-- Hanya Jadi Sahabatmu --
....
kau katakan rindukan aku, sesungguhnya juga aku..
namun masih sadar dan tak pernah tahu..
apa yang kau inginkan dengan semua ini..
-----
Aku berjalan setengah berlari sambil menyeret sebuah koper besar berwarna coklat lembut. Tergesa-gesa memang, karena rasa rindu yang ada didalam dadaku pada gadis itu kian membuncah. Tak sabar rasanya untuk bisa kembali memandangi wajah cantiknya, melihat senyum manisnya. Dan tentu saja sepasang magnet pengikat paling kuat, yang selalu mampu menahan hembusan nafasku. Membuat degup jantungku kian tak menentu saat menatap mata itu.
Yah, setelah 4 tahun menetap di negeri orang, dan melanjutkan masa SMP dan setahun pendidikan SMA ku disana, akhirnya aku bisa kembali menginjakkan kaki ditanah kelahiranku.
"Rio!"
Aku mengangkat wajahku. Dengan senyum bahagia yang terkembang dengan sumringah, aku berlari-lari kecil menghampirinya.
"Rio.." rengeknya manja, saat kami mulai berhadapan "i miss you so much, boy." sambungnya. Detik berikutnya ia mulai memelukku tanpa ragu, perlahan-lahan aku melepaskan peganganku pada koper yang ku bawa. Dan mulai memberanikan diri membalas pelukan hangatnya.
"Aku juga. Kangen banget-banget malah." ucapku jujur.
Tiba-tiba kedua manik mataku tertumpu pada satu titik. Seorang pemudah bermata sipit, dengan type wajah oriental yang tengah tersenyum bersahabat. Merasa ada sesuatu yang sepertinya perlu dijelaskan, aku melepaskan pelukan penyambutan yang ia berikan padaku.
"Ow iya apa kabar, Fy?" tanyaku berbasa-basi. Aku kembali meraih koperku, dan perlahan-lahan menyeretnya seiring langkahku.
Ify tersenyum, ia mengiringiku setelah sebelumnya meraih lengan lelaki oriental tersebut. Kemudian menggandengnya, dan berjalan beriringan disamping kananku.
"Aku baik, Yo. Kamu?"
"Seperti yang kamu lihat." aku tersenyum sekilas. Ah ya, aku belum menanyakan identitas pria oriental tadi "dia siapa?" tanyaku.
Ify menatap Alvin yang sedang balas menatapnya dengan sebuah senyuman.
"Kenalin, Vin," suruhnya pada pria tersebut "Yo, ini Alvin." ucapnya padaku.
Pria bernama Alvin tersebut mengulurkan tangan kanannya. Dengan segera aku menyambutnya.
"Rio." ucapku singkat, namun tetap diakhiri dengan senyum bersahabat "emm..pacarnya..Ify, ya?" tanyaku agak ragu.
Pasalnya pria ini terlihat mesra dengan Ify. Apalagi Ify tanpa canggung menggandeng lengan pria tersebut. Seingatku, satu-satunya pria 'asing' yang mau Ify gandeng dan ia izinkan untuk menggandeng lengannya hanya satu, aku.
Jadi, wajar saja kan jika aku bertanya seperti itu.
"Ehhee, iya. Gue pacarnya Ify."
Cukup dengan mendengar sebuah kalimat berisi 3 kata tersebut, aku sudah merasakan -seolah- sebuah batu besar menghantam dadaku. Tepat mengenai ulu hatiku.
"Yo, Yo?" aku tersadar saat telapak tangan Ify melambai-lambai dihadapanku "are you okay?"
Aku mengangguk kikuk "ohh iya. Aku baik-baik aja kok, Fy." jawabku menenangkan "mungkin sedikit capek." tambahku.
"Ya udah, kalau gitu biar lo langsung gue anter aja deh." Alvin yang tadinya diam membuka suara "kamu belakangan aja gak papa kan, Fy?" sambungnya bertanya sambil menatap Ify.
"Iya, gak papa kok. Lagian kasian Rio kalau dianter belakangan, aku gak mau dia sakit." celoteh Ify dengan ceria.
Nada bicara itu. Nada bicara yang selama 3 tahun ini aku rindukan. Nada bicaranya yang manja, ceria namun penuh perhatian.
Sreet..Ify meraih koper milikku. Kemudian menyuguhkan manik bening miliknya tepat pada kedua bola mataku. Membuatku kembali terhanyut, dan jatuh...jatuh pada tempat yang salah.
"Biar aku bawain yah?" ujarnya setengah meminta. Sebagai pria sejati tentu saja aku menolaknya.
"Eh jangan, Fy! Gak usah. Biar aku aja yah," ujarku membujuk. Seperti yang ku bilang, Ify adalah gadis manja. Semua yang ia katakan harus dijawab iya (tentu saja hal itu hanya berlaku padaku, yang memang sejak kecil telah bersamanya).
"Aku aja, Rio..." rengeknya memaksa.
Kami pun berhenti melangkah, dan mulai melakukan aksi tarik-menarik. Sekilas, melalui ekor mataku, aku mendapati Alvin tengah menahan tawa dengan salah satu tangannya. Namun tak berselang lama, ia menjadi penengah diantara kami.
"Yang adil, biar aku aja ya, Fy." ucapnya, dengan menatap lembut pada Ify "nggak papa kan, Yo? Kalau gue yang bawain?" sambungnya menatapku.
Entah atas dasar apa aku mengangguk. Lalu kami melanjutkan langkah kaki yang sempat terhenti, menuju parkiran bandara. Lebih tepatnya menuju mobil Alvin, yang akan mengantarkan ku kembali ke rumah.
-----
kau bilang ku cintamu, aku juga sayangmu
namun yang aku tahu masih saja ada dirinya
-----
Aku sedang menghabiskan waktu istirahatku dengan membaca buku diperpustakaan sekolah. Sudah 1 bulan lamanya aku menjadi salah satu penghuni Tunas Bangsa, tempat dimana Ify menuntut ilmu. Ify. Sebenarnya gadis itu sempat menawarkan ku untuk menghabiskan waktu istirahat bersamanya. Namun dengan sengaja aku menolak. Aku tak ingin menjadi nyamuk ditengah-tengah sejoli yang tengah merajut kasih. Hal itu hanya akan semakin menambah luka dihatiku saja. Bagaimanapun juga, semakin lama...aku semakin harus mengakui bahwa aku mencintainya. Ify, sahabatku sedari kecil.
"Yo?"
Aku tersadar dari lamunanku akan Ify, saat sebuah suara halus menyapa indera pendengaranku. Acha, salah satu gadis cantik yang menjadi teman sekelasku tengah duduk manis disebelahku, dengan sebuah buku ensiklopedia dihadapannya.
"Eh, Acha.." sahutku seadanya. Gadis itu tersenyum lucu.
"Baca apa, Yo?"
Aku mengangkat buku tebal ditanganku.
"Se-ja-rah," ejanya "ada ulangan ya?" tanya nya kemudian.
Aku menggeleng kecil "nggak, ngisi waktu luang aja."
Acha mengangguk. Menit selanjutnya, aku dan Acha justru mengobrol asyik, mengacuhkan buku yang kami pilih tadi.
Aku sedikit terkikik ketika melihat Acha menggelembungkan kedua pipinya, saat ia merasa kesal karena aku terus menggodanya yang sedang dalam masa PDKT dengan seorang pria ternarsis dikelas kami, Ozy.
Merasa semakin gemas, aku malah nekat mencubit pipi chubbynya, membuat ia meringis kecil.
Pluk..sesuatu terjatuh tidak jauh dari posisiku saat ini. Ternyata sebuah kantung plastik hitam yang isinya kini sudah tercecer dilantai perpustakaan.
"Ify.." ucapku kaget. Terlebih saat melihat raut tidak suka dan tatapan nanar yang menghujam manik mataku.
Tanpa mengindahkan perkataanku, Ify berlari keluar perpustakaan. Meninggalkan kantung plastik -yang terdiam pasrah di lantai perpustakaan- yang ia bawa sebelumnya.
Aku terpaku. Menatap sebungkus keripik kentang dan sekotak susu coklat yang masih berembun, yang sepertinya berasal dari kantung plastik hitam milik Ify. Kemudian lanjut menatap punggung Ify yang mulai menghilang dibalik pintu perpustakaan.
"Kejar, Yo! Ify salah paham." suruh Acha.
Aku tersentak, kemudian menatap gadis itu dengan alis terangkat.
"Aduhhh! Ify cemburu dan dia salah paham." Acha mencibir gemas, sambil mendorong pelan tubuhku "jelasin sana!" perintahnya lagi.
Aku masih terdiam. Apa iya, Ify cemburu padaku? Atas dasar apa? Bukankah ia memiliki Alvin?
Setelah sebelumnya menyempatkan diri meraih apa yang sebelumnya Ify bawa, aku segera berlari keluar perpustakaan guna mencari Ify.
.....
"Ify.."
Aku menyentuh pundaknya, lembut. Kemudian ikut memposisikan diri, dengan duduk manis disampingnya.
Ahh, setelah aku berlari kesana kemari, akhirnya aku menemukan Ify duduk termenung di salah satu bangku semen yang menghiasi taman sekolahku.
"Kamu marah?" tanyaku to the point.
Ify menggeleng tanpa menatapku. Bahunya bergerak naik turun, seiring isak tangisnya.
Aku mendesah lirih "terus kenapa? Kok gak jawab aku?" tanyaku lagi.
Kali ini, Ify mulai menatap mataku. Ah, magnet itu. Magnet yang selalu sukses mengunci tatapanku, dan tak ingin membuatku berpaling barang sedetikpun. Kini magnet itu telah berair. Mengunciku dengan tatapan sendu, penuh kesedihan.
"Aku sayang kamu." ucapnya di tengah isak tangisnya.
Tubuhku membeku. Tentu saja aku terkejut. Bagaimana bisa? Ify menyatakan bahwa ia menyayangiku, sementar dipihak lain ada Alvin, kekasihnya. Mungkin..mungkinkah sayang yang Ify maksud sayang pertanda sahabat? Atau sayang pertanda saudara?
"Aku juga sayang kamu, kamu tau itu kan?" tanyaku berusaha tenang.
Ify menggeleng lemah. Tanpa aba-aba ia mulai menubruk tubuhku. Memeluk dengan erat dan masih terisak.
"Aku menyayangi kamu sebagaimana hawa menyayangi adam, Yo."
Aku kembali terpaku. Lalu, Alvin?
"Nggak, Fy! Kamu udah punya Alvin, dan kita sahabat." ucapku seraya melepaskan pelukannya. Jauh didasar hatiku, aku merutuki kalimat yang terlontar beberapa detik lalu itu. Secara tidak langsung, aku mulai munafik.
"Aku nggak tau, Yo. Aku nggak tau!" racaunya frustasi. Ia menenggelamkan parasnya pada kedua telapak tangan yang mulai basah akibat air mata bercampur keringatnya.
"Kamu sayang sama aku karena kita sahabat, Fy. Karena kita telah seperti saudara." ucapku memberi pengertian. Belum waktunya Ify mengetahui kenyataan hatiku yang sesungguhnya.
Perlahan, air mata Ify mulai mengering. Meski masih sedikit terisak.
Aku tersenyum melihat 'gadisku' yang telah berhenti menangis. Seperti biasa, aku menghapus air mata yang membasahi wajah cantiknya. Kemudian membelai lembut, rambut hitam panjang miliknya.
"Udah yah, jangan nangis lagi! Jelek loh kalau nangis kayak tadi." ejekku guna menghiburnya. Ify merengut kesal. Kemudian mengacak-acak rambut bergaya spike milikku.
Biarlah. Biarlah semua berjalan seperti ini, setidaknya untuk saat ini. Karena belum waktunya Ify mengetahui isi hatiku. Karena ia telah memilih orang lain, dan orang lain telah memilikinya.
-----
ku selalu cemburu dan tak bisa tuk selalu begini
aku tak pernah mau hanya jadi sahabatmu
-----
Weekend kali ini dengan amat sangat terpaksa harus ku habiskan bersama Ify dan..Alvin. Tak perlu ku jelaskan apa yang membuatku terpaksa, kan? Karena semua pasti sudah tahu.
Kalau bukan karena Ify yang terus membujuk, mungkin saat ini aku tengah duduk manis sambil menggenjreng gitar akustik kesayanganku. Melantunkan senandung isi hati yang masih tertahan dihati. Hanya untuk Ify.
"Aduhh, gak apa-apa nih, Fy kalau gue ada disini?" tanyaku -pura-pura- tidak enak.
"Udah nggak papa. Iyakan, Vin?" tanya Ify meminta persetujuan.
Alvin mengangguk mantap "iya, Yo. Lagian kalau cuman gue berdua doang sama Ify dirumah ini, bisa curiga nyokapnya Ify. Kan kalau ada lo enak, nyokapnya Ify juga percaya bangetkan, sama lo?"
Aku mengangguk malas. Yah, saking dekatnya aku dan Ify, kedua orang tua Ify tak pernah sungkan memberikan kepercayaan mereka padaku untuk menjaga Ify.
Dengan alasan itulah, akhirnya aku kembali menghempaskan tubuhku disofa bagian sebelah kiri. Mencoba ikut berbaur dan menikmati tontonan yang tengah disaksikan Ify dan Alvin.
"Aaa.." Ify histeris saat melihat sesosok hantu yang tiba-tiba saja muncul. Dan satu yang menyesakkanku, saat 'gadisku' memeluk lelaki lain yang memang mempunyai hak lebih atas dirinya, dibandingkan aku. Ia ketakutan dan aku tahu itu. Tapi ia justru nekat memilih "Bunsinshaba" sebagai tontonan akhir minggu kami.
Tanganku mengepal kuat saat melihat tangan kanan Alvin yang melingkar dibahu Ify. Membuat tubuh 'gadisku' itu kian mendekat kepadanya. Nyaris tak berjarak. Aku membuang muka, tak ingin menyaksikan adegan itu lebih lama.
"Ekhem..ekhem.."
Aku berdehem refleks saat melihat Alvin merangkul Ify semakin kuat. Sontak saja kedua sejoli itu menatapiku dengan alis tertaut.
Aku menyeringai kecil sambil menggaruk-garuk tengkuk ku yang sama sekali tidak gatal.
"Sorry, gue haus," ucapku asal "aku ke dapur boleh kan, Fy?" tanyaku meminta izin.
Ify mengangguk kecil "aduh, Yo..kamu kayak dirumah siapa aja deh. Silahkan!"
.....
Ahhh..menyebalkan! Apa-apaan ini? Belum ada satu tahun aku menetap di Indonesia, aku harus kembali ke Australia menyusul ayah dan ibuku. Mereka bilang, dengan berat hati aku harus kembali pindah ke sana. Nenekku sakit keras, dan sangat menginginku aku berada disampingnya.
Tapi..tapi bagaimana dengan Ify? Apa ia akan menerima kepergianku? Aku ingat! Dulu, dia menangis tanpa henti melepaskan kepergianku yang untuk pertama kalinya. Masih dengan seragam putih merah, lengkap dengan medali penghargaan sebagai juara umum selepas perpisahan SD, ia mengantarkan keberangkatanku.
»»
"Kamu jahat! Kenapa mesti ke luar negri sih, Yo?!"
Aku terdiam tak mampu menjawab. Aku memang tak tahu harus berkata apa, hingga akhirnya mama mendekat ke arahku dan Ify.
"Sayang, tante, om, sama Rio terpaksa pindah karena ada pekerjaan disana." Mama mencoba memberi pengertian pada Ify, sambil mengusap lembut rambutnya.
"Tapi..tapi hiks..yang kerjakan om sama tante..hiks..ken..kenapa Rio harus ikut juga?"
"Ify sayang, cantik..dengerin tante yah. Kalau Rio tinggal, dia mau tidur dimana? Lagipula, apa kamu gak kasian kalau Rio kangen sama om, sama tante?"
Ify tak menjawab. Aku masih melihat kalau ia terus menangis, sambil menggenggam kuat pita merah putih yang sebelumnya menghiasi kunciran rambutnya.
"Tapi..tapi..Ify nanti gak ada temennya, tante.." Ify kembali merengek. Aku pun akhirnya maju selangkah, dan memeluknya erat.
"Aku janji, aku gak akan lama. Aku pasti balik, Fy!" janjiku sungguh-sungguk "iyakan, mah?" tanyaku meminta persetujuan. Mama mengangguk dengan seulas senyum manis dibibirnya.
Aku pun melepaskan pelukanku "tuh, Fy. Kata mamah iya." ucapku bersemangat. Ify kembali tersenyum, ku bantu ia mengusap air matanya hingga benar-benar terhapus.
"Jadi Ify izinin Rio pergi, kan?" tanya mama. Ify hanya mengangguk lesu.
"Aku pasti kangen kamu, Fy." ucapku jujur.
"Aku juga, aku akan nungguin kamu."
"Aku pasti balik."
Aku kembali memeluk Ify sekilas. Kemudian mulai berjalan gontai, mengiringi langkah kaki mama.
"Riooooo! Cepat pulang! Cepat kembali! Dan jangan pergi lagi!" teriaknya yang mulai terdengar samar-samar ditelingaku.
««
"Arghhhh.."
Aku mengacak-acak rambutku dengan kesal. Ku tatap koper coklat lembutku, dan foto Ify secara bergantian. Bagaimana ini? Bagaimana bisa aku meninggalkannya?
-----
dan aku makin bingung
saat ku kan pergi kau menahanku
-----
Buk..bukk
Ify memukuli dadaku dengan -mungkin- marah. Dibelakangnya Alvin berusaha menenangkan Ify, dan mencoba meraih tangan gadis tersebut.
"Udah, Fy. Udah!" ucap Alvin memerintah, namun bernada lembut.
"Kamu bohong, Yo. Kamu bohong! Kamu bilang gak bakalan pergi lagi, tapi sekarang?!"
"Bukan mauku, Fy." aku berujar lirih dengan kepala menunduk.
Alvin menyentuh pundakku, dan pundak Ify secara bersamaan.
"Kalian perlu ngomong berdua, aku tinggal gak papa kan, Fy?" izinnya.
Aku segera menahan langkah Alvin "elo mau kemana? Gue mau pergi. Masa Ify mau ditinggal sendiri?!" tanyaku agak kesal. Kenapa ia tega sekali meninggalkan 'gadisku' sendiri. Sementara aku, aku tinggal menghitung menit harus segera meninggalkan negara ini.
Alvin menepuk pundakku dengan tenang "jangan khawatir, Yo! Gue cuma kesebelah sana," ia menunjuk ke arah deretan kursi tunggu di arah barat "lo berdua perlu ngomong, gue tinggal yah." pamitnya meninggalkanku dan Ify. Berdua.
Tak ada yang mulai berbicara selepas kepergian Alvin. Hanya derai air mata Ify yang terus mengalir tiada henti.
"Maaf.." ucapku teramat lirih. Aku tak mampu menatap manik matanya yang bisa dengan mudahnya mengancurkan pertahananku.
"Kenapa kamu harus balik, kalau cuma untuk pergi lagi? Kenapa kamu bikin janji, kalau cuma buat kamu ingkari?!"
"Maaf.." tak ada yang bisa aku ucapkan selain kata maaf.
"Dengan senang hati aku nungguin kamu selama 3 tahun. Sekarang, kamu mau bikin aku menunggu lagi? Iya?!"
"Maaf.."
"Aku gak mau kamu pergi, Yo.."
"Maaf. Tapi harus, Fy.."
"Aku sayang kamu,"
"Aku juga.."
"Bukan sebagai sahabat!" selanya dengan tegas.
"Aku menyayangi kamu sebagaimana adam menyayangi hawa, Fy.." ungkapku akhirnya.
Aku menangkap raut keterkejutan pada paras cantiknya. Entahlah, mungkin ia tak menyangka bahwa aku akan berkata demikian.
Bertepatan dengan itu, suara seorang wanita dewasa mulai menggelegar. Memberi peringatan bahwa pesawatku akan segera berangkat.
Dengan sedikit keberanian, aku memeluk Ify sebentar.
"Aku sayang kamu.." bisikku seraya melepaskan pelukan kami.
Ia tak menjawab. Hanya diam menunduk. Aku menghembuskan nafas sejenak, kemudian mulai bersiap menarik koperku dan meninggalkan Ify pada kebisuannya.
"Jangan pergi! Jangan tinggalin aku!" pintanya dengan nada memohon. Jika dulu aku bisa langsung berkata 'iya' tapi maaf..kini tak bisa.
"Maaf, Fy! Tapi aku gak bisa."
"Kamu jahat! Kamu jahat!"
"Maaf, Fy..aku sayang kamu.."
Aku berjalan gontai meninggalkan Ify yang tetap menangisi kepergianku. Maaf..karena tak ada yang bisa ku lakukan selain menuruti keinginan orang tuaku, bathinku.
=====
Huhhh..alhamdulillah yah, akhirnya dalam hitungan jam bisa nyelesein ni cerpen. Eumm sekitar 3 jam lah ya..dari jam 10 sampe jam 12. Gimana? Gimana? Jelek yah? Aneh?
Hehehe..maklumin, gue nya galau. Ini tertulis gitu aja, seiring kegalauan hati.
Okayguysss..kalau mau koment, kritik atau ngasih saran, silahkannnnn!
Diterima dengan senang hati kok.
Thanksoyaaa buat likers, readers dan semuanya deh pokoknya..
Loveyaaaa...
_with love Nia 'nistev' Stevania_
....
kau katakan rindukan aku, sesungguhnya juga aku..
namun masih sadar dan tak pernah tahu..
apa yang kau inginkan dengan semua ini..
-----
Aku berjalan setengah berlari sambil menyeret sebuah koper besar berwarna coklat lembut. Tergesa-gesa memang, karena rasa rindu yang ada didalam dadaku pada gadis itu kian membuncah. Tak sabar rasanya untuk bisa kembali memandangi wajah cantiknya, melihat senyum manisnya. Dan tentu saja sepasang magnet pengikat paling kuat, yang selalu mampu menahan hembusan nafasku. Membuat degup jantungku kian tak menentu saat menatap mata itu.
Yah, setelah 4 tahun menetap di negeri orang, dan melanjutkan masa SMP dan setahun pendidikan SMA ku disana, akhirnya aku bisa kembali menginjakkan kaki ditanah kelahiranku.
"Rio!"
Aku mengangkat wajahku. Dengan senyum bahagia yang terkembang dengan sumringah, aku berlari-lari kecil menghampirinya.
"Rio.." rengeknya manja, saat kami mulai berhadapan "i miss you so much, boy." sambungnya. Detik berikutnya ia mulai memelukku tanpa ragu, perlahan-lahan aku melepaskan peganganku pada koper yang ku bawa. Dan mulai memberanikan diri membalas pelukan hangatnya.
"Aku juga. Kangen banget-banget malah." ucapku jujur.
Tiba-tiba kedua manik mataku tertumpu pada satu titik. Seorang pemudah bermata sipit, dengan type wajah oriental yang tengah tersenyum bersahabat. Merasa ada sesuatu yang sepertinya perlu dijelaskan, aku melepaskan pelukan penyambutan yang ia berikan padaku.
"Ow iya apa kabar, Fy?" tanyaku berbasa-basi. Aku kembali meraih koperku, dan perlahan-lahan menyeretnya seiring langkahku.
Ify tersenyum, ia mengiringiku setelah sebelumnya meraih lengan lelaki oriental tersebut. Kemudian menggandengnya, dan berjalan beriringan disamping kananku.
"Aku baik, Yo. Kamu?"
"Seperti yang kamu lihat." aku tersenyum sekilas. Ah ya, aku belum menanyakan identitas pria oriental tadi "dia siapa?" tanyaku.
Ify menatap Alvin yang sedang balas menatapnya dengan sebuah senyuman.
"Kenalin, Vin," suruhnya pada pria tersebut "Yo, ini Alvin." ucapnya padaku.
Pria bernama Alvin tersebut mengulurkan tangan kanannya. Dengan segera aku menyambutnya.
"Rio." ucapku singkat, namun tetap diakhiri dengan senyum bersahabat "emm..pacarnya..Ify, ya?" tanyaku agak ragu.
Pasalnya pria ini terlihat mesra dengan Ify. Apalagi Ify tanpa canggung menggandeng lengan pria tersebut. Seingatku, satu-satunya pria 'asing' yang mau Ify gandeng dan ia izinkan untuk menggandeng lengannya hanya satu, aku.
Jadi, wajar saja kan jika aku bertanya seperti itu.
"Ehhee, iya. Gue pacarnya Ify."
Cukup dengan mendengar sebuah kalimat berisi 3 kata tersebut, aku sudah merasakan -seolah- sebuah batu besar menghantam dadaku. Tepat mengenai ulu hatiku.
"Yo, Yo?" aku tersadar saat telapak tangan Ify melambai-lambai dihadapanku "are you okay?"
Aku mengangguk kikuk "ohh iya. Aku baik-baik aja kok, Fy." jawabku menenangkan "mungkin sedikit capek." tambahku.
"Ya udah, kalau gitu biar lo langsung gue anter aja deh." Alvin yang tadinya diam membuka suara "kamu belakangan aja gak papa kan, Fy?" sambungnya bertanya sambil menatap Ify.
"Iya, gak papa kok. Lagian kasian Rio kalau dianter belakangan, aku gak mau dia sakit." celoteh Ify dengan ceria.
Nada bicara itu. Nada bicara yang selama 3 tahun ini aku rindukan. Nada bicaranya yang manja, ceria namun penuh perhatian.
Sreet..Ify meraih koper milikku. Kemudian menyuguhkan manik bening miliknya tepat pada kedua bola mataku. Membuatku kembali terhanyut, dan jatuh...jatuh pada tempat yang salah.
"Biar aku bawain yah?" ujarnya setengah meminta. Sebagai pria sejati tentu saja aku menolaknya.
"Eh jangan, Fy! Gak usah. Biar aku aja yah," ujarku membujuk. Seperti yang ku bilang, Ify adalah gadis manja. Semua yang ia katakan harus dijawab iya (tentu saja hal itu hanya berlaku padaku, yang memang sejak kecil telah bersamanya).
"Aku aja, Rio..." rengeknya memaksa.
Kami pun berhenti melangkah, dan mulai melakukan aksi tarik-menarik. Sekilas, melalui ekor mataku, aku mendapati Alvin tengah menahan tawa dengan salah satu tangannya. Namun tak berselang lama, ia menjadi penengah diantara kami.
"Yang adil, biar aku aja ya, Fy." ucapnya, dengan menatap lembut pada Ify "nggak papa kan, Yo? Kalau gue yang bawain?" sambungnya menatapku.
Entah atas dasar apa aku mengangguk. Lalu kami melanjutkan langkah kaki yang sempat terhenti, menuju parkiran bandara. Lebih tepatnya menuju mobil Alvin, yang akan mengantarkan ku kembali ke rumah.
-----
kau bilang ku cintamu, aku juga sayangmu
namun yang aku tahu masih saja ada dirinya
-----
Aku sedang menghabiskan waktu istirahatku dengan membaca buku diperpustakaan sekolah. Sudah 1 bulan lamanya aku menjadi salah satu penghuni Tunas Bangsa, tempat dimana Ify menuntut ilmu. Ify. Sebenarnya gadis itu sempat menawarkan ku untuk menghabiskan waktu istirahat bersamanya. Namun dengan sengaja aku menolak. Aku tak ingin menjadi nyamuk ditengah-tengah sejoli yang tengah merajut kasih. Hal itu hanya akan semakin menambah luka dihatiku saja. Bagaimanapun juga, semakin lama...aku semakin harus mengakui bahwa aku mencintainya. Ify, sahabatku sedari kecil.
"Yo?"
Aku tersadar dari lamunanku akan Ify, saat sebuah suara halus menyapa indera pendengaranku. Acha, salah satu gadis cantik yang menjadi teman sekelasku tengah duduk manis disebelahku, dengan sebuah buku ensiklopedia dihadapannya.
"Eh, Acha.." sahutku seadanya. Gadis itu tersenyum lucu.
"Baca apa, Yo?"
Aku mengangkat buku tebal ditanganku.
"Se-ja-rah," ejanya "ada ulangan ya?" tanya nya kemudian.
Aku menggeleng kecil "nggak, ngisi waktu luang aja."
Acha mengangguk. Menit selanjutnya, aku dan Acha justru mengobrol asyik, mengacuhkan buku yang kami pilih tadi.
Aku sedikit terkikik ketika melihat Acha menggelembungkan kedua pipinya, saat ia merasa kesal karena aku terus menggodanya yang sedang dalam masa PDKT dengan seorang pria ternarsis dikelas kami, Ozy.
Merasa semakin gemas, aku malah nekat mencubit pipi chubbynya, membuat ia meringis kecil.
Pluk..sesuatu terjatuh tidak jauh dari posisiku saat ini. Ternyata sebuah kantung plastik hitam yang isinya kini sudah tercecer dilantai perpustakaan.
"Ify.." ucapku kaget. Terlebih saat melihat raut tidak suka dan tatapan nanar yang menghujam manik mataku.
Tanpa mengindahkan perkataanku, Ify berlari keluar perpustakaan. Meninggalkan kantung plastik -yang terdiam pasrah di lantai perpustakaan- yang ia bawa sebelumnya.
Aku terpaku. Menatap sebungkus keripik kentang dan sekotak susu coklat yang masih berembun, yang sepertinya berasal dari kantung plastik hitam milik Ify. Kemudian lanjut menatap punggung Ify yang mulai menghilang dibalik pintu perpustakaan.
"Kejar, Yo! Ify salah paham." suruh Acha.
Aku tersentak, kemudian menatap gadis itu dengan alis terangkat.
"Aduhhh! Ify cemburu dan dia salah paham." Acha mencibir gemas, sambil mendorong pelan tubuhku "jelasin sana!" perintahnya lagi.
Aku masih terdiam. Apa iya, Ify cemburu padaku? Atas dasar apa? Bukankah ia memiliki Alvin?
Setelah sebelumnya menyempatkan diri meraih apa yang sebelumnya Ify bawa, aku segera berlari keluar perpustakaan guna mencari Ify.
.....
"Ify.."
Aku menyentuh pundaknya, lembut. Kemudian ikut memposisikan diri, dengan duduk manis disampingnya.
Ahh, setelah aku berlari kesana kemari, akhirnya aku menemukan Ify duduk termenung di salah satu bangku semen yang menghiasi taman sekolahku.
"Kamu marah?" tanyaku to the point.
Ify menggeleng tanpa menatapku. Bahunya bergerak naik turun, seiring isak tangisnya.
Aku mendesah lirih "terus kenapa? Kok gak jawab aku?" tanyaku lagi.
Kali ini, Ify mulai menatap mataku. Ah, magnet itu. Magnet yang selalu sukses mengunci tatapanku, dan tak ingin membuatku berpaling barang sedetikpun. Kini magnet itu telah berair. Mengunciku dengan tatapan sendu, penuh kesedihan.
"Aku sayang kamu." ucapnya di tengah isak tangisnya.
Tubuhku membeku. Tentu saja aku terkejut. Bagaimana bisa? Ify menyatakan bahwa ia menyayangiku, sementar dipihak lain ada Alvin, kekasihnya. Mungkin..mungkinkah sayang yang Ify maksud sayang pertanda sahabat? Atau sayang pertanda saudara?
"Aku juga sayang kamu, kamu tau itu kan?" tanyaku berusaha tenang.
Ify menggeleng lemah. Tanpa aba-aba ia mulai menubruk tubuhku. Memeluk dengan erat dan masih terisak.
"Aku menyayangi kamu sebagaimana hawa menyayangi adam, Yo."
Aku kembali terpaku. Lalu, Alvin?
"Nggak, Fy! Kamu udah punya Alvin, dan kita sahabat." ucapku seraya melepaskan pelukannya. Jauh didasar hatiku, aku merutuki kalimat yang terlontar beberapa detik lalu itu. Secara tidak langsung, aku mulai munafik.
"Aku nggak tau, Yo. Aku nggak tau!" racaunya frustasi. Ia menenggelamkan parasnya pada kedua telapak tangan yang mulai basah akibat air mata bercampur keringatnya.
"Kamu sayang sama aku karena kita sahabat, Fy. Karena kita telah seperti saudara." ucapku memberi pengertian. Belum waktunya Ify mengetahui kenyataan hatiku yang sesungguhnya.
Perlahan, air mata Ify mulai mengering. Meski masih sedikit terisak.
Aku tersenyum melihat 'gadisku' yang telah berhenti menangis. Seperti biasa, aku menghapus air mata yang membasahi wajah cantiknya. Kemudian membelai lembut, rambut hitam panjang miliknya.
"Udah yah, jangan nangis lagi! Jelek loh kalau nangis kayak tadi." ejekku guna menghiburnya. Ify merengut kesal. Kemudian mengacak-acak rambut bergaya spike milikku.
Biarlah. Biarlah semua berjalan seperti ini, setidaknya untuk saat ini. Karena belum waktunya Ify mengetahui isi hatiku. Karena ia telah memilih orang lain, dan orang lain telah memilikinya.
-----
ku selalu cemburu dan tak bisa tuk selalu begini
aku tak pernah mau hanya jadi sahabatmu
-----
Weekend kali ini dengan amat sangat terpaksa harus ku habiskan bersama Ify dan..Alvin. Tak perlu ku jelaskan apa yang membuatku terpaksa, kan? Karena semua pasti sudah tahu.
Kalau bukan karena Ify yang terus membujuk, mungkin saat ini aku tengah duduk manis sambil menggenjreng gitar akustik kesayanganku. Melantunkan senandung isi hati yang masih tertahan dihati. Hanya untuk Ify.
"Aduhh, gak apa-apa nih, Fy kalau gue ada disini?" tanyaku -pura-pura- tidak enak.
"Udah nggak papa. Iyakan, Vin?" tanya Ify meminta persetujuan.
Alvin mengangguk mantap "iya, Yo. Lagian kalau cuman gue berdua doang sama Ify dirumah ini, bisa curiga nyokapnya Ify. Kan kalau ada lo enak, nyokapnya Ify juga percaya bangetkan, sama lo?"
Aku mengangguk malas. Yah, saking dekatnya aku dan Ify, kedua orang tua Ify tak pernah sungkan memberikan kepercayaan mereka padaku untuk menjaga Ify.
Dengan alasan itulah, akhirnya aku kembali menghempaskan tubuhku disofa bagian sebelah kiri. Mencoba ikut berbaur dan menikmati tontonan yang tengah disaksikan Ify dan Alvin.
"Aaa.." Ify histeris saat melihat sesosok hantu yang tiba-tiba saja muncul. Dan satu yang menyesakkanku, saat 'gadisku' memeluk lelaki lain yang memang mempunyai hak lebih atas dirinya, dibandingkan aku. Ia ketakutan dan aku tahu itu. Tapi ia justru nekat memilih "Bunsinshaba" sebagai tontonan akhir minggu kami.
Tanganku mengepal kuat saat melihat tangan kanan Alvin yang melingkar dibahu Ify. Membuat tubuh 'gadisku' itu kian mendekat kepadanya. Nyaris tak berjarak. Aku membuang muka, tak ingin menyaksikan adegan itu lebih lama.
"Ekhem..ekhem.."
Aku berdehem refleks saat melihat Alvin merangkul Ify semakin kuat. Sontak saja kedua sejoli itu menatapiku dengan alis tertaut.
Aku menyeringai kecil sambil menggaruk-garuk tengkuk ku yang sama sekali tidak gatal.
"Sorry, gue haus," ucapku asal "aku ke dapur boleh kan, Fy?" tanyaku meminta izin.
Ify mengangguk kecil "aduh, Yo..kamu kayak dirumah siapa aja deh. Silahkan!"
.....
Ahhh..menyebalkan! Apa-apaan ini? Belum ada satu tahun aku menetap di Indonesia, aku harus kembali ke Australia menyusul ayah dan ibuku. Mereka bilang, dengan berat hati aku harus kembali pindah ke sana. Nenekku sakit keras, dan sangat menginginku aku berada disampingnya.
Tapi..tapi bagaimana dengan Ify? Apa ia akan menerima kepergianku? Aku ingat! Dulu, dia menangis tanpa henti melepaskan kepergianku yang untuk pertama kalinya. Masih dengan seragam putih merah, lengkap dengan medali penghargaan sebagai juara umum selepas perpisahan SD, ia mengantarkan keberangkatanku.
»»
"Kamu jahat! Kenapa mesti ke luar negri sih, Yo?!"
Aku terdiam tak mampu menjawab. Aku memang tak tahu harus berkata apa, hingga akhirnya mama mendekat ke arahku dan Ify.
"Sayang, tante, om, sama Rio terpaksa pindah karena ada pekerjaan disana." Mama mencoba memberi pengertian pada Ify, sambil mengusap lembut rambutnya.
"Tapi..tapi hiks..yang kerjakan om sama tante..hiks..ken..kenapa Rio harus ikut juga?"
"Ify sayang, cantik..dengerin tante yah. Kalau Rio tinggal, dia mau tidur dimana? Lagipula, apa kamu gak kasian kalau Rio kangen sama om, sama tante?"
Ify tak menjawab. Aku masih melihat kalau ia terus menangis, sambil menggenggam kuat pita merah putih yang sebelumnya menghiasi kunciran rambutnya.
"Tapi..tapi..Ify nanti gak ada temennya, tante.." Ify kembali merengek. Aku pun akhirnya maju selangkah, dan memeluknya erat.
"Aku janji, aku gak akan lama. Aku pasti balik, Fy!" janjiku sungguh-sungguk "iyakan, mah?" tanyaku meminta persetujuan. Mama mengangguk dengan seulas senyum manis dibibirnya.
Aku pun melepaskan pelukanku "tuh, Fy. Kata mamah iya." ucapku bersemangat. Ify kembali tersenyum, ku bantu ia mengusap air matanya hingga benar-benar terhapus.
"Jadi Ify izinin Rio pergi, kan?" tanya mama. Ify hanya mengangguk lesu.
"Aku pasti kangen kamu, Fy." ucapku jujur.
"Aku juga, aku akan nungguin kamu."
"Aku pasti balik."
Aku kembali memeluk Ify sekilas. Kemudian mulai berjalan gontai, mengiringi langkah kaki mama.
"Riooooo! Cepat pulang! Cepat kembali! Dan jangan pergi lagi!" teriaknya yang mulai terdengar samar-samar ditelingaku.
««
"Arghhhh.."
Aku mengacak-acak rambutku dengan kesal. Ku tatap koper coklat lembutku, dan foto Ify secara bergantian. Bagaimana ini? Bagaimana bisa aku meninggalkannya?
-----
dan aku makin bingung
saat ku kan pergi kau menahanku
-----
Buk..bukk
Ify memukuli dadaku dengan -mungkin- marah. Dibelakangnya Alvin berusaha menenangkan Ify, dan mencoba meraih tangan gadis tersebut.
"Udah, Fy. Udah!" ucap Alvin memerintah, namun bernada lembut.
"Kamu bohong, Yo. Kamu bohong! Kamu bilang gak bakalan pergi lagi, tapi sekarang?!"
"Bukan mauku, Fy." aku berujar lirih dengan kepala menunduk.
Alvin menyentuh pundakku, dan pundak Ify secara bersamaan.
"Kalian perlu ngomong berdua, aku tinggal gak papa kan, Fy?" izinnya.
Aku segera menahan langkah Alvin "elo mau kemana? Gue mau pergi. Masa Ify mau ditinggal sendiri?!" tanyaku agak kesal. Kenapa ia tega sekali meninggalkan 'gadisku' sendiri. Sementara aku, aku tinggal menghitung menit harus segera meninggalkan negara ini.
Alvin menepuk pundakku dengan tenang "jangan khawatir, Yo! Gue cuma kesebelah sana," ia menunjuk ke arah deretan kursi tunggu di arah barat "lo berdua perlu ngomong, gue tinggal yah." pamitnya meninggalkanku dan Ify. Berdua.
Tak ada yang mulai berbicara selepas kepergian Alvin. Hanya derai air mata Ify yang terus mengalir tiada henti.
"Maaf.." ucapku teramat lirih. Aku tak mampu menatap manik matanya yang bisa dengan mudahnya mengancurkan pertahananku.
"Kenapa kamu harus balik, kalau cuma untuk pergi lagi? Kenapa kamu bikin janji, kalau cuma buat kamu ingkari?!"
"Maaf.." tak ada yang bisa aku ucapkan selain kata maaf.
"Dengan senang hati aku nungguin kamu selama 3 tahun. Sekarang, kamu mau bikin aku menunggu lagi? Iya?!"
"Maaf.."
"Aku gak mau kamu pergi, Yo.."
"Maaf. Tapi harus, Fy.."
"Aku sayang kamu,"
"Aku juga.."
"Bukan sebagai sahabat!" selanya dengan tegas.
"Aku menyayangi kamu sebagaimana adam menyayangi hawa, Fy.." ungkapku akhirnya.
Aku menangkap raut keterkejutan pada paras cantiknya. Entahlah, mungkin ia tak menyangka bahwa aku akan berkata demikian.
Bertepatan dengan itu, suara seorang wanita dewasa mulai menggelegar. Memberi peringatan bahwa pesawatku akan segera berangkat.
Dengan sedikit keberanian, aku memeluk Ify sebentar.
"Aku sayang kamu.." bisikku seraya melepaskan pelukan kami.
Ia tak menjawab. Hanya diam menunduk. Aku menghembuskan nafas sejenak, kemudian mulai bersiap menarik koperku dan meninggalkan Ify pada kebisuannya.
"Jangan pergi! Jangan tinggalin aku!" pintanya dengan nada memohon. Jika dulu aku bisa langsung berkata 'iya' tapi maaf..kini tak bisa.
"Maaf, Fy! Tapi aku gak bisa."
"Kamu jahat! Kamu jahat!"
"Maaf, Fy..aku sayang kamu.."
Aku berjalan gontai meninggalkan Ify yang tetap menangisi kepergianku. Maaf..karena tak ada yang bisa ku lakukan selain menuruti keinginan orang tuaku, bathinku.
=====
Huhhh..alhamdulillah yah, akhirnya dalam hitungan jam bisa nyelesein ni cerpen. Eumm sekitar 3 jam lah ya..dari jam 10 sampe jam 12. Gimana? Gimana? Jelek yah? Aneh?
Hehehe..maklumin, gue nya galau. Ini tertulis gitu aja, seiring kegalauan hati.
Okayguysss..kalau mau koment, kritik atau ngasih saran, silahkannnnn!
Diterima dengan senang hati kok.
Thanksoyaaa buat likers, readers dan semuanya deh pokoknya..
Loveyaaaa...
_with love Nia 'nistev' Stevania_
0 komentar:
Posting Komentar