“Ify! Kita kan udah
lulus, jadi gimana? Nikahnya jadi dong?!” Teriak seorang pria yang memberikan
seringai nakal kepada gadis manis didepannya.
Gadis itu melotot
marah.
Enak saja pria ini
berbicara. Siapa bilang ia mau menikah dengan pria usil seperti dia? Lagipula,
dimana sejarahnya 'kucing dan tikus' bersatu dalam ikatan suci pernikahan?
“Hehh! Lo---” Ucapan
Ify--gadis itu, terhenti di udara saat pria usil itu menghampirinya secepat
kilat, dan merangkul lehernya. Membuat jarak diantara mereka semakin terhapus.
”Kenapa sayang? Kamu
ingin secepatnya?” Tanya nya dengan nada menggoda.
Ify yang masih belum
mengerti akhirnya dihadapkan pada sesosok pria dimasa lalunya yang tengah
menatap tajam pada mereka.
Dalam hati ia
menggumam, oh cuma sandiwara...
•••
Sandiwara?
Yah, awalnya Ify pikir semua hanya sandiwara. Tapi siapa
sangka, hal yang ia anggap sandiwara itu ternyata membawanya pada situasi yang
sebenarnya. Situasi dimana ia dan pria usil itu akan bersatu.
Jadi begini, disaat Rio--nama pria usil itu, 'melamarnya'
dengan background wajah tak terbaca sang mantan, ternyata kedua orang tua
mereka --orang tua Ify dan Rio tentunya-- menyaksikan adegan itu. Bukannya
marah atau apalah, mereka justru bertepuk tangan, dan melangkah ceria pada
putra-putri mereka yang tanpa sadar mulai memisahkan diri saat mendengar
tepukan orang tua mereka tersebut.
Semakin tak diduga, ternyata kedua orang tua mereka
bersahabat dan memang telah membuat perjanjian konyol untuk menjodohkan
putra-putri mereka dimasa mendatang, dulu.
Terlambat.
Ingin meluruskan, nyatanya kedua orang tua mereka justru
menyeret Ify dan Rio --yang masih mengenakan seragam SMA lengkap dengan corat
coret pilox khas kelulusan-- menuju tempat makan terdekat, untuk merayakan
'lamaran' spontan Rio.
“Ify, jadi kamu mau pake kebaya, atau gaun aja?” Tanya Mama
yang asyik melihat-lihat booklet gaun pengantin. Ify menatap Mamanya dengan
tampang tak mengerti.
”Lebih baik, Ify menggunakan kebaya pas akad saja, jeung.
Dan gaun pada saat resepsi.” Mama Rio yang ikut mendampingi Ify dan Mamanya
melihat-lihat gaun pengantin menimpali.
Ify semakin dibuat tak berkutik dengan ucapan 'calon
mertuanya'. Bagaimana ini? Saat dimana ia harus menyibukkan diri dengan segala
persiapan memasuki jenjang perkuliahan, keadaan justru menjebaknya dalam
situasi, sibuknya menyiapkan pernikahan.
Oh God!
•••
”Gila, man! Kita baru lulus SMA nggak nyampe 2 bulan, dan
tiba-tiba lo udah mau merried aja?” Alvin, salah satu teman se-alumni Rio
menanyakan hal yang sebenarnya Rio pun tak tahu harus menjawab apa.
”Gue nggak bisa bayangin, apa jadinya rumah kalian ntar.
Secara, lo berdua kayak kucing sama tikus.” Cakka, temannya yang lain ikut
berceloteh.
Rio mendengus. Mau tak mau ucapan Cakka membuatnya berpikir.
Benar juga. Bagaimana
bisa ia menjalani kehidupan yang sejahtera dengan seseorang yang bahkan
menganggapnya musuh abadi?
”Gue terjebak, man. Nggak sengaja.” Keluhnya jujur.
Alvin dan Cakka saling melirik, kemudian tertawa kecil.
”Terjebak dalam situasi yang lo buat sendiri. Makanya, lain kali hati-hati
kalau mau bertindak. Bukannya bikin Debo kelabakan gara-gara lo berhasil
ngegebet Ify, eh malah elonya kan, yang terjebak dalam situasi rumit itu.” Ucap
Alvin.
Rio mendengus. Teman macam apa mereka, bukannya membantu
mencari jalan keluar, malah meledek.
”Duhh, sekarang gue butuh saran bermutu buat ngadepin masa-masa
sulit gue. Jangan di kasih ceramah kek.”
Cakka menyedot bubble tea miliknya dan bersiap untuk
memberikan saran. ”Begini saudara, Rio. Lo kan udah terlanjur terperangkap nih,
keluar jelas nggak bisa. Pernikahan lo sama Ify, udah didepan mata. Yo'i nggak,
Vin?” Cakka mengedikkan bahunya pada Alvin, yang dibalas dengan anggukan kecil.
”Tinggal seminggu lagi! So, let it flow aja. Kali aja lo malah ketagihan
tinggal serumah sama Ify.”
Rio mendengus mendengar ucapan Cakka yang dianggap tak
bermutu olehnya.
”Stres gue ngobrol ama kalian. Gue balik duluan deh ya.
Bye!” Setelah meraih kunci mobil miliknya, Rio segera meninggalkan cafe tempat
dimana ia dan teman-temannya biasa menghabiskan waktu, nongkrong.
•••
Seminggu kemudian...
Ify memandang bayangan wajahnya dicermin dengan cemberut.
Cantik sih, tapi tetap saja, absennya lengkungan manis dibibirnya membuat
wajahnya terlihat kurang.
“Kok cemberut gitu sih, Fy? Bukannya seneng. Kan bentar lagi
kalian resmi.” Goda mama yang membantu Ify mengenakan kebaya untuk akadnya.
Ify mendengus. Mungkinkah jujur disaat seperti ini? Ia
menggeleng. Itu bukan tindakan bijak. “Hhh, nggak, ma. Aku cuma..nggak nyangka
aja. Sebentar lagi, aku bakal pisah sama mama.” Ucapnya setengah berbohong.
Mama mengelus sayang rambut Ify yang disanggul. “Duhh, kayak
mau pindah kemana aja. Tetep di Jakarta ini kan?” Mama mencium kening Ify cukup
lama, kemudian tersenyum. “Turun yuk, bentar lagi akad nikahnya dimulai.”
-oOo-
“Behel! Sarapan pagi gue mana?”
Teriakan dengan kata-kata seperti itu sudah menjadi
backsound tetap rumah bergaya minimalis ini, pasca pernikahan itu terjadi.
Terang saja, penghuninya kan memiliki julukan 'tikus dan kucing'.
“Hehh! Lo bisa diem nggak sih? Nggak tau apa kalau gue ribet
sama bahan OSPEK?!” Ify yang memang terlihat ribet dengan segala perlengkapan
OSPEKnya mengomel.
Berbeda dengan Rio yang langsung menghandle salah satu
perusahaan ayahnya, Ify justru memilih untuk melanjutkan kuliahnya. Daripada
garing dirumah sendirian, ya kan?
Rio hanya menaikkan sebelah alisnya. “Itu masalah lo, derita
lo! Tapi hak gue sebagai seorang suami adalah dilayani sang isteri! Jadi mana
sarapan gue?” Ucapnya acuh.
Ify menggeram kemudian berlalu sambil menghentakkan kakinya.
Kemudian dengan kesal ia meletakkan sepiring nasi goreng dihadapan Rio.
“Cuma sepiring? Lo nggak makan?”
“Nggak perlu! Gue buru-buru! Udah ah, gue telat nih. Gue
pergi dulu..” Sahutnya sambil memungut beberapa keperluan OSPEK yang sempat ia
taruh diatas meja makan.
“Assalamu'alaikum..” Ucap Rio dengan nada menyindir saat Ify
hendak berlalu.
Ify menepuk keningnya kemudian berbalik arah. Diraihnya
tangan Rio kemudian di cium. Gini-gini, Ify menghargai Rio sebagai suami yang
harus dihormatinya. Hihiii
“Gue pergi, Assalamu'alaikum!”
“Wa'alaikum salam.” Gumam Rio pelan.
Diam-diam, Rio memperhatikan Ify yang kian menghilang
dibalik ruang tamu. Dalam hati ia bergumam, kapan hubungannya dengan Ify akan
berjalan senormal hubungan suami istri pada umumnya?
Mungkin dulu ia tak memiliki sedikitpun rasa untuk Ify,
kecuali rasa pengen nimpukin Ify yang jahil-oh bukan tapi senang menentangnya
setengah mati, itu juga jaman sekolah. Berbeda dengan sekarang, pasca sebulan
pernikahan mereka, nyatanya Rio mulai menyadari ada satu rasa berbeda yang
hadir dihatinya, untuk Ify. Cinta?
Rio menggeleng pelan, tak sengaja matanya menangkap beberapa
lembar roti yang tersaji dimeja makan. Sambil melirik ke arah dimana Ify
'menghilang', ia mengambil dua lembar roti dan mengoleskan selai
cokelat-kesukaan Ify.
Pak, habis nganter Ify masuk ke
rumah trus ke meja makan yah.
Tolong antarkan bekal yang ada disana untuk Ify.
Send!
-oOo-
“Eh, Fy..”
“Hmm..”
“Apa kabar lo sama Rio?”
Ify yang tadinya sibuk mencatat kontan mengangkat wajah saat
Sivia, sahabat karibnya menyebut-nyebut nama Rio. Ah, dirumah sudah dibikin
susah sama kelakuan Rio yang serba aneh, haruskah di kampus ia juga diribetkan
dengan nama Rio?
“Ya gitu-gitu aja, emang mau gimana?” Jawabnya tanpa minat.
Sivia mendengus. “Ya, lo kan sama dia udah mer---“
“---ssttt.” Ify buru-buru menyela ucapan Sivia sebelum gadis
itu menuntaskan ucapannya. Memang, status Ify yang telah bersuami tidak
dipublikasikan. Kecuali dikalangan keluarga, dan beberapa teman dekat.
Sivia cengar-cengir menyadari kesalahan yang hampir ia
perbuat. “Ups! Sorry-sorry, jadi..lo kan sama dia udah..” Diliriknya
kanan-kiri, “..merried.” Kemudian mengucapkan kata itu dengan sedikit berbisik.
“Nah! Masa nggak ada perubahan? Tetap menjadi kucing dan tikus wanna be. Nggak
bosen?”
Ify menutup buku dan menyimpan pulpennya, kemudian sedikit
membuang nafas.
“Jujur yah, Vi. Gue juga pengen..banget punya kehidupan yang
normal. Rumah tangga yang harmonis, pasangan yang romantis, adem-ayem, bukan
tiap pagi saling teriak ini-itu nggak jelas. Dan tidur dikamar yang terpisah.”
Sivia refleks ternganga mendengar kalimat Ify yang terakhir.
“Lo pisah kamar? Kok bisa?”
“Ya, kita kan nikah sebenernya juga berawal dari
ketidak-sengajaan, tanpa cinta. Jadi ya...”
Sivia masih terbengong-bengong. “Hehh! Gimana juga, dia
suami lo berhak dapetin 'itu' dari lo. Lo isterinya, wajib ngasih 'itu' ke
dia.” Ucap Sivia..hm..agak frontal nggak sih kalau dikantin kampus membicarakan
ini?
“Ihh, itu itu itu apaan sih? Jangan spesifik gitu dong.”
“Ohh, okay. Kembali ke pembicaraan awal, apa lo nggak mau
memperbaiki hubungan kalian? Kalian udah terlanjur masuk ke dalam situasi ini,
mengakhiri bukan jalan terbaik menurut gue, Fy..”
“Jadi menurut lo?”
“Bukan mengakhiri, tapi belajar untuk memulai semuanya dari
awal, agar bisa menjadi lebih baik, bukan membiarkannya benar-benar hancur.”
“Tapi susah, Vi..” Ify meringis kecil, mengingat bagaimana
abnormalnya hubungan yang ia miliki dengan Rio selama ini, apa mungkin?
“Susah bukan berarti nggak bisa kan? Cinta ada karena
terbiasa, masa udah sebulanan ini tinggal se rumah perasaan lo masih benci aja
ke dia?”
Ya...mungkin memang perasaan Ify sudah berubah terhadap Rio.
Bukan lagi benci, tapi..mungkin cinta?
Hanya ia kurang menyadari apa yang ia rasakan.
Perasaan khawatir yang tiba-tiba datang saat mengetahui Rio
belum pulang dari kantor, padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Atau
gelisah, saat Rio yang cukup lama mengurung diri di kamar mandi dengan kondisi
muntah-muntah karena masuk angin.
Semua rasa yang timbul tanpa ia sadari itu tak pernah
sedikitpun ia resapi apa maknanya.
“Jadi?”
Ify mengulum senyum. “I'll try.”
-oOo-
Rio sudah terbiasa dengan sikap cerewet Ify, kebiasaannya
mengomel, sikap acuhnya saat Rio mengganggu, tapi tidak dengan sikap super
manis yang 2 hari belakangan ini ia terima. Ada apa gerangan? Alih-alih membuat
Ify marah, ia justru mendapatkan perhatian luar biasa dari gadis yang telah
menjadi isterinya itu.
Cakka manggut-manggut seolah paham dengan apa yang Rio
ceritakan padanya barusan. Saat ini, ia, dan Alvin memang memenuhi undangan Rio
untuk sekedar ngopi-ngopi disalah satu cafe, disela-sela kesibukan mereka -ia
dan Alvin- yang tak lain sebagai mahasiswa. ”Jadi?”
Rio berdecak, “kok malah lo yang nanya? Mestinya gue! Jadi
gue mesti gimana? Lo ada kepikiran nggak, kenapa tiba-tiba dia jadi super manis
gitu?”
Alvin meletakkan gelas hot cappuchinonya ke atas tatakan
gelas. “Gini, bro. Jadi, my princess Sivia chub---”
“---halah, nggak pake alay gitu berapa sih?” Sela Rio dengan
ekspresi agak aneh. Risih juga mendengar cowok sekeren Alvin yang terkesan cuek
itu berucap demikian.
“Huuu.. Tau deh yang nggak punya panggilan sayang buat
bininya sentiment mulu.“ Ledeknya yang diamini Cakka, kemudian keduanya berhigh
five Ria.
“Bacot lo berdua, udah deh, jadi apaan tadi?”
“Okay, jadi..kemaren Sivia sempet cerita kalau...”
Bla bla bla..
Sebuah cerita mengalir dari mulut Alvin. Soal apa lagi kalau
bukan obrolan antaran Sivia dan Ify di kantin beberapa hari yang lalu.
Cakka menepuk pundak Rio dengan tiba-tiba, membuat pria itu
refleks mengumpat sambil mengelus dada. “Tuh, bro..Ify aja mencoba berubah buat
kalian, kenapa lo nggak?”
“Hhh, sebenernya...dari pertama kali gue tinggal serumah
sama dia, perasaan gue juga udah mulai beda kali ke dia.”
“Beda gimana?”
Rio mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja. ”Ya beda,
jadi...em, cinta mungkin?” Sahutnya sambil mengangkat bahu. “Tapi ya gitu, gue
gengsi juga lah, Ify nya aja gitu.”
“Cupu lo..“ Ledek Cakka.
Alvin mengangguk. “Yoi, man! Cowok sejati itu berani berkata
iya, nggak malu mengaku cinta, man..”
“Hidup cowok gantle!”
Rio mendelik, “apa sih lo Kka? Gaje amat.”
“Jadi, lo sekarang mau gimana?”
“Menurut kalian?”
“Shoot her!” Jawab Cakka dan Alvin bersamaan.
“Dia kan udah jadi isteri gue..“ Sahut Rio gemas.
“Halah, merried nggak sengaja juga. Tanpa cinta... Yang ini kan,
lo nyatain perasaan, demi kesejahteraan hidup kalian juga. Yoi nggak, man?”
Ujar Cakka melirik Alvin dengan satu tangan terangkat. Alvin menyambut tangan
Cakka yang mengajak toas itu sambil mengangguk.
“Yongkru... Tunjukan kejantananmu!” Ucapnya sedikit berseru.
“Kata-kata lo ambigu, sipit!” Sahut Rio sambil menggeplak
kepala Alvin.
Hhhhh, rasanya Rio mau buru-buru kabur dari cafe ini. Karena
ucapan Alvin barusan membuat banyak pasang mata melirik ke arah mereka. Ambigu
sih...
-oOo-
Rio mondar-mandir didepan pintu kamar. Ia sedang menanti
sang isteri yang sampai sekarang belum juga pulang kuliah.
Sedikit perasaan khawatir mengisi hatinya. Memang ini bukan
kali pertama Ify pulang terlambat, tapi entah mengapa, yang kali ini membuatnya
tak tenang.
“Den! Den!”
Rio buru-buru mencari arah suara Bik Nah yang menyerukan
namanya. Hingga akhirnya, sosok sang empunya nama muncul bersama gadis yang
sedari tadi ia cemaskan.
Sedikit kaget melihat keadaan gadis itu tak baik-baik saja,
Rio segera berlari menghampirinya.
“Ya ampun, Ify... Lo kenapa?”
Buru-buru Rio mengambil alih tugas Bik Nah dan mendudukkan
Ify di sofa, sementara Bik Nah berlalu mencari kotak P3K.
Ify meringis sambil memegangi salah satu kakinya yang mati
rasa dibagian atas, tapi cukup nyilu dibagian tumit, hm, juga terluka --yang
tidak besar tapi juga tidak kecil-- disana.
“Sshhh, sakit, Yo..”
Rio panik, ia mencari-cari Bik Nah yang belum kembali.
“Hahh? Iya sebentar. Bik! Bik! Kotak P3Knya mana?!”
Tergopoh-gopoh Bik Nah menyerahkan kotak putih ditangannya
kepada Rio.
“Bikinin Ify teh hangat, Bik.” Suruh Rio setelah menerima
kotak teresebut. Tanpa menjawab, Bik Nah segera berlalu meluluskan perintah
majikannya.
“Kok bisa gini?”
“Sshh, ta..tadi, aduhh..”
“..so sorry..”
“Tadi, gue ke serempet di perempatan, yang bawa kendaraan
ngebut lagi. Aw!” Ify refleks mencengkram kuat pundak Rio karena kesakitan. Rio
sendiri hanya bisa menjerit tertahan karena kuku-kuku tajam Ify yang menancap
dipundaknya.
“Lo jalan kaki? Kenapa? Pak Man---”
“---lo lupa? Apa emang nggak tau? Pak Man lagi cuti, dan lo!
Suami yang mestinya menjaga isteri malah nggak ada perhatiannya sama sekali!
Gue kuliah ngojek, pulang nggak dijemput. Tega banget sih?!” Ify mulai mengomel
dengan air mata yang tanpa sadar membasahi wajahnya.
Ditengah rasa sakit karena luka di kakinya, ia juga kecewa
mengingat sikap Rio yang tak ada perubahan sama sekali padahal ia telah berbuat
banyak demi memperbaiki hubungan mereka.
“Maaf..” Sahutnya lirih.
“Maaf?! Kalau lo emang bener-bener ngerasa nggak bisa
jalanin ini semua sama gue, lo bilang sama orang tua gue, biar kita selese
sekarang! Lo pikir gue nggak capek ngadepin lo?!”
Rio terdiam. Perasaan bersalah itu mengisi hatinya. Ini
memang salahnya, kenapa rasa gengsi itu tak mau berkompromi dengan rasa
cintanya untuk Ify?
Dengan tenang Rio membawa Ify ke dalam pelukannya.
“Maaf..”
Ify masih sesenggukan dalam pelukan Rio. Ia sendiri tak
mengerti kenapa tiba-tiba ia jadi hilang kendali seperti tadi.
“Gue udah berusaha merubah semuanya. Gue mencoba untuk
memperbaiki keadaan ini. Tapi kenapa lo nggak mau bekerja sama untuk itu? Untuk
kita?”
Hening. Rio tak berniat menjawab, hanya tangannya yang terus
bergerak teratur mengusap punggung Ify.
“Gue pengen punya rumah tangga yang harmonis, suami yang
romantis, kita bisa saling care, bukan ribut tiap hari. Tapi kenapa lo nggak
mau ngerti?”
“Ssttt.. Maaf, Fy. Gue yang salah. Gue yang terlalu gengsi.“
Ucap Rio sambil membelai lembut rambut panjang Ify. “Gue..gue cinta sama lo...”
Ucapnya lirih namun terdengar tulus.
Hening. Selain isak tangis Ify, dan hembusan nafas keduanya,
tak ada lagi yang terdengar.
-oOo-
”Lo jawab apa?”
Ify menggeleng sambil menggigit bibir bawahnya sebagai
jawaban untuk pertanyaan Sivia.
Pagi-pagi sekali Sivia memang telah menampakkan batang
hidungnya dirumah Ify. Gadis itu memilih bolos kuliah dengan alasan solidaritas
karena Ify yang terpaksa izin karena sakit.
Ify yang melihat kehadiran Sivia jelas dengan senang hati
menerimanya, kemudian mengajaknya duduk santai bersama di ruang tengah dengan
segelas syrup dan setoples cookies untuk menjadi teman sharing mereka. Dengan
senyum merekah Ify menceritakan insiden kecelakaan yang menimpanya, dilanjut
dengan kemarahannya--yang membuat ia meluahkan segala unek-uneknya terhadap
Rio. Termasuk pula, pernyataan cinta Rio yang membuatnya terdiam.
“Kok nggak?”
“Eung, ya habis gue speechless. Lagian, masa iya dia bilang
gitu langsung gue sahutin kalau gue juga cinta sama dia? Aneh kali.”
Sivia meringis. “Itu bukan hal yang aneh bagi dua insan yang
sedang jatuh cinta.” Ify hanya terkekeh sambil mencomot salah satu cookies.
“Jadi, lo udah damai? Udah tidur se kamar?” Tanya Sivia
iseng.
Ify yang tengah mengunyah cookies jadi tersedak, dengan
panik ia meraih gelas syrup miliknya. “Gila lo!”
“Dihh, gue ngasih pertanyaan yang normal kok.“ Sahut Sivia
sambil tertawa. “Jadi gimana? Udah?”
”Belum. Hhh, gue bingung gimana mulainya. Masa tiba-tiba gue
ngajak dia tidur dikamar gue? Kan aneh. Atau malah dia bakal mikir kalau gue
agresif lagi. Hiii..” Ify bergidik.
Dalam hati Sivia mengeluh, agresif dengan suami sendiri
bukan suatu hal yang aneh deh.
“Emh, gini aja. Besok tanggal 24, ultah Rio kan?“ Ify
mengangguk. “Jadi...” Dan Sivia mulai membisikan suatu rencana untuk ulang
tahun Rio.
“Tapi, dia kan pulang paling lama jam 10, belum tanggal 24
dong..”
“Bukan masalah. Ntar gue suruh Alvin yang handle. Bereskan?”
Jawabnya santai.
Ify mengangguk paham. “Jadi, kapan lo sama Alvin nyusul
gue?” Tanya Ify kemudian sambil menyeringai jahil. Sivia melotot sambil
mendaratkan majalah ditangannya dipundak Ify.
-oOo-
Rio mengernyit heran saat mendapati pintu rumahnya dalam
keadaan tidak terkunci. Padahal semua lampunya sudah mati. Mencoba berpositif
thingking, mungkin Ify atau Bik Nah lupa mengunci pintu, pikirnya.
Dengan mata merem-melek, ia berjalan meniti tangga satu
persatu.
Ketika tangannya menyentuh handle pintu kamar, Rio
menggerakkan kepalanya untuk melihat pintu kamar Ify yang terkunci.
Diurungkannya niat untuk masuk kamar, dan melangkah menuju
kamar Ify.
Cklek..
Kosong.
Kamar Ify yang nampak rapi dengan penerangan yang minim,
membuat dahi Rio berkerut bingung. Kemana Ify? Ia melirik arloji ditangannya.
Hampir jam 12 malam, kurang 10 menit.
Masa iya di kamar mandi?
Merasa gerah, ia menunda niatnya mencari Ify untuk mengganti
baju di kamar.
Keras.
Entah kenapa pintu kamarnya seolah terkunci. Aneh, Rio sama
sekali tak pernah mengunci kamarnya. Dicobanya berkali-kali, hingga denting jam
12 malam berbunyi, pintu itu pun terbuka dan....taraaaaa
“Happy b'day to you...happy b'day to you..happy b'day, happy
b'day, happy b'day to you....”
Pemuda itu masih terkesima di tempatnya. Dihadapannya ada
Ify, gadis yang kurang lebih 3 bulan terakhir ini menjadi isterinya, tengah
berdiri dengan sebuah kue bertahtakan lilin dengan angka 19 di atasnya. Yang
lebih membuatnya terkejut, Ify menggunakan..lingere?
“If..fy?” Ucapnya dengan nada bertanya.
Ify tersenyum lebar. “Surprise!” Teriaknya. “Sini dong!” Suruhnya.
Dengan ragu Rio memasuki kamarnya dan menghampiri Ify.
“Kamu...”
“Make a wish dulu, baru ngomong.” Sela Ify sambil
menyodorkan kue ulang tahun dengan lilin yang masih menyala.
Rio menurut, dengan mata terpejam, ia melafalkan doa dalam
hati. Kemudian meniup lilin itu dengan pelan.
Ify meletakkan kue ulang tahun itu kemudian bertepuk tangan.
“Kamu kok...”
Ify tersenyum kikuk. Mendadak ia juga bingung bagaimana
harus menjalankan rencana Sivia tadi siang. “Eung..ya? Kamu nggak suka aku
kasih kejutan?”
Rio menggeleng, tangannya justru menggaruk keningnya karena
bingung. “Tapi kenapa?”
Ify memilin-milin ujung gaun tidurnya. “Kan kamu ultah.”
Jawab Ify seadanya.
Rio menatap Ify dengan seksama, dari atas hingga ke bawah.
Duh, tiba-tiba Ify tersadar dengan apa yang ia kenakan.
Sebuah lingere. Meskipun faktanya Rio adalah suaminya, tetap saja rasa malu itu
ada. Apalagi, Rio belum pernah melihatnya dalam kondisi seperti ini sebelumnya.
“Eung..”
Rio menaikkan sebelah alisnya menanti ucapan yang akan
keluar dari bibir Ify.
“Ak..aku..”
Diam-diam pemuda itu mengulum senyum, mulai mengerti dengan
apa yang Ify rasakan. Bermaksud membuat Ify lebih rileks, Rio menuntun bahu Ify
agar tubuh gadis itu terduduk diatas tempat tidurnya.
Ify menurut tanpa perlawanan.
“Kamu beda banget sih hari ini..”
Ify meringis dalam hati. Entah sejak kapan keduanya mulai
ber aku-kamu, tapi yang jelas, dalam situasi remang-remang, kondisi berbusana
Ify yang..emh itu, membuat Ify jadi canggung sendiri.
“Eung, boleh aku tau wish kamu apa?”
Rio mengernyit, “kenapa?”
“Nggak boleh tau yah?”
Rio berdehem, ia memajukan tubuhnya, membuat reaksi menegang
ditubuh Ify yang mulai berpikir macam-macam.
Rio menahan tawanya, mengapa malam ini Ify terlihat polos
sekali?
“Aku berharap, malam ini, esok dan seterusnya kamu tetap
disini, disampingku.” Bisiknya lirih.
Dengan susah payah Ify meneguk salivanya. Lirih, tapi pasti,
membuat kedua pipinya merah merona dalam remang cahaya kamar.
“Ak..aku..”
“Ya?”
“Aku mencintaimu, Rio...”
Rio terkejut. Okay, mungkin ia sudah tau bagaimana perasaan
Ify -berdasarkan laporan yang Alvin terima dari Ify-. Tapi, begitu mendengar
langsung pernyataan itu dari bibir Ify, tak bisa dipungkiri perasaannya menjadi
meletup-letup karena bahagia.
”Kamu serius?”
Ify mengangguk malu-malu. Dengan cepat Rio menarik Ify ke
dalam dekapannya. Diciumnya puncak kepala Ify berulang kali.
“Jadi, kita benar-benar akan menjadi suami isteri yang
sebenarnya?” Tanya Rio lagi. Ify hanya mengangguk.
“Jadi, kita bisa menjalani kehidupan berumah tangga sebagai
mana mestinya?” Lagi-lagi Ify mengangguk.
“Jadi, aku boleh tidur bersamamu dan menagih hakku?“ Ify
nyaris mengangguk setelah akhirnya sadar dengan pertanyaan Rio. Ia refleks
menggeleng cepat. Namun Rio memilih tak perduli, dan menahan Ify dalam
dekapannya, diatas tempat tidurnya...
Okay, mungkin benar tom and jerry selalu bertengkar. Tapi
mereka selalu bersama kan?
--- FIN ---
Gue kangen nulis!
Ini sumpah gaje, kacau abis! Nggak tau juga gue kenapa nulis
cerita begini, garing yak? Gatau deh kayaknya kurang nendang ahahaa
Hufttt, tinggalkan komentar dan kritik kalian tentang cerita
ini yah...
#muchlove!
@niyaaarasyied
Visit : http://niastevania.blogspot.com