--- Terlambat ---
-----
Sedetik waktu ku melupakanmu
Kini menjadi sesal dihatiku
Dan kepergianmu membuatku mengerti
Tanpamu disini ku merindukanmu
-----
Aku hanya bisa menelan kekecewaan saat ini. Seseorang yang dulunya sangat mencintaiku baru saja pergi meninggalkanku. Bukan untuk selamanya memang, tapi itu semua sudah membuatku menyesal. Entahlah, aku pun tidak tahu apakah dia masih memiliki rasa itu atau tidak. Yang jelas, semua sudah terlambat, dia pergi dan aku tidak tau kapan dia akan kembali.
"Eh gue kok gak ngeliat Alvin ya hari ini?"
"Loh dia kan mulai hari ini udah ngga sekolah disini lagi."
Aku menajamkan telingaku saat mendengar percakapan antara Shilla dan Zevana dibangku mereka. Kalau biasanya aku tidak perduli dengan apa yang mereka bicarakan, entah mengapa saat ini aku malah ingin tahu dengan bahan obrolan mereka.
"Loh kenapa?"
"Nggak tau, katanya sih dia pindah ke Malang."
Deg...aku merasakan sesuatu yang aku sendiri juga tidak mengerti apa.
Aku bingung, kenapa tiba-tiba aku menjadi tidak rela seperti ini. Bukankah mestinya aku senang, karna dengan begitu tidak ada lagi si rese' Alvin yang kerjaannya tiap hari menggangguku dan membuatku malu karna ledekan teman-temanku. Satu sekolahan sudah tau kalau Alvin menyukai ku, dan hal itulah yang menjadi ledekan teman-temanku.
Parahnya, meskipun aku sudah menghindari Alvin tapi lelaki itu terus saja mendekatiku.
Aku mendesah panjang, kemudian menegakkan kepalaku dan mulai kembali berkutat dengan buku paket Bahasa Inggris didepanku.
Lupakan Alvin..ayo lupakan. Ini bukanlah masalah, malah semestinya anugrah, kan? Aku mencoba meyakinkan hati, bahwa memikirkan kepergian Alvin adalah hal yang sia-sia.
Wasting time..
......
Aku hanya mengaduk-aduk es jeruk dihadapanku dengan pandangan kosong. Pikiran ku jauh melayang. Padahal, es batu di dalam es jeruk itu sudah mencair. Sampai akhirnya, aku merasakan sebuah senggolan kecil dilenganku.
"Fy..Fy, elo kenapa?"
Aku menatap heran ke arah Sivia dengan alis bertaut. Aku kenapa? Memang ada apa denganku? Aku baik-baik saja kok.
"Emang gue kenapa?"
Sivia menggeleng pelan "Lo akhir-akhir ini aneh tau. Ke kantin gak pernah makan, paling banter minum doang. Ini lagi bukannya diminum malah diaduk-aduk aja, es batunya udah leleh noh," Aku mengikuti arah telunjuk Sivia ke dalam gelasku "dari yang rasanya manis sampe tawar ngga lo sedot juga tuh minuman. Elo ada masalah?"
Aku berdecak kecil. Heran, dari dulu Sivia cerewetnya kok gak ilang-ilang.
"Masa' sih gue berubah? Perasaan lo aja kali." elakku, ya meskipun jujur..aku juga merasakan ada sesuatu yang berbeda dariku.
"Iya Ify..semenjak si Alvin pergi tuh, jangan bilang lo kangen sama Alvin."
Hehhh..apa Sivia bilang? Aku kangen sama Alvin? Dapat kesimpulan darimana dia?
Aku mencoba mengingat-ingat tingkahku selepas kepergian Alvin. Memang sih, sepertinya aku berubah. Tidak seceria dan sesemangat biasanya, tapi masa' iya karna Alvin?
"Apaan sih, ngaco deh."
"Ya kali aja gitu."
Aku menghembuskan nafas lega, akhirnya Sivia sibuk dengan makanannya lagi.
Aku menyedot minumanku dan hemm..rasanya memang mulai tawar, tapi...kenapa saat aku membayangkan wajah Alvin es jeruk ini menjadi manis?
Apa aku memang merindukannya?
-----
Dan semua yang pernah kau berikan
T'lah membuka mataku..untukmu
-----
"Ify..sekarang juga kamu berdiri dan hormat didepan tiang bendera sampai pelajaran saya selesai."
Nasib...nasib. Aku hanya bisa mengangguk pasrah saat Bu Ira memerintahkanku seperti itu. Salahku memang, tidak mengerjakan PR padahal aku tau bagaimana watak Bu Ira yang terkenal tegas dan disiplin itu. Bukannya malas, tapi entah mengapa semalaman aku tidak bisa berkonsentrasi belajar. Pikiranku selalu dipenuhi Alvin...Alvin...dan Alvin. Stoppp..Alvin sudah tidak ada, sebaiknya aku segera melaksanakan hukuman dari Bu Ira sekarang juga.
Dengan gontai aku berjalan keluar kelas dan mulai memposisikan diriku didepan tiang bendera. Berdiri tegap dan memberi hormat pada sang merah putih.
Hiuhhh..panasnya, matahari sepertinya bekerja sama dengan Bu Ira untuk menghukumku.
Kalau saja ada Alvin...pasti hukumanku tidak se-mem-bosan-kan ini. Aku jadi ingat, saat pertama kalinya aku dihukum didepan tiang bendera seperti sekarang ini. Saat itu...
»»
"Astaga, Bu Winda emang sadis deh, main hukum aja. Mana panas banget lagi."
Aku menengadahkan wajahku dan menatap matahari sekilas. Oh my God, panasnya mampu membakar kulitku. Aku terus menggerutu sebal karna hukuman ini. Masa iya, hanya karna buku PR ku tertinggal Bu Winda menghukumku untuk hormat didepan tiang bendera selama 3 jam pelajaran. Oh no..bayangkan, belum ada 1 jam saja aku sudah merasa 'matang' apalagi 3 jam...ckckckk
Tiba-tiba, aku merasa agak teduh. Apa yah yang membuat perasaanku seperti itu?
Aku melirik ke dasar lapangan, dan mendapati sebuah bayangan dengan tinggi lebih diatasku. Apa tiang benderanya berpindah tempat ke sebelah kananku? Aku menggeleng pelan. Pertanyaan bodoh, mana mungkin tiang benderanya bergerak apalagi sampai pindah ke sebelahku.
Dengan ragu aku memutar kepalaku ke sebelah kanan, dengan kepala sedikit terangkat. Oh-My-God...aku menghela nafas dengan kasar. Mau apa lagi lelaki menyebalkan ini? Pake' ikut-ikutan hormat lagi. Masa' iya dia dihukum juga?
Aku mengembalikan pandanganku menghadap tiang bendera saat dia menoleh ke arahku, lengkap dengan senyum manisnya.
"Kenapa? Ada yang salah?" tanya nya dengan wajah -yang-menurutku-dibuat-polos.
Ada. Ada banget. Posisi berdiri dia yang tepat disebelahku terasa amat sangat mengganggu. Belum lagi ledekan 'cie cie' yang mulai samar-samar terdengar ditelingaku
"Iya,"sahutku tegas "ngapain lo bediri disitu?" tanyaku agak ketus
"Gue dihukum."
Aku mendengus sebal "tapi bisa kali yah, jaga jarak dikit." ujarku kesal sambil melirik jarak yang ada diantara kami berdua.
Hahhh..wajar saja koor 'cie cie' itu keluar, mengingat jarak yang ada diantara kami ter-la-lu-de-kat
"Nggak bisa,"
Aku memutar kedua bola mataku dengan kesal. Santai banget sih ni orang ngomongnya, ngga tau apa kalau aku lagi gondok.
"lagian ntar kalau gue jauh-jauh, elonya kepanasan lagi," dia menatapku agak lama -menurutku- "tuh keringet lo udah mulai ngucur" dia menunjuk keningku, aku langsung menyeka nya dengan kelima jariku.
Ku lirik dia yang sedang menatap lurus ke arah tiang sekilas. Hemmm...baik juga ternyata.
««
Hahhh...itu dulu, waktu hari senin tanggal 23 desember setahun yang lalu. Bahkan aku masih mengingat hari dan tanggal kejadian itu. Padahal waktu itu aku sangat tidak menyukainya, tapi kenapa aku masih mengingat moment itu sampai sekarang?
Aku membentangkan kedua kakiku kedepan. Melelahkan sekali rasanya, apalagi tadi tidak ada 'pelindung' ku itu. Untungnya bel istirahat sudah berbunyi.
Sesekali aku memijat pelan kakiku, hingga....sejuk, aku merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipi kananku
"Alvin."ucapku refleks..upss aku menutup mulutku saat ku sadari tidak mungkin itu Alvin.
"Gue Rio, bukan Alvin." aku meringis kecil, merasa tidak enak pada Rio apalagi nada bicara tidak enak didengar "nih.." dia menyodorkan sekaleng softdrink yang sempat ia tempelkan ke pipiku.
"Em makasih Yo." ucapku, Rio hanya mengangguk kecil.
"Lo tau?" aku memotong ucapan Rio dengan sebuah gelengan kecil "gue rasa elo mulai jatuh cinta sama Alvin." sambungnya. Aku terdiam, tidak menyahuti ucapan Rio. Setelah berkata demikian Rio berlalu pergi. Heii what's wrong with his?
------
Kini ku mencintaimu memiliki dirimu
Dan waktu t'lah merubah segalanya
Masihkan dirimu mencintaiku
Maafkan aku...ku terlambat mengerti
-----
Aneh. Ini benar-benar aneh. Dan harus aku akui ini sangat aneh. Aku benar-benar tidak mengerti dengan perasaanku akhir-akhir ini. Seperti perkataan Sivia, aku mengakui kalau mulai ada yang berubah dari diriku semenjak kepergian Alvin.
Hal yang sempat ku sangkal awalnya, karna ku pikir perasaan galau -selepas kepergian Alvin- itu hanya sesaat. Dan, beberapa hari kemudian semua akan kembali normal. Namun nyatanya aku salah. Yang ada, semakin hari aku semakin merindukan Alvin. Dan bahkan, dengan berat hati aku katakan...aku cemburu. Cemburu kepada Shilla karna dia adalah wanita yang sedang dekat dengan Alvin, untuk saat ini. Aku mendengar semua ini dari teman-temanku.
"Ihhh, enak banget sih Shilla. Akhir-akhir ini dia sering banget loh sms-an sama Alvin."
"Jangan-jangan Alvin mulai berpindah hati."
"Atau malah mereka sudah jadian."
Dan aku hanya bisa mendengus kesal saat mendengar ucapan-ucapan mereka saat itu. Aku ingin marah, tapi kepada siapa? Alvin? Apa salahnya, dia pergi -bisa dibilang- karna salahku. Shilla? Dia berhak mendekati Alvin karna Alvin bukan milik siapa-siapa, termasuk aku.
"Lo tau Fy, terkadang..kita gak sadar kalau ternyata orang yang benar-benar kita sayangi adalah dia yang selalu ada didekat kita," aku menatap Rio dengan pandangan bertanya. Rio mendesah panjang, entah apa artinya "dan parahnya, kita baru sadar saat orang itu udah ngga ada" aku menunduk.
Huhhh..aku mulai mengerti maksud dari ucapan Rio barusan, salahku memang yang terlambat mengerti. Terlambat menyadari bahwasanya aku pun memiliki rasa yang sama untuk Alvin
-----
Aku memandangi selembar kertas berwarna pink pucat yang diberikan Alvin 1 tahun yang lalu. Tahun pertama saat aku menginjakkan kaki di SMA ini.
Saat itu tepat tanggal 14 febuari, hari valentine. Dan Alvin menghadiahiku sekotak coklat, setangkai mawar plus surat ditanganku saat ini. Meskipun dengan tegas aku menolaknya, Alvin tetap keukeh memberikannya padaku.
Aku sempat mengembalikan ketiga pemberian itu ke kelasnya. Tapi ternyata, ketika aku pulang ke rumah dan memasuki kamar tidurku, aku menemukan hadiah-hadiah tersebut telah tersusun rapi di atas meja belajarku.
•••••
Dear Alyssa
Karna dihatimulah tempat terindah
Untuk ku semayamkan seluruh cintaku
Ku temukan cinta terindah darimu
Meski takkan pernah kau sadari
With love Alvin
•••••
Aku membaca rangkaian kata yang tertulis dikertas itu untuk pertama kalinya. Sebelumnya, aku hanya membiarkan lembaran surat ini bersatu dengan sekotak coklat dan setangkai mawar pemberiaan Alvin itu didalam sebuah kotak berwarna silver.
Yah, aku tau itu hanyalah penggalan dari sebuah lirik lagu. Tapi entah mengapa, aku merasa begitu tersudut setelah membaca rantaian kata-kata tersebut.
Sebesar itukah perasaan Alvin untukku? Kalau iya, aku benar-benar salah telah menjauhinya seperti itu.
Sekarang, disaat dia sudah tidak ada aku hanya bisa menyesali semuanya. Meskipun ku tau itu hanya sia-sia.
-----
Masihkah ada waktu yang tersisa
Tuk kembali padamu...mencintaiku
-----
Ku remas-remas beberapa helai daun kering yang berada di genggamanku. Aku sangat merindukan Alvin. Sudah lama sekali aku tidak melihat wajahnya dan jujur..aku sangat merindukan tingkahnya yang senang menggodaku.
"Pasti kepikiran Alvin."
Aku mengangkat wajahku yang menatap rumput-rumput kecil dibawah kaki.
Rio. Aku heran, kenapa dia selalu ada saat aku sedang merindukan Alvin? Apa dia titisan Alvin? Astaga, aku benar-benar merindukan Alvin sepertinya.
"Gitu banget ngeliatin gue nya."
Aku terkesiap, kemudian meluruskan pandanganku ke depan.
"Kok lo ada disini?" tanyaku basa-basi
"Lagi pengen nemenin seseorang yang kesepian." ujarnya sambil menatapku, aku balik menatap Rio.
"Gue maksud lo?" tanyaku polos, dengan telunjuk mengarah ke pada diriku sendiri.
Rio menggeleng sambil tertawa kecil "Gak mungkin orang gila kan?"
Aku melengos, saat ini aku sedang tidak mood untuk bercanda. So, please stop it.
Hening. Aku diam, Rio juga diam.
"Kenapa penyesalan selalu dateng belakangan yah Yo?" celetuk ku tiba-tiba.
"Karna penyesalan datang untuk menyadarkan, kalau dia datangnya di awal pas kita mau berbuat suatu kesalahan nanti gak ada yang akan 'menyadarkan' kita setelah kita melakukan kesalahan itu."
Aku mengkembang kempiskan kedua pipiku "tapikan..kalau dia datangnya diawal, itu bisa mencegah kita berbuat kesalahan, iya kan?"
"Iya, bisa mencegah tapi belum tentukan pada saat itu hati kita tergerak untuk mencegahnya kan?"
Rio menatapku dengan kedua bola mata hitamnya, aku mengangguk "nah, kalau dia datang di belakang, dia bisa menyadarkan kita, karna kita bisa berkaca pada hasil dari perbuatan salah kita itu. Ngerti?"
Aku kembali mengangguk, meskipun belum sepenuhnya mengerti. Dan oleh karna itu, aku kembali diam untuk memahami setiap kalimat yang keluar dari bibir Rio.
"Apa ada kemungkinan dia masih punya rasa itu buat gue?"
Aku mendengar Rio mendesah entah untuk yang keberapa kalinya. Lalu pandangannya beralih menatapku. Lama kedua bola matanya menatapku dengan pandangan sayu -menurutku-, sampai-sampai keningku berkerut saking bingungnya.
"Nothing imposibble in the world, termasuk perasaan Alvin buat lo."
Aku tersenyum mendengarnya. Meski terucap lirih namun terdengar tulus ditelingaku. Rio benar-benar seseorang yang istimewa buatku, dia selalu bisa menenangkan perasaanku.
"Tapi...bukan berarti lo harus terus berharap pada satu pintu yang belum tentu masih bisa lo buka kayak dulu," Rio menjatuhkan tatapannya tepat dikedua manik mataku "karna terkadang tanpa lo sadari masih banyak pintu-pintu lain yang menanti elo untuk membukanya,"
Lagi. Kalimat yang teramat sulit untuk dicerna itu keluar dari bibir Rio. Membuatku kembali berpikir untuk memahami makna dari semua itu.
"Satu hal Fy, jangan sampai elo mengulang kesalahan yang sama. Terlambat mengerti. Elo baru nyadar kalau elo satu rasa dengan cowo itu setelah cowo itu pergi ninggalin lo."
Aku terdiam, meresapi tiap untaian kalimat yang mengalun pasti dari bibir Rio. Mencari akan makna dari kata-kata sulit itu.
"Gue sayang sama lo."
Entah mimpi atau nyata, aku mendengarkan ucapan itu terucap samar-samar dari bibir Rio. Hanya saja, pikiranku sedang -juga- terbagi pada Alvin. Sehingga aku menganggap itu sebagai..halusinasiku saja.
Rio bangkit dan meninggalkanku seorang diri. Dan aku hanya bisa menatap punggungnya yang kian menjauh.
Alvin....aku masih berharap dia memiliki rasa itu untukku. Meski sekarang ada dua kemungkinan, dia masih memiliki rasa itu atau tidak sama sekali.
Tidak seperti dulu, dia pasti memiliki rasa itu untukku.
Aku menghela nafas panjang. Kemudian berdiri dan membersihkan sisa-sisa debu yang menempel pada rok merahku.
Bebanku mulai berkurang, dan aku mulai melangkah meninggalkan danau ini...
-----
"Tapi...bukan berarti lo harus terus berharap pada satu pintu yang belum tentu masih bisa lo buka kayak dulu,"
"karna terkadang tanpa lo sadari masih banyak pintu-pintu lain yang menanti elo untuk membukanya,"
Kata-kata Rio tadi siang terngiang kembali ditelingaku. Aku yang tadinya berniat untuk mengulang pelajaran bilogi tadi pagi, mendadak urung melakukannya.
"Satu hal Fy, jangan sampai elo mengulang kesalahan yang sama. Terlambat mengerti. Elo baru nyadar kalau elo satu rasa dengan cowo itu setelah cowo itu pergi ninggalin lo."
Terlambat mengerti, lagi?
Menyesal lagi?
Dua pertanyaan yang tiba-tiba saja melintas dibenakku sesaat setelah aku mengartikan untaian kalimat yang dilontarkan Rio.
Astaga...aku refleks memukul meja belajarku saat seuntai kalimat terakhir yang terlontar dari bibir Rio kembali berdengung di indra pendengaranku.
Aku paham sekarang. Dengan sedikit tergesa aku meraih jaket ungu yang tersampir dilengan sofa.
Kusempatkan diri untuk melirik jam dinding dengan ekor mataku.
21.15, belum terlalu larut rasanya. Tanpa berbasa-basi lagi, aku segera berlari keluar dari kamarku. Membawa kedua kaki jenjangku menuju sebuah tempat yang aku yakini akan mengantarkanku pada 2 kemungkinan perasaan. Menyesal atau tidak menyesal.
.....
Ketika bunga tak bermekar lagi
Dan dunia tak mungkin berputar lagi
Saat cinta t'lah membakar hati ini
Kau kan tahu betapa aku mencintaimu
Betapa aku menginginkan kamu...
Petikan gitar diiringi senandung lembut yang terdengar merdu menyambut kedatanganku yang baru saja menginjakan kaki di danau ini.
Disebuah bangku panjang, yang terletak didepan danau -tempat-dimana-aku-dan-Rio-menghabiskan-waktu-bersama-tadi-sore, ku dapati punggung pria yang tentu nya sudah sangat ku kenal.
Yah, siapa lagi kalau bukan Rio, pemilik punggung itu.
Kalau aku boleh merasa GR, aku pikir lagu yang ia nyanyikan tadi ditujukan khusus untukku. Tapi, entahlah. Daripada menduga-duga, akan lebih baik jika aku melangkah mendekatinya.
"Gue sayang sama lo," aku tertegun mendengar ucapannya yang terdengar miris ditelingaku "Fy."
Fy? Maksudnya Ify? Aku? Maksudnya, dia sayang sama aku, gitu?
"Emm Yo," dengan sedikit ragu aku menyentuh pundak pria hitam manis yang tengah menunduk sambil memeluk gitarnya "gue..boleh duduk disini?" tanyaku menunjuk tempat kosong disebelahnya.
Dia yang -sepertinya- terkejut akan kehadiranku mengangguk canggung -menurutku-.
"A...ada apa, Fy?"
Aku sedikit bingung dengan nada bicara Rio yang terkesan gugup, entahlah.
"Gue..gue," aku bingung harus memulai darimana "gue em-"
"Elo kenapa?" tanya nya memotong ucapanku.
Aku menggigit kecil bibir bawahku, dengan sedikit melirik ke aranya aku melanjutkan potongan kalimat yang ingin ku sampaikan tadi.
"Gue, gue rasa gue ngerti sama maksud lo tadi siang."
"Emm, maksud lo?"
"Gue gak bisa berbasa basi, Yo. Tapi...1 hal yang harus lo tau, mungkin gue masih punya rasa buat Alvin, tapi bukan berarti gue menutup hati gue untuk pria lain."
Rio menatapku dengan alis bertaut "sorry, maksud lo?"
"Elo bener, nggak semestinya gue terus berharap sama pintu yang itu-itu aja. Padahal dengan jelas, sudah ada pintu lain yang menanti gue untuk membukanya,"
Aku terdiam sebentar. Berbicara panjang lebar seperti tadi cukup membuatku haus ternyata.
Aku mulai mengalihkan pandangaku kesamping kanan. Menatap lembut kedua bola mata tajam bagai elang, milik Rio yang terasa meneduhkan.
"Dan pintu itu adalah elo, gue..gue rasa gue,"
Aku menggantungkan kalimatku lagi. Bingung rasanya memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa menyusun sebuah kalimat dengan baik. Masa iya aku harus menyatakan perasaanku lebih dulu kepadanya? Itu sama saja dengan aku melakukan penembakan lebih dulu, kan? Aku kan cewek, masa aku yang duluan memulai?
"Gue sayang sama lo, Fy. Entah dari kapan, tapi gue selalu sakit tiap ngeliat elo yang seperti frustasi semenjak kepergian Alvin."
Aku menatap Rio tak percaya "Gue gak mau ngeliat elo sedih mulu, gue bener-bener sayang sama lo. Makanya gue gak mau elo nyesel lagi untuk yang kedua kalinya."
Aku masih tak bisa bersuara, ku biarkan Rio terus melontarkan isi hatinya.
"Mungkin elo berpikir gue terlalu GR, dengan PD nya gue yakin kalau elo bakalan menyesal karena gue, seperti elo menyesal karena Alvin."
Bagaikan kutub magnet yang berlawanan. Saling menarik agar mendekat, hingga aku dan Rio menyatu dalam dekapan hangat.
"Gue sayang sama lo, Fy."
Untuk yang kesekian kalinya, Rio mengucapkan kalimat yang sama.
"Gue..gue..tolongin gue, supaya gue juga bisa sayang sama lo, Yo." ucapku setengah meminta.
Meskipun tak melihat, aku bisa merasakan anggukan dari Rio. Karena gerakan kepalanya saat mengangguk kebawah membuat dagunya menyentuh puncak kepalaku.
"Makasih, Yo."
"I love you, Fy."
=====
Tarrammmmm..gimana? Endingnya aneh? Mengecewakan lagi yah?
Sorry deh, ini ngerjainnya pake 'bersambung' sih jadi mungkin ngefeelnya gak merata..eheeheee
Especially for all RFM, sorry banggetttt karena disini Rio harus disakitin dulu. Sorry juga (buat yang minta dibikinin cerpen RiFy) karena disini gak full RiFy.
Nah ini juga buat kalian-kalian yang minta cerpen RiFy yang HapEnd. Maaf yah maksa banget..hahaa
Sebenernya gue gak inget kalau cerpen ini udah selese. Kalau bukan karena hp gue yang rada error, terus gue pengen ngprogram ulang (yang mengakibatkan gue harus memindahkan semua data yang ke save di mem telp ke mem card) mungkin gue gak bener-bener gak inget kalau cerpen ini udah the end.
Etapi sorry lagi nih kalau judulnya amat sangat jauh dari kecocokan dengan inti cerita :D
Tapi tetep setia menantikan komentar, kritikan dan segala macam jenis masukan supaya gue bisa menjadi lebih baik lagi...
Song : Terlambat Mengerti by Dygta
_With Love Nia Stevania_
-----
Sedetik waktu ku melupakanmu
Kini menjadi sesal dihatiku
Dan kepergianmu membuatku mengerti
Tanpamu disini ku merindukanmu
-----
Aku hanya bisa menelan kekecewaan saat ini. Seseorang yang dulunya sangat mencintaiku baru saja pergi meninggalkanku. Bukan untuk selamanya memang, tapi itu semua sudah membuatku menyesal. Entahlah, aku pun tidak tahu apakah dia masih memiliki rasa itu atau tidak. Yang jelas, semua sudah terlambat, dia pergi dan aku tidak tau kapan dia akan kembali.
"Eh gue kok gak ngeliat Alvin ya hari ini?"
"Loh dia kan mulai hari ini udah ngga sekolah disini lagi."
Aku menajamkan telingaku saat mendengar percakapan antara Shilla dan Zevana dibangku mereka. Kalau biasanya aku tidak perduli dengan apa yang mereka bicarakan, entah mengapa saat ini aku malah ingin tahu dengan bahan obrolan mereka.
"Loh kenapa?"
"Nggak tau, katanya sih dia pindah ke Malang."
Deg...aku merasakan sesuatu yang aku sendiri juga tidak mengerti apa.
Aku bingung, kenapa tiba-tiba aku menjadi tidak rela seperti ini. Bukankah mestinya aku senang, karna dengan begitu tidak ada lagi si rese' Alvin yang kerjaannya tiap hari menggangguku dan membuatku malu karna ledekan teman-temanku. Satu sekolahan sudah tau kalau Alvin menyukai ku, dan hal itulah yang menjadi ledekan teman-temanku.
Parahnya, meskipun aku sudah menghindari Alvin tapi lelaki itu terus saja mendekatiku.
Aku mendesah panjang, kemudian menegakkan kepalaku dan mulai kembali berkutat dengan buku paket Bahasa Inggris didepanku.
Lupakan Alvin..ayo lupakan. Ini bukanlah masalah, malah semestinya anugrah, kan? Aku mencoba meyakinkan hati, bahwa memikirkan kepergian Alvin adalah hal yang sia-sia.
Wasting time..
......
Aku hanya mengaduk-aduk es jeruk dihadapanku dengan pandangan kosong. Pikiran ku jauh melayang. Padahal, es batu di dalam es jeruk itu sudah mencair. Sampai akhirnya, aku merasakan sebuah senggolan kecil dilenganku.
"Fy..Fy, elo kenapa?"
Aku menatap heran ke arah Sivia dengan alis bertaut. Aku kenapa? Memang ada apa denganku? Aku baik-baik saja kok.
"Emang gue kenapa?"
Sivia menggeleng pelan "Lo akhir-akhir ini aneh tau. Ke kantin gak pernah makan, paling banter minum doang. Ini lagi bukannya diminum malah diaduk-aduk aja, es batunya udah leleh noh," Aku mengikuti arah telunjuk Sivia ke dalam gelasku "dari yang rasanya manis sampe tawar ngga lo sedot juga tuh minuman. Elo ada masalah?"
Aku berdecak kecil. Heran, dari dulu Sivia cerewetnya kok gak ilang-ilang.
"Masa' sih gue berubah? Perasaan lo aja kali." elakku, ya meskipun jujur..aku juga merasakan ada sesuatu yang berbeda dariku.
"Iya Ify..semenjak si Alvin pergi tuh, jangan bilang lo kangen sama Alvin."
Hehhh..apa Sivia bilang? Aku kangen sama Alvin? Dapat kesimpulan darimana dia?
Aku mencoba mengingat-ingat tingkahku selepas kepergian Alvin. Memang sih, sepertinya aku berubah. Tidak seceria dan sesemangat biasanya, tapi masa' iya karna Alvin?
"Apaan sih, ngaco deh."
"Ya kali aja gitu."
Aku menghembuskan nafas lega, akhirnya Sivia sibuk dengan makanannya lagi.
Aku menyedot minumanku dan hemm..rasanya memang mulai tawar, tapi...kenapa saat aku membayangkan wajah Alvin es jeruk ini menjadi manis?
Apa aku memang merindukannya?
-----
Dan semua yang pernah kau berikan
T'lah membuka mataku..untukmu
-----
"Ify..sekarang juga kamu berdiri dan hormat didepan tiang bendera sampai pelajaran saya selesai."
Nasib...nasib. Aku hanya bisa mengangguk pasrah saat Bu Ira memerintahkanku seperti itu. Salahku memang, tidak mengerjakan PR padahal aku tau bagaimana watak Bu Ira yang terkenal tegas dan disiplin itu. Bukannya malas, tapi entah mengapa semalaman aku tidak bisa berkonsentrasi belajar. Pikiranku selalu dipenuhi Alvin...Alvin...dan Alvin. Stoppp..Alvin sudah tidak ada, sebaiknya aku segera melaksanakan hukuman dari Bu Ira sekarang juga.
Dengan gontai aku berjalan keluar kelas dan mulai memposisikan diriku didepan tiang bendera. Berdiri tegap dan memberi hormat pada sang merah putih.
Hiuhhh..panasnya, matahari sepertinya bekerja sama dengan Bu Ira untuk menghukumku.
Kalau saja ada Alvin...pasti hukumanku tidak se-mem-bosan-kan ini. Aku jadi ingat, saat pertama kalinya aku dihukum didepan tiang bendera seperti sekarang ini. Saat itu...
»»
"Astaga, Bu Winda emang sadis deh, main hukum aja. Mana panas banget lagi."
Aku menengadahkan wajahku dan menatap matahari sekilas. Oh my God, panasnya mampu membakar kulitku. Aku terus menggerutu sebal karna hukuman ini. Masa iya, hanya karna buku PR ku tertinggal Bu Winda menghukumku untuk hormat didepan tiang bendera selama 3 jam pelajaran. Oh no..bayangkan, belum ada 1 jam saja aku sudah merasa 'matang' apalagi 3 jam...ckckckk
Tiba-tiba, aku merasa agak teduh. Apa yah yang membuat perasaanku seperti itu?
Aku melirik ke dasar lapangan, dan mendapati sebuah bayangan dengan tinggi lebih diatasku. Apa tiang benderanya berpindah tempat ke sebelah kananku? Aku menggeleng pelan. Pertanyaan bodoh, mana mungkin tiang benderanya bergerak apalagi sampai pindah ke sebelahku.
Dengan ragu aku memutar kepalaku ke sebelah kanan, dengan kepala sedikit terangkat. Oh-My-God...aku menghela nafas dengan kasar. Mau apa lagi lelaki menyebalkan ini? Pake' ikut-ikutan hormat lagi. Masa' iya dia dihukum juga?
Aku mengembalikan pandanganku menghadap tiang bendera saat dia menoleh ke arahku, lengkap dengan senyum manisnya.
"Kenapa? Ada yang salah?" tanya nya dengan wajah -yang-menurutku-dibuat-polos.
Ada. Ada banget. Posisi berdiri dia yang tepat disebelahku terasa amat sangat mengganggu. Belum lagi ledekan 'cie cie' yang mulai samar-samar terdengar ditelingaku
"Iya,"sahutku tegas "ngapain lo bediri disitu?" tanyaku agak ketus
"Gue dihukum."
Aku mendengus sebal "tapi bisa kali yah, jaga jarak dikit." ujarku kesal sambil melirik jarak yang ada diantara kami berdua.
Hahhh..wajar saja koor 'cie cie' itu keluar, mengingat jarak yang ada diantara kami ter-la-lu-de-kat
"Nggak bisa,"
Aku memutar kedua bola mataku dengan kesal. Santai banget sih ni orang ngomongnya, ngga tau apa kalau aku lagi gondok.
"lagian ntar kalau gue jauh-jauh, elonya kepanasan lagi," dia menatapku agak lama -menurutku- "tuh keringet lo udah mulai ngucur" dia menunjuk keningku, aku langsung menyeka nya dengan kelima jariku.
Ku lirik dia yang sedang menatap lurus ke arah tiang sekilas. Hemmm...baik juga ternyata.
««
Hahhh...itu dulu, waktu hari senin tanggal 23 desember setahun yang lalu. Bahkan aku masih mengingat hari dan tanggal kejadian itu. Padahal waktu itu aku sangat tidak menyukainya, tapi kenapa aku masih mengingat moment itu sampai sekarang?
Aku membentangkan kedua kakiku kedepan. Melelahkan sekali rasanya, apalagi tadi tidak ada 'pelindung' ku itu. Untungnya bel istirahat sudah berbunyi.
Sesekali aku memijat pelan kakiku, hingga....sejuk, aku merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipi kananku
"Alvin."ucapku refleks..upss aku menutup mulutku saat ku sadari tidak mungkin itu Alvin.
"Gue Rio, bukan Alvin." aku meringis kecil, merasa tidak enak pada Rio apalagi nada bicara tidak enak didengar "nih.." dia menyodorkan sekaleng softdrink yang sempat ia tempelkan ke pipiku.
"Em makasih Yo." ucapku, Rio hanya mengangguk kecil.
"Lo tau?" aku memotong ucapan Rio dengan sebuah gelengan kecil "gue rasa elo mulai jatuh cinta sama Alvin." sambungnya. Aku terdiam, tidak menyahuti ucapan Rio. Setelah berkata demikian Rio berlalu pergi. Heii what's wrong with his?
------
Kini ku mencintaimu memiliki dirimu
Dan waktu t'lah merubah segalanya
Masihkan dirimu mencintaiku
Maafkan aku...ku terlambat mengerti
-----
Aneh. Ini benar-benar aneh. Dan harus aku akui ini sangat aneh. Aku benar-benar tidak mengerti dengan perasaanku akhir-akhir ini. Seperti perkataan Sivia, aku mengakui kalau mulai ada yang berubah dari diriku semenjak kepergian Alvin.
Hal yang sempat ku sangkal awalnya, karna ku pikir perasaan galau -selepas kepergian Alvin- itu hanya sesaat. Dan, beberapa hari kemudian semua akan kembali normal. Namun nyatanya aku salah. Yang ada, semakin hari aku semakin merindukan Alvin. Dan bahkan, dengan berat hati aku katakan...aku cemburu. Cemburu kepada Shilla karna dia adalah wanita yang sedang dekat dengan Alvin, untuk saat ini. Aku mendengar semua ini dari teman-temanku.
"Ihhh, enak banget sih Shilla. Akhir-akhir ini dia sering banget loh sms-an sama Alvin."
"Jangan-jangan Alvin mulai berpindah hati."
"Atau malah mereka sudah jadian."
Dan aku hanya bisa mendengus kesal saat mendengar ucapan-ucapan mereka saat itu. Aku ingin marah, tapi kepada siapa? Alvin? Apa salahnya, dia pergi -bisa dibilang- karna salahku. Shilla? Dia berhak mendekati Alvin karna Alvin bukan milik siapa-siapa, termasuk aku.
"Lo tau Fy, terkadang..kita gak sadar kalau ternyata orang yang benar-benar kita sayangi adalah dia yang selalu ada didekat kita," aku menatap Rio dengan pandangan bertanya. Rio mendesah panjang, entah apa artinya "dan parahnya, kita baru sadar saat orang itu udah ngga ada" aku menunduk.
Huhhh..aku mulai mengerti maksud dari ucapan Rio barusan, salahku memang yang terlambat mengerti. Terlambat menyadari bahwasanya aku pun memiliki rasa yang sama untuk Alvin
-----
Aku memandangi selembar kertas berwarna pink pucat yang diberikan Alvin 1 tahun yang lalu. Tahun pertama saat aku menginjakkan kaki di SMA ini.
Saat itu tepat tanggal 14 febuari, hari valentine. Dan Alvin menghadiahiku sekotak coklat, setangkai mawar plus surat ditanganku saat ini. Meskipun dengan tegas aku menolaknya, Alvin tetap keukeh memberikannya padaku.
Aku sempat mengembalikan ketiga pemberian itu ke kelasnya. Tapi ternyata, ketika aku pulang ke rumah dan memasuki kamar tidurku, aku menemukan hadiah-hadiah tersebut telah tersusun rapi di atas meja belajarku.
•••••
Dear Alyssa
Karna dihatimulah tempat terindah
Untuk ku semayamkan seluruh cintaku
Ku temukan cinta terindah darimu
Meski takkan pernah kau sadari
With love Alvin
•••••
Aku membaca rangkaian kata yang tertulis dikertas itu untuk pertama kalinya. Sebelumnya, aku hanya membiarkan lembaran surat ini bersatu dengan sekotak coklat dan setangkai mawar pemberiaan Alvin itu didalam sebuah kotak berwarna silver.
Yah, aku tau itu hanyalah penggalan dari sebuah lirik lagu. Tapi entah mengapa, aku merasa begitu tersudut setelah membaca rantaian kata-kata tersebut.
Sebesar itukah perasaan Alvin untukku? Kalau iya, aku benar-benar salah telah menjauhinya seperti itu.
Sekarang, disaat dia sudah tidak ada aku hanya bisa menyesali semuanya. Meskipun ku tau itu hanya sia-sia.
-----
Masihkah ada waktu yang tersisa
Tuk kembali padamu...mencintaiku
-----
Ku remas-remas beberapa helai daun kering yang berada di genggamanku. Aku sangat merindukan Alvin. Sudah lama sekali aku tidak melihat wajahnya dan jujur..aku sangat merindukan tingkahnya yang senang menggodaku.
"Pasti kepikiran Alvin."
Aku mengangkat wajahku yang menatap rumput-rumput kecil dibawah kaki.
Rio. Aku heran, kenapa dia selalu ada saat aku sedang merindukan Alvin? Apa dia titisan Alvin? Astaga, aku benar-benar merindukan Alvin sepertinya.
"Gitu banget ngeliatin gue nya."
Aku terkesiap, kemudian meluruskan pandanganku ke depan.
"Kok lo ada disini?" tanyaku basa-basi
"Lagi pengen nemenin seseorang yang kesepian." ujarnya sambil menatapku, aku balik menatap Rio.
"Gue maksud lo?" tanyaku polos, dengan telunjuk mengarah ke pada diriku sendiri.
Rio menggeleng sambil tertawa kecil "Gak mungkin orang gila kan?"
Aku melengos, saat ini aku sedang tidak mood untuk bercanda. So, please stop it.
Hening. Aku diam, Rio juga diam.
"Kenapa penyesalan selalu dateng belakangan yah Yo?" celetuk ku tiba-tiba.
"Karna penyesalan datang untuk menyadarkan, kalau dia datangnya di awal pas kita mau berbuat suatu kesalahan nanti gak ada yang akan 'menyadarkan' kita setelah kita melakukan kesalahan itu."
Aku mengkembang kempiskan kedua pipiku "tapikan..kalau dia datangnya diawal, itu bisa mencegah kita berbuat kesalahan, iya kan?"
"Iya, bisa mencegah tapi belum tentukan pada saat itu hati kita tergerak untuk mencegahnya kan?"
Rio menatapku dengan kedua bola mata hitamnya, aku mengangguk "nah, kalau dia datang di belakang, dia bisa menyadarkan kita, karna kita bisa berkaca pada hasil dari perbuatan salah kita itu. Ngerti?"
Aku kembali mengangguk, meskipun belum sepenuhnya mengerti. Dan oleh karna itu, aku kembali diam untuk memahami setiap kalimat yang keluar dari bibir Rio.
"Apa ada kemungkinan dia masih punya rasa itu buat gue?"
Aku mendengar Rio mendesah entah untuk yang keberapa kalinya. Lalu pandangannya beralih menatapku. Lama kedua bola matanya menatapku dengan pandangan sayu -menurutku-, sampai-sampai keningku berkerut saking bingungnya.
"Nothing imposibble in the world, termasuk perasaan Alvin buat lo."
Aku tersenyum mendengarnya. Meski terucap lirih namun terdengar tulus ditelingaku. Rio benar-benar seseorang yang istimewa buatku, dia selalu bisa menenangkan perasaanku.
"Tapi...bukan berarti lo harus terus berharap pada satu pintu yang belum tentu masih bisa lo buka kayak dulu," Rio menjatuhkan tatapannya tepat dikedua manik mataku "karna terkadang tanpa lo sadari masih banyak pintu-pintu lain yang menanti elo untuk membukanya,"
Lagi. Kalimat yang teramat sulit untuk dicerna itu keluar dari bibir Rio. Membuatku kembali berpikir untuk memahami makna dari semua itu.
"Satu hal Fy, jangan sampai elo mengulang kesalahan yang sama. Terlambat mengerti. Elo baru nyadar kalau elo satu rasa dengan cowo itu setelah cowo itu pergi ninggalin lo."
Aku terdiam, meresapi tiap untaian kalimat yang mengalun pasti dari bibir Rio. Mencari akan makna dari kata-kata sulit itu.
"Gue sayang sama lo."
Entah mimpi atau nyata, aku mendengarkan ucapan itu terucap samar-samar dari bibir Rio. Hanya saja, pikiranku sedang -juga- terbagi pada Alvin. Sehingga aku menganggap itu sebagai..halusinasiku saja.
Rio bangkit dan meninggalkanku seorang diri. Dan aku hanya bisa menatap punggungnya yang kian menjauh.
Alvin....aku masih berharap dia memiliki rasa itu untukku. Meski sekarang ada dua kemungkinan, dia masih memiliki rasa itu atau tidak sama sekali.
Tidak seperti dulu, dia pasti memiliki rasa itu untukku.
Aku menghela nafas panjang. Kemudian berdiri dan membersihkan sisa-sisa debu yang menempel pada rok merahku.
Bebanku mulai berkurang, dan aku mulai melangkah meninggalkan danau ini...
-----
"Tapi...bukan berarti lo harus terus berharap pada satu pintu yang belum tentu masih bisa lo buka kayak dulu,"
"karna terkadang tanpa lo sadari masih banyak pintu-pintu lain yang menanti elo untuk membukanya,"
Kata-kata Rio tadi siang terngiang kembali ditelingaku. Aku yang tadinya berniat untuk mengulang pelajaran bilogi tadi pagi, mendadak urung melakukannya.
"Satu hal Fy, jangan sampai elo mengulang kesalahan yang sama. Terlambat mengerti. Elo baru nyadar kalau elo satu rasa dengan cowo itu setelah cowo itu pergi ninggalin lo."
Terlambat mengerti, lagi?
Menyesal lagi?
Dua pertanyaan yang tiba-tiba saja melintas dibenakku sesaat setelah aku mengartikan untaian kalimat yang dilontarkan Rio.
Astaga...aku refleks memukul meja belajarku saat seuntai kalimat terakhir yang terlontar dari bibir Rio kembali berdengung di indra pendengaranku.
Aku paham sekarang. Dengan sedikit tergesa aku meraih jaket ungu yang tersampir dilengan sofa.
Kusempatkan diri untuk melirik jam dinding dengan ekor mataku.
21.15, belum terlalu larut rasanya. Tanpa berbasa-basi lagi, aku segera berlari keluar dari kamarku. Membawa kedua kaki jenjangku menuju sebuah tempat yang aku yakini akan mengantarkanku pada 2 kemungkinan perasaan. Menyesal atau tidak menyesal.
.....
Ketika bunga tak bermekar lagi
Dan dunia tak mungkin berputar lagi
Saat cinta t'lah membakar hati ini
Kau kan tahu betapa aku mencintaimu
Betapa aku menginginkan kamu...
Petikan gitar diiringi senandung lembut yang terdengar merdu menyambut kedatanganku yang baru saja menginjakan kaki di danau ini.
Disebuah bangku panjang, yang terletak didepan danau -tempat-dimana-aku-dan-Rio-menghabiskan-waktu-bersama-tadi-sore, ku dapati punggung pria yang tentu nya sudah sangat ku kenal.
Yah, siapa lagi kalau bukan Rio, pemilik punggung itu.
Kalau aku boleh merasa GR, aku pikir lagu yang ia nyanyikan tadi ditujukan khusus untukku. Tapi, entahlah. Daripada menduga-duga, akan lebih baik jika aku melangkah mendekatinya.
"Gue sayang sama lo," aku tertegun mendengar ucapannya yang terdengar miris ditelingaku "Fy."
Fy? Maksudnya Ify? Aku? Maksudnya, dia sayang sama aku, gitu?
"Emm Yo," dengan sedikit ragu aku menyentuh pundak pria hitam manis yang tengah menunduk sambil memeluk gitarnya "gue..boleh duduk disini?" tanyaku menunjuk tempat kosong disebelahnya.
Dia yang -sepertinya- terkejut akan kehadiranku mengangguk canggung -menurutku-.
"A...ada apa, Fy?"
Aku sedikit bingung dengan nada bicara Rio yang terkesan gugup, entahlah.
"Gue..gue," aku bingung harus memulai darimana "gue em-"
"Elo kenapa?" tanya nya memotong ucapanku.
Aku menggigit kecil bibir bawahku, dengan sedikit melirik ke aranya aku melanjutkan potongan kalimat yang ingin ku sampaikan tadi.
"Gue, gue rasa gue ngerti sama maksud lo tadi siang."
"Emm, maksud lo?"
"Gue gak bisa berbasa basi, Yo. Tapi...1 hal yang harus lo tau, mungkin gue masih punya rasa buat Alvin, tapi bukan berarti gue menutup hati gue untuk pria lain."
Rio menatapku dengan alis bertaut "sorry, maksud lo?"
"Elo bener, nggak semestinya gue terus berharap sama pintu yang itu-itu aja. Padahal dengan jelas, sudah ada pintu lain yang menanti gue untuk membukanya,"
Aku terdiam sebentar. Berbicara panjang lebar seperti tadi cukup membuatku haus ternyata.
Aku mulai mengalihkan pandangaku kesamping kanan. Menatap lembut kedua bola mata tajam bagai elang, milik Rio yang terasa meneduhkan.
"Dan pintu itu adalah elo, gue..gue rasa gue,"
Aku menggantungkan kalimatku lagi. Bingung rasanya memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa menyusun sebuah kalimat dengan baik. Masa iya aku harus menyatakan perasaanku lebih dulu kepadanya? Itu sama saja dengan aku melakukan penembakan lebih dulu, kan? Aku kan cewek, masa aku yang duluan memulai?
"Gue sayang sama lo, Fy. Entah dari kapan, tapi gue selalu sakit tiap ngeliat elo yang seperti frustasi semenjak kepergian Alvin."
Aku menatap Rio tak percaya "Gue gak mau ngeliat elo sedih mulu, gue bener-bener sayang sama lo. Makanya gue gak mau elo nyesel lagi untuk yang kedua kalinya."
Aku masih tak bisa bersuara, ku biarkan Rio terus melontarkan isi hatinya.
"Mungkin elo berpikir gue terlalu GR, dengan PD nya gue yakin kalau elo bakalan menyesal karena gue, seperti elo menyesal karena Alvin."
Bagaikan kutub magnet yang berlawanan. Saling menarik agar mendekat, hingga aku dan Rio menyatu dalam dekapan hangat.
"Gue sayang sama lo, Fy."
Untuk yang kesekian kalinya, Rio mengucapkan kalimat yang sama.
"Gue..gue..tolongin gue, supaya gue juga bisa sayang sama lo, Yo." ucapku setengah meminta.
Meskipun tak melihat, aku bisa merasakan anggukan dari Rio. Karena gerakan kepalanya saat mengangguk kebawah membuat dagunya menyentuh puncak kepalaku.
"Makasih, Yo."
"I love you, Fy."
=====
Tarrammmmm..gimana? Endingnya aneh? Mengecewakan lagi yah?
Sorry deh, ini ngerjainnya pake 'bersambung' sih jadi mungkin ngefeelnya gak merata..eheeheee
Especially for all RFM, sorry banggetttt karena disini Rio harus disakitin dulu. Sorry juga (buat yang minta dibikinin cerpen RiFy) karena disini gak full RiFy.
Nah ini juga buat kalian-kalian yang minta cerpen RiFy yang HapEnd. Maaf yah maksa banget..hahaa
Sebenernya gue gak inget kalau cerpen ini udah selese. Kalau bukan karena hp gue yang rada error, terus gue pengen ngprogram ulang (yang mengakibatkan gue harus memindahkan semua data yang ke save di mem telp ke mem card) mungkin gue gak bener-bener gak inget kalau cerpen ini udah the end.
Etapi sorry lagi nih kalau judulnya amat sangat jauh dari kecocokan dengan inti cerita :D
Tapi tetep setia menantikan komentar, kritikan dan segala macam jenis masukan supaya gue bisa menjadi lebih baik lagi...
Song : Terlambat Mengerti by Dygta
_With Love Nia Stevania_