Apa salahku hingga kau sakiti aku?
Saat cintaku mulai tumbuh dan berbunga
-----
Prang...aku benci dia! Aku benci dia!
Kenapa? Kenapa dia tega melakukan semua itu padaku? Apa aku kurang perhatian? Apa aku terlalu mengekang? Apa aku terlalu kekanak-kanakan?
Tolong! Jelaskan padaku, kalau aku salah katakan.
Semua benda yang berada didalam istana kecilku telah berantakan ke segala arah. Tak sedikit barang-barang berbahan kaca yang mulai berubah menjadi serpihan-serpihan halus, yang tercipta akibat ku perlakukan dengan kasar.
Apa dia lupa? Betapa dia harus bersusah payah untuk meyakinkan hatiku, kalau aku tidak akan salah jika berkata 'iya', saat dia memintaku untuk menjadi pemilik hatinya.
»»
"Gue sayang sama lo, tulus apa adanya,"
Dia menatapku dengan lembut. Menusuk tepat dijantung hatiku, membuat getar-getar cinta menyebar ke seluruh urat-urat syarafku.
"Gue nggak main-main, Fy. Gue serius!"
Dia menambahkan dengan nada bicara penuh ketegasan.
Dari pancaran sinar matanya, aku bisa merasakan betapa tulusnya untaian kalimat yang terucap dari bibirnya kala itu.
Namun, apakah harus, aku mempercayainya begitu saja?
Mengingat begitu banyaknya perbedaan yang ada diantara kami. Semua orang tahu siapa dia. Ketua osis, kapten basket, ketua ekskul musik, yang paling nyata dia adalah pangeran disekolahku. Dan perbedaan yang paling menonjol adalah, status sosial.
"Fy..Fy."
Dia melambai-lambaikan tangan kanannya tepat didepan wajahku. Membangunkan ku dari pemikiran panjang tentang perbedaan yang membentang diantara aku dan dia.
"Elo, boleh minta gue ngelakuin apa aja biar lo percaya kalau gue bener-bener sayang sama lo."
Aku menggigit kecil bibir bawahku, tangan kananku masih berada dalam genggaman lembut tangannya.
Huffttt..desah nafas ringan keluar dari rongga mulutku. Dengan setengah tersenyum, aku menggeleng pelan. Rasanya aku sudah menemukan jawaban yang pas akan permintaannya beberapa menit yang lalu itu.
"Apa...kamu bisa, hidup tanpa fasilitas mewah kamu kalau lagi sama aku?"
Dia menatapku dengan alis terangkat "maksudnya?"
"Aku mau kamu, nggak perlu naik mobil mewah kamu itu ke sekolah. Kalau lagi nggak sama aku, ya terserah kamu mau make atau nggak." pintaku, agak ragu sebenarnya. Tapi aku sudah bertekad, aku tak ingin satu sekolah -terutama para siswi- menganggapku seorang cewek matre yang gila harta.
Ku lihat dia mengangguk, meskipun -sepertinya- agak ragu "oke, kalau itu mau lo...gue nggak masalah," aku tersenyum tipis "cuman selagi sama lo doang kan, gue nggak boleh make mobil?"
Aku meringis kecil "ya maksud gue, kan gue nggak mungkin, Fy pergi bareng temen-temen jalan kaki. Kan lo tau, yang punya mobil cuman gue, yang lain kan bawaanya motor." tambahnya.
Entahlah, apa dia menambahkan ucapan tadi karena merasa tidak enak dengan pertanyaan sebelumnya atau apa.
Aku tak ingin ambil pusing, setidaknya..dia mau menuruti permintaanku untuk tidak menggunakan mobilnya ketika bersamaku. Itu saja, sudah cukup.
"Iya, cuman pas sama aku aja kok."
"Berarti elo nerima gue kan?"
Aku menggeleng pelan "sebelumnya, aku minta kamu buktiin dulu, kamu bisa atau nggak hidup tanpa fasilitas mewah kamu itu." ucapku setengah menantang.
Aku menangkap sorot mata penuh keraguan, sedikit perasaan takut menyelimutiku. Takut kalau-kalau dia mengurungkan niatnya untuk menjadikanku ratu penguasa hatinya.
"Emmmm," dia bergumam pelan "oke gue akan buktiin sama lo, dalam 1 minggu ini, gimana?"
Aku mengacungkan ibu jariku dan dengan gerakan cepat, tangan yang sedari tadi menggenggam lembut jemari kananku menarik tubuhku kedalam dekapannya.
"Gue sayang sama lo." ucapnya lagi.
"Buktiin dulu." selorohku. Dia tertawa kecil dan menghancurkan kerapian rambutkan dengan sekali gerakan. Menyebalkan.
««
Saat itu, aku belum seutuhnya menyayangi dia. Tapi seiring berjalannya waktu dan kebersamaan yang sering tercipta diantara aku dan dia, membuat perasaanku semakin hari semakin membesar. Rasa yang biasa itu berubah menjadi rasa sayang yang berujung pada keegoisan ingin memiliknya selamanya. Tak ingin sekalipun melepaskannya dan berusaha sekuat mungkin untuk menjaganya. Tapi, kenapa? Kenapa disaat rasa itu mulai nyata, dia justru menghancurkan semuanya?
-----
Kau goreskan kepedihan yang tak pernah ku duga
Kau patahkan semua harapkanku
Kau hancurkan semua impianku
-----
Aku masih terduduk disudut kamarku, dengan posisi memeluk lutut. Rentetan peristiwa beberapa waktu yang lalu berputar-putar diotak ku, bagaikan kaset rusak, rekaman-rekaman peristiwa tadi berputar secara berulang kali. Membuat sesak itu semakin menghimpit pernafasanku.
»»
Awan mendung mulai menghiasi langit sore ini. Setelah berulang kali menatap langit, ku putuskan untuk membawa payung kebanggaanku sebelum ku lajukan kendaraan roda dua milikku menuju sebuah kios bunga didaerah simpang tiga.
Dengan santai aku mengayuh sepeda peninggalan ayah 2 tahun yang lalu. Ahh setiap mengendarainya, aku selalu merasakan sosok ayah yang menemaniku dalam melakukan setiap aktifitas harianku.
10 menit waktu yang ku gunakan untuk menghabiskan perjalanan dari rumah menuju kios bunga ini. Yah, sudah menjadi rutinitas harianku sejak 2 bulan yang lalu -tepatnya semenjak ibuku sering sakit-sakitan-, untuk bekerja part time di kios bunga milik teman dekat ibuku ini.
Dengan riang aku langsung mengenakan seragamku dan bersiap untuk memulai pekerjaanku.
"Rio!!!"
Aku tersentak saat mendengar suara wanita menyebut nama itu. Ahh, mungkin hanya kebetulan saja namanya sama. Dan akhirnya aku pun berusaha untuk kembali fokus dengan pekerjaanku semula, me-nge-check jumlah bunga-bunga segar yang baru saja tiba tadi pagi.
"Pilihin dong bunganya, kamu kan paling ngerti selera mamah."
Aku masih mendengar samar-samar suara lembut gadis tersebut. Sedikit menyikut lengan Agni -salah satu teman seperjuanganku dikios ini-, aku memberikan isyarat padanya untuk menghampiri gadis yang sedari tadi suaranya tertangkap oleh indera pendengaranku.
"Bentar yah, mbak saya mau tanya dong, bunga yang ini berapa harganya?"
Suara itu. Apa ini juga suatu kebetulan? Nama yang sama dan suara yang sama.
Entah karena apa, aku segera meletakkan pulpenku dan mulai berjalan perlahan menuju kios bagian depan. Hanya untuk memastikan pendengaranku ini tak salah.
"Yang ini sebuketnya Rp. 50.000,00 mas. Buat pacarnya yang ini yah?"
"Bukan, buat mamahnya dia."
Aku sedikit terpaku saat pria yang -sepertinya- sangat ku kenali itu tersenyum bangga sambil merangkul gadis disebelahnya, saat menjawab pertanyaan Agni itu. Kenapa mereka mesra sekali?
Belum sepenuhnya pertanyaan hatiku terjawab, sesuatu membuatku terpaksa harus berhenti memperhatikan pelanggan yang aku rasa itu..dia.
"Ify..Ify!!"
"Eh iya," dengan sedikit tergagap aku memutar tubuhku kebelakang, dan mendapati Irva tengah menatap heran ke arahku "kenapa, Va?" tanyaku santai.
"Itu, soal bunga yang lo check tadi, udah belom? Kalau udah langsung kasih ke Bu Rose ya, soalnya tadi dia minta datanya," ucap Irva yang ku sahut dengan sebuah anggukan kecil "buruan."
Aku kembali mengangguk mendengarkan penuturan tambahan dari Irva, sedetik kemudian aku segera berlalu menuju meja kerjaku dan mulai kembali melanjutkan pekerjaanku.
Perasaanku tak tenang, akhirnya ku putuskan untuk sedikit mengintip ke depan kios melalui jendela kaca yang membatasi ruang kerjaku dengan kios bagian depan. Ahh sial, aku tak bisa mendengar percakapan mereka. Namun sesaat tanganku membeku, berhenti menggerakkan tinta hitam yang sejak tadi asik menari diatas kertas putih -dengan sedikit coretan hasil kerjaku- ditanganku. Tubuhku mematung, saat ku yakini bahwa dia -pria yang datang bersama gadis itu- memanglah pria yang baru 3 bulan terakhir ini menjadi kekasihku.
Aku memang tak bisa mendengar pembicaraan mereka, tapi aku bisa menangkap gerak-gerik mereka. Tangannya yang mengacak kecil rambut panjang gadis disebelahnya atau bahkan memeluk mesra pinggang gadis tersebut. Semua tertangkap jelas oleh mataku. Yang tanpa perlu diikrarkan pun, aku rasa semua orang tahu bahwa keduanya memiliki hubungan yang khusus.
Tes..tess
Tetes demi tetes air mata ku mulai membasahi kertas kerjaku. Semakin lama semakin tak tertahan, hingga akhirnya aku terduduk pasrah didepan jendala kaca tersebut dengan kedua mata yang masih terus mengawasinya.
Sakit. Jelas sakit. Dan yang bisa ku lakukan saat ini hanyalah, menangis.
-----
Aku pun mengerti kita sungguh jauh berbeda
Bagai langit dan bumi yang terpisah jauh
Namun bukan berarti itu menjadi ukuran
Haruskah bulan bintang ku turunkan?
Tuk buktikan semua perasaan
-----
Aku menikmati pemandangan langit gelap malam ini. Mungkin karena anugerah Tuhan akan diturunkan, bintang-bintang mulai bersembunyi. Dan kini yang ku lihat hanyalah sebuah bintang kecil yang bersinar ditengah hitamnya langit. Sama seperti diriku, ditempat ini. Sendiri, tak berteman.
Hhhh..berkali-kali aku mendesah panjang. Dengan kedua mata tertutup, dan tangan yang mencengkram keras tepian bangku kayu yang menampung berat tubuhku saat ini.
'Tidak usah berharap lebih dengan hubungan kamu sama dia, Fy. Kalian berbeda.'
Kalimat ibu, beberapa waktu yang lalu kembali terdengar ditelingaku.
Belum sembuh luka sakit hatiku karena perbuatannya waktu itu, ibu kembali menorehkan kepedihan dihatiku dengan kalimat yang mampu memutuskan asaku . Ya meskipun beliau melakukannya tanpa sadar.
Aku mengingat-ingat berapa banyak perbedaan yang membentang diantara aku dan dia. Hahaa, aku tertawa pahit. Memang sepertinya takdir tak berpihak pada kami.
Mencoba mengukur perbedaan yang ada diantara aku dan dia adalah suatu hal yang sia-sia. Karena apapun hasilnya, inti dari semuanya adalah kami tak kan pernah bersatu.
Bukan hanya karena aku yang terlanjur sakit hati atas perlakuannya. Tapi juga perlakuan orang tuanya, emm lebih tepatnya ibu nya Rio. Kalau dulu aku masih bisa bertahan -karena toh Rio tetap memilihku saat itu-, kini aku tak tahu apa yang harus ku lakukan.
Melepaskannya kah? Padahal rasa itu masih tertuju padanya.
Atau mempertahankannya? Meskipun aku sudah terlalu sakit karenanya.
Aku menggeleng pelan. Percuma mempertanyakan, karena sepertinya tak kan pernah ku temukan jawaban.
Plukkk...sesuatu yang sepertinya dilemparkan secara sengaja mengejutkanku yang tengah menyendiri saat ini. Dengan enggan ku buka kedua mata yang sempat terpejam -bukan karena tidur-, dan melirik ke samping kanan.
Mataku menangkap sebuah amplop coklat yang cukup tebal, tergeletak pasrah disana.
"Jauhi, Rio!"
Aku mengangkat wajahku saat mendengar kata-kata tajam bernada perintah itu.
Seorang wanita anggun, dengan kedua tangan menyilang didada menatap sinis ke arahku.
Ya, aku ingat. Beliau adalah nyonya Haling, ibu Rio.
"Jangan pernah dekati anak saya lagi!"
Aku mencibir dalam hati. Bahkan kami sudah lost contact selama 2 minggu terakhir ini. Tepatnya sejak..ah sudahlah. Lupakan!
"Maksud anda?"
Meskipun asap diotakku mulai mengepul, aku masih menenangkan nada bicaraku. Bagaimanapun juga, beliau lebih tua dariku. Sepantaran dengan ibuku, maka aku harus tetap menghormatinya.
"Hehhh," beliau mendesah sinis -menurutku- "saya tau, kamu mendekati anak saya untuk ini kan?"
Wanita itu mengambil amplop coklat disebelahku dan mengacungkannya tepat didepan wajahku.
"Ayo ambil! Dan jangan pernah berhubungan lagi dengan anak saya."
Meskipun ucapannya begitu keras, aku masih bergeming. Memandang amplop coklat dihadapanku dengan sedikit tidak percaya.
Hahhh, yang benar saja. Memangnya aku serendah ini? Memacari Rio untuk menguras semua hartanya? Begitu?
"Maaf, tapi saya tidak butuh uang anda." ucapku tegas, mataku mulai berani menatap tajam manik hitam milik seseorang yang dulunya mungkin pernah membuatku bermimpi untuk menyebutnya, ibu mertua.
Wanita itu tertawa angkuh -menurutku-, kemudian mengeluarkan sesuatu yang kalau menurutku lebih mirip dengan kwitansi. Ia juga mengeluarkan sebatang pulpen berwarna emas. Dan mulai mencoret 'kwitansi' tersebut dengan cepat, entahlah apa yang ia tuliskan disana.
Srett..ia merobek selembar kertas yang sudah ia coret, dan melemparnya dengan kasar hingga menyentuh sedikit permukaan kulit wajahku.
"Itu cek kosong, terserah mau kamu isi berapa. Saya yakin, itu sudah bisa memuaskan kamu, iyakan?" tuduhnya sinis.
Aku ternganga. Semakin menjadi-jadi saja wanita ini menginjak harga diriku. Kalau tadi aku masih berusaha sabar, kini sepertinya semua harus benar-benar ku selesaikan.
"Ayo ambil!" perintahnya lagi, dengan kaki kanan menyodorkan -atau lebih tepatnya menendang pelan- lembaran kertas yang ia sebut tadi.
Aku sedikit membungkuk, meraih kertas tersebut dan kembali menegakkan tubuhku setelah itu. Wanita itu kembali tertawa angkuh.
"Sudah saya duga, gadis seperti kamu itu mata duitan."
Entah untuk yang keberapa kalinya, ia menuduhku. Aku menghela nafas sebentar, kemudian menyunggingkan senyuman miring meremehkan.
Aku menaikan cek tersebut ke depan wajah wanita tersebut, dan menatapnya santai.
"Anda tau? Ini masih belum memuaskan saya."
"Hehhhh anak tidak tahu diri, maksud kamu apa? Kamu ingin menguras habis harta saya? Iya?"
Aku tertawa hambar. Apa yang bisa ia lakukan hanya menuduhku? Sekasar itu pula.
"Bukan," aku menggeleng pelan "sesuatu yang dapat memuaskan perasaan saya saat ini adalah.."
Sreettt..setelah sedetik sebelumnya aku menggantungkan kalimatku, aku langsung merobek cek kosong ditanganku. Menghancurnya menjadi sobekan-sobekan kecil, membuangnya kedasar tanah, dan menginjaknya sebentar.
"Saya tidak pernah menginginkan harta anda, karena perasaan yang saya miliki untuk anak anda itu tulus. Tanpa alasan," ucapku penuh penekanan.
Aku meraih tas slempang milikku dan segera menyampirkannya ke bahuku.
Ku lihat wanita itu mematung ditempatnya. Entah shock, kesal atau mungkin marah padaku.
"Satu hal yang perlu anda tau, tak perlu susah-susah anda mendatangi saya malam ini untuk meminta saya menjauhi anak anda, karena memang diantara kami sudah tidak ada apa-apa lagi." ucapku sebelum pergi meninggalkannya.
Kusempatkan mengukir senyuman ramah dibibirku, setulus mungkin. Kemudian berlalu meninggalkannya.
"Saya permisi." pamitku, berusaha sopan.
*****
"Argghhhhh...gue benci sama lo! Gue benci sama lo!"
Aku berteriak histeris. Membanting semua benda yang berada disekitarku. Untung ibu sedang pulang kampung, kalau tidak beliau pasti akan mengkhawatirkanku.
Aku kembali meringkuk di pojok kamar dengan sobekan-sobekan kecil dari foto yang menggambarkan aku dan dirinya.
Siapa yang tidak sakit hati diduakan seperti ini? Siapa yang tidak sakit hati, ditinggalkan begitu saja tanpa ada penjelasan, kecuali kata putus yang dilontarkan begitu saja? Siapa yang tidak sakit hati, dimaki-maki dengan wanita yang kita impikan akan menjadi ibu kedua -mertua- kita? Siapa? Siapa?
Kenapa semua harus seperti ini, Tuhan?
-----
Tepatnya malam minggu kau putuskan aku, tuk menjadi kekasihmu
-----
Ini adalah malam minggu ketiga, setelah aku dan dia resmi berpisah -putus-. Dan satnite kali ini begitu menarik perhatianku. Rinai hujan yang mulai jatuh menyentuh permukaan halus dedaunan, serta menimbulkan sedikit bias-bias embun didinding kaca kamarku.
Ahhh, kenapa setiap hujan turun aku selalu teringat kembali lagi padanya. Menyenangkan, menyedihkan dan tentu saja menyebalkan. Itu adalah perasaan yang terlukis ketika malam minggu yang disertai hujan kembali ku temui.
»»
Aku merengut kesal sambil sesekali melirik ke arah jam biru yang melingkar dipergelangan tanganku. Ya Tuhan, aku sudah menunggu 20 menit lebih lama dari waktu yang aku dan dia janjikan.
Malam ini, di taman ini, aku akan memberikan kepastian tentang status kami, tentunya setelah 1 minggu terakhir ini dia memenuhi tantangan dariku untuk tidak memakai mobil mewahnya ke sekolah. 1 minggu untuk percobaan, dan seterusnya akan berlanjut selama aku dan dia resmi berstatuskan sebagai sepasang kekasih.
Aku menengadahkan wajah, menatap langit. Gelap dan tanpa bintang. Sepertinya hujan akan segera mengguyur kota ini. Oh Tuhan, lama sekali dia.
Aku terus saja menggerutu sebal hingga derap langkah kaki setengah berlari terdengar oleh telingaku. Kepalaku mulai bergerak mencari sumber suara tersebut dan akhirnya kedua mataku menangkap sosok pria jangkung setengah berjongkok. Kedua tangannya bertumpu pada lutut dengan nafas yang terengah-engah.
"So..sorry, Fy. Tadi...hhh macet, gue jadi telat."
Ah, kasihan sekali dia. Aku jadi tidak tega memarahinya.
"Ya udahlah, udah telat ini kan? Duduk, Yo." suruhku sambil melirik bangku kosong disebelahku.
Dia mengangguk, dan segera mengambil tempat disebelahku. Huftttt..dia mendesah keras, mungkin berusaha membuang rasa lelah bersama nafas yang ia hembuskan.
Hening. Aku dan dia tidak berbicara sama sekali. Entah mengapa aku merasa canggung sekarang. Aneh, padahal sedari tadi aku menunggunya dan mengumpat kesal karena keterlambatannya. Sekarang? Dia sudah ada disini dan aku hanya duduk manis dengan mulut terbungkam. Bukankah sia-sia?
"Yo,"
"Fy,"
Kami terdiam setelah beberapa detik saling melempar pandang. Detik berikutnya aku kembali meluruskan tatapan ku ke depan, dan lagi-lagi mencengkram kuat tepian bangku kayu yang ku duduki.
"Kamu duluan, Yo." suruhku tanpa menatapnya.
Aku merasakan sebuah sentuhan hangat mendarat ditangan kananku yang masih setia mencengkram tepian bangku kayu yang tak berdosa ini. Begitu memutar kepalaku sedikit lebih ke kanan, mataku kembali bertemu dengan matanya. Dan beberapa menit kami bertahan pada posisi itu. Saling menatap dengan tangan kananku yang masih disentuhnya hangat.
"Emm ke..kenapa, Yo?"
"Errr, gue..gue kan udah menuhin em tantangan percobaan dari lo selama seminggu," dia terdiam, dari ekor mataku ku lihat ia menggaruk-garuk tengkuknya. Entah gatal, atau sekedar iseng "jadi, gimana? Apa elo bisa ngasih kejelasannya sekarang?"
Aku mengucap syukur dalam hati. Akhirnya dia bisa juga memulainya. Karena kalau aku dan dia hanya menghabiskan waktu dengan saling berdiam diri, yang ada semua akan percuma, wasting time. Iya kan?
"Ya, itu..ya kamu tau kan, jawabannya apa?"
"Kita," dia mengarahkan telunjuknya kepadaku dan dirinya secara bergantian "udah resmi?"
Aku mengganguk dengan posisi kepala menunduk. Malu, tentu saja. Aku rasa kedua pipiku mulai berubah warna sekarang dan aku tak ingin dia melihatnya.
"Elo serius kan, Fy?" aku mengangguk kecil "beneran?" untuk kedua kalinya aku mengangguk.
Apa sih maunya dia? Mempertanyakan hal itu berulang-ulang. Dia pikir aku bercanda? Aku kan malu. Hahaa...
Jderrrr...Jderrrr...
Suara petir mulai bergaung nyaring. Membuatku sedikit bergidik ngeri. Dia yang sempat berseru histeris sontak terdiam, dan beralih menatapku.
"Elo takut petir?"
"Err, nggak takut sih, emm rada ngeri aja." aku meringis kecil, membuat dia gemas -mungkin-. Tangan kanannya lantas mengacak kecil puncak kepalaku.
Oh God, sentuhannya begitu menghangatkan. Membuat hatiku berdebar-debar dan jantungku berdetak tak menentu.
"Sama aja, sayang."
Hahh? Sayang? Ya Tuhan...rasanya aku mulai dihadiahi para malaikat sepasang sayap sekarang. Buktinya, aku merasa jiwaku mulai tak berpijak dibumi. Tentu saja itu hanya khayalanku.
Jderrrr...Jderrr
Petir itu pun mengusik khayalanku. Membuat jiwaku yang awalnya terbang melayang, terhempas seketika. Dengan refleks aku menghambur ke tubuh Rio. Emmm lebih tepatnya memeluk lengan pria itu dengan erat. Perlahan ku rasakan sebuah belaian lembut menyapa rambut panjangku. Pelan dan teratur, seiring desah nafasku yang kian memburu.
"Nggak usah takut, kan ada gue."
Gentlement. Satu kata yang terlintas dibenakku saat ia berujar demikian.
"Balik sekarang yuk, entar keburu hujan."
Aku mengangguk dan menyambut tangannya yang terulur kepadaku. Kami pun berjalan bersisian, menginjak rumput-rumput hijau yang menjalar disepanjang tanah taman. Hingga tetes demi tetes rahmat Tuhan membasahi tubuh kami. Perlahan tapi pasti, hujan yang semula berupa rintik kecil mulai menyerbu kami dengan jumlah pasukan yang kian bertambah banyak. Deras.
Dengan menggenggam tanganku, ia mengajakku berlari sambil tertawa kecil karena tingkah usilnya menendangi air hujan yang menggenang. Membuat dress selututku sedikit kotor.
Dia menghentikan langkahnya. Dan tentunya aku pun begitu. Kami berteduh tepat dibawah pohon rimbun yang cukup besar.
Kami memang pulang berjalan kaki, karena..kan aku yang memintanya untuk tidak menggunakan mobil selagi bersamaku.
"Bentar ya, Fy." ujarnya tiba-tiba, aku mengangguk sekilas.
Aku memperhatikan dia yang mulai berjalan menjauh dariku. Rupanya dia menghampiri pohon pisang yang tumbuh tidak jauh dari pohon tempat kami berteduh saat ini. Detik berikutnya, ia segera mengambil selembar besar daun pisang dan membawanya padaku.
"Ayo kita pulang!" serunya cukup keras. Aku mengangguk.
Akhirnya ia pun mengantarkan ku sampai rumah dengan berbekal selembar daun pisang yang kami gunakan sebagai payung untuk -sedikit- menghalangi air hujan yang nampak bernafsu sekali menyerang kami.
Hahhhh, tepat dimalam minggu ini. Dibawah langit mendung dan disaksikan hujan beserta selembar daun pisang, aku dan dia resmi menjadi sepasang kekasih.
-----
Tepatnya malam minggu kau tinggalkan aku, kau bawaku dalam kehancuran
Kau tinggalkan aku dalam sebuah derita
-----
Mengingat awal resminya status hubunganku dengannya waktu itu memang menyenangkan. Bahkan meskipun kini kami tak bersama, aku masih merasa bahagia saat mengingat peristiwa manis itu. Aku masih sering malu saat teringat senyumnya, wajahnya, tingkah laku nya. Hufttt..stop! Aku tidak boleh jatuh cinta lagi padanya. Ya meskipun pada dasarnya, sampai detik ini rasa itu masih ada.
Masih berhubungan dengan malam minggu dan hujan. Aku mengingat salah satu satnite terburuk dalam hidupku bersamanya. Dimana dia dengan mudahnya memutuskan untuk memulai hidup tanpaku dengan alasan yang aku sendiri tidak mampu memahaminya.
»»
Aku berjalan gontai menuju tempat dimana sepedaku terparkir. Hari ini aku memang sengaja pulang lebih belakangan, karena peristiwa kemaren siang -dimana dia datang bersama wanita lain ke toko bunga tempatku bekerja- sudah meleburkan semangat kerjaku hari ini. Setelah sampai diparkiran, aku kembali menatap langit. Lagi-lagi tanpa bintang, pasti akan hujan.
Hufttt..aku mendesah perlahan dan mulai mengambil sepedaku, menuntunnya sebentar dan mulai mengayuhnya menuju rumahku.
Jderrr...jderrr
Petir mulai menyambar. Membuat rasa takut menyelimuti perasaanku. Aku harus segera tiba dirumah.
Terlambat, titik-titik hujan itu mulai menyerangku. Tak perduli aku mulai kebasahan dan bahkan mulai menggigil kedinginan. Mereka tetep menyerbu tubuhku.
Merasa hujan semakin membesar, aku memutuskan untuk berteduh sebentar disalah satu halte yang akan ku lewati nantinya.
Ku parkir sepedaku didepan halte tersebut, kemudian aku segera mengambil posisi duduk disebelah gadis yang sepertinya juga sedang kedinginan. Ditangannya ada segelas hot cappucino, aku mengetahuinya karena melihat kepulan asap yang mengudara diatas kemasan gelas plastik tersebut.
Mungkin merasa ku perhatikan, dia menoleh kemudian tersenyum ramah. Sebentar, kenapa wajahnya tidak asing bagiku?
"Kamu kedinginan yah? Mau ini?" tawarnya, aku menggeleng kecil.
Aku memang haus. Aku memang kedinginan. Tapi memalukan sekali jika aku menerima tawaran orang yang sama sekali tidak ku kenal.
Dia menggeser duduknya, sedikit lebih dekat denganku.
"Ini," dia menyodorkan gelas hot cappucinonya kepadaku "ambil aja, aku udah minum kok."
Karena ia terus memaksa, akhirnya dengan canggung aku menerimanya. Kemudian mulai menyesap sedikit demi sedikit minuman yang ahhh, benar-benar menghangatkan sekali.
"Emm makasih." dia tersenyum ramah, mungkin pengganti kata 'sama-sama' untuknya.
Cittt..sebuah mobil berwarna silver berhenti didepan kami. Membuat pandangan kami kompak mengarah pada mobil silver tersebut. Aku yang sedikit takut -karena berpikir negative dengan pengendara mobil silver itu- melirik ke arah gadis disebelahku yang justru tersenyum ceria. Mungkin jemputannya, bathinku.
Beberapa saat kemudian seorang pria dengan payung putih ditangannya berjalan menghampiri kami. Emm ralat, mungkin lebih tepatnya menghampiri gadis disebelahku.
"Sorry ya bee. Tadi macet." pria itu berucap dengan nada bicara penuh penyesalan.
Kenapa aku merasa mengenali suara itu ya?
"Nggak papa kok, aku ada temennya juga kebetulan."
Takut-takut aku mengangkat wajahku. Entah bagaimana awalnya, saat mataku memperhatikan sosok pria didepanku secara perlahan bulir-bulir air mata mengalir dan membasahi pipiku.
"Ri..Rio,"
"I..Ify,"
"Loh? Kalian saling kenal?"
Kenal? Tentu saja. Bahkan kami masih berstatus pacaran hingga detik ini. Meskipun sejak menyaksikan kejadian kemarin, aku tak menghubungi Rio sekalipun melalui sebuah pesan singkat.
Aku menatap Rio dan gadis itu secara bergantian dan berulang-ulang. Pantas aku merasa mengenali gadis ini, dia kan yang datang ke tempat kerjaku bersama Rio, kemarin?
Aku menggeleng lemah tak percaya. Sedikit sakit melihat ekspresi Rio yang sama sekali tidak cemas atau apalah. Dia hanya terkejut sesaat dan kemudian diam. Seperti tak ada niat untuk memberikan kejelasan tentang siapa gadis yang sedang dijemputnya saat ini.
"Hello? Kok pada diem-dieman?"
Ahhh, menyebalkan sekali gadis ini. Ayo Rio, jelaskan padaku. Siapa gadis ini? Seruku dalam hati.
"Kamu masuk ke mobil duluan ya."
Mengabaikanku dan memilih untuk berkata manis nan lembut pada gadis itu. Ku lihat tampang gadis itu sedikit bingung, tapi toh ia tetap menuruti perintah Rio dan segera meninggalkan kami berdua.
"Aku nggak nyangka, Yo. Kamu tega." ucapku lirih, nyaris tersamarkan oleh suara hujan.
"Maaf."
Apa? Maaf? Hanya itu? Tidakkah dia ingin menjelaskan sesuatu padaku?
Aku melengos "Maaf? Maksud kamu apa?"
"Kita udah gak bisa sama-sama lagi, Fy," dia mengatakan itu dengan tenang membuat hatiku berdenyut sakit "gue sama dia..emm, dia cewe baru gue."
Ya Tuhan. Apa lagi ini? Jadi, Rio memiliki wanita lain padahal jelas-jelas dia masih berhubungan denganku, begitu?
"Mak..maksud kamu?"
"Sorry, Fy. Tapi aku udah memilih dia."
Pukkk..aku menjatuhkan gelas hot cappucino ditanganku, pemberian gadis itu. Rio, tega sekali dia mempermainkanku seperti ini. Apa salahku?
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera menjauh meninggalkannya. Menyeret sepedaku ditengah hujan, dengan derai airmata menghiasi wajahku.
Rio! Kamu tega!
««
Tidak. Tidak. Tidak. Lupaka dia, Ify! Lupakan! Apa untungnya aku mengingat-ingat seseorang seperti dia. Hanya akan menambah sakit hatiku saja. Baiklah, mungkin akan lebih baik jika aku mengistirahatkan tubuhku saat ini. Senin nanti, aku akan kembali masuk sekolah setelah 1 minggu ini aku menjalani libur.
Dengan enggan aku menarik gorden berwarna cream yang mempercantik jendela kamarku. Dan segera beranjak naik ke atas tempat tidur yang aku harap akan mengantarkan ku pada mimpi indah yang bukan...Rio.
-----
Sungguh berat bebanku tuk harus melupakanmu
Sumpah mati aku tak bisa hidup tanpamu
Namun kau coba lupakanku dengan cinta yang baru
haruskah ku teriak didepanmu?
-----
Kicau burung pagi ini, langsung membangunkan ku dari tidur nyenyak. Tentu saja nyenyak, setelah kemarin aku menghabiskan waktu seharian di toko bunga, badanku mulai terasa pegal. Aku sengaja bekerja ekstra kemarin karena mulai hari ini aku akan kembali bersekolah. Dan itu artinya, jam kerjaku akan kembali seperti semula. Part time, bukan full time.
Setelah merasa cukup untuk bermalas-malasan, aku langsung meraih handuk berwarna merah hati yang tergantung dibelakang pintu kamarku. Kemudian ku langkah kan kakiku menuju kamar mandi yang letaknya disebelah kamarku.
Menit berikutnya, guyuran air mulai tercipta karenaku.
*****
Aku menendangi kerikil dihadapanku. Saat ini adalah jam olahraga, dan kami akan mempelajari tentang basket. Dulu aku menyukai basket karena Rio. Menurutku pria itu terlihat keren sekali saat memainkan bundaran orange tersebut. Aku suka memperhatikannya saat ia mendribble bola, memasukkannya ke ring atau sekedar free style. So awesome!
Tapi itu dulu, sekarang? Aku bahkan menganggap basket adalah jenis olahraga paling menyebalkan yang pernah ku kenal.
Dukkkk..aku membanting kasar bola basket ditanganku, disertai hembusan nafas yang cukup keras. Come on, Ify. Berhentilah memikirkannya. Apa saat ini dia juga sedang memikirkanmu? Mengingatmu? Memperhatikanmu? Percuma saja semua hal yang kulakukan saat ini untuknya, karena toh takkan berarti apa-apa dimatanya.
Lihatlah! Bahkan dia terlihat asyik mengajari gadis lain untuk memasukkan bola ke dalam ring. Gadis yang berbeda dengan gadis 2 minggu yang lalu. Karena gadis yang saat ini bersamanya adalah salah satu murid baru, pindahan dari Semarang.
Ckckkk..apa itu? Itu bukan mengajari. Yang aku tahu, yang kini ia lakukan bersama gadis itu tak berbeda jauh dengan 'pacaran'. Hanya saja dengan gaya yang berbeda, malah ini terlihat lebih mesra.
Oh Tuhan...kenapa aku sesibuk ini mengurusi hal yang bukan kepentinganku?
"Nih,"
Aku mengangkat wajahku saat sebuah suara halus menyapaku. Tangan kanannya menyodorkan sekaleng softdrink yang masih dingin.
"Buat lo." tambahnya.
Aku menelan ludah. Pria kutub utara -dingin- ini bisa berbicara juga rupanya.
"E..elo," aku menunjuk dirinya "elo ngomong sama..gue?" sambungku, sambil menunjuk diriku sendiri.
Dia melengos, menarik tangannya kembali padahal softdrink ditangannya belum ku terima. Huhhh sebenarnya dia berniat atau tidak menyuguhiku minuman itu?
Aku merengut sebal, setengah melirik ke arahnya yang tengah sibuk membuka kaleng softdrink tersebut.
"Nih," dia menyodorkan sofdrink itu lagi kepadaku "diminum, jangan dipelototin aja gue nya."
Aku tercengang "elo gue minum?"
Dia sedikit menarik tubuhnya ke belakang "bukan, maksud gue mending elo minum tuh minuman. Jangan melototin gue kayak gitu." jelasnya yang emm sepertinya risih dengan pelototan mataku. Padahal mataku tidak besar.
"Ehh sorry," ucapku tak enak "gue minum ya?" dia mengangguk acuh "makasih." tambahku, lagi-lagi ia mengangguk.
Aku menyusuri embun-embun kecil yang menyelimuti kaleng softdrink ditanganku, dengan telunjuk kananku. Sepi sekali rasanya, karena sedari tadi pria disebelahku ini hanya diam tanpa kata.
Tuk..tuk..tukkk
Sambil memainkan embun-embun dikaleng softdrinkku, aku menghentak-hentakkan kecil kakiku. Berusaha membunuh kesunyian yang menyelimuti kami berdua.
"Elo putus sama, Rio?" tanya nya tiba-tiba.
Aku mengangkat wajahku dan menatapnya dengan alis terangkat. Apa dia senang mendengarkan gosip juga?
Dengan malas aku mengangguk, setelah sepersekian detik menatap wajahnya.
"Kenapa?" aku kembali menatap aneh pada pria disampingku, yang terkesan ingin tahu "ya, kalau elo ngerasa itu privacy ya gak usah diceritain. Nggak papa kok." sambungnya saat kedua mata kami bertemu.
Aku berdehem sedikit "errr, gue nggak tau apa gue pantes cerita sama lo atau nggak. Secara, kita nggak kenal dekat ya meskipun kita sekelas," aku mengingat-ingat tentang intensitas "diskusi" atau pun "komunikasi" yang pernah terjalin diantara aku dan dirinya. Memang tidak sering, bahkan jarang. "Tapi, mungkin nggak ada salahnya kalau gue berbag-"
"Stop! Elo mau curhat apa ceramah, sih? Panjang amat." potongnya sambil menggerutu kesal -mungkin-.
Aku meringis kecil "ya ya, sorry. Emm maksud ku...hhh well, gue cerita sekarang. Jadi..."
Bla..bla..aku mulai menceritakan tentang hubunganku yang mulai tidak sehat dengan Rio. Sampai pada akhirnya, di satnite kelabu, dibawah guyuran hujan dia memutuskan untuk memilih gadis lain dibandingkan aku. Sesekali dia bertanya dan aku menjawab seadanya.
Baru ku sadadari ternyata dia beda. Dia tak seperti apa yang teman-teman dikelasku katakan, dia tidak sedingin, sependiam yang mereka nilai. Malah, dia terlihat antusias dan banyak bertanya saat aku bercerita.
"So, gimana perasaan lo sekarang?"
Aku mengangkat bahuku sedikit "nggak tau, yang jelas gue...emm-"
"Gue ngerti perasaan lo," dia menepuk pelan pundakku.
Wooo..apa yang baru saja dia lakukan? Menyentuhku? Bahkan dia pernah memarahi salah satu siswi yang tidak sengaja membersihkan kemejanya. Singkat kata, dia tidak suka disentuh secara sembarangan oleh orang lain. Dan sekarang, dia malah menyentuhku
"Kenapa lagi? Gitu amat ngeliatin gue nya."
"Elo, elo nyentuh gue?" tanyaku merasa aneh.
Dia menatapku dengan kening mengerut "ada yang salah?"
Refleks aku mengibaskan kedua tanganku didepan wajahnya "nggak. Nggak kok nggak."
Dia membuang muka. Membuatku sedikit tidak enak. Dan akhirnya aku kembali menyibukkan diriku dengan kaleng softdrink kosong ditanganku.
Dia? Ntahlah. Yang aku lihat, dia sedang menatap kosong tanah lapang dihadapan kami.
"Ehh!" aku hampir terjatuh saat mendengar seruannya yang tiba-tiba itu "tadi elo bilang..elo rasanya pengen teriak didepan dia. Emang berani?" sambungnya bertanya dengan tampang polos tak bersalah.
Apa dia tidak tahu aku hampir terjatuh karenanya?
"Malah diem. Berani gak?"
Aku menyeringai lebar. Menampakkan rentetan gigi putih yang dihiasi behel berwarna "nggak. Makanya gue nggak ngelakuin," aku terdiam sejenal "ya meskipun gue rasa itu perlu, senggaknya...buat ngeluapin semua isi hati gue." sambungku lirih.
Aku menunduk, dan tiba-tiba tetesan air mata itu kembali menganak sungai dipelupuk mataku. Oh God, bisakah aku berhenti menangis sekarang? Aku tidak ingin menangisinya lagi.
Bahuku mulai bergetar, dan aku rasa pria disampingku ini akan segera menyadari kalau aku sedang menangis.
Sebuah sentuhan hangat mendarat dipundakku. Sentuhan itu mulai bergerak mengusap halus.
"Jangan nangis, tapi...kalau itu bisa ngebuat elo lebih baik, lakuin aja..hehee."
Aku memukul bahunya pelan. Disaat seperti ini dia sempat-sempatnya bercanda. Tapi, hebat. Dia bercanda, dia menghiburku. Aku baru sadar kalau hari ini dia sangat menyenangkan.
"Gimana sih lo, tadi ngelarang gue nangis eh sekarang malah ngebolehin."
"Emosi kalau dipendam gak baik juga kali, Fy."
"Iya, Alvin."
Dia tertawa kecil, manis sekali. Eh, aku bilang apa barusan. Ada-ada saja.
Puk..puk..pukkk
Dia menepuk-nepuk celana olahraganya ketika tubuh tingginya sudah berdiri tegap. Aku menatapnya dengan heran, beberapa saat kemudian salah satu tangannya mulai terulur dihadapanku. Dan dengan ragu aku menyambut uluran tangan tersebut.
Dengan menggengam tanganku, ia membawaku entah kemana. Anehnya, aku hanya mengikutinya dengan pasrah.
"Nggak nanya 'mau kemana?' gitu?" tanya Alvin ditengah-tengah perjalanan.
Aku menggeleng kecil "terserah kamu deh, aku lagi males ngomong."
Dia memajukan bibirnya sedikit, lucu sekali.
"Gak asik ih, elo tau nggak kalau akibat elo yang dengan pasrahnya ikut gue, elo udah bolos di pelajarannya bu Winda."
Aku menghentikan langkahku. Bu Winda? Sejarah? Oh no...guru itu kan killer sekali. Eh tapi, buat apa khawatir? Kan ada Alvin. Dia kan murid kesayangannya bu Winda. Oke, Fy calm down.
Aku melanjutkan langkahku. Sebelumnya, tangan kananku langsung bergerak menggandeng salah satu tangan, Alvin.
"Nggak takut?"
"Kan sama lo. Jadi gue nggak takut." ucapku mantap.
Dia hanya mengangguk. Kemudian mempercepat langkah kakinya menuju suatu tempat -mungkin- yang aku sendiri tidak tahu dimana. Aku hanya berjalan dalam diam. Menikmati detik demi detik waktu yang ku lalui bersamanya. Tuan kutub utara yang terkenal dingin. Namun dengan anehnya, tiba-tiba saja dia menghampiriku dan mulai akrab denganku. Sungguh aneh, pikirku dalam hati.
*****
Ilalang-ilalang putih menjulang tinggi dihadapan kami. Begitu indah dan menakjubkan, menurutku. Aku berdecak kagum melihat pemandangan didepanku saat ini. Bagaimana bisa, Alvin mengetahui tempat seindah ini?
"Ini dimana sih, Vin?"
"Ini area dibelakang sekolah kita, Fy. Masa' elo gak tau?"
Aku menggeleng "gue emang baru tau." jawabku jujur.
"Sekarang elo teriak." ucapan Alvin yang terdengar memerintah, membuatku menatapnnya heran "nggak akan ada yang denger, disini sepi. Udah buruan." suruhnya lagi.
Hufttt..aku menghirup nafas berulang kali. Berusaha menenangkan hatiku sebentar, sebelum aku meluahkan seluruh isi hatiku.
Tes..tess..tesss
Baru saja akan membuka mulut, tetes hujan sudah menyerbu ku lebih dulu. Lantas aku memutar kepalaku sedikit lebih ke kanan dan menatap Alvin yang masih setia disampingku.
"Udah, terusin aja. Gue nggak bakal kemana-mana kok." ucapnya setengah berteriak. Mungkin ia takut suaranya akan dikalahkan oleh derasnya hujan, mungkin.
"Tapi hujan, entar kita sakit."
Dia menggeleng pelan. Membuat rambutnya bergerak lemas dan beberapa tetes air hujan terlempar ke wajahku.
"Nggak papa. Ayo, cepet lo teriak. Gue temenin kok. Lo ungkapin semua perasaan lo tentang, Rio."
Aku mengangguk. Tak ingin membuat apa yang dilakukan Alvin menjadi sia-sia. Aku menatapnya yang sedang tersenyum manis padaku, aku pun membalas senyumnya. Kemudian, dengan pandangan lurus ke depan, aku bersiap untuk meneriakkan isi hatiku.
"Gue benci lo Mario. Gue benci sama lo. Lo udah nyia-nyia-in perasaan gue. Dan gue pastiin, nggak akan ada yang bisa seperti gue, gue jamin itu!!"
"Elo udah bikin gue nangis berminggu-minggu. Elo udah bikin gue kehilangan semangat gue, elo udah ngerebut semua kebahagian gue. Hiks..hikss.."
Aku mulai menangis. Hal yang paling ku benci semenjak Rio menyakiti ku. Dengan kasar ke tepis lelehan air mata yang mulai membaur dengan tetesan hujan di wajahku.
"Hari ini adalah terakhir kalinya gue nangis gara-gara elo. Besok, lusa dan selamanya, nggak akan ada lagi air mata buat lo!!" ucapku mantap, aku masih belum bisa menghentikan laju air mataku.
"Gue janji, Mario. Gue janji." sambungku lirih. Perlahan tubuhku mulai melemas dan brukk..aku terduduk diantara hamparan ilalang-ilalang putih yang mengelilingiku.
Ku rasakan sebuah dekapan hangat menyelimuti tubuhku. Sepertinya Alvin, tapi..apa ini hanya perasaanku saja? Mengapa aku merasakan tubuhnya juga ikut bergetar?
"Udah, Fy. Jangan nangis lagi. Gue nggak bisa liat lo nangis kayak gini."
Aku mendengar Alvin mengucapkannya dengan nada memohon. Mengapa?
"A..Alvin, elo-"
"Gue sayang sama lo, please jangan pernah lo nangis buat cowok lain didepan gue. Gue sayang sama lo."
Reda. Perlahan-lahan, guyuran air mata langit mulai berhenti. Masih tetap dalam posisi yang sama, aku dan Alvin sama-sama terdiam.
"So..sorry, Fy."
Alvin melepaskan pelukannya. Dengan sedikit canggung aku menatap wajahnya. Mencari kejelasan dari semua maksud perkataannya beberapa menit yang lalu.
"Pelangi, Fy. Liat deh!" serunya tiba-tiba.
Aku mengikuti arah telunjuknya.
Pelangi, indah sekali rupanya. Membuat senyuman terukit begitu saja dibibirku saat ini.
"Elo tau kan, Fy. Pelangi emang gak selalu hadir sehabis hujan. Tapi, dia nggak akan mungkin hadir kalau nggak didahului dengan hujan."
Aku menatap Alvin dengan kening mengerut, dan alis bertaut. Jujur, aku bingung.
"Masih ada pelangi sehabis hujan. Masih ada Alvin setelah Mario."
Aku merasakan semburat hangat menghiasai kedua pipiku. Oh Tuhan, apakah para malaikat kembali menghadiahiku sepasang sayapnya? Karena saat ini aku kembali merasa melayang saat mendengar penuturan Alvin.
Entah siapa yang memulai, kini kami kembali saling merangkul. Memandang bahagia lukisan langit yang semakin cantik dengan kehadiran pelangi.
Langit semakin berwarna ketika dihiasi pelangi. Dan hatiku semakin bahagia ketika ditempati Alvin.
=====
Errrr, sedikit kaget pas ngeliat hasil akhir cerpen ini. Karena niat awal pengen bikin sadend dan tetep RiFy yang menonjol. Nggak tau kenapa malah jadi Happend dan AlFy -kayaknya- juga ikutan menonjol diakhir. Meskipun tetep, menurut gue porsi RiFy paling banyak.
Judul awal sebenernya "Tepatnya Malam Minggu" bukan "There's Still a Rainbow After The Rain"
Aishhhh sok inggris ya gue-_- maaf deh kalau judulnya salah..ahahaa
Oh iya, mungkin kalian juga ada yang bingung kenapa tiba-tiba Alvin muncul pas menuju akhir cerita. Jujur gue sendiri juga nggak tau. Semalem pas ngelanjutin ni cerpen perasaan gue lagi galau, galau banget pokoknya eh tau-tau udah ke tulis Alvin aja. Dan berhubung gue pake sudut pandang orang pertama, otomatis disini gue nggak mendeskripsikan perasaan Alvin di awal-awal. Ya, kecuali gue make dua P.O.V kan baru gue juga bisa nyeritain dari sudut pandang Alvin.
Well, nggak ada yang lebih menyenangkan hati gue selain ngeliat/tau kalau kalian ngerasa terhibur dengan tulisan gue dan bisa ikut masuk, melebur bersama kalimat-kalimat (yang meskipun masih -ekhm- berantakan) sok rapi dari gue :D
Finally, masih tetep sama kayak sebelumnya. Tetep nungguin komentar, kritik dan saran yang gue harap bisa membuat tulisan gue lebih baik lagi (re : membangun)
Song : Tepatnya Malam Minggu by Terry
_With Love Nia Stevania_
Saat cintaku mulai tumbuh dan berbunga
-----
Prang...aku benci dia! Aku benci dia!
Kenapa? Kenapa dia tega melakukan semua itu padaku? Apa aku kurang perhatian? Apa aku terlalu mengekang? Apa aku terlalu kekanak-kanakan?
Tolong! Jelaskan padaku, kalau aku salah katakan.
Semua benda yang berada didalam istana kecilku telah berantakan ke segala arah. Tak sedikit barang-barang berbahan kaca yang mulai berubah menjadi serpihan-serpihan halus, yang tercipta akibat ku perlakukan dengan kasar.
Apa dia lupa? Betapa dia harus bersusah payah untuk meyakinkan hatiku, kalau aku tidak akan salah jika berkata 'iya', saat dia memintaku untuk menjadi pemilik hatinya.
»»
"Gue sayang sama lo, tulus apa adanya,"
Dia menatapku dengan lembut. Menusuk tepat dijantung hatiku, membuat getar-getar cinta menyebar ke seluruh urat-urat syarafku.
"Gue nggak main-main, Fy. Gue serius!"
Dia menambahkan dengan nada bicara penuh ketegasan.
Dari pancaran sinar matanya, aku bisa merasakan betapa tulusnya untaian kalimat yang terucap dari bibirnya kala itu.
Namun, apakah harus, aku mempercayainya begitu saja?
Mengingat begitu banyaknya perbedaan yang ada diantara kami. Semua orang tahu siapa dia. Ketua osis, kapten basket, ketua ekskul musik, yang paling nyata dia adalah pangeran disekolahku. Dan perbedaan yang paling menonjol adalah, status sosial.
"Fy..Fy."
Dia melambai-lambaikan tangan kanannya tepat didepan wajahku. Membangunkan ku dari pemikiran panjang tentang perbedaan yang membentang diantara aku dan dia.
"Elo, boleh minta gue ngelakuin apa aja biar lo percaya kalau gue bener-bener sayang sama lo."
Aku menggigit kecil bibir bawahku, tangan kananku masih berada dalam genggaman lembut tangannya.
Huffttt..desah nafas ringan keluar dari rongga mulutku. Dengan setengah tersenyum, aku menggeleng pelan. Rasanya aku sudah menemukan jawaban yang pas akan permintaannya beberapa menit yang lalu itu.
"Apa...kamu bisa, hidup tanpa fasilitas mewah kamu kalau lagi sama aku?"
Dia menatapku dengan alis terangkat "maksudnya?"
"Aku mau kamu, nggak perlu naik mobil mewah kamu itu ke sekolah. Kalau lagi nggak sama aku, ya terserah kamu mau make atau nggak." pintaku, agak ragu sebenarnya. Tapi aku sudah bertekad, aku tak ingin satu sekolah -terutama para siswi- menganggapku seorang cewek matre yang gila harta.
Ku lihat dia mengangguk, meskipun -sepertinya- agak ragu "oke, kalau itu mau lo...gue nggak masalah," aku tersenyum tipis "cuman selagi sama lo doang kan, gue nggak boleh make mobil?"
Aku meringis kecil "ya maksud gue, kan gue nggak mungkin, Fy pergi bareng temen-temen jalan kaki. Kan lo tau, yang punya mobil cuman gue, yang lain kan bawaanya motor." tambahnya.
Entahlah, apa dia menambahkan ucapan tadi karena merasa tidak enak dengan pertanyaan sebelumnya atau apa.
Aku tak ingin ambil pusing, setidaknya..dia mau menuruti permintaanku untuk tidak menggunakan mobilnya ketika bersamaku. Itu saja, sudah cukup.
"Iya, cuman pas sama aku aja kok."
"Berarti elo nerima gue kan?"
Aku menggeleng pelan "sebelumnya, aku minta kamu buktiin dulu, kamu bisa atau nggak hidup tanpa fasilitas mewah kamu itu." ucapku setengah menantang.
Aku menangkap sorot mata penuh keraguan, sedikit perasaan takut menyelimutiku. Takut kalau-kalau dia mengurungkan niatnya untuk menjadikanku ratu penguasa hatinya.
"Emmmm," dia bergumam pelan "oke gue akan buktiin sama lo, dalam 1 minggu ini, gimana?"
Aku mengacungkan ibu jariku dan dengan gerakan cepat, tangan yang sedari tadi menggenggam lembut jemari kananku menarik tubuhku kedalam dekapannya.
"Gue sayang sama lo." ucapnya lagi.
"Buktiin dulu." selorohku. Dia tertawa kecil dan menghancurkan kerapian rambutkan dengan sekali gerakan. Menyebalkan.
««
Saat itu, aku belum seutuhnya menyayangi dia. Tapi seiring berjalannya waktu dan kebersamaan yang sering tercipta diantara aku dan dia, membuat perasaanku semakin hari semakin membesar. Rasa yang biasa itu berubah menjadi rasa sayang yang berujung pada keegoisan ingin memiliknya selamanya. Tak ingin sekalipun melepaskannya dan berusaha sekuat mungkin untuk menjaganya. Tapi, kenapa? Kenapa disaat rasa itu mulai nyata, dia justru menghancurkan semuanya?
-----
Kau goreskan kepedihan yang tak pernah ku duga
Kau patahkan semua harapkanku
Kau hancurkan semua impianku
-----
Aku masih terduduk disudut kamarku, dengan posisi memeluk lutut. Rentetan peristiwa beberapa waktu yang lalu berputar-putar diotak ku, bagaikan kaset rusak, rekaman-rekaman peristiwa tadi berputar secara berulang kali. Membuat sesak itu semakin menghimpit pernafasanku.
»»
Awan mendung mulai menghiasi langit sore ini. Setelah berulang kali menatap langit, ku putuskan untuk membawa payung kebanggaanku sebelum ku lajukan kendaraan roda dua milikku menuju sebuah kios bunga didaerah simpang tiga.
Dengan santai aku mengayuh sepeda peninggalan ayah 2 tahun yang lalu. Ahh setiap mengendarainya, aku selalu merasakan sosok ayah yang menemaniku dalam melakukan setiap aktifitas harianku.
10 menit waktu yang ku gunakan untuk menghabiskan perjalanan dari rumah menuju kios bunga ini. Yah, sudah menjadi rutinitas harianku sejak 2 bulan yang lalu -tepatnya semenjak ibuku sering sakit-sakitan-, untuk bekerja part time di kios bunga milik teman dekat ibuku ini.
Dengan riang aku langsung mengenakan seragamku dan bersiap untuk memulai pekerjaanku.
"Rio!!!"
Aku tersentak saat mendengar suara wanita menyebut nama itu. Ahh, mungkin hanya kebetulan saja namanya sama. Dan akhirnya aku pun berusaha untuk kembali fokus dengan pekerjaanku semula, me-nge-check jumlah bunga-bunga segar yang baru saja tiba tadi pagi.
"Pilihin dong bunganya, kamu kan paling ngerti selera mamah."
Aku masih mendengar samar-samar suara lembut gadis tersebut. Sedikit menyikut lengan Agni -salah satu teman seperjuanganku dikios ini-, aku memberikan isyarat padanya untuk menghampiri gadis yang sedari tadi suaranya tertangkap oleh indera pendengaranku.
"Bentar yah, mbak saya mau tanya dong, bunga yang ini berapa harganya?"
Suara itu. Apa ini juga suatu kebetulan? Nama yang sama dan suara yang sama.
Entah karena apa, aku segera meletakkan pulpenku dan mulai berjalan perlahan menuju kios bagian depan. Hanya untuk memastikan pendengaranku ini tak salah.
"Yang ini sebuketnya Rp. 50.000,00 mas. Buat pacarnya yang ini yah?"
"Bukan, buat mamahnya dia."
Aku sedikit terpaku saat pria yang -sepertinya- sangat ku kenali itu tersenyum bangga sambil merangkul gadis disebelahnya, saat menjawab pertanyaan Agni itu. Kenapa mereka mesra sekali?
Belum sepenuhnya pertanyaan hatiku terjawab, sesuatu membuatku terpaksa harus berhenti memperhatikan pelanggan yang aku rasa itu..dia.
"Ify..Ify!!"
"Eh iya," dengan sedikit tergagap aku memutar tubuhku kebelakang, dan mendapati Irva tengah menatap heran ke arahku "kenapa, Va?" tanyaku santai.
"Itu, soal bunga yang lo check tadi, udah belom? Kalau udah langsung kasih ke Bu Rose ya, soalnya tadi dia minta datanya," ucap Irva yang ku sahut dengan sebuah anggukan kecil "buruan."
Aku kembali mengangguk mendengarkan penuturan tambahan dari Irva, sedetik kemudian aku segera berlalu menuju meja kerjaku dan mulai kembali melanjutkan pekerjaanku.
Perasaanku tak tenang, akhirnya ku putuskan untuk sedikit mengintip ke depan kios melalui jendela kaca yang membatasi ruang kerjaku dengan kios bagian depan. Ahh sial, aku tak bisa mendengar percakapan mereka. Namun sesaat tanganku membeku, berhenti menggerakkan tinta hitam yang sejak tadi asik menari diatas kertas putih -dengan sedikit coretan hasil kerjaku- ditanganku. Tubuhku mematung, saat ku yakini bahwa dia -pria yang datang bersama gadis itu- memanglah pria yang baru 3 bulan terakhir ini menjadi kekasihku.
Aku memang tak bisa mendengar pembicaraan mereka, tapi aku bisa menangkap gerak-gerik mereka. Tangannya yang mengacak kecil rambut panjang gadis disebelahnya atau bahkan memeluk mesra pinggang gadis tersebut. Semua tertangkap jelas oleh mataku. Yang tanpa perlu diikrarkan pun, aku rasa semua orang tahu bahwa keduanya memiliki hubungan yang khusus.
Tes..tess
Tetes demi tetes air mata ku mulai membasahi kertas kerjaku. Semakin lama semakin tak tertahan, hingga akhirnya aku terduduk pasrah didepan jendala kaca tersebut dengan kedua mata yang masih terus mengawasinya.
Sakit. Jelas sakit. Dan yang bisa ku lakukan saat ini hanyalah, menangis.
-----
Aku pun mengerti kita sungguh jauh berbeda
Bagai langit dan bumi yang terpisah jauh
Namun bukan berarti itu menjadi ukuran
Haruskah bulan bintang ku turunkan?
Tuk buktikan semua perasaan
-----
Aku menikmati pemandangan langit gelap malam ini. Mungkin karena anugerah Tuhan akan diturunkan, bintang-bintang mulai bersembunyi. Dan kini yang ku lihat hanyalah sebuah bintang kecil yang bersinar ditengah hitamnya langit. Sama seperti diriku, ditempat ini. Sendiri, tak berteman.
Hhhh..berkali-kali aku mendesah panjang. Dengan kedua mata tertutup, dan tangan yang mencengkram keras tepian bangku kayu yang menampung berat tubuhku saat ini.
'Tidak usah berharap lebih dengan hubungan kamu sama dia, Fy. Kalian berbeda.'
Kalimat ibu, beberapa waktu yang lalu kembali terdengar ditelingaku.
Belum sembuh luka sakit hatiku karena perbuatannya waktu itu, ibu kembali menorehkan kepedihan dihatiku dengan kalimat yang mampu memutuskan asaku . Ya meskipun beliau melakukannya tanpa sadar.
Aku mengingat-ingat berapa banyak perbedaan yang membentang diantara aku dan dia. Hahaa, aku tertawa pahit. Memang sepertinya takdir tak berpihak pada kami.
Mencoba mengukur perbedaan yang ada diantara aku dan dia adalah suatu hal yang sia-sia. Karena apapun hasilnya, inti dari semuanya adalah kami tak kan pernah bersatu.
Bukan hanya karena aku yang terlanjur sakit hati atas perlakuannya. Tapi juga perlakuan orang tuanya, emm lebih tepatnya ibu nya Rio. Kalau dulu aku masih bisa bertahan -karena toh Rio tetap memilihku saat itu-, kini aku tak tahu apa yang harus ku lakukan.
Melepaskannya kah? Padahal rasa itu masih tertuju padanya.
Atau mempertahankannya? Meskipun aku sudah terlalu sakit karenanya.
Aku menggeleng pelan. Percuma mempertanyakan, karena sepertinya tak kan pernah ku temukan jawaban.
Plukkk...sesuatu yang sepertinya dilemparkan secara sengaja mengejutkanku yang tengah menyendiri saat ini. Dengan enggan ku buka kedua mata yang sempat terpejam -bukan karena tidur-, dan melirik ke samping kanan.
Mataku menangkap sebuah amplop coklat yang cukup tebal, tergeletak pasrah disana.
"Jauhi, Rio!"
Aku mengangkat wajahku saat mendengar kata-kata tajam bernada perintah itu.
Seorang wanita anggun, dengan kedua tangan menyilang didada menatap sinis ke arahku.
Ya, aku ingat. Beliau adalah nyonya Haling, ibu Rio.
"Jangan pernah dekati anak saya lagi!"
Aku mencibir dalam hati. Bahkan kami sudah lost contact selama 2 minggu terakhir ini. Tepatnya sejak..ah sudahlah. Lupakan!
"Maksud anda?"
Meskipun asap diotakku mulai mengepul, aku masih menenangkan nada bicaraku. Bagaimanapun juga, beliau lebih tua dariku. Sepantaran dengan ibuku, maka aku harus tetap menghormatinya.
"Hehhh," beliau mendesah sinis -menurutku- "saya tau, kamu mendekati anak saya untuk ini kan?"
Wanita itu mengambil amplop coklat disebelahku dan mengacungkannya tepat didepan wajahku.
"Ayo ambil! Dan jangan pernah berhubungan lagi dengan anak saya."
Meskipun ucapannya begitu keras, aku masih bergeming. Memandang amplop coklat dihadapanku dengan sedikit tidak percaya.
Hahhh, yang benar saja. Memangnya aku serendah ini? Memacari Rio untuk menguras semua hartanya? Begitu?
"Maaf, tapi saya tidak butuh uang anda." ucapku tegas, mataku mulai berani menatap tajam manik hitam milik seseorang yang dulunya mungkin pernah membuatku bermimpi untuk menyebutnya, ibu mertua.
Wanita itu tertawa angkuh -menurutku-, kemudian mengeluarkan sesuatu yang kalau menurutku lebih mirip dengan kwitansi. Ia juga mengeluarkan sebatang pulpen berwarna emas. Dan mulai mencoret 'kwitansi' tersebut dengan cepat, entahlah apa yang ia tuliskan disana.
Srett..ia merobek selembar kertas yang sudah ia coret, dan melemparnya dengan kasar hingga menyentuh sedikit permukaan kulit wajahku.
"Itu cek kosong, terserah mau kamu isi berapa. Saya yakin, itu sudah bisa memuaskan kamu, iyakan?" tuduhnya sinis.
Aku ternganga. Semakin menjadi-jadi saja wanita ini menginjak harga diriku. Kalau tadi aku masih berusaha sabar, kini sepertinya semua harus benar-benar ku selesaikan.
"Ayo ambil!" perintahnya lagi, dengan kaki kanan menyodorkan -atau lebih tepatnya menendang pelan- lembaran kertas yang ia sebut tadi.
Aku sedikit membungkuk, meraih kertas tersebut dan kembali menegakkan tubuhku setelah itu. Wanita itu kembali tertawa angkuh.
"Sudah saya duga, gadis seperti kamu itu mata duitan."
Entah untuk yang keberapa kalinya, ia menuduhku. Aku menghela nafas sebentar, kemudian menyunggingkan senyuman miring meremehkan.
Aku menaikan cek tersebut ke depan wajah wanita tersebut, dan menatapnya santai.
"Anda tau? Ini masih belum memuaskan saya."
"Hehhhh anak tidak tahu diri, maksud kamu apa? Kamu ingin menguras habis harta saya? Iya?"
Aku tertawa hambar. Apa yang bisa ia lakukan hanya menuduhku? Sekasar itu pula.
"Bukan," aku menggeleng pelan "sesuatu yang dapat memuaskan perasaan saya saat ini adalah.."
Sreettt..setelah sedetik sebelumnya aku menggantungkan kalimatku, aku langsung merobek cek kosong ditanganku. Menghancurnya menjadi sobekan-sobekan kecil, membuangnya kedasar tanah, dan menginjaknya sebentar.
"Saya tidak pernah menginginkan harta anda, karena perasaan yang saya miliki untuk anak anda itu tulus. Tanpa alasan," ucapku penuh penekanan.
Aku meraih tas slempang milikku dan segera menyampirkannya ke bahuku.
Ku lihat wanita itu mematung ditempatnya. Entah shock, kesal atau mungkin marah padaku.
"Satu hal yang perlu anda tau, tak perlu susah-susah anda mendatangi saya malam ini untuk meminta saya menjauhi anak anda, karena memang diantara kami sudah tidak ada apa-apa lagi." ucapku sebelum pergi meninggalkannya.
Kusempatkan mengukir senyuman ramah dibibirku, setulus mungkin. Kemudian berlalu meninggalkannya.
"Saya permisi." pamitku, berusaha sopan.
*****
"Argghhhhh...gue benci sama lo! Gue benci sama lo!"
Aku berteriak histeris. Membanting semua benda yang berada disekitarku. Untung ibu sedang pulang kampung, kalau tidak beliau pasti akan mengkhawatirkanku.
Aku kembali meringkuk di pojok kamar dengan sobekan-sobekan kecil dari foto yang menggambarkan aku dan dirinya.
Siapa yang tidak sakit hati diduakan seperti ini? Siapa yang tidak sakit hati, ditinggalkan begitu saja tanpa ada penjelasan, kecuali kata putus yang dilontarkan begitu saja? Siapa yang tidak sakit hati, dimaki-maki dengan wanita yang kita impikan akan menjadi ibu kedua -mertua- kita? Siapa? Siapa?
Kenapa semua harus seperti ini, Tuhan?
-----
Tepatnya malam minggu kau putuskan aku, tuk menjadi kekasihmu
-----
Ini adalah malam minggu ketiga, setelah aku dan dia resmi berpisah -putus-. Dan satnite kali ini begitu menarik perhatianku. Rinai hujan yang mulai jatuh menyentuh permukaan halus dedaunan, serta menimbulkan sedikit bias-bias embun didinding kaca kamarku.
Ahhh, kenapa setiap hujan turun aku selalu teringat kembali lagi padanya. Menyenangkan, menyedihkan dan tentu saja menyebalkan. Itu adalah perasaan yang terlukis ketika malam minggu yang disertai hujan kembali ku temui.
»»
Aku merengut kesal sambil sesekali melirik ke arah jam biru yang melingkar dipergelangan tanganku. Ya Tuhan, aku sudah menunggu 20 menit lebih lama dari waktu yang aku dan dia janjikan.
Malam ini, di taman ini, aku akan memberikan kepastian tentang status kami, tentunya setelah 1 minggu terakhir ini dia memenuhi tantangan dariku untuk tidak memakai mobil mewahnya ke sekolah. 1 minggu untuk percobaan, dan seterusnya akan berlanjut selama aku dan dia resmi berstatuskan sebagai sepasang kekasih.
Aku menengadahkan wajah, menatap langit. Gelap dan tanpa bintang. Sepertinya hujan akan segera mengguyur kota ini. Oh Tuhan, lama sekali dia.
Aku terus saja menggerutu sebal hingga derap langkah kaki setengah berlari terdengar oleh telingaku. Kepalaku mulai bergerak mencari sumber suara tersebut dan akhirnya kedua mataku menangkap sosok pria jangkung setengah berjongkok. Kedua tangannya bertumpu pada lutut dengan nafas yang terengah-engah.
"So..sorry, Fy. Tadi...hhh macet, gue jadi telat."
Ah, kasihan sekali dia. Aku jadi tidak tega memarahinya.
"Ya udahlah, udah telat ini kan? Duduk, Yo." suruhku sambil melirik bangku kosong disebelahku.
Dia mengangguk, dan segera mengambil tempat disebelahku. Huftttt..dia mendesah keras, mungkin berusaha membuang rasa lelah bersama nafas yang ia hembuskan.
Hening. Aku dan dia tidak berbicara sama sekali. Entah mengapa aku merasa canggung sekarang. Aneh, padahal sedari tadi aku menunggunya dan mengumpat kesal karena keterlambatannya. Sekarang? Dia sudah ada disini dan aku hanya duduk manis dengan mulut terbungkam. Bukankah sia-sia?
"Yo,"
"Fy,"
Kami terdiam setelah beberapa detik saling melempar pandang. Detik berikutnya aku kembali meluruskan tatapan ku ke depan, dan lagi-lagi mencengkram kuat tepian bangku kayu yang ku duduki.
"Kamu duluan, Yo." suruhku tanpa menatapnya.
Aku merasakan sebuah sentuhan hangat mendarat ditangan kananku yang masih setia mencengkram tepian bangku kayu yang tak berdosa ini. Begitu memutar kepalaku sedikit lebih ke kanan, mataku kembali bertemu dengan matanya. Dan beberapa menit kami bertahan pada posisi itu. Saling menatap dengan tangan kananku yang masih disentuhnya hangat.
"Emm ke..kenapa, Yo?"
"Errr, gue..gue kan udah menuhin em tantangan percobaan dari lo selama seminggu," dia terdiam, dari ekor mataku ku lihat ia menggaruk-garuk tengkuknya. Entah gatal, atau sekedar iseng "jadi, gimana? Apa elo bisa ngasih kejelasannya sekarang?"
Aku mengucap syukur dalam hati. Akhirnya dia bisa juga memulainya. Karena kalau aku dan dia hanya menghabiskan waktu dengan saling berdiam diri, yang ada semua akan percuma, wasting time. Iya kan?
"Ya, itu..ya kamu tau kan, jawabannya apa?"
"Kita," dia mengarahkan telunjuknya kepadaku dan dirinya secara bergantian "udah resmi?"
Aku mengganguk dengan posisi kepala menunduk. Malu, tentu saja. Aku rasa kedua pipiku mulai berubah warna sekarang dan aku tak ingin dia melihatnya.
"Elo serius kan, Fy?" aku mengangguk kecil "beneran?" untuk kedua kalinya aku mengangguk.
Apa sih maunya dia? Mempertanyakan hal itu berulang-ulang. Dia pikir aku bercanda? Aku kan malu. Hahaa...
Jderrrr...Jderrrr...
Suara petir mulai bergaung nyaring. Membuatku sedikit bergidik ngeri. Dia yang sempat berseru histeris sontak terdiam, dan beralih menatapku.
"Elo takut petir?"
"Err, nggak takut sih, emm rada ngeri aja." aku meringis kecil, membuat dia gemas -mungkin-. Tangan kanannya lantas mengacak kecil puncak kepalaku.
Oh God, sentuhannya begitu menghangatkan. Membuat hatiku berdebar-debar dan jantungku berdetak tak menentu.
"Sama aja, sayang."
Hahh? Sayang? Ya Tuhan...rasanya aku mulai dihadiahi para malaikat sepasang sayap sekarang. Buktinya, aku merasa jiwaku mulai tak berpijak dibumi. Tentu saja itu hanya khayalanku.
Jderrrr...Jderrr
Petir itu pun mengusik khayalanku. Membuat jiwaku yang awalnya terbang melayang, terhempas seketika. Dengan refleks aku menghambur ke tubuh Rio. Emmm lebih tepatnya memeluk lengan pria itu dengan erat. Perlahan ku rasakan sebuah belaian lembut menyapa rambut panjangku. Pelan dan teratur, seiring desah nafasku yang kian memburu.
"Nggak usah takut, kan ada gue."
Gentlement. Satu kata yang terlintas dibenakku saat ia berujar demikian.
"Balik sekarang yuk, entar keburu hujan."
Aku mengangguk dan menyambut tangannya yang terulur kepadaku. Kami pun berjalan bersisian, menginjak rumput-rumput hijau yang menjalar disepanjang tanah taman. Hingga tetes demi tetes rahmat Tuhan membasahi tubuh kami. Perlahan tapi pasti, hujan yang semula berupa rintik kecil mulai menyerbu kami dengan jumlah pasukan yang kian bertambah banyak. Deras.
Dengan menggenggam tanganku, ia mengajakku berlari sambil tertawa kecil karena tingkah usilnya menendangi air hujan yang menggenang. Membuat dress selututku sedikit kotor.
Dia menghentikan langkahnya. Dan tentunya aku pun begitu. Kami berteduh tepat dibawah pohon rimbun yang cukup besar.
Kami memang pulang berjalan kaki, karena..kan aku yang memintanya untuk tidak menggunakan mobil selagi bersamaku.
"Bentar ya, Fy." ujarnya tiba-tiba, aku mengangguk sekilas.
Aku memperhatikan dia yang mulai berjalan menjauh dariku. Rupanya dia menghampiri pohon pisang yang tumbuh tidak jauh dari pohon tempat kami berteduh saat ini. Detik berikutnya, ia segera mengambil selembar besar daun pisang dan membawanya padaku.
"Ayo kita pulang!" serunya cukup keras. Aku mengangguk.
Akhirnya ia pun mengantarkan ku sampai rumah dengan berbekal selembar daun pisang yang kami gunakan sebagai payung untuk -sedikit- menghalangi air hujan yang nampak bernafsu sekali menyerang kami.
Hahhhh, tepat dimalam minggu ini. Dibawah langit mendung dan disaksikan hujan beserta selembar daun pisang, aku dan dia resmi menjadi sepasang kekasih.
-----
Tepatnya malam minggu kau tinggalkan aku, kau bawaku dalam kehancuran
Kau tinggalkan aku dalam sebuah derita
-----
Mengingat awal resminya status hubunganku dengannya waktu itu memang menyenangkan. Bahkan meskipun kini kami tak bersama, aku masih merasa bahagia saat mengingat peristiwa manis itu. Aku masih sering malu saat teringat senyumnya, wajahnya, tingkah laku nya. Hufttt..stop! Aku tidak boleh jatuh cinta lagi padanya. Ya meskipun pada dasarnya, sampai detik ini rasa itu masih ada.
Masih berhubungan dengan malam minggu dan hujan. Aku mengingat salah satu satnite terburuk dalam hidupku bersamanya. Dimana dia dengan mudahnya memutuskan untuk memulai hidup tanpaku dengan alasan yang aku sendiri tidak mampu memahaminya.
»»
Aku berjalan gontai menuju tempat dimana sepedaku terparkir. Hari ini aku memang sengaja pulang lebih belakangan, karena peristiwa kemaren siang -dimana dia datang bersama wanita lain ke toko bunga tempatku bekerja- sudah meleburkan semangat kerjaku hari ini. Setelah sampai diparkiran, aku kembali menatap langit. Lagi-lagi tanpa bintang, pasti akan hujan.
Hufttt..aku mendesah perlahan dan mulai mengambil sepedaku, menuntunnya sebentar dan mulai mengayuhnya menuju rumahku.
Jderrr...jderrr
Petir mulai menyambar. Membuat rasa takut menyelimuti perasaanku. Aku harus segera tiba dirumah.
Terlambat, titik-titik hujan itu mulai menyerangku. Tak perduli aku mulai kebasahan dan bahkan mulai menggigil kedinginan. Mereka tetep menyerbu tubuhku.
Merasa hujan semakin membesar, aku memutuskan untuk berteduh sebentar disalah satu halte yang akan ku lewati nantinya.
Ku parkir sepedaku didepan halte tersebut, kemudian aku segera mengambil posisi duduk disebelah gadis yang sepertinya juga sedang kedinginan. Ditangannya ada segelas hot cappucino, aku mengetahuinya karena melihat kepulan asap yang mengudara diatas kemasan gelas plastik tersebut.
Mungkin merasa ku perhatikan, dia menoleh kemudian tersenyum ramah. Sebentar, kenapa wajahnya tidak asing bagiku?
"Kamu kedinginan yah? Mau ini?" tawarnya, aku menggeleng kecil.
Aku memang haus. Aku memang kedinginan. Tapi memalukan sekali jika aku menerima tawaran orang yang sama sekali tidak ku kenal.
Dia menggeser duduknya, sedikit lebih dekat denganku.
"Ini," dia menyodorkan gelas hot cappucinonya kepadaku "ambil aja, aku udah minum kok."
Karena ia terus memaksa, akhirnya dengan canggung aku menerimanya. Kemudian mulai menyesap sedikit demi sedikit minuman yang ahhh, benar-benar menghangatkan sekali.
"Emm makasih." dia tersenyum ramah, mungkin pengganti kata 'sama-sama' untuknya.
Cittt..sebuah mobil berwarna silver berhenti didepan kami. Membuat pandangan kami kompak mengarah pada mobil silver tersebut. Aku yang sedikit takut -karena berpikir negative dengan pengendara mobil silver itu- melirik ke arah gadis disebelahku yang justru tersenyum ceria. Mungkin jemputannya, bathinku.
Beberapa saat kemudian seorang pria dengan payung putih ditangannya berjalan menghampiri kami. Emm ralat, mungkin lebih tepatnya menghampiri gadis disebelahku.
"Sorry ya bee. Tadi macet." pria itu berucap dengan nada bicara penuh penyesalan.
Kenapa aku merasa mengenali suara itu ya?
"Nggak papa kok, aku ada temennya juga kebetulan."
Takut-takut aku mengangkat wajahku. Entah bagaimana awalnya, saat mataku memperhatikan sosok pria didepanku secara perlahan bulir-bulir air mata mengalir dan membasahi pipiku.
"Ri..Rio,"
"I..Ify,"
"Loh? Kalian saling kenal?"
Kenal? Tentu saja. Bahkan kami masih berstatus pacaran hingga detik ini. Meskipun sejak menyaksikan kejadian kemarin, aku tak menghubungi Rio sekalipun melalui sebuah pesan singkat.
Aku menatap Rio dan gadis itu secara bergantian dan berulang-ulang. Pantas aku merasa mengenali gadis ini, dia kan yang datang ke tempat kerjaku bersama Rio, kemarin?
Aku menggeleng lemah tak percaya. Sedikit sakit melihat ekspresi Rio yang sama sekali tidak cemas atau apalah. Dia hanya terkejut sesaat dan kemudian diam. Seperti tak ada niat untuk memberikan kejelasan tentang siapa gadis yang sedang dijemputnya saat ini.
"Hello? Kok pada diem-dieman?"
Ahhh, menyebalkan sekali gadis ini. Ayo Rio, jelaskan padaku. Siapa gadis ini? Seruku dalam hati.
"Kamu masuk ke mobil duluan ya."
Mengabaikanku dan memilih untuk berkata manis nan lembut pada gadis itu. Ku lihat tampang gadis itu sedikit bingung, tapi toh ia tetap menuruti perintah Rio dan segera meninggalkan kami berdua.
"Aku nggak nyangka, Yo. Kamu tega." ucapku lirih, nyaris tersamarkan oleh suara hujan.
"Maaf."
Apa? Maaf? Hanya itu? Tidakkah dia ingin menjelaskan sesuatu padaku?
Aku melengos "Maaf? Maksud kamu apa?"
"Kita udah gak bisa sama-sama lagi, Fy," dia mengatakan itu dengan tenang membuat hatiku berdenyut sakit "gue sama dia..emm, dia cewe baru gue."
Ya Tuhan. Apa lagi ini? Jadi, Rio memiliki wanita lain padahal jelas-jelas dia masih berhubungan denganku, begitu?
"Mak..maksud kamu?"
"Sorry, Fy. Tapi aku udah memilih dia."
Pukkk..aku menjatuhkan gelas hot cappucino ditanganku, pemberian gadis itu. Rio, tega sekali dia mempermainkanku seperti ini. Apa salahku?
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera menjauh meninggalkannya. Menyeret sepedaku ditengah hujan, dengan derai airmata menghiasi wajahku.
Rio! Kamu tega!
««
Tidak. Tidak. Tidak. Lupaka dia, Ify! Lupakan! Apa untungnya aku mengingat-ingat seseorang seperti dia. Hanya akan menambah sakit hatiku saja. Baiklah, mungkin akan lebih baik jika aku mengistirahatkan tubuhku saat ini. Senin nanti, aku akan kembali masuk sekolah setelah 1 minggu ini aku menjalani libur.
Dengan enggan aku menarik gorden berwarna cream yang mempercantik jendela kamarku. Dan segera beranjak naik ke atas tempat tidur yang aku harap akan mengantarkan ku pada mimpi indah yang bukan...Rio.
-----
Sungguh berat bebanku tuk harus melupakanmu
Sumpah mati aku tak bisa hidup tanpamu
Namun kau coba lupakanku dengan cinta yang baru
haruskah ku teriak didepanmu?
-----
Kicau burung pagi ini, langsung membangunkan ku dari tidur nyenyak. Tentu saja nyenyak, setelah kemarin aku menghabiskan waktu seharian di toko bunga, badanku mulai terasa pegal. Aku sengaja bekerja ekstra kemarin karena mulai hari ini aku akan kembali bersekolah. Dan itu artinya, jam kerjaku akan kembali seperti semula. Part time, bukan full time.
Setelah merasa cukup untuk bermalas-malasan, aku langsung meraih handuk berwarna merah hati yang tergantung dibelakang pintu kamarku. Kemudian ku langkah kan kakiku menuju kamar mandi yang letaknya disebelah kamarku.
Menit berikutnya, guyuran air mulai tercipta karenaku.
*****
Aku menendangi kerikil dihadapanku. Saat ini adalah jam olahraga, dan kami akan mempelajari tentang basket. Dulu aku menyukai basket karena Rio. Menurutku pria itu terlihat keren sekali saat memainkan bundaran orange tersebut. Aku suka memperhatikannya saat ia mendribble bola, memasukkannya ke ring atau sekedar free style. So awesome!
Tapi itu dulu, sekarang? Aku bahkan menganggap basket adalah jenis olahraga paling menyebalkan yang pernah ku kenal.
Dukkkk..aku membanting kasar bola basket ditanganku, disertai hembusan nafas yang cukup keras. Come on, Ify. Berhentilah memikirkannya. Apa saat ini dia juga sedang memikirkanmu? Mengingatmu? Memperhatikanmu? Percuma saja semua hal yang kulakukan saat ini untuknya, karena toh takkan berarti apa-apa dimatanya.
Lihatlah! Bahkan dia terlihat asyik mengajari gadis lain untuk memasukkan bola ke dalam ring. Gadis yang berbeda dengan gadis 2 minggu yang lalu. Karena gadis yang saat ini bersamanya adalah salah satu murid baru, pindahan dari Semarang.
Ckckkk..apa itu? Itu bukan mengajari. Yang aku tahu, yang kini ia lakukan bersama gadis itu tak berbeda jauh dengan 'pacaran'. Hanya saja dengan gaya yang berbeda, malah ini terlihat lebih mesra.
Oh Tuhan...kenapa aku sesibuk ini mengurusi hal yang bukan kepentinganku?
"Nih,"
Aku mengangkat wajahku saat sebuah suara halus menyapaku. Tangan kanannya menyodorkan sekaleng softdrink yang masih dingin.
"Buat lo." tambahnya.
Aku menelan ludah. Pria kutub utara -dingin- ini bisa berbicara juga rupanya.
"E..elo," aku menunjuk dirinya "elo ngomong sama..gue?" sambungku, sambil menunjuk diriku sendiri.
Dia melengos, menarik tangannya kembali padahal softdrink ditangannya belum ku terima. Huhhh sebenarnya dia berniat atau tidak menyuguhiku minuman itu?
Aku merengut sebal, setengah melirik ke arahnya yang tengah sibuk membuka kaleng softdrink tersebut.
"Nih," dia menyodorkan sofdrink itu lagi kepadaku "diminum, jangan dipelototin aja gue nya."
Aku tercengang "elo gue minum?"
Dia sedikit menarik tubuhnya ke belakang "bukan, maksud gue mending elo minum tuh minuman. Jangan melototin gue kayak gitu." jelasnya yang emm sepertinya risih dengan pelototan mataku. Padahal mataku tidak besar.
"Ehh sorry," ucapku tak enak "gue minum ya?" dia mengangguk acuh "makasih." tambahku, lagi-lagi ia mengangguk.
Aku menyusuri embun-embun kecil yang menyelimuti kaleng softdrink ditanganku, dengan telunjuk kananku. Sepi sekali rasanya, karena sedari tadi pria disebelahku ini hanya diam tanpa kata.
Tuk..tuk..tukkk
Sambil memainkan embun-embun dikaleng softdrinkku, aku menghentak-hentakkan kecil kakiku. Berusaha membunuh kesunyian yang menyelimuti kami berdua.
"Elo putus sama, Rio?" tanya nya tiba-tiba.
Aku mengangkat wajahku dan menatapnya dengan alis terangkat. Apa dia senang mendengarkan gosip juga?
Dengan malas aku mengangguk, setelah sepersekian detik menatap wajahnya.
"Kenapa?" aku kembali menatap aneh pada pria disampingku, yang terkesan ingin tahu "ya, kalau elo ngerasa itu privacy ya gak usah diceritain. Nggak papa kok." sambungnya saat kedua mata kami bertemu.
Aku berdehem sedikit "errr, gue nggak tau apa gue pantes cerita sama lo atau nggak. Secara, kita nggak kenal dekat ya meskipun kita sekelas," aku mengingat-ingat tentang intensitas "diskusi" atau pun "komunikasi" yang pernah terjalin diantara aku dan dirinya. Memang tidak sering, bahkan jarang. "Tapi, mungkin nggak ada salahnya kalau gue berbag-"
"Stop! Elo mau curhat apa ceramah, sih? Panjang amat." potongnya sambil menggerutu kesal -mungkin-.
Aku meringis kecil "ya ya, sorry. Emm maksud ku...hhh well, gue cerita sekarang. Jadi..."
Bla..bla..aku mulai menceritakan tentang hubunganku yang mulai tidak sehat dengan Rio. Sampai pada akhirnya, di satnite kelabu, dibawah guyuran hujan dia memutuskan untuk memilih gadis lain dibandingkan aku. Sesekali dia bertanya dan aku menjawab seadanya.
Baru ku sadadari ternyata dia beda. Dia tak seperti apa yang teman-teman dikelasku katakan, dia tidak sedingin, sependiam yang mereka nilai. Malah, dia terlihat antusias dan banyak bertanya saat aku bercerita.
"So, gimana perasaan lo sekarang?"
Aku mengangkat bahuku sedikit "nggak tau, yang jelas gue...emm-"
"Gue ngerti perasaan lo," dia menepuk pelan pundakku.
Wooo..apa yang baru saja dia lakukan? Menyentuhku? Bahkan dia pernah memarahi salah satu siswi yang tidak sengaja membersihkan kemejanya. Singkat kata, dia tidak suka disentuh secara sembarangan oleh orang lain. Dan sekarang, dia malah menyentuhku
"Kenapa lagi? Gitu amat ngeliatin gue nya."
"Elo, elo nyentuh gue?" tanyaku merasa aneh.
Dia menatapku dengan kening mengerut "ada yang salah?"
Refleks aku mengibaskan kedua tanganku didepan wajahnya "nggak. Nggak kok nggak."
Dia membuang muka. Membuatku sedikit tidak enak. Dan akhirnya aku kembali menyibukkan diriku dengan kaleng softdrink kosong ditanganku.
Dia? Ntahlah. Yang aku lihat, dia sedang menatap kosong tanah lapang dihadapan kami.
"Ehh!" aku hampir terjatuh saat mendengar seruannya yang tiba-tiba itu "tadi elo bilang..elo rasanya pengen teriak didepan dia. Emang berani?" sambungnya bertanya dengan tampang polos tak bersalah.
Apa dia tidak tahu aku hampir terjatuh karenanya?
"Malah diem. Berani gak?"
Aku menyeringai lebar. Menampakkan rentetan gigi putih yang dihiasi behel berwarna "nggak. Makanya gue nggak ngelakuin," aku terdiam sejenal "ya meskipun gue rasa itu perlu, senggaknya...buat ngeluapin semua isi hati gue." sambungku lirih.
Aku menunduk, dan tiba-tiba tetesan air mata itu kembali menganak sungai dipelupuk mataku. Oh God, bisakah aku berhenti menangis sekarang? Aku tidak ingin menangisinya lagi.
Bahuku mulai bergetar, dan aku rasa pria disampingku ini akan segera menyadari kalau aku sedang menangis.
Sebuah sentuhan hangat mendarat dipundakku. Sentuhan itu mulai bergerak mengusap halus.
"Jangan nangis, tapi...kalau itu bisa ngebuat elo lebih baik, lakuin aja..hehee."
Aku memukul bahunya pelan. Disaat seperti ini dia sempat-sempatnya bercanda. Tapi, hebat. Dia bercanda, dia menghiburku. Aku baru sadar kalau hari ini dia sangat menyenangkan.
"Gimana sih lo, tadi ngelarang gue nangis eh sekarang malah ngebolehin."
"Emosi kalau dipendam gak baik juga kali, Fy."
"Iya, Alvin."
Dia tertawa kecil, manis sekali. Eh, aku bilang apa barusan. Ada-ada saja.
Puk..puk..pukkk
Dia menepuk-nepuk celana olahraganya ketika tubuh tingginya sudah berdiri tegap. Aku menatapnya dengan heran, beberapa saat kemudian salah satu tangannya mulai terulur dihadapanku. Dan dengan ragu aku menyambut uluran tangan tersebut.
Dengan menggengam tanganku, ia membawaku entah kemana. Anehnya, aku hanya mengikutinya dengan pasrah.
"Nggak nanya 'mau kemana?' gitu?" tanya Alvin ditengah-tengah perjalanan.
Aku menggeleng kecil "terserah kamu deh, aku lagi males ngomong."
Dia memajukan bibirnya sedikit, lucu sekali.
"Gak asik ih, elo tau nggak kalau akibat elo yang dengan pasrahnya ikut gue, elo udah bolos di pelajarannya bu Winda."
Aku menghentikan langkahku. Bu Winda? Sejarah? Oh no...guru itu kan killer sekali. Eh tapi, buat apa khawatir? Kan ada Alvin. Dia kan murid kesayangannya bu Winda. Oke, Fy calm down.
Aku melanjutkan langkahku. Sebelumnya, tangan kananku langsung bergerak menggandeng salah satu tangan, Alvin.
"Nggak takut?"
"Kan sama lo. Jadi gue nggak takut." ucapku mantap.
Dia hanya mengangguk. Kemudian mempercepat langkah kakinya menuju suatu tempat -mungkin- yang aku sendiri tidak tahu dimana. Aku hanya berjalan dalam diam. Menikmati detik demi detik waktu yang ku lalui bersamanya. Tuan kutub utara yang terkenal dingin. Namun dengan anehnya, tiba-tiba saja dia menghampiriku dan mulai akrab denganku. Sungguh aneh, pikirku dalam hati.
*****
Ilalang-ilalang putih menjulang tinggi dihadapan kami. Begitu indah dan menakjubkan, menurutku. Aku berdecak kagum melihat pemandangan didepanku saat ini. Bagaimana bisa, Alvin mengetahui tempat seindah ini?
"Ini dimana sih, Vin?"
"Ini area dibelakang sekolah kita, Fy. Masa' elo gak tau?"
Aku menggeleng "gue emang baru tau." jawabku jujur.
"Sekarang elo teriak." ucapan Alvin yang terdengar memerintah, membuatku menatapnnya heran "nggak akan ada yang denger, disini sepi. Udah buruan." suruhnya lagi.
Hufttt..aku menghirup nafas berulang kali. Berusaha menenangkan hatiku sebentar, sebelum aku meluahkan seluruh isi hatiku.
Tes..tess..tesss
Baru saja akan membuka mulut, tetes hujan sudah menyerbu ku lebih dulu. Lantas aku memutar kepalaku sedikit lebih ke kanan dan menatap Alvin yang masih setia disampingku.
"Udah, terusin aja. Gue nggak bakal kemana-mana kok." ucapnya setengah berteriak. Mungkin ia takut suaranya akan dikalahkan oleh derasnya hujan, mungkin.
"Tapi hujan, entar kita sakit."
Dia menggeleng pelan. Membuat rambutnya bergerak lemas dan beberapa tetes air hujan terlempar ke wajahku.
"Nggak papa. Ayo, cepet lo teriak. Gue temenin kok. Lo ungkapin semua perasaan lo tentang, Rio."
Aku mengangguk. Tak ingin membuat apa yang dilakukan Alvin menjadi sia-sia. Aku menatapnya yang sedang tersenyum manis padaku, aku pun membalas senyumnya. Kemudian, dengan pandangan lurus ke depan, aku bersiap untuk meneriakkan isi hatiku.
"Gue benci lo Mario. Gue benci sama lo. Lo udah nyia-nyia-in perasaan gue. Dan gue pastiin, nggak akan ada yang bisa seperti gue, gue jamin itu!!"
"Elo udah bikin gue nangis berminggu-minggu. Elo udah bikin gue kehilangan semangat gue, elo udah ngerebut semua kebahagian gue. Hiks..hikss.."
Aku mulai menangis. Hal yang paling ku benci semenjak Rio menyakiti ku. Dengan kasar ke tepis lelehan air mata yang mulai membaur dengan tetesan hujan di wajahku.
"Hari ini adalah terakhir kalinya gue nangis gara-gara elo. Besok, lusa dan selamanya, nggak akan ada lagi air mata buat lo!!" ucapku mantap, aku masih belum bisa menghentikan laju air mataku.
"Gue janji, Mario. Gue janji." sambungku lirih. Perlahan tubuhku mulai melemas dan brukk..aku terduduk diantara hamparan ilalang-ilalang putih yang mengelilingiku.
Ku rasakan sebuah dekapan hangat menyelimuti tubuhku. Sepertinya Alvin, tapi..apa ini hanya perasaanku saja? Mengapa aku merasakan tubuhnya juga ikut bergetar?
"Udah, Fy. Jangan nangis lagi. Gue nggak bisa liat lo nangis kayak gini."
Aku mendengar Alvin mengucapkannya dengan nada memohon. Mengapa?
"A..Alvin, elo-"
"Gue sayang sama lo, please jangan pernah lo nangis buat cowok lain didepan gue. Gue sayang sama lo."
Reda. Perlahan-lahan, guyuran air mata langit mulai berhenti. Masih tetap dalam posisi yang sama, aku dan Alvin sama-sama terdiam.
"So..sorry, Fy."
Alvin melepaskan pelukannya. Dengan sedikit canggung aku menatap wajahnya. Mencari kejelasan dari semua maksud perkataannya beberapa menit yang lalu.
"Pelangi, Fy. Liat deh!" serunya tiba-tiba.
Aku mengikuti arah telunjuknya.
Pelangi, indah sekali rupanya. Membuat senyuman terukit begitu saja dibibirku saat ini.
"Elo tau kan, Fy. Pelangi emang gak selalu hadir sehabis hujan. Tapi, dia nggak akan mungkin hadir kalau nggak didahului dengan hujan."
Aku menatap Alvin dengan kening mengerut, dan alis bertaut. Jujur, aku bingung.
"Masih ada pelangi sehabis hujan. Masih ada Alvin setelah Mario."
Aku merasakan semburat hangat menghiasai kedua pipiku. Oh Tuhan, apakah para malaikat kembali menghadiahiku sepasang sayapnya? Karena saat ini aku kembali merasa melayang saat mendengar penuturan Alvin.
Entah siapa yang memulai, kini kami kembali saling merangkul. Memandang bahagia lukisan langit yang semakin cantik dengan kehadiran pelangi.
Langit semakin berwarna ketika dihiasi pelangi. Dan hatiku semakin bahagia ketika ditempati Alvin.
=====
Errrr, sedikit kaget pas ngeliat hasil akhir cerpen ini. Karena niat awal pengen bikin sadend dan tetep RiFy yang menonjol. Nggak tau kenapa malah jadi Happend dan AlFy -kayaknya- juga ikutan menonjol diakhir. Meskipun tetep, menurut gue porsi RiFy paling banyak.
Judul awal sebenernya "Tepatnya Malam Minggu" bukan "There's Still a Rainbow After The Rain"
Aishhhh sok inggris ya gue-_- maaf deh kalau judulnya salah..ahahaa
Oh iya, mungkin kalian juga ada yang bingung kenapa tiba-tiba Alvin muncul pas menuju akhir cerita. Jujur gue sendiri juga nggak tau. Semalem pas ngelanjutin ni cerpen perasaan gue lagi galau, galau banget pokoknya eh tau-tau udah ke tulis Alvin aja. Dan berhubung gue pake sudut pandang orang pertama, otomatis disini gue nggak mendeskripsikan perasaan Alvin di awal-awal. Ya, kecuali gue make dua P.O.V kan baru gue juga bisa nyeritain dari sudut pandang Alvin.
Well, nggak ada yang lebih menyenangkan hati gue selain ngeliat/tau kalau kalian ngerasa terhibur dengan tulisan gue dan bisa ikut masuk, melebur bersama kalimat-kalimat (yang meskipun masih -ekhm- berantakan) sok rapi dari gue :D
Finally, masih tetep sama kayak sebelumnya. Tetep nungguin komentar, kritik dan saran yang gue harap bisa membuat tulisan gue lebih baik lagi (re : membangun)
Song : Tepatnya Malam Minggu by Terry
_With Love Nia Stevania_
0 komentar:
Posting Komentar