Hal terberat dalam hidup adalah ketika lo dihadapkan pada kenyataan
bahwa usia pacaran lo dan pasangan lo sudah kelewat awet, dan pasangan
lo mulai rewel nanyain, "kapan kita nikah?"
Bukannya nggak suka, bukan juga selama ini gue nggak serius pacaran, tapi...please, bagi seorang cowok, ketika lo ditanya begitu sama dengan, "kapan lo siap ngidupin kita dan anak-anak kita?". Ngeri nggak? Duh...
Gue Rio, Naufal Febrio sih lebih tepatnya. Gue sudah menyelesaikan pendidikan S1 gue kurang lebih setahun yang lalu. Dan selama itu juga, gue break untuk sementara waktu sama cewek gue. Seperti yang gue ceritain diatas, pertanyaan sensitif yang sering ditanyain doi waktu jaman gue kuliah membuat gue kalap lantas memutuskan untuk break sementara waktu. Perasaan doi waktu itu? Udah bisa ditebak dong, nangis dan marah-marah. Setelah puas, doi langsung pergi ninggalin gue. Awalnya, diantara rasa sesal karena bikin doi nangis, terselip rasa lega. Karena pertanyaan menyebalkan-yang terkesan menuntut pertanggung jawaban padahal gue nggak ngapa-ngapain lho, macam itu nggak akan gue denger lagi. Tapi, itu cuma awalnya. Pada akhirnya gue sadar, doi yang terbaik. Doi yang gue sayang, dan mestinya gue bisa lebih peka. Membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah warrahmah itu impian kita bersama, mestinya gue bisa dewasa, mulai memikirkan masa depan hubungan kami. Bukannya merasa terganggu dan lantas memutuskan untuk break sementara waktu.... ya semoga doi nggak berubah pikiran dan lantas memutuskan untuk bener-bener menyudahi kisah asmara kami, soalnya setelah resmi break, doi bener-bener melenyapkan diri dari pandangan gue.
Huffttt I miss you so badly, dear....
Gue sadar, doi juga nggak mungkin nerima gue balik gitu aja. Dan pertanyaan macam itu (re. Kapan kita nikah?) juga nggak akan hilang begitu aja. Maka gue putuskan, untuk mensejahterakan hidup gue lebih dulu, demi masa depan hubungan kami yang lebih baik. Aamiin O:)
Dan yang gue lakukan adalah, memulai ikut serta dalam mengurus usaha milik orang tua gue yang kelak nantinya memang bakal jatuh ketangan gue-karena gue pemilik hak waris satu-satunya. Itulah alasan, kenapa gue memilih untuk stop di S1.
"Apa lagi sih yang loe pikirin? Hidup udah mapan. Mental udah siap, buruan lamar dia."
Alvin-salah satu sohib sejati gue yang sudah resmi menikahi Alvia, masih sahabatnya doi, menanyakan hal yang sudah terlalu sering dia ajukan. Okay, gue bosen. Tapi, mau gimana lagi? Kayaknya, kalau nggak nanyain itu dalam sehari Alvin bakal sakit gigi kali. Huhh
"Yelah bawel loe kayak cewek. Gue belum siap mental ketemu Ify nya, belum lagi bokapnya." Gue membayangkan wajah sangar bokapnya doi. Gue emang belum pernah ngobrol langsung dari hati ke hati sama bokapnya, tapi dulu...jaman masih pacaran, dan gue sering antar-jemput doi, bokapnya selalu titip pesen lengkap dengan nada tegas dan tatapan tajam. Siapa yang nggak jiper coba?
Tapi, doi menjelaskan alasan sikap protect bokapnya adalah nggak lain karena doi anak satu-satunya, plus harta satu-satunya milik beliau. Yah, ibunya doi sudah menghadap Ilahi sejak doi berumur 14th.
Alvin meletakkan cangkir kopinya kemudian mulai memasang tampak -sok- seriusnya.
"Kita sudah sama-sama taukan, bro. Ify tuh anak satu-satunya, harta satu-satunya yang bokapnya punya setelah nyokapnya Ify meninggal, mestinya lo paham kenapa bokapnya Ify agak-sedikit sentiment sama lo, karena beliau nggak mau Ify salah pilih dan disakitin." Ujar Alvin. "Dan...sedikit cemburu juga kayaknya, sejak Ify pacaran sama lo, praktis perhatian doi terbagi."
"Loe bener sih, Vin. Tapi gue masih belum yakin."
Alvin menggeram ditempatnya. Entahlah, lama-lama Alvin jadi nggak jauh beda sama Via, sama-sama suka mendesak gue untuk segera mengambil keputusan tentang ini. Hmm, faktor suami-istri kali yah? Ikatan bathin?
"Loe inget baik-baik ucapan gue, sekarang atau nggak sama sekali! Loe sadar udah berapa lama loe ngilang dari hidupnya Ify? Dari aktifitas antar-jemput dia yang jelas-jelas bokapnya Ify tau? Loe nggak takut kalau bokapnya Ify nanya-nanya ke Ify, terus Ify cerita, terus dia kesel, benci sama loe, terus---"
"Okay, okay, gue bakal mikirin ini secepetnya."
Dan tanpa pamit, gue bergegas meninggalkan ruangan Alvin.
***
Alvin bener. Kenapa gue nggak berpikir jauh sampe ke situ? Bokapnya doi yang udah cukup sentiment sama gue bisa makin mengerikan kalau tau gue sama anaknya break. Belum lagi kalau waktu habis kejadian itu-dimana gue mutusin untuk break sama doi, doi balik dengan pipi basah, air mata berlinang. Atau minimal, mata merah dan idung beler....
"Mah, Rio udah siap."
Nyokap yang tadinya asyik ngebaca majalah fashion edisi terbaru menutup majalahnya. Matanya menatap gue dengan alis terangkat.
"Ya, Rio udah siap untuk berkeluarga." Ucap gue mantap.
"Kamu yakin?" Tanya mamah. Gue mengangguk mantap. "Sama siapa? Ify?"
"Ya ampun mamah, kalau bukan sama Ify sama siapa lagi? Sama pembantu kita? Iyalah sama Ify." Gue agak kesal. Pasalnya, nyokap kan udah tau jelas sama siapa gue selama ini menjalin hubungan.
"Ya maksud mamah," nyokap mengambil jeda dalam kalimatnya seolah berpikir, "gini lho. Waktu itu-pas mamah dinner sama papah, mamah ketemu Ify sama papahnya dinner di restorant yang sama. Malah kami semeja. Dan---"
"---dan apa mah?!"
Nyokap mulai memasang tampang yang mencurigakan. Duh...something's wrong telah terjadi sepertinya. "Ify bilang kalian udah pu...tus."
Apa?! Pertanyaan yang gue pikir cuma tercetus dalam hati gue itu ternyata terucap dengan keras sampe-sampe nyokap melotot kaget.
"Apaan sih, Yo. Kata Ify kamu yang mutusin dia, malah sekarang sok-sokan kaget." Nyokap mulai membuka majalahnya kembali, seolah-olah nggak ngeliat kalau sekarang tampang gue udah shock pake banget.
"Mamah nggak ngerti kenapa bisa, kamu mutusin cewek sebaik Ify. Mamah udah kelewat ngarepin dia jadi menantu mamah, tapi karena ke egoisan kamu, semuanya buyar."
Gue menggeram putus asa. "Rio nggak mutusin Ify mamah."
"Tapi Ify bilangnya gitu."
Gue terdiam, nggak tau harus ngomong apa. Kenapa disaat gue mulai yakin, semuanya dipersulit?
"Eng, emang kamu serius nggak mutusin dia, Yo." Gue cuma menggeleng, menjawab pertanyaan nyokap. "Terus, kenapa kalian nggak pernah bareng lagi? Kamu nggak pernah antar-jemput Ify lagi, Ify nggak pernah main ke sini lagi,"
"Rio cuma bilang break sama dia mah, karena waktu itu Rio capek sama pertanyaan Ify yang selalu aja, 'kapan kita nikah? Kapan kita nikah?' Rio bosen."
"Sekarang?"
"Rio kangen Ify, dan mantap buat membangun hubungan yang baru sama dia."
Nyokap kembali menutup majalahnya dan menggeser posisi duduknya, semakin merapat ke gue. "Dengerin mamah, Ify pernah bilang gini...
"Kata papah ya tant, kalau cowok serius sama ceweknya, dia bakal minta ceweknya ke papahnya langsung. Untuk dihalalkan."
"...dan mamah rasa, selama ini Ify cuma pengen tau keseriusan kamu."
***
Sehabis obrolan yang cukup panjang dengan nyokap, gue memutuskan untuk merenung sebentar. Memikirkan semuanya dengan baik.
Gue sayang sama Ify. Gue serius sama dia. Dan gue nggak mau kehilangan dia. Maka dari itu, gue harus segera bertindak!
Gue mulai menjalankan mobil pribadi gue-hasil jerih payah gue sendiri, membelah keramaian ibu kota. Hari ini hari sabtu, menjelang weekend. Jalanan belum terlalu ramai. Gue memang sengaja memulai perjalanan sepagi mungkin biar nggak terlambat. Dengan 'rude' yang menemani perjalanan gue, dan gue merasa...ini lagu seperti backsong untuk perjalanan gue hari ini, sangat pas.
Tapi pastinya, gue harap bokapnya doi akan mengatakan, "yes!" bukan "no."
Dengan jantung berdegup kencang, gue merapikan rambut dan kemeja yang gue pake, sembari menunggu pintu dibuka. Sudah lebih dari 5 menit gue memencet bel, belum ada tanda-tanda pintunya bakal dibuka.
Dan ketika pintu terbuka, jantung gue berdegup 2 kali lebih cepat dari tadi, apalagi....yang ngebuka pintunya adalah, bokapnya Ify!
Gue nyengir garing sebelum akhirnya mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum, om..."
"Wa'alaikum salam. Ada apa kamu kesini?"
Nggak pake disuruh masuk, duduk atau disuguhin minum dulu apa?
"Eng...."
Okay, gue bingung. Mau ngajak masuk, ngobrol sambil duduk, kesannya nggak sopan banget. Yang punya rumah siapa, yang nyuruh siapa. Ya kan?
"Ada apa?"
"Eng, maaf om sebelumnya. Bisa kita ngobrol di dalem aja?"
Belum sempat ajakan gue dijawab. Sebuah sedan kecil berhenti tepat didepan kami.
Sosok yang sekian lama gue rindukan muncul dari balik pintu penumpang depan. Eh, tapi siapa laki-laki-yang menyetir mobil-yang juga ikut keluar bersama Ify?
"Eh, kayaknya ada tamu, Fy. Gue balik aja deh." Laki-laki yang tadi ikut keluar bersama Ify mendadak pengen balik lagi setelah ngeliat gue. Bagus! Jauh-jauh lo sono! Siapa lagi tuh cowok?!
Ify menatap gue dengan pandangan terkejut, dan laki-laki yang mengantarnya dengan bingung. Senggaknya itu yang gue tangkap.
"Nggak mampir dulu, Yel?"
Gue nggak salah denger tuh? Bokapnya Ify nawarin si Yel Yel itu mampir?! Gue aja nggak pernahhhh....
"Nggak usah, om. Saya balik aja. Permisi...."
***
Dan disinilah kami. Gue dan bokapnya Ify memutuskan untuk berbicara di ruang tamu. Ify sendiri udah ngacir duluan, katanya sih mau naruh tas sekalian bikin minum.
"Jadi, apa tujuan kamu kemari?"
"Sebenernya..."
Kuatkan tekatmu Rio! Tinggal sedikit lagi. Sebelum semuanya terlambat, karena gue nggak mau Ify sama si Yel Yel itu!
"...sebenernya tujuan saya kemari untuk...." gue kembali diam sebentar untuk mengambil nafas. "...untuk meminta izin, meminta Ify menjadi makmum dengan saya sebagai imamnya om..."
Thank God!
"Maksud kamu, kamu mau shalat jama'ah bersama Ify?"
Klontang....
Okay itu murni suara benda jatuh-entah apa, yang kayaknya berasal dari dapur. Tempat Ify membuat minum, katanya tadi...
"Bu..bukan itu maksudnya om..."
Gue nggak tau. Harus ketawa atau gimana. Mungkin pertanyaan bokapnya Ify terdengar polos dan bikin ketawa. Tapi disatu sisi gue kesel, karena kalimat manis itu sengaja gue rangkai untuk meminang Ify!
Bokapnya Ify menatap gue dengan alis terangkat. "Terus apa?"
"Maksud saya, izinkan saya...."
Bersamaan dengan itu, Ify dengan wajah yang entah kenapa merah-setelah gue melirik sepersekian detik, datang membawa nampan berisi minuman dingin lengkap dengan camilannya.
"Duduk sini, Fy!"
Okay, gue makin gugup. Perintah tegas dari bokapnya Ify membuat dia duduk dengan patuh disamping beliau.
"Lanjutkan, nak Rio..."
Angin segar! Pertama kalinya gue denger bokapnya Ify memanggil gue dengan sebutan, "nak Rio."
"Izinkan saya menjadi imam untuk Ify, untuk rumah tangga kami, om..."
Lega. Tapi kenapa bokapnya Ify diem? Ifynya juga diem?
"Yampunnnn....ngomong gitu doang lamanya bikin orang kejang-kejang tau nggak sih?!!"
Itu suara Via! Dengan spontan gue mencari asal suara yang menyahuti permintaan gue ke bokapnya Ify. Dan disana, dibalik pintu kamar tamu Ify, gue menemukan Via bersama Alvin sambil bersiul-siul menggoda. Ah! Ada bokap-nyokap gue juga disana! Apa maksudnya?!
Batuk kecil bokapnya Ify membuat gue membatalkan niat untuk berteriak menanyakan maksud dua pasang suami istri yang sudah senyum-senyum menggoda ditempatnya. "Sebenarnya...ayah dan ibu kamu sudah lebih dulu datang kemari untuk melamar Ify, tapi....karena mereka menyuruh saya berakting seperti ini, ya saya ikut saja."
Ucapan bokapnya Ify seolah menjawab pertanyaan gue. Ditempatnya, Ify senyum-senyum ngeledek lebih tepatnya, sambil memainkan ujung rambutnya.
Gue terjebak...hahhhh
"Baiklah nak Rio, mungkin kamu ingin bicara dengan Ify." Ujar beliau mempersilahkan. "Mari semua, kita ke belakang." Ajaknya lagi kepada Alvin-Via, dan bokap-nyokap gue.
Selepas kepergian mereka semua, gue buru-buru berpindah duduk ke samping Ify yang masih asyik dengan gayanya yang menyebalkan itu.
"Apa maksudnya tadi? Terus siapa itu tadi Yel Yel?!" Tanya gue kesel.
"Nggak penting siapa itu Iyel, yang pengen aku tanyain. Apa alasan kamu ngelamar aku? Apa yang bikin kamu berani kesini setelah minta break dan bikin aku nangis waktu itu?" Ify berbicara dengan sedikit perasaan kesal sepertinya. Terlihat dari sorot mata dan nada bicaranya yang terdengar ketus.
"Yah, Alvin, Via, mamah membuat aku berpikir. Apa tujuan aku selama ini bersama kamu? Waktu membuat aku sadar kalau kamu yang terbaik buat aku. Dan aku nggak boleh menyia-nyiakan kamu." Ku raih tangannya, dalam genggamanku. "Selagi masih ada waktu, aku ingin meraih kamu kembali, makanya aku datang kesini, memberanikan diri untuk meminta kamu," ucapku sungguh-sungguh, "sama...ayah kamu yg galak itu." Sambungku setengah berbisik.
"Ihhh jahat banget sih ngatain gitu...."
Dan cubitan Ify menjadi cemilan manis disabtu yang cerah ini. Ify ku kembali. Dan kisah kami yang baru akan segera terangkai kembali. Terima kasih Tuhan...
"Jadi, kapan kita nikah?"
Pertanyaan itu kembali terucap dari bibir Ify, tapi kali ini gue sudah bisa menjawab. "Secepatnya!"
•••••
HUALLLOOOO?!!!! ANYONE MISS ME?!
Wkwk nggak yah? Baru berapa bulan yang lalu juga kan gue ngepost cerpen? Dan sekarang gue kembali dengan cerpen baluuuuu :3
Okay jadi sebenernya yang tersusun dalam khayalan gue bukan seperti ini. Mestinya lebih manis-tapi kayaknya kurang gula *eh
Tapi yaudahlah ya....begini pun cukup wkwk
Gue memang sengaja nggak bikin yang panjang2.... FYI, cerpen ini bisa dibilang sesuatu juga karena gue menyelesaikannya ga sampe 2 jam! Bayangkan saudara2!!
Jadi, kebetulan gue lagi niat, lagu yang nemenin gue nulis juga catchy banget bikin tulisan gue ngalir....
Btw, kalau kurang gurih dan kurang manis, tambahkan bumbu dapur kalian masing2 yak! #candaaa
Seeya!
Bukannya nggak suka, bukan juga selama ini gue nggak serius pacaran, tapi...please, bagi seorang cowok, ketika lo ditanya begitu sama dengan, "kapan lo siap ngidupin kita dan anak-anak kita?". Ngeri nggak? Duh...
Gue Rio, Naufal Febrio sih lebih tepatnya. Gue sudah menyelesaikan pendidikan S1 gue kurang lebih setahun yang lalu. Dan selama itu juga, gue break untuk sementara waktu sama cewek gue. Seperti yang gue ceritain diatas, pertanyaan sensitif yang sering ditanyain doi waktu jaman gue kuliah membuat gue kalap lantas memutuskan untuk break sementara waktu. Perasaan doi waktu itu? Udah bisa ditebak dong, nangis dan marah-marah. Setelah puas, doi langsung pergi ninggalin gue. Awalnya, diantara rasa sesal karena bikin doi nangis, terselip rasa lega. Karena pertanyaan menyebalkan-yang terkesan menuntut pertanggung jawaban padahal gue nggak ngapa-ngapain lho, macam itu nggak akan gue denger lagi. Tapi, itu cuma awalnya. Pada akhirnya gue sadar, doi yang terbaik. Doi yang gue sayang, dan mestinya gue bisa lebih peka. Membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah warrahmah itu impian kita bersama, mestinya gue bisa dewasa, mulai memikirkan masa depan hubungan kami. Bukannya merasa terganggu dan lantas memutuskan untuk break sementara waktu.... ya semoga doi nggak berubah pikiran dan lantas memutuskan untuk bener-bener menyudahi kisah asmara kami, soalnya setelah resmi break, doi bener-bener melenyapkan diri dari pandangan gue.
Huffttt I miss you so badly, dear....
Gue sadar, doi juga nggak mungkin nerima gue balik gitu aja. Dan pertanyaan macam itu (re. Kapan kita nikah?) juga nggak akan hilang begitu aja. Maka gue putuskan, untuk mensejahterakan hidup gue lebih dulu, demi masa depan hubungan kami yang lebih baik. Aamiin O:)
Dan yang gue lakukan adalah, memulai ikut serta dalam mengurus usaha milik orang tua gue yang kelak nantinya memang bakal jatuh ketangan gue-karena gue pemilik hak waris satu-satunya. Itulah alasan, kenapa gue memilih untuk stop di S1.
"Apa lagi sih yang loe pikirin? Hidup udah mapan. Mental udah siap, buruan lamar dia."
Alvin-salah satu sohib sejati gue yang sudah resmi menikahi Alvia, masih sahabatnya doi, menanyakan hal yang sudah terlalu sering dia ajukan. Okay, gue bosen. Tapi, mau gimana lagi? Kayaknya, kalau nggak nanyain itu dalam sehari Alvin bakal sakit gigi kali. Huhh
"Yelah bawel loe kayak cewek. Gue belum siap mental ketemu Ify nya, belum lagi bokapnya." Gue membayangkan wajah sangar bokapnya doi. Gue emang belum pernah ngobrol langsung dari hati ke hati sama bokapnya, tapi dulu...jaman masih pacaran, dan gue sering antar-jemput doi, bokapnya selalu titip pesen lengkap dengan nada tegas dan tatapan tajam. Siapa yang nggak jiper coba?
Tapi, doi menjelaskan alasan sikap protect bokapnya adalah nggak lain karena doi anak satu-satunya, plus harta satu-satunya milik beliau. Yah, ibunya doi sudah menghadap Ilahi sejak doi berumur 14th.
Alvin meletakkan cangkir kopinya kemudian mulai memasang tampak -sok- seriusnya.
"Kita sudah sama-sama taukan, bro. Ify tuh anak satu-satunya, harta satu-satunya yang bokapnya punya setelah nyokapnya Ify meninggal, mestinya lo paham kenapa bokapnya Ify agak-sedikit sentiment sama lo, karena beliau nggak mau Ify salah pilih dan disakitin." Ujar Alvin. "Dan...sedikit cemburu juga kayaknya, sejak Ify pacaran sama lo, praktis perhatian doi terbagi."
"Loe bener sih, Vin. Tapi gue masih belum yakin."
Alvin menggeram ditempatnya. Entahlah, lama-lama Alvin jadi nggak jauh beda sama Via, sama-sama suka mendesak gue untuk segera mengambil keputusan tentang ini. Hmm, faktor suami-istri kali yah? Ikatan bathin?
"Loe inget baik-baik ucapan gue, sekarang atau nggak sama sekali! Loe sadar udah berapa lama loe ngilang dari hidupnya Ify? Dari aktifitas antar-jemput dia yang jelas-jelas bokapnya Ify tau? Loe nggak takut kalau bokapnya Ify nanya-nanya ke Ify, terus Ify cerita, terus dia kesel, benci sama loe, terus---"
"Okay, okay, gue bakal mikirin ini secepetnya."
Dan tanpa pamit, gue bergegas meninggalkan ruangan Alvin.
***
Alvin bener. Kenapa gue nggak berpikir jauh sampe ke situ? Bokapnya doi yang udah cukup sentiment sama gue bisa makin mengerikan kalau tau gue sama anaknya break. Belum lagi kalau waktu habis kejadian itu-dimana gue mutusin untuk break sama doi, doi balik dengan pipi basah, air mata berlinang. Atau minimal, mata merah dan idung beler....
"Mah, Rio udah siap."
Nyokap yang tadinya asyik ngebaca majalah fashion edisi terbaru menutup majalahnya. Matanya menatap gue dengan alis terangkat.
"Ya, Rio udah siap untuk berkeluarga." Ucap gue mantap.
"Kamu yakin?" Tanya mamah. Gue mengangguk mantap. "Sama siapa? Ify?"
"Ya ampun mamah, kalau bukan sama Ify sama siapa lagi? Sama pembantu kita? Iyalah sama Ify." Gue agak kesal. Pasalnya, nyokap kan udah tau jelas sama siapa gue selama ini menjalin hubungan.
"Ya maksud mamah," nyokap mengambil jeda dalam kalimatnya seolah berpikir, "gini lho. Waktu itu-pas mamah dinner sama papah, mamah ketemu Ify sama papahnya dinner di restorant yang sama. Malah kami semeja. Dan---"
"---dan apa mah?!"
Nyokap mulai memasang tampang yang mencurigakan. Duh...something's wrong telah terjadi sepertinya. "Ify bilang kalian udah pu...tus."
Apa?! Pertanyaan yang gue pikir cuma tercetus dalam hati gue itu ternyata terucap dengan keras sampe-sampe nyokap melotot kaget.
"Apaan sih, Yo. Kata Ify kamu yang mutusin dia, malah sekarang sok-sokan kaget." Nyokap mulai membuka majalahnya kembali, seolah-olah nggak ngeliat kalau sekarang tampang gue udah shock pake banget.
"Mamah nggak ngerti kenapa bisa, kamu mutusin cewek sebaik Ify. Mamah udah kelewat ngarepin dia jadi menantu mamah, tapi karena ke egoisan kamu, semuanya buyar."
Gue menggeram putus asa. "Rio nggak mutusin Ify mamah."
"Tapi Ify bilangnya gitu."
Gue terdiam, nggak tau harus ngomong apa. Kenapa disaat gue mulai yakin, semuanya dipersulit?
"Eng, emang kamu serius nggak mutusin dia, Yo." Gue cuma menggeleng, menjawab pertanyaan nyokap. "Terus, kenapa kalian nggak pernah bareng lagi? Kamu nggak pernah antar-jemput Ify lagi, Ify nggak pernah main ke sini lagi,"
"Rio cuma bilang break sama dia mah, karena waktu itu Rio capek sama pertanyaan Ify yang selalu aja, 'kapan kita nikah? Kapan kita nikah?' Rio bosen."
"Sekarang?"
"Rio kangen Ify, dan mantap buat membangun hubungan yang baru sama dia."
Nyokap kembali menutup majalahnya dan menggeser posisi duduknya, semakin merapat ke gue. "Dengerin mamah, Ify pernah bilang gini...
"Kata papah ya tant, kalau cowok serius sama ceweknya, dia bakal minta ceweknya ke papahnya langsung. Untuk dihalalkan."
"...dan mamah rasa, selama ini Ify cuma pengen tau keseriusan kamu."
***
Sehabis obrolan yang cukup panjang dengan nyokap, gue memutuskan untuk merenung sebentar. Memikirkan semuanya dengan baik.
Gue sayang sama Ify. Gue serius sama dia. Dan gue nggak mau kehilangan dia. Maka dari itu, gue harus segera bertindak!
Saturday morning jumped out of bed
And put on my best suit
Got in my car and raced like a jet
All the way to you
Knocked on your door with heart in my hand
To ask you a question 'Cause I know that you're an old-fashioned man, yeah
Gue mulai menjalankan mobil pribadi gue-hasil jerih payah gue sendiri, membelah keramaian ibu kota. Hari ini hari sabtu, menjelang weekend. Jalanan belum terlalu ramai. Gue memang sengaja memulai perjalanan sepagi mungkin biar nggak terlambat. Dengan 'rude' yang menemani perjalanan gue, dan gue merasa...ini lagu seperti backsong untuk perjalanan gue hari ini, sangat pas.
Tapi pastinya, gue harap bokapnya doi akan mengatakan, "yes!" bukan "no."
Can I have your daughter for the rest of my life?
Say yes, say yes
'Cause I need to know
You say I'll never get your blessing 'til the day I die
Tough luck, my friend, but the answer is 'No'
Why you gotta be so rude?
Don't you know I'm human too?
Why you gotta be so rude?
I'm gonna marry her anyway
Marry that girl
Marry her anyway
Marry that girl
Yeah, no matter what you say...
Marry that girl
And we'll be a family
Why you gotta be so rude...
Dengan jantung berdegup kencang, gue merapikan rambut dan kemeja yang gue pake, sembari menunggu pintu dibuka. Sudah lebih dari 5 menit gue memencet bel, belum ada tanda-tanda pintunya bakal dibuka.
Dan ketika pintu terbuka, jantung gue berdegup 2 kali lebih cepat dari tadi, apalagi....yang ngebuka pintunya adalah, bokapnya Ify!
Gue nyengir garing sebelum akhirnya mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum, om..."
"Wa'alaikum salam. Ada apa kamu kesini?"
Nggak pake disuruh masuk, duduk atau disuguhin minum dulu apa?
"Eng...."
Okay, gue bingung. Mau ngajak masuk, ngobrol sambil duduk, kesannya nggak sopan banget. Yang punya rumah siapa, yang nyuruh siapa. Ya kan?
"Ada apa?"
"Eng, maaf om sebelumnya. Bisa kita ngobrol di dalem aja?"
Belum sempat ajakan gue dijawab. Sebuah sedan kecil berhenti tepat didepan kami.
Sosok yang sekian lama gue rindukan muncul dari balik pintu penumpang depan. Eh, tapi siapa laki-laki-yang menyetir mobil-yang juga ikut keluar bersama Ify?
"Eh, kayaknya ada tamu, Fy. Gue balik aja deh." Laki-laki yang tadi ikut keluar bersama Ify mendadak pengen balik lagi setelah ngeliat gue. Bagus! Jauh-jauh lo sono! Siapa lagi tuh cowok?!
Ify menatap gue dengan pandangan terkejut, dan laki-laki yang mengantarnya dengan bingung. Senggaknya itu yang gue tangkap.
"Nggak mampir dulu, Yel?"
Gue nggak salah denger tuh? Bokapnya Ify nawarin si Yel Yel itu mampir?! Gue aja nggak pernahhhh....
"Nggak usah, om. Saya balik aja. Permisi...."
***
Dan disinilah kami. Gue dan bokapnya Ify memutuskan untuk berbicara di ruang tamu. Ify sendiri udah ngacir duluan, katanya sih mau naruh tas sekalian bikin minum.
"Jadi, apa tujuan kamu kemari?"
"Sebenernya..."
Kuatkan tekatmu Rio! Tinggal sedikit lagi. Sebelum semuanya terlambat, karena gue nggak mau Ify sama si Yel Yel itu!
"...sebenernya tujuan saya kemari untuk...." gue kembali diam sebentar untuk mengambil nafas. "...untuk meminta izin, meminta Ify menjadi makmum dengan saya sebagai imamnya om..."
Thank God!
"Maksud kamu, kamu mau shalat jama'ah bersama Ify?"
Klontang....
Okay itu murni suara benda jatuh-entah apa, yang kayaknya berasal dari dapur. Tempat Ify membuat minum, katanya tadi...
"Bu..bukan itu maksudnya om..."
Gue nggak tau. Harus ketawa atau gimana. Mungkin pertanyaan bokapnya Ify terdengar polos dan bikin ketawa. Tapi disatu sisi gue kesel, karena kalimat manis itu sengaja gue rangkai untuk meminang Ify!
Bokapnya Ify menatap gue dengan alis terangkat. "Terus apa?"
"Maksud saya, izinkan saya...."
Bersamaan dengan itu, Ify dengan wajah yang entah kenapa merah-setelah gue melirik sepersekian detik, datang membawa nampan berisi minuman dingin lengkap dengan camilannya.
"Duduk sini, Fy!"
Okay, gue makin gugup. Perintah tegas dari bokapnya Ify membuat dia duduk dengan patuh disamping beliau.
"Lanjutkan, nak Rio..."
Angin segar! Pertama kalinya gue denger bokapnya Ify memanggil gue dengan sebutan, "nak Rio."
"Izinkan saya menjadi imam untuk Ify, untuk rumah tangga kami, om..."
Lega. Tapi kenapa bokapnya Ify diem? Ifynya juga diem?
"Yampunnnn....ngomong gitu doang lamanya bikin orang kejang-kejang tau nggak sih?!!"
Itu suara Via! Dengan spontan gue mencari asal suara yang menyahuti permintaan gue ke bokapnya Ify. Dan disana, dibalik pintu kamar tamu Ify, gue menemukan Via bersama Alvin sambil bersiul-siul menggoda. Ah! Ada bokap-nyokap gue juga disana! Apa maksudnya?!
Batuk kecil bokapnya Ify membuat gue membatalkan niat untuk berteriak menanyakan maksud dua pasang suami istri yang sudah senyum-senyum menggoda ditempatnya. "Sebenarnya...ayah dan ibu kamu sudah lebih dulu datang kemari untuk melamar Ify, tapi....karena mereka menyuruh saya berakting seperti ini, ya saya ikut saja."
Ucapan bokapnya Ify seolah menjawab pertanyaan gue. Ditempatnya, Ify senyum-senyum ngeledek lebih tepatnya, sambil memainkan ujung rambutnya.
Gue terjebak...hahhhh
"Baiklah nak Rio, mungkin kamu ingin bicara dengan Ify." Ujar beliau mempersilahkan. "Mari semua, kita ke belakang." Ajaknya lagi kepada Alvin-Via, dan bokap-nyokap gue.
Selepas kepergian mereka semua, gue buru-buru berpindah duduk ke samping Ify yang masih asyik dengan gayanya yang menyebalkan itu.
"Apa maksudnya tadi? Terus siapa itu tadi Yel Yel?!" Tanya gue kesel.
"Nggak penting siapa itu Iyel, yang pengen aku tanyain. Apa alasan kamu ngelamar aku? Apa yang bikin kamu berani kesini setelah minta break dan bikin aku nangis waktu itu?" Ify berbicara dengan sedikit perasaan kesal sepertinya. Terlihat dari sorot mata dan nada bicaranya yang terdengar ketus.
"Yah, Alvin, Via, mamah membuat aku berpikir. Apa tujuan aku selama ini bersama kamu? Waktu membuat aku sadar kalau kamu yang terbaik buat aku. Dan aku nggak boleh menyia-nyiakan kamu." Ku raih tangannya, dalam genggamanku. "Selagi masih ada waktu, aku ingin meraih kamu kembali, makanya aku datang kesini, memberanikan diri untuk meminta kamu," ucapku sungguh-sungguh, "sama...ayah kamu yg galak itu." Sambungku setengah berbisik.
"Ihhh jahat banget sih ngatain gitu...."
Dan cubitan Ify menjadi cemilan manis disabtu yang cerah ini. Ify ku kembali. Dan kisah kami yang baru akan segera terangkai kembali. Terima kasih Tuhan...
"Jadi, kapan kita nikah?"
Pertanyaan itu kembali terucap dari bibir Ify, tapi kali ini gue sudah bisa menjawab. "Secepatnya!"
•••••
HUALLLOOOO?!!!! ANYONE MISS ME?!
Wkwk nggak yah? Baru berapa bulan yang lalu juga kan gue ngepost cerpen? Dan sekarang gue kembali dengan cerpen baluuuuu :3
Okay jadi sebenernya yang tersusun dalam khayalan gue bukan seperti ini. Mestinya lebih manis-tapi kayaknya kurang gula *eh
Tapi yaudahlah ya....begini pun cukup wkwk
Gue memang sengaja nggak bikin yang panjang2.... FYI, cerpen ini bisa dibilang sesuatu juga karena gue menyelesaikannya ga sampe 2 jam! Bayangkan saudara2!!
Jadi, kebetulan gue lagi niat, lagu yang nemenin gue nulis juga catchy banget bikin tulisan gue ngalir....
Btw, kalau kurang gurih dan kurang manis, tambahkan bumbu dapur kalian masing2 yak! #candaaa
Seeya!