama dia."
"Sorry deh, Mbar.. Abis dia tuh kayak nggak paham gitu, lo kan tau, tindakan gue selalu menunjukkan apa yang gue maksud, tapi dia tuh polos atau bego sih? Masa udah gue kacangin chatnya masih berisik juga, ngechat mulu..." gerutuku sebal.
Aku memang kesal kepada Rico. Pertanyaaan basi, mengirimi pesan tak ingat waktu. Mengganggu.
"Astaghfirullah, Na... Lo ngatain orang bego..."
***
Waktu berlalu dengan cepat. Tidak terasa usia 19 semakin nampak didepan mata. Mama berulang kali menanyakan hal yang sama, "ulang tahun kali ini mau dirayain atau nggak?"
Hm, tiba-tiba aku terpikir untuk membuat acara yang sedikit berbeda dari tahun-tahun biasanya. Kumpul bersama anak yatim mungkin? Kalau begitu aku bisa meminta bantuan Naufal untuk mencarikan panti asuhan yang bisa ku ajak berbagi.
"Naufal udah nggak pernah ngajarin kamu lagi, Na?" tanya Mama tiba-tiba.
Aku mengangguk lambat. Sebenarnya aku juga tidak begitu yakin.
Oh iya, mungkin kalian bingung, bagaimana bisa tiba-tiba Naufal-yang-ku-bilang-mungkin-tidak-mengenalku itu ternyata cukup tahu tentangku?
Jadi, beberapa bulan lalu, dia yang juga merupakan asisten dosen diminta untuk menjadi tutor untuk salah sati mata kuliahku yang tidak memenuhi standart kelulusan.
Awalnya ku pikir dia akan menolak, tapi nyatanya, dia setuju tanpa pikir panjang.
Aku kira waktu akan berjalan membosankan--mengingat sosoknya yang cenderung kaku, tapi nyatanya dia termasuk pria yang menyenangkan. Dia mengajarkan dengan cara kekinian yang membuatku cepat paham.
Tapi, entah kenapa...seminggu terakhir ini dia memang tidak pernah datang ke rumah lagi. Di kampus pun ia terkesan menghindari segala kontak (bahkan kontak mata sekalipun) denganku. Untungnya nilai mata kuliahku mulai stabil, jadi ketidak hadirannya tidak menjadi masalah.
Tapi tetap saja jadi pertanyaan.
"Nggak tau deh, Mah... Tiba-tiba aja dia ngindarin Naura..."
"Kamu ada salah kali sama dia... Atau bikin dia kesel?"
Aku mengingat-ngingat moment terakhir kami bersama. Tidak ada hal penting terjadi. Masih sama seperti biasa. Hanya saja, dia terlihat bergegas menyelesaikan tugasnya, dan pamit tanpa mengobrol santai seperti biasa.
Aku menggeleng, "hm, nggak ada deh, Mah... Mungkin dia lagi ada masalah."
"Minta maaf duluan nggak ada salahnya lho, Na..." ujar Mama sebelum berlalu ke kamar.
Aku paham maksud Mama. Mungkin saja aku membuat kesalahan tanpa sadar? Atau aku salah tapi gengsi mengakuinya di depan Mama, itulah alasan ucapan beliau barusan.
***
Aku memasukan buku-bukuku dengan asal, dan buru-buru keluar. Ku acuhkan teriakan Ambar, karena saat ini yang ingin ku lakukan adalah mengejar Naufal.
"Fal!"
Naufal terlihat menghentikan langkahnya tanpa menoleh.
Dengan ragu aku melanjukan kalimatku, "Bisa kita bicara sebentar?" pintaku lamat-lamat.
Naufal mengisyaratkanku untuk mengikutinya yang mendahuluiku. Tanpa banyak tanya aku mengekor dibelakangnya.
Dan disinilah kami, kantin kampus yang cukup ramai dengan keributan khas anak-anak remaja yang sibuk bercengkrama.
"Fal, gue ada salah sama lo?" tanyaku terang-terangan. Aku memang tidak bisa berbasa-basi.
Naufal menggeleng dalam tunduknya, "nggak ada."
Kepala terus menunduk, menatapku pun enggan. Begitu bilang tidak ada masalah?
"Lo nggak lagi ngajarin gue, lo ngehindarin gue, lo sadar? Lo bikin gue bingung. Pengen minta maaf tapi gue yakin nggak ada salah. Tapi ngeliat tingkah lo yang begini, lo justru bikin gue merasa bersalah."
Naufal tetap menunduk dan terdiam cukup lama sebelum akhirnya berbicara. "Sorry, lo nggak salah. Cuma gue yang lagi bermasalah." ujarnya tetap dengan posisi kepala menunduk.
Aku mendesah pasrah. Yah, memang dia yang bermasalah. Dan mungkin, dia tipikal orang yang suka melibatkan orang lain dalam masalahnya
"Maaf, Na... Tapi lo nggak perlu ngerasa bersalah, karena emang lo nggak ada salah." ucapnya kemudian, dan segera berlalu.
***
"Gila! Dia ninggalin lo gitu aja? Bahkan tanpa natap mata lo?" Ambar menggeleng seolah tak percaya. "Freak! Sok banget sih tu orang!" makinya kemudian.
"Ihhh nggak boleh gitu, Mbar... Kan dia udah bilang, dia yang lagi ada masalah."
Ambar menatapku sinis. Bukan sinis dalam artian sebenernya. Hanya seperti mengejek.
"Lo naksir sama dia kan makanya belain dia... Jangan-jangan kalau dia nembak lo, lo bakal langsung ngehapus janji lo yang-pengen-langsung-nikah-tanpa-pacaran itu lagi..."
Aku menyikutnya pelan. "Sembarangan! Nggak bakal lah..." sahutku tak terima.
"Terus, lo mau ngapain kalau udah gini? Lo kan naksir sama dia..." godanya, lagi-lagi setengah mengejek. "Ga usah ngelak ya..karena lo tau, gue kenal lo banget."
Aku menerawang, "ikutin saran nyokap gue kali ya, Mbar... Minta dia sama yang punya dia."
***
Ambar mondar-mandir tak jelas di depanku. Beberapa kali iya nampak menggeleng sambil menggumam.
"Beneran freak tuh orang! Sekarang tau-tau pindah, maunya apasih?!"
Orang yang dimaksud Ambar disini adalah Naufal. Seminggu setelah obrolan terakhir kami di kantin, beredar kabar kalau dia pindah keluar kota. Entah apa alasannya.
Awalnya ku pikir hanya rumor, tapi dua hari setelah issue itu beredar, dia tetap tidak menampakkan batang hidungnya.
Aku menyesap latte ku yang mulai menghangat. "Mungkin dia ada masalah keluarga kaliya, sampe pindah gitu..." pikirku menerawang.
Ambar ikut meminum es jeruk miliknya. "Taulah! Beneran nggak jelas ya tu orang. Udah bikin anak orang naksir malah kabur." ujarnya setengah meledekku. "Bukannya lo udah doa buat minta dia sama Allah, tapi kok dia malah kabur..." ledeknya lagi.
Hmmm... Mungkin benar kata Mama, kalau Allah tidak mengabulkan, mungkin karena bukan dia yang terbaik.
"Jadi orang tuh jangan su'udzhon, Mbar... Apalagi sama Allah... Mungkin bukan dia yang terbaik makanya langsung sekalian dijauhin aja sama Allah." jawabku tak yakin. Kalau yang kayak dia aja bukan yang terbaik, yang baiknya bagaimana ya? Hm...
"Hei, Naura kan?"
Seorang gadis cantik dengan jilbab abu-abu tiba-tiba saja menyapaku. Sepertinya dia bukan salah satu mahasiswa di kampusku, karena aku sama sekali belum pernah melihatnya.
"Iya, kenapa?"
Gadis itu nampak sibuk merogoh tasnya sebelum menjawab pertanyaanku. "Ini buat kamu..." ia menyodorkan selembar amplop tanpa nama kepadaku. "Itu dari Naufal, lo kenal kan?"
Aku yang sedang membolak-balikan amplop pemberiannya sedikit terkejut tapi tetap mengangguk pelan.
"Aku adiknya. Sebelum balik ke kota asal orang tua kami, dia sempet nitipin itu ke aku. Katanya buat kamu, tapi karena aku sibuk baru sempet ngasih sekarang. Sorry ya..."
Aku yang masih sedikit bingung hanya mengangguk. Disebelahku, Ambar juga memasang tampang bingungnya sambil menatapku.
"Yaudah, aku pamit dulu ya. Permisi...."
Gadis itu berlalu setelah sempat mengulas senyum.
Dengan deg-degan, aku menatap surat di tanganku.
Ambar menatapku ingin tahu, berharap aku membukanya sekarang juga. Tapu sepertinya, aku akan membaca ini di rumah saja.
"Jangan kepo lo! Gue mau baca di rumah aja." aku meledek Ambar yang masih nampak penasaran bercampur kesal.
***
Seperti ingin meneteskan air mata, tapi juga tertawa.
Aku bahagia tapi juga sedih diwaktu yang bersamaan.
Genggaman tanganku yang berisi lembar surat dari Naufal semakin kuat.
Surat itu ku baca berulang kali untuk memastikan, bahwa ini bukan sekedar halusinasi.
Kalau memang itu pilihannya, mungkin aku akan berusaha melakukan hal yang sama untuknya.
Dear Naura...
Awalnya gue pikir, ngiyain permintaan Pak Bambang adalah hal yang bener.
Gue kira, berteman baik sama lo bakal berjalan sama kayak yang lainnya.
Tapi ternyata gue salah....
Lo bisa bikin gue gelisah dan bingung mau ngapain.
Lo sukses bikin gue bahagia dan sedih dalam satu waktu.
Gue tau, cinta itu anugerah. Tapi cinta juga bisa jadi musibah kalau disalurkan dengan hal yang salah.
Daya tarik lo begitu kuat...
Gue gamau menjadi dosa buat lo....
Karena ternyata, gue jatuh hati sama lo...
Suka sama lo bikin gue tanpa sadar jadi suka diem-diem cari tau tentang lo.
Termasuk prinsip lo (yang harus gue akuin) membuat gue kagum dan sadar diwaktu bersamaan.
Kalau perasaan biasa ini sudah berubah menjadi cinta, bukankah dosa kalau gue menatap lo penuh hasrat ingin memiliki?
Apa masih nggak masalah kalau kita berteman akrab seperti biasa?
Gue tau, lo butuh sosok yang matang untuk segala hal.
Jaminan untuk kebahagiaan dunia lo, dan akhirat lo.
Itu syarat wajib yang lo harapkan dari calon suami lo nanti kan?
Gue nggak mau terlalu berharap, tapi entah kenapa gue menjadi yakin.
Untuk berusaha, biar bisa menjadi sosok idaman pendamping lo kelak.
Bukan cuma menjamin kebahagiaan lo di dunia, tapi juga diakhirat.
Bukan cuma bersama untuk sementara, tapi selamanya... Di surga-Nya..
Tunggu aku,
...mengkhitbatmu...
Naura....
P/s : maafkan gue yang nggak bisa berbasa-basi. Tapi semoga ini bisa menjadi jawaban untuk semua keanehan sikap gue selama ini.
Salam,
Naufal...
•••••
Kembali hadir setelah kurang lebih 1 tahun vakum dari dunia menulis. Entah ada perkembangan atau nggak tapi emang ya, mulai nulis lagi tuh susah bgt! >,<
Sekalipun isi kepala udah penuh dengan segala macam ide, tetep aja kalau tangan dan kreatifitas (?) menciptakan kalimatnya nggak sinkron ya ga bakal jadi.
Dan ini, adalah satu-satunya (dari beberapa tulisan) yang bisa gue selesaikan dalam satu waktu. Sisanya mandek tengah jalan semua-_-
Btw, ini baru sekali edit tanpa dire-read ulang jadi kurang yakin sama hasil keseluruhannya HAHA-__-
Dan soal judul, ya ini inspirasinya dari foto cewek yang gue temukan (di google kalau ga salah HAHA) dengan pose megang kertas "Ku tunggu khitbatmu..." Dan yaaaaa jadi begitulah hehe
Bagi yang membaca, sangat boleh banget kalau mau meninggalkan kritik & sarannya di kolom komentar/socmed lainnya yang aku punya^^
Maaf, untuk kali ini, inspirasi menulis gue berasal dari sebuah foto bukan karena ngebayangin RiFy jadi ya maincastnya bukan mereka deh hehe....
Lovemuch!
Niyarsyd! Xoxo
0 komentar:
Posting Komentar