Gadis itu menatap gelas berbahan keramik didepannya. Asap putih diatasnya mulai sedikit berkurang, pertanda minuman panas yang ia pesan tadi mulai menghangat.
Pikirannya melayang, menimbang-nimbang, apakah keputusan yang ia akan eksekusi sesaat lagi merupakan pilihan yang tepat?
“Ra..”
Teguran itu menyadarkannya. Sedikit kikuk gadis itu menyunggingkan seulas senyum kepada pemuda yang membangunkan alam bawah sadarnya.
Ditatapnya pemuda yang mulai menarik kursi dihadapannya dengan teliti. Mencoba kembali menelaah apakah yang akan dilakukannya adalah hal yang tepat?
“Kamu kenapa? Nggak biasanya minta ketemu.”
Naura menggigiti bibir bawahnya dengan gugup.
Sejujurnya, ia pun masih belum mengerti dengan apa yang ia rasakan. Entah mengapa, semua yang dulunya terasa indah kini berubah menjadi sesuatu yang membuatnya dilema.
Naura menetralisir rasa gugupnya dengan menyesap minuman yang mulai terasa hangat, miliknya. Setelah menghembuskan nafas tak kentara, ia berucap. “Ndre, maafin aku, aku..mungkin kita lebih baik 'selesai' sampai disini.” Meski dengan sedikit terbata, Naura mampu menyelesaikan kalimatnya.
Andrean--pemuda tadi, mengernyit tak paham. Apa yang sedang terjadi?
“Maksud kamu?”
Kebiasaan Naura kambuh lagi. Butir-butir keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Yah, ia mulai gugup. Atau mungkin takut? Reaksi yang biasa terjadi ketika dua rasa itu menyelimuti perasaannya.
“Aku, aku ngerasa nggak pantes buat kamu, Ndre. Aku--”
“--kamu ngomong apa sih?! Sejak kapan kamu berpikiran seperti itu? Yang boleh menilai kamu pantes atau nggak buat aku itu, aku!” Potong Andrean sedikit menyentak.
Naura mulai panik. Tangan kanannya bergerak naik mengusap keningnya yang basah.
Ingatannya kembali ke memori beberapa hari yang lalu.
Saat itu...
•••
Naura terdiam kaku karena tatapan mengintimidasi dari seorang gadis cantik yang cukup populer dikampusnya.
Pandangannya tertunduk kebawah. Meski begitu, ia bisa menangkap -melalui ekor matanya- tatapan menelanjangi dari gadis dihadapannya saat ini.
“Kamu nggak buta kan, Ra? Kamu masih punya kaca kan, dirumah?”
Naura bergeming. Pertanyaan bernada sinis, lengkap dengan pandangan mengejek membuatnya tak mampu berucap sepatah katapun.
Naura bukan gadis pemberani, yang dengan mudahnya bisa memberontak. Ia hanya seorang gadis biasa, yang terlalu rendah diri dan mungkin bisa dibilang, ia pun tidak percaya pada dirinya sendiri.
Gadis angkuh itu berdecak. “Denger yah, Naura Alyssa. Kamu, sama Andrean itu seperti matahari dan bintang. Sama-sama berada ditempat yang sama, tapi nggak ditakdirkan untuk muncul disaat yang bersamaan.” Gadis itu terus mengoceh. Bukan tanpa alasan. Ia cukup yakin, meski Naura tampak meringkuk ketakutan, gadis itu tetap memasang telinga demi mendengarkan 'cerita' nya.
“I mean, kalian itu nggak ditakdirkan untuk bersama-sama. Jadi, aku harap secepatnya kamu sudahi hubungan kalian. Karena, ini..” Dengan sedikir membungkuk gadis itu menNdredorkan jari manisnya didepan mata Naura. Dimana sebuah lingkaran dari emas putih bertahtakan sebuah batu--entah intan, permata atau berlian, tersemat disana. Yang mau tak mau, membuat Naura refleks memperhatikannya. “..ini adalah tanda pengikat diantara aku sama Andrean, yang akan segera diresmikan.”
Gadis itu kembali menegakkan tubuhnya. Kemudian -sok sibuk- membenahi baju mahal, dan rambutnya yang -sedikit- berantakan karena tertiup angin. Yah, dengan gayanya yang angkuh.
“Mestinya kamu berterima kasih sama aku, karena aku berbaik hati untuk ngasih warning ke kamu. Ya, aku cuma nggak mau aja, kamu lebih kecewa suatu saat nanti.” Gadis itu menyunggingkan seulas senyum sinis. Sebelum berlalu meninggalkan Naura, ia berpesan. “Oh iya! Aku tunggu kabar putusnya kalian yah, bye!”
•••
Kesepeluh jarinya masih saling bertaut, duduknya mulai gelisah. Gadis itu kehabisan kata untuk menyahuti seruan Andrean.
“Ra..” Ucapan Andrean melembut. Sebelah tangannya bergerak meraih salah satu tangan Naura yang saling bertaut, kemudian menggenggamnya.
“Aku tau ini bukan kamu. Aku sudah cukup mengenal bagaimana pribadi kamu selama ini. Kalau memang ada yang mengganjal dihati dan pikiran kamu, aku selalu siap untuk mendengarkannya.” Andrean berusaha menarik kedua manik Naura untuk menatapnya. Dan usahanya berhasil!
Kegelisahan yang menghiasi kedua bola mata Naura membuatnya yakin, ada sesuatu dibalik semua ini.
“Ndre, aku ini cuma seorang gadis biasa yang bukan berasal dari kalangan berada. Dan aku cukup sadar diri--setelah sekian lama aku dibutakan cintaku sendiri, kalau aku dan kamu itu berbeda, Ndre.”
“Ra--”
“--Aku dan kamu, berbeda.”
Andrean memandang Naura dengan gusar. Mengapa dizaman sekarangpun, hal semacam ini masih menjadi persoalan?
“Dari dulu, semua yang ada dimuka bumi ini diciptakan berbeda. Dan perbedaan itu ada untuk disamakan agar menjadi indah.”
Naura ingin sekali membenarkan semua itu. Namun hati kecilnya menolak. Justru menyuruhnya kembali mengingat pesan dan nasehat sahabat terbaik yang selalu menjadi tempat curahan hatinya. Tania.
•••
“Setahun, dua tahun, atau selama apapun kalian menjalin hubungan, itu nggak menjadi jaminan bahwa kalian memang pasti-selalu bisa melewati semua rintangan yang ada dalam hubungan kalian semudah itu, Ra.”
Naura mengamati gerak gerik Tania. Gadis berambut sebahu itu nampak fokus membuatkan segelas teh hangat untuknya.
“Maksud kamu?”
Masih setia dengan kerjaannya--mengaduk larutan gula dalam gelas teh, Tania menjawab.
“Mungkin ada baiknya, kamu meloloskan ancaman Dea. Bukan sebagai pertanda kamu takut atau patuh sama dia, tapi lebih karena memang yang terbaik adalah melepaskan Andrean.” Tania menNdredorkan teh buatannya kepada Naura.
“Ya, kamu taukan aku--”
“--Ra, aku tau banget. Tapi, apa yang dikatakan Dea ada benarnya. Kamu dan Andrean, diciptakan memang pada bumi yang sama, tapi tidak untuk bersama.” Potong Tania. “Bukan masalah perbedaan status sosial, tapi..” Tania menunjuk dadanya. “Keyakinan yang ada dalam hati kalian.”
Karena tak seharusnya...
Perbedaan menjadi jurang...
“Kenapa kamu berpikir sampai sejauh itu? Aku yang menjalaninya bahkan nggak pernah memikirkan itu.” Ucap Naura pelan. “Jangan, Ya!” Sambungnya kemudian, saat melihat Tania beranjak dari kursinya untuk mematikan radio yang mulai bernyanyi.
Tania menurut, dan kembali pada tempatnya.
“Lantas, apa kamu mau hubungan kalian cuma begini-begini aja? Nggak ada kemajuan. Kamu nggak berniat untuk punya masa depan sama Andrean?”
Bukankah kita, diciptakan untuk dapat saling melengkapi?
Mengapa ini yang terjadi?
“Tapi kenapa perbedaan harus ada sebagai penghalang kalau pada akhirnya, yang berbeda harus merasakan saling cinta?”
Mestinya perbedaan bukan alasan, untuk tak saling memahami..
Harusnya cinta bisa memberi jalan, tuk satukan sebuah harapan..
“Jangan ngebenerin lirik lagu itu!” Tegur Tania saat mendapati Naura yang sepertinya sangat menghayati lirik lagu yang terputar diradio.
“Kenapa? Bukannya bener? Perbedaan bukan alasan. Dan dengan cinta, semua bisa terselesaikan.”
Karena tak seharusnya, perbedaan menjadi jurang..
“Ra, keyakinan nggak bisa ditolerir atas nama cinta kepada manusia. Kamu nggak ngelupain apa yang diajarkan guru agama kita di SMA dulu kan?” Tanya Tania sekedar mengingatkan. Naura mengangguk.
Untuk menjadi isteri yang solehah, sudah tentu dibutuhkan suami yang soleh sebagai imamnya. Jika imam kita bukanlah muslim, lantas apa bisa kita menjadi isteri yang solehah?
Selain itu, tujuan hidup manusia kan surga. Jika disaat status kita adalah seorang anak, surga itu berada dibawah telapak kaki ibu. Maka, ketika berganti status menjadi seorang isteri maka surga itu berada dalam ridho suami.
“Inget, Ra. Cobaan Tuhan bermacam-macam bentuknya. Selain harta, tahta dan wanita, kadang cinta pun termasuk didalamnya. Kamu pilih, cinta kepada Tuhan yang menciptakanmu. Atau cinta kepada makhluk ciptaan Tuhan mu?”
Naura terdiam. Hatinya membenarkan ucapan Tania.
•••
“Ndre, seperti matahari dan bintang. Kita mungkin ditempatkan pada lahan yang sama, tapi kita hadir diwaktu yang berbeda. Karena kita, memang tidak digariskan untuk menghiasi langit disaat yang bersamaan.”
Andrean mengerang frustasi. “Aku nggak ngerti maksud kamu apa.”
Naura mengucap bismillah dalam hati. Berharap apa yang ia ke muka kan sesaat lagi, tidak akan menyakiti siapapun. Baik dirinya sendiri, ataupun Andrean.
“Aku ingin menjadi isteri yang solehah, dan mendapatkan suami yang soleh. Suami yang bisa mengimami aku, dan membawaku menuju surga-Nya. Jika cara kita menyembah-Nya saja sudah berbeda, bagaimana bisa kamu membawaku menjadi hamba yang baik kepada Tuhanku?”
Andrean menatap Naura putus asa. Haruskah kisah cinta yang sekian tahun mereka jalin berakhir disini? Saat ini? Seperti ini?
“Ra..”
Naura mengusap lembut punggung tangan Andrean yang tergeletak pasrah diatas meja. “Carilah dia yang pantas untukmu, dia yang mungkin bukan aku.”
“Ra, please..”
“Sstt.. Karena aku dan kamu, berbeda. Dan memang bukan untuk bersama.” Naura mencoba tersenyum, meski hatinya menahan sakit. Ah, matanya pun sekuat tenaga menahan agar bulir-bulir hangat itu tak menghiasi wajahnya. “Aku pamit, bye!”
---
The End! Okay, maaf kalau cerita ini mengandung sara. I don't mind.
Dan yang pasti, terima kasih untuk Rio sama Ify yang sudah menjadi sumber imajinasi saya dalam berkarya!
FYI, ini cerita awalnya gue tulis pake nama Rio sama Ify lho hihi
INI FIKSI YA! Semoga ada hikmahnya (?)
#muchlove!
@Kania08_
0 komentar:
Posting Komentar