A homepage subtitle here And an awesome description here!

Rabu, 29 Februari 2012

-- Memories -- Part 9

-- Memories --

Part 9


"Hahhhh?!!" Shilla, Zahra dan Angel terkejut berjama'ah. Tuhkan...apa ku bilang, malu kan jadinya. Entahlah sudah jadi apa muka ku saat ini.

"Iiihh..tapi nggak jadi tau~" ralatku cepat.

"Lho kenapa nggak jadi?" tanya Angel.

"Yaa..abis malu~"

Shilla menepuk jidatnya. "Ngapain malu sih Fy, ayo deh kita temenin!" ajak Shilla, ia mulai menarik-narik tanganku.

"nggak, nggak, nggak! Gue nggak jadi, gue malu tau.." tolak ku sambil menarik tanganku yang ditarik paksa oleh Shilla.

"Aduhh..nggak usah malu, kita temenin, ayo guys!" Shilla ngotot, ia kembali menarik tanganku diikuti yang lainnya.

Sumpahhh..aku malu..malu banget..jarak antara kantor guru dan kelas Rio yang tak begitu jauh membuat detak jantungku semakin keras, lompat sana sini nggak karuan. Oh God..help me please! Aku meronta kecil berusaha melepaskan cengkraman kuat dari tangan Shilla dan Angel. Sedangkan dibelakangku, ku dengar Zahra dan Sivia terkikik melihat tingkahku.
Habis....sudah! Kini aku, Shilla, Angel, Zahra dan Sivia sudah tiba tepat persis didepan kelas Rio. Untungnya Rio nggak ada, ehhh bukan nggak ada, ternyata Rio sedang berada dikelas bersama teman-temannya merapikan bangku. Cowo yang baik, gumamku tanpa sadar.

"Eh Yon! maaf-maafan dulu nih.." ujar Shilla pada Sion sambil mengulurkan tangannya, Angel, Zahra dan Sivia mengikuti. Ku lihat Angel biasa saja menghadapi Sion, hummm baguslah sepertinya rasa kecewa Angel atas insiden valentine -nembak malam valentine putus dihari valentine- tahun lalu itu sudah menghilang.

"Rio ada nggak, Yon?"‎​‎​​‎​ tanya Shilla to the point. Ingin rasanya aku mencubit lengan, perut, pinggang atau apa sajalah yang penting Shilla membatalkan ucapannya tapi sayang terlambat. Sion yang sedang asik memainkan sapunya berseru keras dengan kepala sedikit mengintip kedalam kelas.

"Rio....ada yang nyariin!" serunya, aku semakin tak tahan. Beneran nggak bo'ong, saat ini keringat dingin mulai mengucur dikedua telapak tanganku dan aku yakin saat ini muka ku sudah semakin pucat. Bukan karna sakit tapi saking groginya aku jadi pengen pipis...lho?

"Eh ada apa?" tanya Rio dengan senyum ramahnya. Oh Tuhan...rasanya aku mulai nggak sanggup, aku ingin lariiiii....

"Eh Yo, Ify pengen minta maaf nih sama loe.." ujar Shilla, lagi-lagi to the point. Ya Tuhan...segampang itu Shilla mengutarakan semuanya, nggak tau apa orang lagi sport jantung?!

Aku merasakan sebuah senggolan ditanganku Shilla rupanya, ia mengedip-ngedipkan matanya memberi isyarat agar aku segera mengulurkan tangaku. Aku melirik Rio dengan ekor mataku, sepertinya ia sedikit terkejut, bingung, heran, aneh dengan kehadiranku. Tapi kalau boleh aku berharap, aku harap dia senang dengan kehadiranku saat itu....ahahaaa..mau saya itu!

Dengan perlahan ku ulurkan tanganku. "Eee..emm Yo, gue minta maaf kalau selama ini gue ada salah sama loe.." ucapku cepat dengan sedikit terputus-putus. Pengaruh gugup, siapa sih yang nggak nervouse kalau berhadapan dengan orang yang selama ini sengaja dijauhi? Sehingga menciptakan jarak yang begitu luas, menyebabkan dua insan yang pernah berteman bagai tak saling mengenal.

Rio membalas uluran tanganku. Senyum tipis terkembang dibibirnya. "Iya..nggak papa kok." jawabnya. Oh God! I'am  serious! Saat ini aku merasa hatiku berdebar-debar, jantungku semakin cepat berdetak...benar-benar tak ku sangka, ku rasa aku mulai jatuh cinta padanya, pada Rio....

"Cieeeeee....Ify...Rio~" koor anak-anak kelas XIa -kelas Rio-. Aku hanya bisa tersipu malu-malu dan rupanya Rio pun mengalami hal serupa....ahahhaaa
Bertepatan dengan sorakan itu, aku langsung menarik cepat tanganku dan berlalu meninggalkan kelas itu, kelas yang menjadi saksi bahwa aku masih punya hati. Tanya kenapa? Karna aku punya keberanian untuk menyampaikan maafku dan pastinya aku bisa menyadari atas segala sikap ku yang sangat salah kepada Rio. Sebelum benar-benar pergi tak lupa ku berikan sebuah senyuman -yang ku harapkan- manis untuk Rio, meski aku tau itu sangat terlihat kaku. Ku lihat Rio justru tersenyum malu dengan tangan kanan yang sibuk menggaruk-garuk tengkuknya.
««

Lagi-lagi hanya tawa kecil yang hadir dari mulutku saat mengingat tingkah konyol ku waktu itu. Jujur aku merindukan saat itu, saat dimana untuk pertama kalinya aku menjabat tangan Rio dengan perasaan deg-deg-an dan ucapan dengan intonasi yang lebih lembut, yang tiba-tiba saja ku ucapkan tanpa sadar.
Aku melirik jam dinding yang tergantung rapi didepan kelas, diatas papan tulis. Seingatku saat aku dan teman-teman menghuni kelas ini, kami meletakkan jam dinding di dinding belakang. Alasannya simple, supaya kami tidak gelisah saat menanti pergantian jam pelajaran. Soalnya kami biasanya suka grasak grusuk sendiri pada saat jam pelajaran yang berlangsung adalah pelajaran yang membosankan, Ekonomi misalnya. Oke, aku rasa soal perpindahan lokasi jam itu tidak penting. Lebih baik aku segera kembali berkumpul bersama teman-temanku di aula. Kira-kira aku sudah melewatkan berapa acara yah?

-----

Lepas dari itu semua, tiba-tiba saja saat langkahku semakin dekat dengan aula aku berpapasan dengan Iyel. Tatapan itu.....huhhh lagi-lagi aku terjebak dalam tatapan menghanyutkan seorang Gabriel.
Pertanyaan itu muncul kembali, benarkah Gabriel pernah menyukai ku? Lantas apakah ia masih memiliki rasa itu?
Untuk pertanyaan terakhir sudah bisa ku pastikan jawabannya adalah tidak. Karena setauku, semenjak dia masuk SMA dia telah memiliki seorang pacar bernama....sorry aku nggak tau siapa namanya, karena memang gadis itu bukanlah temanku.
Tatapan teduh Iyel itu kembali mengingatkan ku pada senandung kecil yang dibawakan Iyel tepat pada saat aku lewat dihadapannya dulu....
»»

Aku melewati kantor guru dengan sedikit tergesa-gesa. Hari ini aku mendapat jadwal piket, jadi aku ingin cepat-cepat tiba dikelas dan memulai tugasku. Namun baru saja aku akan melewati kantor guru, sebuah suara menarik perhatianku.

"Ketika ku melihatnya bergetar rasa didada...mungkin ini suatu pertanda bahwa kusuka padanya~" Iyel menyenandungkan lirik itu tepat pada saat aku berjalan dihadapannya. Awalnya sepasang mata itu terlihat menatap mading tapi ketika aku berjalan melewatinya ia menyempatkan untuk tersenyum yang menurutku...ehm manis..
Bahkan ketika jarak antara kami mulai terpisah beberapa langkah, aku yang sedikit menoleh ke belakang sempat menangkap sepasang matanya yang terfokus pada ku. Masa iya hanya perasaanku saja?

Oh Tuhan...maksud Iyel apasih?
««

Aku tersadar dan menggelengkan kepalaku. Membuang jauh sedikit kenangan yang kembali menyeruak kepermukaan otak ku. Sedikit terkejut, ketika ku lihat Iyel telah berdiri disampingku dengan posisi tubuh menyender pada dinding ruang LAB IPA.

"Eh Iyel, kok disini?" tanyaku basa-basi, huhh sangat basi malah.

Iyel terkekeh, ada yang aneh? "Nggak papa, gue liat loe lagi ngelamun sendiri, jadi gue temenin deh.." ucapnya santai, aku jadi mesem-mesem sendiri, seneng sih. What? Aku ngomong apa barusan...

"Eh gitu yah, kalau gitu gue balik ke aula dulu yah." Aku berniat pamit, baru selangkah membelakangi Iyel aku berbalik. "Mau bareng?" ajakku.

Aduhh..bodohnya diriku, ngapain pake ngajakin dia segala sih?

Iyel tersenyum dan menggeleng. "Gue mau ke toilet aja, dahh!" Iyel pergi setelah melambaikan tangannya. Huhh...aku tak habis pikir disaat dia ingin ke toilet masih sempat-sempatnya dia menemaniku yang sedang melamun....orang aneh

-----

Aku mengedarkan pandanganku ke segala penjuru ruangan aula. Mencari 4 sosok sahabat yang sedari awal bersamaku. Itu dia....mereka sedang berkumpul disalah satu sudut ruangan paling depan, persis didekat panggung. Aku segera menghampiri mereka yang mungkin sudah lama menungguku....hemm mungkin sih..ehehee

"Woyyy!!" aku menepuk pundak Shilla yang kebetulan membelakangiku.

Shilla kaget dan langsung menoleh, begitu melihat tampangku ia langsung merengut kesal. "Seneng banget sih ngagetin orang.." sungutnya.

Aku nyengir. "Bukan seneng lagi tapi hobby.."

"Darimana aja neng, lama banget nggak nongol-nongol?" tanya Sivia yang sedang meminum orange juice ditangannya.

"Ke gedung belakang sama ke kelas-kelas kita dulu." jawabku seadanya.

Zahra kayankya heran, keliatan sih dari tampangnya. "Sendiri?" tanya nya, aku mengangguk. "Ngapain?" tanya nya lagi. Aku diam sebentar kemudian menggeleng. Masa iya aku bicara terus terang kalau aku habis bernostalgia disana, ngga mungkin kan?

Aku menggeleng. "Nggak ngapa-ngapain." jawabku yang tentu saja berbohong.

"Gila aja loe, keluar dari sini dari hari cerah sampe hujan terus cerah lagi, tapi bilang nggak ngapa-ngapain disana?" tanya Angel lagi, aku hanya mengangguk kecil. "Nggak mungkin deh.." sambungnya tak percaya.

Aku menyeringai lebar. "Hehee..udah ah nggak usah dibahas!"

"Eh tapi gue seharian ini nggak da ngeliat Alvin lho~" ucap Shilla dengan nada yang emmm menurutku dibuat-buat, belum lagi tatapannya yang tepat menatapku. Pasti nih niatnya ngegodain aku.

Aku mendelik, sok garang. "Apa liat-liat?"

"Idihh..Ify GR nih...gue nggak ngeliatin lo juga.." elak Shilla, yang kemudian menjulurkan lidahnya. Huuuu...udah ketauan juga masih aja bo'ong.

"Masih suka sama Alvin, Fy?" tanya Sivia mewakili yang lainnya, ku lihat 3 temanku yang lain mengangguk-angguk mendengar pertanyaan Sivia.

To be continue



Selasa, 28 Februari 2012


Rabu, 15 Februari 2012

-- Memories -- Part 8

-- Memories --

Part 8


"Lupa loe, neng? Kisah gue ama Dayat tuh udah game-o-ver-!"

Aku baru ingat kalau dua hari yang lalu tepat sehari setelah Dayat berulang tahun, Sivia dan Dayat memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Alasannya menurutku sepele tapi entahlah...bagiku keduanya sama-sama salah. Aku menyimpulkan itu semua berdasarkan....
»»

"Oke...kalau emang loe ngerasa Sivia kaya gitu sama loe, tapi bukan berarti loe bisa jadian ama si Iley, kan?" komentar ku setelah mendengar penjelasan Dayat. Kebetulan saat ini aku hanya bertiga dengan Dayat dan Lintar. Sedangkan Sivia, Shilla, Zahra dan Angel sedang mengikuti penyuluhan -lagi- sebagai anggota PMR.

"Ya..karena dengan Iley, gue bisa ngerasain apa yang emang pengen gue rasain Fy." jawab Dayat, Lintar hanya diam mendengarkan pembicaraanku dengan Dayat. Sumpahhh...alasan Dayat buatku terlalu childish, hanya karena Sivia selalu menolak ajakan Dayat untuk mengantarkannya pulang -dengan alasan malu, yang ku anggap wajar untuk anak SMP yang baru pacaran- Dayat memilih untuk selingkuh dengan Iley, adik kelasku yang masih kelas VII.

"Please yah, Day, gue cuman mau loe bisa berpikir lebih dewasa. Rumah Sivia tuh deket nggak nyampe 10 menit juga dari sekolahan, jadi kalau dia nolak ajakan loe buat pulang bareng wajar, kan? Lagian kalau Sivia pulang bareng loe, gue pulang bareng siapa?"

"Ya okey..gue salah tapi Sivia juga salah dong, kenapa kalau Iyel yang ngajak dia nggak nolak? tapi giliran gue yang ngajak selalu nolak.."

Aku terdiam, kalau begini kesalahan memang bukan hanya pada Dayat tapi juga Sivia.

"Tapi..semestinya loe ajak dia ngomong baik-baik, bukannya malah selingkuh gini, sama ade kelas pula.." aku menghela nafas sebentar. "Dan loe tau? Hanya karna ini gue pastiin Iley bakalan dibenci sama anak kelas 3 terutama gue, Shilla, Zahra dan Angel!" ujarku lagi. Aku punya alasan kenapa aku berkata seperti itu. Karena memang pada dasarnya setiap senior tidak menyukai dengan junior yang sok-sok-an, kan? Apalagi kalau kasusnya seperti ini. Menjadi orang ketiga dalam hubungan salah satu best couple disekolah, di tambah lagi Iley jelas tahu betul kalau Dayat dan Sivia masih berhubungan...

"Jadi gue harus gimana?" Dayat menunduk kan kepalanya, kasihan juga melihatnya seperti itu. Aku tahu, sebenarnya yang Dayat rasakan adalah 'hambar' nya hubungan yang terjalin diantara ia dan Sivia. Sivia yang kurang perhatian, padahal Dayat selalu berusaha mengerti semua keinginan Sivia. Dia nggak pernah melarang Sivia untuk dekat dengan pria mana pun. Sedangkan Sivia selalu cemburu tiap Dayat terlihat dekat dengan salah satu murid perempuan dikelasku.

Lintar menepuk-nepuk punggung Dayat. "Makanya Day, kalau ngambil tindakan dipikir dulu dong.." ujarnya halus, aku mengangguk membenarkan perkataan Lintar.

"Iya..gue tau gue salah, terus masa iya gue harus jujur sama Sivia kalau gue pacaran sama Iley?" tanya nya, ia terlihat putus asa.

"Kalau emang itu yang terbaik, why not? Lebih baik, Sivia tau sekarang dari mulut loe daripada dia tau belakangan dari mulut gue atau mulut yang lainnya.." ujarku berusaha bijak, entahlah tapi ku rasa apa yang aku ucapkan adalah keputusan yang benar.

"Tapi, apa Sivia nggak sakit hati nanti?"

Aku dan Lintar saling menatap satu sama lain, sama-sama bingung untuk memberikan solusi yang benar-benar aman untuk Dayat dan juga Sivia.

"Sivia bakalan lebih sakit hati lagi kalau kelamaan lo bo'ongin Day." ujar Lintar akhirnya.

"Gini deh Day, kita udah kasih solusi yang menurut kita baik tapi semua balik lagi ke elo, elo yang berhak nentuin ngikutin saran kita atau ngikutin kemauan loe sendiri.." aku menatap Dayat tajam berharap apa yang aku sampaikan dicerna baik olehnya. "Dan apa pun keputusan loe, gue dukung, selagi itu nggak ngebuat Sivia lebih sakit hati lagi." sambungku.

Lintar menyela ucapanku. "Yahh..gue setuju sama pendapat Ify!"

"Satu hal yang harus loe inget, jangan sampai keputusan yang loe ambil itu bakalan buat loe menyesal nantinya, jadi pikirin dengan baik.." lanjutku lagi, kemudian menepuk pundaknya sebentar dan pergi bersama Lintar meninggalkan Dayat sendiri didalam kelas...
««

Aaahhhh...aku jadi merasa bersalah pada Sivia jika mengingat itu. Karena tanpa ku sadari, aku sama saja telah membantu Dayat untuk membohongi Sivia, aku membiarkan Dayat berselingkuh dibelakang Sivia.
Sivia.....forgive me please!

"Sorry yah, Vi..." ucapku setelah mengingat itu semua, Sivia terlihat mengerutkan keningnya.

"Buat?"

"Karena sebelumnya kan gue udah tau kalau Dayat selingkuh tapi gue malah--"

Sivia memotong ucapanku. "Udahlah Fy, semua mungkin emang salah gue. Sekarang kita nggak usah mikirin itu lagi oke?" pintanya, aku mengangguk setuju. Huhhh setidaknya aku bisa melupakan Alvin sebentar.

"Ya udah, kita ke lapangan depan aja yuk, ngeliat Iyel main basket, Rio juga ikut main lho~" goda Sivia, ia menyenggol pelan lenganku. Tanpa ku minta rona-rona merah menyembul di pipiku...ehheee engga deh, bo'ong. Mana aku tau pipiku merona atau ngga...

"Ihh..apadeh lo Vi~"

Sivia tertawa. "Ahahaa...se-nggaknya, biar nggak dapet Alvin kan, loe dapet Rio.." ujarnya, kemudian berjalan meninggalkanku.

"Siviaaaaaa!" seruku sambil menyusulnya.

Sesampainya di lapangan basket..

"Udah deh, nikmatin tuh permainannya Rio, daripada diem dikelas bikin sakit hati.." aku mengangguk membenarkan perkataan Sivia.

Wawwww..ternyata Rio memang keren.
Hello...kemana aja loe Fy sampe baru sadar kalau Rio itu keren?

Dia tersenyum, aku tak salah lihat, Rio tersenyum kikuk kearahku, agak canggung mungkin....dan aku membalasnya dengan kikuk juga. Bayangkan! Sudah lebih dari 2 tahun aku tak pernah bertukar senyum dengannya....ahahaa, aneh..

-----

Hemmm...aku mulai merasa kalau selama ini aku sudah memiliki terlalu banyak kesalahan pada Rio, dengan sikapku yang terlalu....entahlah terlalu apa, yang jelas itu bukanlah prilaku yang benar.
Masa hanya karena Rio menyukaiku, aku menjauhinya dan memusuhinya hingga kami kelas 3? Silahkan kalian hitung sendiri, berapa lama aku memusuhinya hanya karna persoalan sepele....

'Rio...aku minta maaf!'

Apalagi semenjak kelulusan aku tak pernah bertemu dengannya. Pernah sih, kalau kebetulan dia lagi nongkrong dirumah Iyel. Kebetulan rumahku dan Iyel berdekatan, tapi biasanya aku hanya berani mendengar suaranya bukan menatap wajahnya.

Ya ialah...bagaimana aku bisa menatap wajahnya kalau setiap aku ingin -diam-diam- mendengarkan suaranya, aku hanya duduk manis diteras rumahku bukan didepan rumahnya Iyel.
Aku jadi ingat, saat dengan susah payah aku mengumpulkan keberanianku untuk meminta maaf pada Rio. Saat itu.....
»»

Hari ini adalah hari jum'at dan besok sabtu, besoknya lagi minggu. Semua orang juga tau...tapi bukan itu yang ku maksud. Itu artinya hari ini adalah hari terakhir aku sekolah dalam keadaan lebih tenang, karena senin depan aku akan melaksanakan UAN sedangkan besok aku masuk sekolah hanya sekedar untuk mengecek dimana ruangan ujianku dan dimana aku duduk nantinya.

Seperti biasa setiap jum'at pagi, sekolah ku selalu melakukan senam pagi berjama'ah. Berhubung hari ini seluruh jam pelajaran dikosongkan, maka selepas senam akan diadakan jum'at bersih alias bersih-bersih massal. Huhhh...melelahkan pastinya, keluhku dalam hati.

"Akhirnya....selesai juga kerjaan kita!" ujar Zahra yang langsung menghempaskan tubuhnya di pelataran kelas. Aku, Shilla, Sivia dan Angel ikut mengistirahatkan diri disamping Zahra.

"Sekarang kita ngapain nih?" tanyaku pada salah satu diantara mereka. Semua nampak berpikir.

"Aha! Kita minta maaf aja gimana?" usul Shilla.

Alis ku bertaut, bingung tak mengerti dengan maskud ucapan Shilla. "Maksudnya?" tanyaku dengan tampang polos.

"Ya elah Fy, kaya zaman SD itu lho kan pas mau ujian kita maaf-maaf-an gitu sama guru-guru, adek kelas, ya minta doain juga sama mereka sekalian biar kita bisa lulus." ujar Shilla, menjelaskan.

"Boleh!"

Akhirnya kami berlima mulai mengitari seluruh penghuni sekolah satu persatu. Dimulai dari kantor guru, kami menyalami satu persatu guru yang berada disana, memohon ridho supaya kami bisa mengerjakan soal ujian dengan baik. Kali aja ada salah satu guru yang punya dendam kesumat sama kami berlima, who knows?
Biar kata aku dan teman-temanku termasuk murid yang patuh, tetep aja kan nggak ada yang tau kalau ternyata tanpa kami sadari, kami sudah membuat guru-guru jadi memendam rasa tak suka terhadap kami.

Aku, Shilla. Sivia, Zahra dan Angel telah selesai menghampiri guru-guru dan ini saatnya kami menghampiri adik-adik kelas kami yang berada digedung sebelah. Lelah juga rasanya setelah sekian lama tidak menginjakkan kaki digedung ini -gedung waktu aku kelas satu-. Ternyata tidak banyak perubahan, hanya saja kelas pada lantai dua yang biasanya dibiarkan kosong kini sudah mulai digunakan. Aku dan yang lainnya mulai meniti satu persatu anak tangga untuk bermaafan dengan adik kelas kami yang berada dilantai atas. Selain itu menurut kabar wali kelas kami juga berada disana. Pantas saja saat tadi kami mencari beliau, kami sama sekali tidak menemukannya...

Aku menduduk-kan diriku disalah satu kursi yang terjejer didepan kantor guru, dengan kaki yang kubiarkan terbentang kedepan aku mulai menyenderkan kepalaku pada sandaran kursi.

"Huhhh..pegel kaki gue.." keluh Shilla sambil memijit-mijit kakinya.

"Iya nih, berasa banget deh gempornya." tambah Zahra.

Tiba-tiba Sivia memutar badannya yang semula menghadap lapangan menjadi kehadapanku. "Loe nggak jadi ngejalanin rencana lo Fy?" tanya nya.

Aku mengernyitkan dahi, heran. "Rencana? Rencana apa?" tanyaku dengan tampang polos. Entahlah..aku sendiri bingung dengan rencana yang dimaksudkan Sivia. Atau aku yang lupa?

"Ahelahhh..pake lupa lagi, katanya loe mau minta maaf sama Ri...awww!" Sivia meringis. Memang aku tadi secara refleks menyubit kecil lengannya, daripada dia ember...

"Waduhh...loe mau minta maaf ama siapa Fy?" tanya Shilla, Zahra dan Angel mengangguk ingin tahu.

Aku jadi tersenyum, senyuman yang aneh. Mau jujur malu, kalau nggak jujur dijamin deh nggak dipercaya secara mereka tau banget aku nggak gampang bo'ong.

"Malah diam..." ceplos Zahra yang sepertinya sudah tak sabar.

"Minta maaf sama Ri...o.." jawabku pelan.

"Hahhhh?!!" Shilla, Zahra dan Angel terkejut berjama'ah. Tuhkan...apa ku bilang, malu kan jadinya. Entahlah sudah jadi apa muka ku saat ini.

"Iiihh..tapi nggak jadi tau~" ralatku cepat.

"Lho kenapa nggak jadi?" tanya Angel.

To be continue


-- Memories -- Part 7

-- Memories --


Part 7


"Pandangan pertama...awal aku berjumpa~" senandung Dayat sambil mesem-mesem. Jelas sudah ia menggodaku, apalagi saat ku perhatikan ternyata saat ini posisiku bisa dibilang berhadap-hadapan dengan Alvin meskipun dibangku yang berbeda. Aku duduk dikursi yang terletak disamping kiri sedangkan Alvin disamping kanan dan ditengah-tengah kami ada Dayat yang sedang bernyanyi.

Anehh..nggak biasanya Alvin diam, bukan hanya diam malah, tapi juga terkesan..malu-malu?

-----

Aaahhh..tiba-tiba aku merindukan senyum itu. Senyum yang hampir tak pernah ku lihat, apalagi dalam kondisi sedang 'diejek' seperti waktu itu.

Rintik hujan yang sedari tadi deras mulai mereda. Aku sempat menadahkan tanganku untuk menampung air hujan. Lalu...

Cessss..
Air itu ku cipratkan ke arah depan. Setelah puas bermain air hujan, aku berlari menerobos rintik hujan itu menuju sebuah kelas yang berada disebrang kelas tempat ku berdiri saat ini.
Yahhh..ini dulunya adalah kelas IXe. Kelas unggulan -lagi-. Aku semakin berbangga hati begitu mengingat soal kelas unggulan ini, pasalnya dari awal kelas VII aku sudah menempati kelas unggulan hingga kelas IX, kelas IX itu baru aku tempati pada semester kedua.
Aku membuka pintu kelas itu secara perlahan, kemudian pandanganku menyapu isi kelas yang mulai mengalami beberapa perubahan. Salah satunya warna cat dan beberapa hiasan kelas yang -mungkin- merupakan buah tangan penghuni kelas pada tahun ini.

Aku kembali menuju bangku yang pernah menampungku saat kelas IX dulu, deretan pertama dekat pintu dan paling depan.
Sebuah gitar yang terletak dibangku pojok paling belakang mengingatkan ku pada....

.......

Jrenggg...suara petikan gitar itu mulai terdengar hingga ke kelasku. Aku, Shilla dan Sivia yang tadinya sibuk bergosip, karena memang jam pelajaran yang kosong mengalihkan perhatian ke suara petikan gitar tersebut. Shilla clingukan ke jendela kelas, ingin memastikan siapa yang sedang menggenjreng gitar saat itu.

Tetttt...Tettttt....
Bertepatan dengan itu, bel tanda istirahat berbunyi, kami pun memutuskan untuk beristirahat. Berhubung Zahra dan Angel belum kembali dari toilet, maka kami bertiga menunggu didepan pintu kelas.
Dari kelasku, aku bisa melihat segerombolan murid laki-laki yang sedang berkumpul ditaman kosong yang memisahkan kelas IXd dan IXc.
Pasti suara tadi berasal dari mereka. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Zahra dan Angel telah bergabung bersama kami, dan kami pun memutuskan untuk segera menuju warung samping sekolah, warung langganan kami.

"Eh..eh..kayaknya gue nggak jadi ikut bareng kalian deh.." ujar Sivia tiba-tiba, kami memandang Sivia dengan tatapan bertanya.

"Kenapa Vi?" tanyaku mewakili yang lain.

"Gue ada janji sama Bu Dina, jadi kayanya gue jajan dikantin sekolah aja deh." aku mengangguk.

"Kalau gitu, gue nemenin Sivia aja deh yah." ujar Zahra.

"Oke...loe Shill, Ngel?" tanyaku pada Shilla dan Angel, keduanya kompak menggeleng.

"Ya udah Vi, Ra, kita pergi dulu yah. Bye!"

Aku, Shilla dan Angel pun pamit.

Untuk menuju warung yang letaknya disamping sekolah itu, aku, Shilla dan Angel mau tak mau harus melewati sekelompok siswa yang tak lain adalah anggota gank nya Cakka. Beuhhh..kalau Shilla mah pasti seneng. Kalau Angel...kayanya dia masih kurang nyaman apalagi disana ada Sion, seseorang yang pernah menjadi pacar Angel dalam waktu nggak genap sehari. Kalau aku...nggak tau kenapa aku malah jadi dag dig dug yah. Apa karna disana ada Rio?
Hahhhh...Rio, aku bingung kenapa sekarang aku merasa ada sesuatu yang berbeda tiap aku mengingat atau menyebut nama Rio. Bahkan sehari saja tak melihat wajahnya, aku jadi gelabakan sendiri. Belum lagi sikapku akhir-akhir ini yang kurasa mulai melunak terhadap Rio, nggak seperti dulu yang selalu membuang muka atau menatap sinis. Tapi terkadang aku justru berusaha mencari-cari perhatian didepan Rio. Oh my gosh...gue kenapa?

"Kau hancurkan aku dengan sikapmu...tak sadarkah kau telah menyakitiku~"

Lagu itu disenandungkan oleh salah satu dari segerombolan anak cowo ditaman itu. Aku yang sebentar lagi akan melewat mereka menjadi semakin deg-deg-an tak karuan.

"Lelah hati ini meyakinkanmu...cinta ini membunuhku~" pada bagian ini, lagu itu dinyanyikan dengan penuh penekanan. Seakan-akan lagu itu ditujukan untuk salah satu dari kami bertiga -aku, Shilla, dan Angel-. Bukannya GR, tapi memang hanya ada kami bertiga selain mereka disana. Dan ternyata, salah satu yang menyanyikan lagu itu adalah Rio. Tepat saat ia melantunkan bait itu, ia menatap tajam kearahku seolah berkata, "lagu ini buat loe, Fy! Buat loe!"
Ahahaa...aku GR kali yah..

-----

Air mataku meleleh, ternyata aku benar-benar merindukannya, merindukan sosok Rio yang lebih dari 3 tahun tak pernah ku temui. Hahhh...aku kangen kamu Yo, bisikku dalam hati.

Aku kembali mengamati ruangan kelas ini, aku sadar kalau ruangan ini benar-benar penuh kenangan rupanya. Terutama saat menjelang UAN, begitu banyak cerita yang terjadi saat itu. Salah satu yang ku ingat adalah saat dimana aku merasa sakit hati ketika Alvin mencurahkan isi hatinya mengenai rasa cinta yang masih tersimpan untuk sang mantan. Bukan denganku memang ia menceritakan semuanya, lebih tepatnya dengan Lintar, Debo, Ray, Dayat, Shilla, Zahra dan Angel yang memang cukup dekat dengannya..

......

Hari ini seluruh siswa/i kelas IX tidak begitu aktif dalam kegiatan pembelajaran. Berhubung UAN didepan mata dan try out kami baru saja berakhir, kami diberikan kebebasan sejenak untuk santai. Bisa dibilang ini adalah minggu tenang sebelum minggu depan kami melaksanakan UAN. Dan salah satu kebiasaan dikelasku saat jam santai seperti ini adalah, curhat massal!
Ahahaa..lucu memang, tapi kami sudah terbiasa. Kadang kami curhat dengan kelompok kecil kami, kadang juga kami curhat secara bersama-sama dengan berkumpul dipojok kelas sambil lesehan. Tak perduli mereka adalah lelaki, para siswa dikelasku pun ikut membaur dengan para siswi. Apalagi jumlah laki-laki dikelas ini hanya 6 orang, jadi para laki-laki itu sudah terbiasa bergabung dengan kami.

Ku lihat dipojok kelas teman-temanku mulai berkumpul, duduk secara asal. Ada yang dibangku, atas meja atau lesehan. Hanya aku yang memilih untuk duduk didepan kelas, bukan tak ingin berbagi hanya saja aku merasa canggung jika harus berada dalam satu kelompok bersama..Alvin..
Yahhh..disana Alvin lah yang akan mencurahkan isi hatinya.

"Gue masih sayang sama Aren.."

Aku bisa mendengar suara Alvin itu meski samar-samar. Jujur, aku cemburu, aku sakit hati. Aku...aku ingin teriak rasanya saat itu juga, tapi aku tak bisa..

"Tapi, loe sama Zeva belum putuskan, Vin?"

Aku tahu pertanyaan itu pasti berasal dari Shilla.

"Gue udah mau mutusin dia tapi dia nya nggak mau. Sedangkan Aren baru mau balik sama gue kalau gue udah putus sama Zeva.."

Ya Allah...aku sakit hati, aku rasa mataku mulai memanas, pandanganku mulai mengabur. Sebelum butiran kristal hangat itu benar-benar terjatuh, aku lebih dulu menengadahkan wajahku menghadap kangit-langit kelas.

"Nggak mau ikut curhat bareng Alvin, Fy?" tanya seseorang tiba-tiba, aku menatap orang yang tak lain adalah, Ray.

Aku menggeleng kecil. "Nggak." jawabku singkat, karena memang hanya itu yang dapat ku lontarkan.

"Jiahh...Alvin lagi sedih itu...mestinya loe semangatin dong, loe kan pacarnya~" ujar Ray, aku tahu dia bercanda. Lantas aku mendorong pundak Ray pelan, pura-pura kesal.

"Apadeh lo Ray, gue lagi gak mood yah buat bercanda~"

"Idihhh..siapa yang bercanda? Ya udah deh, gue gabung sama yang lain yah.." Ray pamit, aku sendiri lagi.

Hahhh...aku tak tahu mengapa tiba-tiba aku menjadi seperti ini.

Seseorang menyentuh halus pundakku, aku mengangkat wajah. Kudapati wajah Sivia yang tengah tersenyum menatapku. "Loe nangis, Fy?" tanya nya, aku menggeleng dan tersenyum tipis. Padahal aku tahu itu percuma karena Sivia cukup peka terhadapku.

"Gue tau, loe pasti sakit hati kan, denger curhatannya Alvin?" ujar seseorang yang lain, ternyata itu Shilla.

"Aduhh..gue baik-baik aja kok, beneran deh. Nih gue senyum nih.." aku berusaha meyakinkan Sivia dan Shilla yang sudah mengambil tempat duduk dikanan dan kiriku, dengan senyum yang kupaksakan untuk berkembang dibibirku. Tapi, yang terjadi pada mataku, justru berbanding terbalik dengan apa yang ditunjukkan oleh bibirku.

"Shill! sini deh!" tanpa melihat siapa yang memanggil Shilla pun aku sudah tau kalau itu suara...Alvin.

Shilla menepuk-nepuk halus pundak ku, aku beralih menatapnya, ku lihat ia menggigit kecil bibir bawahnya sepertinya ia tak enak denganku. Aku tersenyum berusaha memberitahu bahwa aku baik-baik saja.

"Udah Shill, gue nggak papa kok." ujarku, dengan enggan Shilla kembali menghampiri Alvin dan yang lainnya ke pojokan kelas.

"Percaya deh, Alvin ama Shilla cuman curhat doang kok.." ujar Sivia, aku menoleh kearahnya.

"Iya! Gue tau kok. Lagian wajar kali kalau Alvin curhat ama Shilla, Shilla kan cukup deket sama Aren ya kali aja Shilla bisa bantuin dia buat balikan sama Aren." ujarku lagi.

"Kita ke depan yuk, gue mau liat emm...Iyel lagi main basket tuh." ajak Sivia malu-malu.

Aku melayangkan sebuah toyoran kecil ke kepalanya. "Huuu..udah punya Dayat juga.." cibirku.

"Lupa loe, neng? Kisah gue ama Dayat tuh udah game-o-ver-!"

Aku baru ingat kalau dua hari yang lalu tepat sehari setelah Dayat berulang tahun, Sivia dan Dayat memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Alasannya menurutku sepele tapi entahlah...bagiku keduanya sama-sama salah. Aku menyimpulkan itu semua berdasarkan....

To be continue

•••••


-- Memories -- Part 6

-- Memories --


Part 6



Tes...tes...tessss...secara satu persatu rintik-rintik hujan membasahi bumi, perlahan mulai berubah menjadi deras. Aku yang berniat kembali ke aula terpaksa menghentikan langkahku tepat didepan pintu kelas -masih- VIIId. Aku memperhatikan rinai-rinai hujan yang beramai-ramai menyerbu permukaan tanah. Menciptakan aroma khas yang biasa ku cium saat hujan tiba.
Aahhhhh....tiba-tiba saja aku teringat salah satu moment terindah -menurutku- yang terjadi saat hujan...

......

Pertengahan 2008-2009

Beberapa temanku terlihat sibuk mempersiapkan peralatan mereka. Rencanya siang ini mereka akan mendapatkan penyuluhan khusus untuk anggota PMR. Sialnya aku bukanlah anggota PMR dan sahabat-sahabatku adalah anggota PMR. Dengan demikian aku akan melewati hari ini tanpa mereka. Hadewww...bagaimana bisa? Aku sudah terbiasa menghabiskan hariku disekolah bersama mereka dan bisa ku pastikan semua akan menjadi membosankan tanpa mereka.

"Fy, kita tinggal yah. Loe nggak papa kan?" tanya Shilla, terlihat sekali dari tampangnya kalau dia tidak tega meninggalkan ku sendiri.

"Iya! Nggak papa kok.." jawabku, sedikit berbohong sih. Padahal aku sedang memikirkan, bagaimana nanti aku menghabiskan istirahatku tanpa mereka? Bagaimana aku mengikuti pelajaran tanpa mereka? Bagaimana coba?

"Ehehee..atau elo, gue titipin ke Dayat aja kali yah.." celetuk Sivia.

"Loe pikir gue anak kecil pake dititipin ke pacar lo segala.."

Tawa Zahra meledak. "Ahahaa...loe emang bukan anak kecil tapi anak besar yang masih kecil." ujarnya. Aku cengo, yang lain melongo.

"Nyehhh..jayus lo Ra."

"Kepada seluruh anggota PMR...diharapkan segera berkumpul dilapangan!" suara yang berasal dari pengeras suara itu terdengar jelas sampai ke kelasku. Semua penghuni kelasku yang juga anggota PMR mulai bergegas menuju lapangan.

Zahra membuka resleting tasnya dan mengambil buku tugas miliknya. "Fy, gue titip buku PR gue yah, hari ini dikumpul, kan?" ujarnya sambil menyerahkan buku bersampul coklat. Shilla, Sivia dan Angel mengikutinya.

"Gue juga yah.." ujar mereka bersamaan, aku hanya mengangguk kecil dan sedetik kemudian mereka menghilang dari pandanganku.

"Huhhh...sendiri deh.."
***

Jam pelajaran pertama yang berlangsung selama 3 jam hari ini sukses ku lalui dengan membosankan. Aku lebih memilih untuk mengisi LKS daripada mendengarkan penjelasan guruku didepan kelas.

Tettt...tett..
Akhirnya bel isitirahat berbunyi. Dan sekarang saatnya jajan! seru ku dalam hati, setelah merapikan peralatan tulisku. Tapi, sama siapa? Masa sendiri?
Aku mengeluh dalam hati. Tapi mau bagaimana lagi, daripada kelaparan lebih baik aku mencari makan meskipun sendiri. Aku berjalan malas menuju salah satu warung kecil disamping sekolahku. Warung itu sudah menjadi langgananku untuk makan saat istirahat, apalagi aku dan penjaga warung itu sudah saling mengenal sejak aku masih SD.

"Seperti biasa yah, Fy?" tanya penjaga warung tersebut kepadaku. Aku tersenyum dan mengangguk, penjaga warung ini memang hafal betul dengan minuman kesukaanku. Pop ice moccacino....

Langit mendung hari ini mulai mengeluarkan titik-titik kecil. Untung hanya rintik, kalau hujan gimana aku mau balik ke sekolah, pikirku dalam hati sambil terus memperhatikan rintik hujan, aneh memang.

"Fy, traktir gue dong Fy! Yah..yah?" pinta Dayat yang datang tiba-tiba. Tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu, ia langsung mengambil sebungkus cemilan dan memesan segelas pop ice.

"Boleh yah Fy~" pintanya lagi dengan tampang yang dibuat se-memelas mungkin, aku mengangguk pasrah. "Dibayarin sama Ify yah, mbak." ujarnya kepada penjaga warung.

"Eh Vin, loe mau pesan apa?" tanya Dayat pada Alvin yang baru ku sadari kehadirannya.

"Pop ice coklat aja, mbak." ujar Alvin.

Aku menunggu pesananku sambil duduk disalah satu bangku. Tiba-tiba, Dayat bersenandung.

"Pandangan pertama...awal aku berjumpa~" senandung Dayat sambil mesem-mesem. Jelas sudah ia menggodaku, apalagi saat ku perhatikan ternyata saat ini posisiku bisa dibilang berhadap-hadapan dengan Alvin meskipun dibangku yang berbeda. Aku duduk dikursi yang terletak disamping kiri sedangkan Alvin disamping kanan dan ditengah-tengah kami ada Dayat yang sedang bernyanyi.

Anehh..nggak biasanya Alvin diam, bukan hanya diam malah, tapi juga terkesan..malu-malu?

To be continue

-----