A homepage subtitle here And an awesome description here!

Kamis, 29 Desember 2011

Sekali Ini Saja....(Short story of RiFy)


 Sekali ini saja....





Tap...tap...derap langkah kakiku yang berpacu cepat terhenti seketika saat sebuah teguran halus menyapa telingaku. Yang tanpa harus melihat wajahnya -sang pemilik suara- pun, aku sudah dapat memastikan bahwa suara itu milik Sivia, sahabatku.

"Eh, Via.." sapaku tertawa garing. Tanpa sadar, tangan kiriku yang sedang bertengger dilengan kursi, meremas-remas lengan kursi tersebut dengan kuat.

"Udah lama? Atau baru nyampe?" sambungku bertanya, dengan nada bicara sesantai mungkin. Tampaknya, usahaku untuk bersikap biasa-biasa saja menjadi sia-sia, saat ku dapati tatapan menyelidik dari kedua mata sipit milik Sivia.

"Elo mau pergi? Kemana? Kok kayaknya buru-buru banget?" cecarnya tanpa jeda.

Aku mendengus, benar-benar percuma. "Hahh?! Kok lo nanya gitu?"

Langkah demi langkah, Sivia berjalan maju ke arahku. "Pakaian lo rapi banget neng... Lagian, masa' iya, elo mau pake-pake tas kayak gitu dirumah." ujarnya, sambil menunjuk-nunjuk mini bag berwarna kalem yang tersampir dipundakku.

Baiklah. Mungkin memang sebaiknya aku membocorkan rencanaku sore ini pada Sivia. Ku harap, gadis cantik didepanku ini takkan menghalangi niat 'penting' ku, setelah ku beberkan semuanya.

"Gue..gue emang mau pergi," aku berucap gugup, tangan kananku menggaruk-garuk keningku yang mendadak gatal. "Nemuin...Rio." sambungku agak pelan. Dalam hati aku berdoa, semoga Sivia takkan memberikan respon yang 'tak' ku harapkan.

"Apaaaa?!"

Dan sepertinya doa ku tak terkabul. Reaksi awal saat ia terkejut saja sudah seperti itu, apalagi nanti. Aku yakin, ia akan melarang keras niatku ini.

"Jangan gila dong, Fy! Ngapain coba, elo nemuin tu makhluk satu? Wasting time aja tau nggak."

Dan bla..bla..bla... Sivia mulai mengeluarkan umpatan-umpatan tak sukanya pada Rio. Dan aku hanya bisa mendengus pasrah.

"Lagian, udah 3 tahun nggak ketemu, lo masih cinta aja sama dia. Lo masih ngarepin dia?!"

Bruk..aku menghempaskan tubuh mungilku pada sofa panjang terdekat. Kemudian memandang jengah ke arah Sivia. Aku tidak mungkin masih mengharapkan Rio, karena aku tau pasti, mengharapkan Rio sama saja seperti mengharapkan pelangi di malam hari. Percuma. Karena sudah keputusan mutlak, kalau kami takkan pernah bisa bersatu.
Aku mempunyai alasan lain mengapa aku ingin menemui pria tersebut. Melepas rindu... Itu adalah salah satu dari beberapa alasan yang ku miliki.

"Please deh, Vi.. Gue nggak sebodoh itu kali, ngarepin yang jelas-jelas nggak pantes untuk diharepin."

Memang benar, kan? Aku tak pantas mengharapkannya. Karena memang sudah takdir dari-Nya kalau aku dan dia tak kan bisa bersatu.

"Trus... Ngapain lo mau ketemu dia?"

"Cuman pengen ketemu, dan ngelurusin beberapa hal yang masih 'gantung' di antara kita."

Sivia memutar kedua bola matanya, entahlah..kesal mungkin.

"Apalagi yang masih gantung, Ify... Semua udah jelas, elo sama dia itu end!" ucapnya tegas.

Aku melengos sebal. Sivia benar-benar keras kepala, dan cerewet.

"Sivia...banyak hal yang masih belum selesai diantara gue dan Rio. Dan sampe pada akhirnya gue bener-bener bisa ngelupain Rio, gue mau apa yang gue anggap belum selese itu bener-bener se-le-sai!"

Sepertinya, Sivia mulai melunak. Ia mengangkat kedua bahunya dengan -agak- ragu. "Fine, gue serahin semua sama lo. Tapi gue harap, ini pertemuan 'spesial' yang terakhir antara elo sama dia."

Aku mengangguk semangat sambil mengacungkan kedua ibu jariku "sipppp! Thanks, Vi!" seruku, dengan kedua tangan yang sudah melingkar ditubuh Sivia, erat.

"Terus, elo sama dia janjian dimana?" tanya Sivia, setelah aku melepaskan pelukanku.

"Nggak tau." jawabku jujur. Karena sebenarnya, aku belum mengadakan janji pada pria tersebut.

"Kok gitu?"

"Gue bingung, gimana ngajakin ketemuannya." ucapku jujur, terdengar polos mungkin.

Sivia menepuk jidatnya keras, "ya ampun...Ify, elo sms kek, bbm-in kek, telpon kek. Miskin ide banget sih."

"Nggak pake ngatain juga kali, Vi." cibirku, Sivia terkekeh kecil.

"Tapi..emang dia mau ketemuan sama lo?"

Aku tersenyum misterius. Meski tidak pasti -karena bukan mendengar dari mulut Rio langsung-, entah mengapa aku merasa yakin kalau separuh hatinya masih milikku, hingga detik ini. So, aku pikir dia tidak akan menolak jika aku meminta untuk bertemu dengannya saat ini.
Tanpa menjawab pertanyaan Sivia, aku segera mengetikan sebuah pesan singkat untuk Rio. Diiringi dengan sebait doa, berharap Tuhan mengabulkan keinginanku untuk menemui pria tersebut.

•• •• ••
Aku cuma ingin bertemu..
Aku cuma ingin pegang tanganmu..
Walau aku tahu rasa..
Cinta ini tak mungkin jadi satu..

"Yo...!"

Aku menyapa dengan sedikit kikuk saat menemukan sesosok pemuda yang sedang dalam posisi memunggungiku.
Dia menoleh dan sedikit memberikan senyumnya untuk ku. Senyum yang terlihat..emm canggung.

"Emm..hai, Fy.."

Aku tersenyum kecil, tanpa bisa ku tahan, tangan kananku telah terulur di depannya.

"Emm..apa kabar, Yo?"

Dia menyambut uluran tanganku. Sentuhannya tak berubah, masih hangat seperti dulu. Membuat keinginanku -yang semula hanya sekedar menjabat tangannya- untuk memeluknya semakin bertambah besar. Yah..aku merindukannya. Sangat merindukannya!

"Baik, Fy." dia tersenyum. Senyum yang lebih manis dari yang pertama. "Duduk, Fy.."

Dia menunjuk sebuah kursi kosong di depannya. Aku berjalan memutarinya, menuju kursi yang ia maksud.

Hening...
Mendadak aku merasa kehabisan kata-kata yang telah ku rangkai panjang lebar sejak di rumah tadi. Ohh Tuhan...apa yang harus aku lakukan?

"Maaf.."

Aku mengangkat wajahku, saat mendengar ia berujar lirih.

"Buat?"

"Semua kesalahan yang udah gue perbuat, semua sakit hati yang pernah lo rasain, semua--"

Aku menyentuh tangannya sambil tersenyum manis, sehingga membuat ia menghentikan kalimatnya. "Masa lalu, Yo. Tujuan aku ke sini...emm.."

"Kenapa?"

Ia bertanya dengan nada bicara yang teramat halus. Membuat dadaku berdesir. Nada bicara yang teramat aku rindukan itu akhirnya ku dengar kembali.

Aku menggigit kecil bibir bawahku, "emmm..masih banyak hal gantung di antara kita, Yo." aku bernafas sebentar. "Ya..meskipun aku tau, ‎​​apa yang udah terjadi sama kita selama ini, udah cukup buat ngejelasin kalau hubungan kita udah...berakhir." ucapku dengan sedikit berat.

Berat? Jelas! Apalagi jika aku mengingat hari-hari yang pernah aku lalui ketika bersamanya. Tak pernah aku di buat menangis olehnya. Dia selalu membuat ku tersenyum, tertawa, dan merasa bahwa aku lah satu-satu nya wanita yang paling bahagia.

"Maaf.."

Aku menggeleng. Terlalu sering aku mendengar kata maaf terlontar dari bibirnya. Jika dulu aku selalu menghindar, selalu mengabaikan. Maka untuk kali ini aku akan mengungkapkan..

"Aku udah maafin kamu, Yo.."

Hening..kami kembali terkurung dalam kecanggungan untuk kedua kalinya. Konyol sekali..

"Kamu..masih sama--"

"Masih!"

Belum selesai aku mengucapkan kalimatku, ia telah memotongnya. Dengan tegas pula! Tapi entah mengapa, aku merasa emm..janggal dengan pernyataannya. Tegas tidak selalu berarti iya, kan? Menurutku sih seperti itu..

Aku tersenyum paksa, "hemm..kamu bahagia sama dia?"

"Ba..bahagia, dia..dia baik.."

Tatap mataku sekarang, sayang..
Dan kau tak bisa berdusta, kepadaku..
Masih jelas hati itu..
Aku sayang kamu..

"Aku masih sayang sama kamu, Yo!" ucapku tegas, tapi pelan. Terdengar lirih mungkin, tapi aku jujur.

Dia mengangkat wajahnya, dan menampakkan raut keterkejutan yang terpeta disana.

"Gu..gue--"

"Kamu bisa bohongin aku, Yo. Tapi kamu nggak mungkin bisa ngebohongin hati, kamu.." ujarku menyela keragu-raguannya.

Aku tahu, dia akan berkata apa. Tapi aku juga yakin, apa yang ingin ia lontarkan dari bibirnya tak seirama dengan hati kecilnya.

"Gue..emang nggak mau munafik, Fy. Gue masih sayang sama, lo.."

Bahagia? Tentu saja! Aku merasa sangat berbunga-bunga saat ini. Tapi aku sadar, bukan saatnya untuk tersanjung seperti ini.

"Tapi..kita juga--"

Aku tertawa pelan. "Kamu nggak usah berpikir, kalau aku mau kita ngejalanin hubungan kita kayak dulu lagi. Aku cuma mau jujur sama kamu, aku cuma mau ngumgkapin perasaan aku yang bahkan nggak pernah berubah meskipun kita udah lost contact tiga tahun.."

"Maaf.."

"Rio..ini adalah ketiga kalinya kamu bilang maaf, padahal kita belum sampe setengah jam duduk disini." sahutku sambil sedikit melirik ke arah arloji stainless steel yang aku gunakan di tangan kananku.

Dia menggaruk-garuk tengkuknya. Lucu sekali! Itu adalah ekspresi yang paling ku ingat dari dirinya, saat ia kebingungan.

"Habis..gue ngerasa bersalah banget sama lo.."

"Yahhh.. Kamu benar. Kesalahan kamu emang udah banyak banget sama aku, aku aja sampe nggak bisa ngitung." ujarku jujur.

"Mau ikut gue?" tanya nya mengajak, tangan kanannya terulur menanti sambutan tanganku.
Aku mengangguk, dan meraih tangannya. Membiarkan pemuda di masa lalu ku ini, membawaku ke tempat yang aku sendiri pun tak tau, dimana...

Sekali ini saja ku buat kau bahagia..
Dan aku akan pergi tuk merelakanmu..

Aku membiarkan dia menggenggam lembut jemariku. Seperti dulu. Sebelum semua yang tak aku duga merenggut segalanya, kebahagiaanku yang selalu tercipta semenjak bersamanya.
Dalam diam kami menyusuri bibir pantai berpasir putih tanpa alas kaki. Genggaman kami tak mengendur, tetap sama. Erat, dan kuat.

"Makasih karena elo udah mau nemuin gue hari ini.."

Aku menatapnya dengan alis terangkat. Kenapa dia yang berterima kasih? Bukan kah dia yang menerima ajakan ku? Itu artinya, aku yang harus berterima kasih, kan?

"Hahh?! Maksudnya?"

Dia menghentikan langkahnya. Kemudian semakin mempererat genggamannya pada jemariku.

"Gue kangen banget sama lo, dan gue nggak nyangka, bener-bener seneng banget waktu dapet sms dari lo.."

Aku mengangguk paham, "ohhh..aku cuman ngelakuin apa yang disuruh sama hati aku." ujarku sembari menarik kelima jariku yang masih terbungkus dalam jemari hangatnya. Aku kembali melangkah, mendahuluinya yang masih terpaku disana.

Dia berlari mengejarku, kemudian mensejajarkan langkah kakinya dengan ku.
Hupp..
Aku merasakannya lagi. Dekapan hangat yang tak pernah ku dapatkan dari pria asing lainnya. Karena memang hanya dia lah, satu-satunya pria asing yang pernah memeluk ku hanya dia, hanya...Mario!

"Izinin gue buat meluk lo, Fy. Sekali ini aja.."

Aku tak menjawab. Hanya berdiam, bertahan pada posisiku tanpa sedikit pun menyingkirkan balutan kedua tangannya di tubuhku.

'Yah, memang hanya untuk sekali ini. Karena nggak akan ada lagi sekali-sekali yang berikutnya..' bathinku.

Sekali ini saja kau ada untukku..
Dan aku akan kehilangan kamu 
Untuk selamanya..

Aku ingin engkau s'lalu
Hadir dan temani aku
Di setiap langkah, yang meyakiniku
Kau tercipta untukku

Dia menyenandungkan lagu tersebut dengan lembut. Tanpa petikan gitar, disertai kepergiaan indahnya matahari terbenam yang secara perlahan mulai kembali ke peraduan.
Tanpa sadar, kepalaku telah luruh di bahunya. Bersandar dengan nyaman dengan mata terpejam. Bukan tidur! Hanya saja, aku sedang menikmati menit-menit terakhir kebersamaanku dengannya. Kebersamaan yang mungkin takkan terulang lagi di waktu-waktu berikutnya.

"Apa kita bisa mengulang yang pernah terjadi di antara kita dulu, Fy?" tanya nya.

Aku membuka kedua kelopak mataku secara refleks. Tanpa mengubah posisiku, aku kembali memejamkan kedua mataku. Berusaha menikmati sentuhan tangannya yang mulai bergerak membelai lembut rambut panjangku. Dengan tangan kiri yang merangkulku, dan tangan kanan yang membelai rambutku, aku dapat merasakan detak jantungku yang kian berpacu cepat.

"Nggak akan bisa, Yo.."

"Kenapa?"

"Mestinya, kamu nggak perlu tanya kenapa, Yo. Karena kamu udah tau jawaban nya.."

Dia mendesah. Aku dapat merasakan hembusan nafasnya yang hangat menerpa kulit wajahku.

"Fy, itu artinya..hubungan kita udah benar-benar berakhir?"

Aku terkekeh pelan, " bukannya dari dulu? Cuman belum resmi aja. Sekarang..kamu udah sah milik..dia seutuhnya."

Aku merasa sulit menelan ludahku sendiri saat itu. Karena jelas, pernyataanku barusan telah menegaskan. Bahwa Ify, Rio..end!

"Nggak..nggak seutuhnya, Fy.."

"Lalu?"

"Mungkin raga gue emang bersama dia, tapi hati gue...sampe detik ini tetap memilih elo sebagai penghuninya.."

"Ini cuman masalah waktu, Yo."

Ahh..kenapa tiba-tiba, aku merasa setetes cairan hangat mengalir di pipi ku? Aku menangis?

"Cinta ada karena terbiasa. Ntar kalau kamu kebiasaan sama dia juga...kamu bisa cinta kok, sama dia.."

Kini sentuhan lembut itu lenyap. Berganti dengan rengkuhan erat kedua tangannya, yang membawaku pada pelukan hangatnya. Aku menumpahkan segalanya disana. Tangisan yang hanya disertai air mata, tanpa isakan. Hening..lagi-lagi kebisuan menyelimuti keadaan kami. Hingga akhirnya, dia mulai mendesah lirih..

"Aku untuk kamu..kamu untuk aku.."

Dia mulai bersenandung tanpa melepaskan pelukannya di tubuhku. Dan entah mengapa, aku justru ikut bernyanyi bersamanya.

"Namun semua apa mungkin? Iman kita yang berbeda.."

------

Hadohhhhh...*nutup muka pake tangan
Beneran deh, akhir-akhir ini tuh saya lagi galau! Galau to the max! Sebelum cerpen angkuh, gue ngepost cerpen yang judulnya apaan deh? Lupa-__- *ehh
Yang gue inget, ini cerpen yang entah untuk keberapa kalinya gue bikin dengan tema 'peri cintaku'
Kenapaa? Kenapaa? Kenapaa???!!! Karena gue adalah korban peri cintaku!
Okayokayy..forget it.
Selain karena gue KPC (re. Korban Peri Cintaku) juga karena gue lagi galau. Sama siapa? Sama Andrean! *frontal-__-
Andrean yang kata anak-anak mirip Cakka lah, Rio lah, padahal menurut gue dia lebih mirip Alvin! Suer! Nggak percaya? Lets check @lilshake18 kalau udah liat, jangan pada naksir....
Gue bingunggg..gue kangen lohh, udah 3 harian deh nggak mentionan ama dia (˘̩̩̩.˘̩ƪ)
Terakhir mention tuh tanggal 25 dan cuman di RETWEET sama diaaa! Errrrr...
Sebelumnya, tau Andrean nggak, sih? Dia itu anak basket, temen satu timnya Nico di Senayan. Tau Nico, kan? Masa nggak tau? Dia anak AAB yang nampilin freestyle sebagai aksinya-___-
Etapii, bukan berarti kalau dia temennya Nico dia seumuran ama Nico yang kelas dua SMP yahh-__- dia lebih tua dari Nico..Well, pokoknya tuh, terakhir si Nico pernah nimbrung di 'acara' mention-mentionannya gue ama Andrean. Ngecie-ciein gitu. Kayaknya sih dia risih, terus jaga jarak sama gue huhuuuu
Beneran kangen ama mention-mentionnya dia :'(
Aduhh jadi curcol-__-
Anyway..thankso for readers, likers and komentator, luph yu muach muachhh :* :*

Ehh promosi dehh, buat yang belum baca "Love ‎​​In The Difference" lets check my blog yah..hihii
Pengen ngepost di fb takut ditimpukin pembaca soalnya gan?tung dan peri cintaku, juga..ahahaha

Follow :
• Http://niastevania.blogspot.com/
• @NiaStvnia

Akhir kata..

Seeyaa..

Nia 'nistev' Stevania...

Selasa, 27 Desember 2011

Love In The Difference...(Short story of RiFy)

Love In The Difference...



 
-- -- --
Setiap aku teringat wajahmu..
Bisakah hati ini memendammu..
Berulang kali aku mencoba..
Pergi jauh melupakan dirimu..
-- -- --

Brukk...tumpukan buku-buku tebal yang berada dalam dekapan seorang gadis manis itu terjatuh. Berserakan tepat disekelilingnya secara tak beraturan. Beberapa diantaranya tergeletak pasrah dalam keadaan terbuka. Sedikit mendengus gadis itu membungkuk dan mulai memunguti satu persatu buku-buku yang terjatuh tersebut.

Dengan gerakan cepat ia merapikan buku-buku itu, kembali menumpuknya tinggi bak sebuah menara.
Gerakannya seketika terhenti, saat kelima jemarinya berniat meraih sebuah buku yang -kira-kira- memiliki 350 halaman. Tepat dihalaman ke 22, sebuah foto yang sepertinya diambil sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu, menyembul menggoda. Membuat ia tertarik, dan dengan sedikit menautkan kedua alis, diraihnya lembaran foto usang tersebut.
Sepasang cengiran manis mengisi wajah 2 insan yang sedang dilanda cinta, menghiasi lembaran tersebut. Tangan sang pemuda merangkul mesra pundak sang gadis. Masih dengan seringainya, gadis itu menatap siluet samping pemuda yang tengah merangkulnya tersebut.

"Huffttt, kenapa foto ini ada disini?" desahnya bertanya. Ia memejamkan kedua matanya dan mulai menghembuskan nafas dengan kasar. "Lo tau, sekarang gue malah jadi bener-bener kangen lagi sama lo." sambungnya masih tetap sambil menatap selembar foto ditangannya tersebut.

Tak ingin membuang waktu lebih lama, terkurung dalam masa lalu yang sudah seharusnya ia tinggalkan, gadis itu segera menyusupkan -paksa- lembar foto tersebut kedalam tasnya. Lalu mendekap kembali buku-buku tebal yang sempat menghantarkannya pada kerinduan mendalam akan sosok sang pemuda.

-- -- --
Ku gelisah ku tak kuasa
Menghapus kenangan indah bersamamu
-- -- --

Resah dan gelisah menyelimuti keheningan yang melanda jiwanya. Derai hujan yang menyapa lembut dinding-dinding kaca rumahnya justru membuat kegalauan itu semakin nyata.
Sekelumit kisah yang sampai detik ini tak pernah -bahkan sekalipun mencoba- untuk ia lupakan, berseliweran dalam benaknya.
Kisah yang pernah ia rajut dalam naungan hujan, hujan terindah dalam hidupnya.
»»

Langkahnya terhenti saat sebuah deheman tegas dan -agak- berat menyapa indera pendengarannya. Dapat ia pastikan, suara itu milik ayahnya. Ia mendengus, sepertinya akan ada 'ceramah' lagi sore ini.

"Mau kemana, Fy?" tanya ayahnya dengan nada menyelidik. Diperhatikannya sosok sang putri yang terlihat rapi saat itu.

Ify -gadis tersebut- berbalik menatap ayahnya dengan posisi kepala yang masih menunduk.
"Mau pergi, Yah, sebentar doang kok.."

Ayahnya menatap jam dinding mewah nan besar, yang berdiri angkuh di salah satu sudut rumahnya. Kemudian kedua mata tajam penuh ketegasan itu beralih menatap ke arah luar yang menampakkan tangisan alam -yang- cukup deras.

"Hujan-hujan begini? Sama siapa?"

Ini..ini yang paling dihindari gadis berdagu runcing tersebut. Ketika sang ayah menanyakan kemana dan bersama siapa ia akan pergi. Haruskah ia menjawab yang sesungguhnya? Tentu tidak. Karena itu sama saja ia sedang "membangunkan macan yang sedang tidur". Ia tahu betul, ayahnya akan sangat murka jika mengetahui putrinya pergi bersama pemuda, yang -menurut ayahnya- tidak pantas mendampingi putri kecilnya tersebut.

Ify menggigit kecil bibir bawahnya. Bohong dosa, jujur celaka. Bathinnya mengumpat.

"Sama Rio? Iya?!" tanya ayahnya tajam, begitu tak mendengar jawaban dari putrinya. Ify semakin menunduk. Dan 'ceramah' sesungguhnya akan segera dimulai, cibirnya dalam hati.

"Berapa kali Ayah bilang, jangan pernah berhubungan lagi dengan dia! Ayah tidak suka!"

Ify jenuh. Selalu itu. Tidak suka..tidak suka..tidak suka. Dulu, sewaktu hubungannya dengan Rio hanya sebatas teman, ayah Ify sangat merestui. Tapi begitu hubungan itu berubah menjadi lebih intim, ayah Ify menentang tegas hubungan keduanya. Alasannya sederhana, lagi-lagi 'perbedaan' menjadi benteng dalam sebuah hubungan.

"Ayah.." ucap Ify memelas, tampangnya sangat berharap agar sang ayah mengizinkan kepergiannya.

Setelah menggeleng tegas, ayah Ify langsung melayangkan telunjuknya pada kamar Ify "masuk kamar, dan jangan keluar rumah!" perintah ayahnya tegas. "Ayah tau, kamu tidak akan pernah mengecewakan Ayah, Fy." sambungnya melembut.

Ify membuang muka pelan, dengan gontai ia menuruti keinginan ayahnya.

"Maaf, Yo.." lirinya dalam hati.

...

Hanya rintikan hujan -yang bukannya kian mereda justru sebaliknya- yang bisa ia pandangi. Berharap sedikit kesedihannya akan berkurang, seiring lirihnya sang tetes hujan yang menyerbu bumi secara perlahan.
Baru saja Ify mengirimi sebuah pesan singkat pada Rio. Tak perlu bertele-tele untuk menjelaskan alasan batalnya rencana pergi mereka berdua, karena Ify tahu, hanya dengan menyelipkan kata "Ayah" dalam pesan singkatnya, Rio mampu menebak apa yang terjadi.

"Huhhh, dingin banget sih," keluh Ify sambil menggosokkan kedua tangannya. "Mestinya gue lagi sama Rio, nih. Kenapa sih Ayah selalu menjadikan perbedaan sebagai alasan? Kenapa Ayah nggak pernah sedikit aja ngertiin apa maunya gue?" tambahnya. Ify terus berkeluh kesah dengan pandangan yang tak lepas dari sekelompok air mata langit yang masih semangat menyentuh bumi.

"Coba..Bunda masih hidup.." ujar Ify lirih bersama tetes demi tetes kristal bening yang hadir tanpa diundang.

Tok..tok..tok..
Ketukan halus yang berasal dari jendela kaca -yang berada tepat- didepannya menghentikan kenangan Ify.
Ify mengerjapkan kedua matanya berulang kali, berusaha memastikan bahwa sosok adam yang tengah basah kuyup didepannya saat itu adalah pujaan hatinya, Rio.

"Rio!!" pekiknya tertahan. Mulut yang menganga lebar itu pun tertutup oleh kedua tangannya yang bergerak refleks menyentuh mulutnya.

Rio, pemuda basah kuyup yang nampak menggigil kedinginan tersebut menyeringai lebar dengan kedua tangan yang memeluk erat tubuhnya.

"Jangan nangis," ucap Rio yang lebih terlihat seperti gerakan mulut tanpa suara bagi Ify "ada aku, everything gonna be okay with me." sambungnya dengan jempol terangkat. Meski tak terdengar, namun Ify dapat memahami kalimat-kalimat yang meluncur dari kekasihnya tersebut.

Dengan sedikit isyarat, Rio meminta Ify untuk membukakan jendela kamar gadis tersebut agar ia bisa masuk.
Sambil mengangguk kecil, Ify berusaha membuka jendela kamarnya.

"Kok ujan-ujanan?" tanya Ify dengan wajah cemberut. Bukan kesal, apalagi marah. Ia hanya tak ingin Rio sakit gara-gara kenekatan pria tersebut saat itu.

Huppp..Rio melompat masuk kedalam kamar sang gadis. Buru-buru ia meraih remote AC yang tergeletak disofa kamar Ify. Hujan-hujan nyalain AC? Bathin Rio bertanya heran.

"Kan aku pengen ketemu kamu, Fy.." ucapnya jujur, ia menyentuh wajah Ify yang masih meninggalkan jejak-jejak kesedihan disana.

"Tapikan ujan.."

"Demi kamu, badai juga aku ladenin, Fy.."

Sederhana, dan sangat biasa. Namun bagi Ify bermakna beda. Saat yang mengungkapkannya adalah sang pujaan hati, yang hampir tak pernah menggombalinya dengan kata-kata manis kecuali kalimat bersifat spontanitas yang meluncur begitu saja dari mulut kekasihnya itu.

Tersanjung, tentu saja. Dengan bahagia Ify melangkah menghampiri Rio yang sudah terduduk disofa kamarnya. Ia menempatkan diri tepat disamping kanan Rio, dan mulai memeluk lengan pemuda tersebut. Menyalurkan sedikit kehangatan agar rasa dingin yang menyebabkan tubuh kekasihnya menggigil itu segera pergi.

"Makasih," ucap Ify pelan, dengan mata terpejam ia terus memeluk lengan kokoh Rio.

Rio mengacak-acak puncak kepala Ify dengan gemas "sama-sama, main ujan yuk!" ajaknya semangat.

Kening Ify mengkerut "habis ujan-ujanan, mau main ujan?" tanya Ify heran, Rio mengangguk mantap "kalau ketauan Ayah--"

Rio menepuk-nepuk pundak Ify "aman kalau sama aku, Ayah nggak akan tau."

Ify berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Dan menit berikutnya, dengan gerakan mengendap-endap baik Rio maupun Ify berusaha melewati jendela kamar gadis tersebut, untuk kemudian kabur menuju taman terdekat yang berada disekitar perumahan Ify.
««

"Ya ampunnn!! Malah jadi galau gini gue," keluh Ify. Kepalanya menggeleng. Berusaha mengusir 'kisah manis' yang baru saja singgah dalam benaknya.

Drttt..drtttt
Dan getar-getar kecil yang berasal dari handphonenya, membuat gadis manis tersebut mempunyai pengalihan terbaik dari masa lalunya.

From : my love
Belum makan, kan? Ganti baju dan aku akan tiba dirumah kamu dalam waktu setengah jam dari sekarang.
Loveyou :*

Ify mengendikkan bahunya sambil mendesah. Pergi dengan 'my love' nya ini sepertinya lebih baik. Semoga...

-- -- --
Pantaskah bila aku tak mampu melupakanmu?
Kini aku telah bersamanya
Haruskah kusesali apa yang telah terjadi?
Aku tak mungkin denganmu
-- -- --

"Kok berenti, Fy?"

Tanya seorang pemuda yang berstatuskan sebagai kekasih Ify, saat ini. Ia mengernyitkan dahinya heran saat menyadari Ify yang tiba-tiba saja menghentikan langkah kakinya. Padahal, pintu masuk food court yang akan mereka kunjungi masih beberapa langkah lagi.

Ify yang masih terpaku ditempatnya lantas menoleh dan tersenyum samar. Berusaha menyembunyikan kekhawatiran yang secara tiba-tiba menyelimutinya.

"Nggak papa, kok. Kamu..duluan aja yah, nyari tempat disana," ujar Ify dengan telunjuk mengarah pada pintu food court yang -kira-kira- masih 5 langkah dari tempat mereka berdiri saat ini. "Aku mau ke toilet dulu." sambungnya.

Pemuda itu mengangguk paham, setelah menyempatkan diri mengelus sayang rambut panjang Ify, ia pun pamit mendahului gadisnya tersebut.

"Ya udah, aku tunggu didalam yah, bye!"

Perlahan punggung lebar tersebut menghilang dari pandangan Ify. Dengan susah payah Ify berusaha menahan laju bulir-bulir air mata yang siap terjun sekarang juga. Matanya yang tidak terlalu besar itu menangkap sesosok pemuda lain -yang bukan lagi kekasihnya- yang akhir-akhir ini tengah dirindukannya sedang duduk berdua dengan seorang gadis. Entahlah siapa gadis tersebut, hanya saja Ify berspekulasi bahwa gadis tersebut adalah kekasih baru pemuda tersebut.

Hufft..tidak boleh! Ini tidak boleh diteruskan! Air mata Ify tidak boleh lagi mengalir karena pria tersebut. Pria yang memang tak akan pernah mungkin ditakdirkan untuk bersamanya. Lagipula, bukankah ia sendiri sudah memiliki kekasih? Menjaga apa yang telah ia miliki saat ini lebih baik daripada mengharapkan sesuatu yang memang sudah bisa dipastikan, takkan pernah mampu menjadi miliknya. Benar, kan?

"Nggak, Fy! Nggak! Inget cowok lo! Rio cuman masa lalu, iyah masa lalu!"

Gadis itu membathin dalam hati. Meyakini dirinya sendiri agar tetap menjaga perasaan yang ada untuk kekasihnya saat ini, dan membuang jauh seluruh cinta yang masih tersisa untuk pemuda tersebut. Walaupun sulit...

My Love calling..

Terpampang pada layar handphone yang baru saja ia ambil dari tas tangannya. Dengan segera Ify menekan tombol penjawab, dan memulai langkahnya dengan mantap memasuki food court yang memang sudah menjadi tujuannya.

"Iya, ini udah mau masuk. Okay! Sip!"

Klik..
Sambungan terputus, setelah berulang kali mengulur nafas, ia segera mendorong pintu masuk food court dan membuang pandangan dari sepasangan muda-mudi yang sedang menyantap pesanan mereka, disertai canda tawa -yang terdengar- mesra ditelinga Ify.

-- -- --
Memang semua salahku melangkah
Menjalani cinta yang tak mungkin
Saat harus kusudahi semua
Perjalanan cinta yang tak pasti
-- -- --

Ify kembali termenung disalah satu sudut kamarnya. Dengan menekuk dan memeluk kedua lututnya, gadis itu memandangi langit gelap yang menyajikan ribuan bintang dan separuh bulan disekitarnya. Sangat indah, namun tak seindah hati Ify.
Terkadang ia berpikir, seandainya dari awal ia menuruti perkataan ayahnya, dan menahan segalanya agar tak berjalan terlalu 'jauh', mungkin rasa kehilangan itu takkan begitu terasa hingga detik ini.
»»

Semilir angin berhembus menyapa lembut daun-daun kering yang berjatuhan disekitar pohon akasia yang menjulang tinggi, di taman ini.
Suara daun-daun yang bergesekan dengan tanah kering itu mengisi keheningan yang tercipta diantara kedua insan, yang dilanda cinta.

Tangan sang gadis dengan terampil mengelus mesra rambut bergaya spike milik kekasihnya. Sesekali jari telunjuknya bergerak memutar disana -rambut-.

"Fy?"

Ify yang terlalu berkonsentrasi pada rambut kekasihnya pun menunduk. Menatap penuh tanya pada pemuda yang sedang berbaring di pangkuannya.
Tangannya masih terus mengelus-elus rambut 'lelaki' nya.

"Ya.."

"Apa... Nggak sebaiknya kita..ki..kita put..tus aja?" tanya Rio -kekasih Ify- dengan nada melemah pada akhir kalimatnya. Ia memejamkan kedua matanya, saat berucap demikian.

Kedua bola mata Ify melebar sempurna. Terkejut tentu saja, bagaimana bisa kekasihnya mengatakan hal demikian, tidak kah pemuda tersebut tahu betapa Ify teramat menyayanginya?

Gerakan tangan Ify terhenti saat itu juga "Ka..kamu kok ngomong gitu sih, Yo? Kamu udah nggak sayang lagi sama aku?"

Rio bangkit dari posisi berbaringnya, dan duduk manis disamping Ify. Diraihnya tangan kanan Ify, lalu digenggamnya lembut dengan tatapan menghujam pada kedua manik mata Ify.

"Bukan! Justru karena aku sayang sama kamu, Fy.." ucapnya lembut.

Ify menggeleng, "kalau kamu sayang sama aku, kamu nggak bakalan minta putus, Yo! Karena itu sama aja dengan kamu nyakitin aku!"

"Fy.. Aku sayang kamu, aku nggak mau hubungan kita jadi nggak berkah buat kita karena ayah kamu yang nggak setuju. Aku tau, Fy.. Ayah kamu sayang banget sama kamu, dia cuman nggak mau kamu salah pilih, itu aja." jelas Rio memberi pengertian. Kedua tangannya bergerak naik menyentuh pundak Ify.

"Kita emang berbeda, Fy. Bukan dari segi bangsa, ras, atau warna kulit yang masih bisa ditolerir untuk menyatukan hubungan kita, tapi.. Kamu tau, kan? Perbedaan apa yang menjadi tembok pemisah kita?" sambung Rio.

Ify membuang muka, dengan kasar ia menghentakkan kedua tangan Rio yang bersarang dibahunya.

"Kenapa kamu sama ayah selalu ngebahas itu?! Tuhan menciptakan perbedaan bukan untuk menjadikan jarak diantara hubungan seseorang. Tapi justru sebaliknya, menyatukan perbedaan yang ada dan menjadikan perbedaan itu indah di mata semua!"

"Tapi dalam agama ada satu perbedaan yang nggak bisa di tolerir, Fy. Mungkin untuk berteman nggak masalah, tapi menikah? Pasti ayah kamu sudah menjelaskannya kan?"

Ify terdiam. Kalimat Rio yang terakhir membuatnya tak mampu menjawab. Ia sudah tahu, sudah paham namun manusia tak ada yang sempurna. Jika hati berbicara, apa yang dikomitmenkan sedari lama bisa saja menjadi goyah karena cinta.

"Aku masih dan akan tetap sayang samu kamu, Fy. Selalu! Selamanya!"

Ucapan Rio membuat Ify terisak. Kepalanya menunduk dalam, kedua bahunya bergerak naik turun seirama isakannya.

"Tap..tapii..kenapa baru sekarang kamu minta putus? Kenapa nggak dari dulu, Yo? Saat perasaan ini masih mungkin untuk dihapus. Kenapa? Kenapa kamu siksa aku kayak gini?"

Aku terlanjur cinta kepadamu
Dan t'lah ku berikan s'luruh hatiku

"Aku tau aku salah, makanya.. Sebelum kita terbawa semakin jauh dalam hubungan ini, mungkin lebih baik kala--"

"Kamu jahat!" teriak Ify keras.

Tanpa mengucapkan salam perpisahan gadis itu meninggalkan Rio yang nampak menyesal. Membawa kepingan hati yang telah hancur dan tergores kalimat cinta yang ternyata adalah sebuah kesalahan. Satu yang diharap, ia mampu menghapus 'kesalahan' yang pernah tertulis dihatinya itu dan melupakan semua kenangan yang pernah tercipta karenanya.
Tapi satu yang tak bisa Ify pungkiri, kesalahan ini merupakan kesalahan terindah yang pernah ia perbuat selama hidupnya. Ia berjanji. Takkan ada yang kedua, karena seindah-indahnya kesalahan ini, tetap saja meninggalkan luka mendalam dalam hatinya.
««

"Ify! Makan sayang.."

Mendengar ajakan makan malam bersama dari sang ayah yang -sepertinya- telah duduk manis di meja makan, Ify pun buru-buru merapikan penampilannya. Membersihkan wajah dari jejak-jejak air mata, yang tak boleh terbaca ayahnya.

"Iya, Ayah!" Serunya ceria.

Sudahlah. Yang lalu biarlah berlalu. Kini, ia hanya perlu menjalankan apa yang ada dihadapannya sekarang. Mengikuti garis yang sudah dilukiskan Yang Maha Kuasa untuk hidupnya. Meski bukan bersama Rio, tapi ia yakin, lelaki yang menjadi pendampingnya saat ini adalah pilihan terbaik yang dikirimkan Tuhan untuknya.
Tanpa harus melupakan Rio. Seseorang yang pernah mengisi harinya. Seseorang yang pernah menghuni hatinya...


Tak ingin kusesali apa yang telah terjadi
Selamanya kau di hati

Kau kan selalu di hati

-----

Song : Pantaskah_Marcell

Hallo everybody...*nyengir cantik.-.
Ini menggantung lagi yahhhh...sengaja sih :D
Yaa intinya, apayahhh...saya juga nggak tau-__-
Maaf kalau ceritanya ga to the ring sama dengan so flat-__- i know that...
Yaahhh..ini cuman sekedar ungkapan kegalauan hati yang tertuang pada sebuah kisah yang lagi-lagi gue make RiFy sebagai tokoh utama. Karena gue RFM, dan emang karena gue udah kebiasaan aja gitu bikin cerita RiFy. Jangan pada bosen yahhh..habis penulis 'RiFy' kayaknya mulai berkurang, jadi gue pengen tetep terus mengeksiskan tokoh RiFy...*apaan sih-___-'

Anywayy, gue orangnya ngga pernah bosen buat ngucapin terima kasih buat semua likers, readers, dan komentator. Thankso all..luph you muach muach aahhahaa

Akhir kata...

Seeyaa..

Nia 'nistev' Stevania

Senin, 26 Desember 2011

Angkuh...(Short story of RiFy)

Angkuh....





-----


Aku yang sombong.. 
Menghempaskanmu dalam penantian..
Acuhkan cintamu..

"Riooo!!"

Derap langkah setengah berlari yang mendominasi suara memanggil, dari gadis itu tidak membuat sosok dingin tersebut menghentikan langkahnya. Jangankan berhenti, menoleh pun tidak.
Ia justru semakin mempercepat laju langkahnya, mengacuhkan panggilan yang sekuat tenaga -karena gadis itu mulai berlari untuk mengimbangi langkah Rio-  diucap kan oleh gadis tersebut.

"Ri...o.."

Panggilannya melemah, seiring menghilangnya punggung tegap milik lelaki hitam manis yang sedari tadi di kejarnya.
Ia menghela nafas kecewa, kemudian tertawa miris. Apa ada yang salah, jika ia memanggil pria tersebut? Atau memang pria tersebut merasa...ia tak pantas berbicara dengannya?

"Fy~"

Ify, gadis tersebut segera mengalihkan pandangan nya. Didapatinya seraut wajah tampan dengan gurat penuh kekhawatiran sedang menatapnya.

"Sampai kapan sih, Fy? Lo tau kan, dia--"

"Gue cuman mau bilang kalau dia dipanggil sama Bu Ira,  Vin. Tapi..dia malah ninggalin gue gitu aja." Ify memotong cepat ucapan Alvin dan menjelaskan maksudnya, sambil menunduk, memandangi ujung-ujung sepatu hitamnya.

Fiuhh...terdengar desah nafas Alvin yang berhembus keras. Seolah kesal setelah mendengarkan penuturan Ify, sahabatnya. Entahlah, kesal karena Ify yang selalu 'mengejar-ngejar' Rio, kah? Atau karena sikap sombong Rio yang tak pernah sekalipun menggubris tingkah laku Ify?

Sesaat kemudian, ia mengulurkan tangannya, dan mengusap lembut tiap helai rambut panjang, milik Ify.
Ia tahu, Ify tak pernah suka melihatnya marah.

"Ya udah, lupain aja yang tadi. Kita ke kelas aja, yuk!" ajak Alvin.

Ify tersenyum, dan mengangguk cepat. "Yuk!" sambutnya. Diraihnya lengan Alvin, dan memeluknya erat.
Selalu begitu, Alvin selalu mengerti dirinya. Memahami inginnya. Dan itulah yang membuat Ify selalu nyaman berada disisi Alvin, sahabat yang juga dianggap 'kakak' olehnya.
***

"Kenapa kamu kemarin tidak menemui saya? Saya kan sudah bilang, temui saya selepas jam pulang!"

Pria itu mengernyit heran. Ia menggaruk-garuk tengkuknya yang mendadak gatal. Sungguh, ia tidak mengerti dengan maksud gurunya ini.

"Maaf, Bu. Maksudnya?" ia bertanya polos.

"Mario..saya menyuruh kamu menemui saya kemaren sepulang sekolah untuk membicarakan nilai-nilai kamu yang mulai menurun akhir-akhir ini!" jelas Bu Ira, tegas.

Rio mengangguk kecil, "tapi..saya tidak merasa kalau Ibu memanggil saya kemaren.."

"Jadi Alyssa tidak menyampaikan pesan saya kepada kamu?"

"Alyssa?"

Bu Ira mengangguk, "ya. Saya menitipkan pesan kepada Alyssa, apa dia tidak menemui kamu?"

Ia bungkam. Tidak mungkin berkata 'tidak' karena memang gadis tersebut sempat (ingin) menemuinya. Namun ia mengacuhkan gadis tersebut. Ya, Rio tahu bahwa Alyssa yang dimaksud oleh Bu Ira pastilah gadis yang kemaren. Karena, selain gadis tersebut adalah satu-satunya penghuni sekolah (nya) yang memiliki nama seperti itu, gadis itu pun merupakan satu-satunya...

"Mario!"

Rio tersentak dari lamunannya. "Eh, iya Bu, maaf. Kemaren, dia memang sempat memanggil saya, tapi..karena saya buru-buru jadi saya diemin aja.."

Bu Ira berdecak kesal, "ckckkk..baiklah. Mario..kalau nilai kamu terus menurun, Ibu rasa..tidak menutup kemungkinan beasiswa kamu akan dicabut." ucap Bu Ira to the point, lirih.

Rio melebarkan matanya, "jadi.."

Bu Ira segera berdiri, dan melangkah maju menghampiri siswa kesayangannya tersebut. Diusapnya pundak Rio penuh kasih sayang, tak tega rasanya, jika beasiswa untuk Rio benar-benar dicabut. Karena, ia tahu bagaimana perekonomian keluarga muridnya tersebut. Dan..ia pun tahu, betapa sedari dulu Rio sangat mengidam-idamkan sekolah ini untuk menjadi tempat dimana ia akan menghabiskan masa-masa putih abu-abu nya.

"Kamu ada masalah? Ceritakan saja pada Ibu, Rio.."

Rio menghela nafas dan mulai bercerita. "Ibu saya sakit, Bu. Dan beberapa minggu yang lalu saya..."

Bla..bla..
Rio mulai menceritakan masalah yang  melanda hidupnya. Masalah yang (ia rasa) datang secara bertubi-tubi semenjak ayahnya meninggal.

"Jadi..bagaimana kondisi Ibu kamu sekarang?"

"Puji Tuhan, sudah membaik. Tapi..saya masih bingung, bagaimana mungkin saya membiarkan Ibu saya yang baru sembuh untuk mencari uang.." Rio menunduk dalam. Dari semalam, hanya satu yang mengisi pikirannya "ingin bekerja!"

Apapun jenisnya, selagi halal dan bisa membantu perekonomian keluarganya, pasti akan ia lakoni.

"Bagaimana kalau kamu bekerja di rumah teman ibu saja?"

Rio mengangkat wajahnya di sertai senyuman. "Boleh! Apapun, selagi halal, saya mau!"

"Tapi...tugasnya membersihkan kolam renang, Yo.."

"Nggak masalah, Bu. Saya bisa. Apa saya boleh meminta alamat rumah teman Ibu itu?"

Bu Ira mengangguk cepat, "kamu tidak perlu khawatir, karena anaknya teman Ibu itu kebetulan murid disini juga."

"Oh, ya? Siapa?"
***

Seminggu sudah, sejak Rio memutuskan untuk mencari pekerjaan, ia menjadi 'pembersih kolam renang' di rumah mewah milik salah satu teman sekolahnya. Bukan hanya teman sekolah, tapi juga teman sekelas. Dan, tahukah kalian siapa pemiliknya?

"Ify, mama sama ayah akan pulang minggu depan. Jaga diri kamu baik-baik, yah.."

Ify tersenyum kecut mendengar ucapaan Ibu nya tersebut. Tak bisakah kedua orang tua nya meluangkan sedikit waktu untuknya? walau hanya sehari.

"Yes, mom.." sahutnya malas. Bu Gina mengusap lembut puncak kepala anak gadis, satu-satunya yang ia punya.

"Ayah janji, pulang dari Bandung, kita akan menyusul ka Eizel ke Spore, mau?"

Sebuah kelingking tersuguh di hadapannya secara tiba-tiba. Membuat wajah Ify yang semula suram menjadi lebih berwarna. Disambutnya kelingking sang ayah, dengan senyum mengembang.

"Promise.."

Tok..tok..tok...
Suara ketukan halus didekatnya membuat Rio buru-buru mengalihkan pandangan -yang semula asyik memperhatikan sebuah drama keluarga mengharukan-. Ia bergegas menuju pintu depan dan membukanya.

Cklik..
Sesosok pria tampan, berkulit putih lengkap dengan mata sipit -yang membuat ia terkesan seperti aktor-aktor Korea yang sedang digandrungi para remaja putri- menyunggingkan seulas senyuman tulus pada Rio.
Dengan kikuk Rio membalas senyum tersebut.

"Hai, Yo!" sapanya ramah.

Rio mengangguk dan tersenyum kecil. "Hai, Vin! Ayo, silahkan masuk!" suruhnya mengajak.

Dengan santai Alvin melangkah masuk melewati ruang tamu, dan menuju salah satu ruangan untuk mencari Ify.

"Ify ada kan, Yo?" tanya nya, dengan kepala memutar ke segala arah.

Rio tertegun.
Dia..dan Alvin. Perbandingan yang terlalu banyak akan di jabarkan, jika membandingkan antara dirinya dan Alvin.
Dan..itulah salah satu alasan mengapa ia selalu menghindar. Menghindar dari pujaan hatinya, yang jelas-jelas memiliki satu rasa yang sama dengannya.

"Yo!"

"Oh iya, sorry. Ada, Vin! Tuh di ruang tengah, sama orang tua nya." ucap Rio cepat, dengan telunjuk mengarah pada ruang tengah yang berada tepat di depan mereka.

Alvin menepuk pundak Rio sebentar, "gue kesana dulu, Yo.." pamitnya.

Rio mengangguk, ia memperhatikan punggung Alvin yang membelakanginya. Bahkan, dilihat dari belakang pun pria tersebut terlihat lebih 'enak di pandang' dibanding dirinya. T-shirt bermerk dengan kaos oblong? So funny..

Hingga kau larut dalam kesedihan yang tiada bertepi
Lelah hadapi sikapku..

Alvin sedang duduk manis di salah satu sofa ruang tengah milik Ify. Ia sedang menunggu Ify yang sedang 'melepas' kepergiaan orang tua nya. Lama, tapi wajar. Ia mengerti, Ify sengaja 'bertingkah' untuk mengulur-ulur keberangkatan orang tua nya. Gadis itu hanya ingin merasakan sedikit waktu untuk bersama, sebelum kedua orang tua nya pergi meninggalkan nya dalam waktu yang cukup lama.

"Vin, om titip Ify, ya~" ucap Ayah Ify tiba-tiba.

"Jagain dia, jangan sampai macam-macam ya, Vin." tambah Ibu Ify, Alvin mengangguk sambil tersenyum sebagai jawaban.
Ify? Gadis itu menggembungkan kedua pipinya dengan kesal. Memangnya dia masih kecil?

"Ayah, Ify bukan anak kecil lagi." rajuknya. Ayah Ify segera menarik putrinya ke dalam pelukannya.

"Sampai kapanpun, kamu akan selalu menjadi putri kecil Ayah."

Cup..dan satu kecupan penuh kasih mendarat di kening Ify sebagai salam perpisahan dari ke dua orang tua nya.

"Udah, jangan nangis deh. Kita jalan yuk?"

Ajak Alvin untuk menghibur Ify yang mulai bersedih.

Ify menatap Alvin, lama. "Kemana?"

"Kemana kamu mau.."

Ify menimbang-nimbang sejenak, "ajak Rio, boleh?"

Alvin kembali menghela nafas. "Yakin dia mau ikut?"

Ify mengulum senyum. Dalam hati ia berharap semoga pria tersebut mau memenuhi ajakannya.

"Di ajak dong, Vin. Kalau nggak di ajak, gimana kita bisa tahu dia mau ikut atau nggak." ucapnya, sambil menarik lengan Alvin menuju halaman belakang rumahnya. Tempat dimana sebuah kolam berukuran besar tertanam disana. Sekaligus tempat, dimana Rio mencari penghasilan tambahan untuk kehidupannya.

Alvin tersenyum. Ia mengikuti langkah Ify yang menyeretnya.

"Gue pake baju ini aja, nggak papa kan, Vin?" tanya Ify sambil meneliti penampilannya. Simple, tapi terlihat manis dan santai.

"Aduhh, kayak mau jalan sama siapa aja deh, seneng yah lo, gue ajak jalan?" tanya Alvin dengan alis yang di naik-turunkan, menggoda Ify.

Pletak..sebuah jitakan kecil mendarat ditempurung kepalanya.

"Ngarep yah. Kan siapa tahu aja, Rio mau ikut." ucap Ify berharap. Alvin menggeleng pelan, dengan senyum terkulum.
***

Langit sore mulai menghitam. Pertanda airmata langit akan menyerbu bumi. Dengan buru-buru Rio membereskan alat-alat yang ia gunakan untuk menguras kolam renang milik keluarga Umari. Ia harus segera pulang, selain karena Ibu nya sedang sendirian dirumah, juga karena ia merasa membutuhkan waktu untuk merilekskan pikirannya. Menenangkan perasaan gundah yang menyelimuti hatinya, saat melihat kedekatan dua anak manusia yang sedang berdiri tidak jauh darinya.

"Yo.."

Suara halus yang memanggilnya tidak membuat Rio mengalihkan pandangan meski sekilas. Sekalipun pemilik suara tersebut kini telah menjadi 'majikannya', hal itu tidak lantas membuat Rio bisa bersikap sedikit lebih bersahabat pada gadis tersebut.

"Hem.."

"Emm..itu, gue..emm," Ify memilin ujung sweater soft pink yang ia kenakan, sambil sedikit menggigit bibir bawahanya. Di sebelahnya, Alvin menggunakan sikutnya untuk menyenggol Ify. Memberikan isyarat agar gadis tersebut segera melanjutkan ucapan yang tak selesai tersebut.

"Ada perlu apa? Gue buru-buru, nyokap sendirian di rumah." ucap Rio -agak- ketus.

"Ohh..gitu, ya? Padahal aku mau ngajakin kamu jalan-jalan sama Alvin, tapi--"

"Lo dengerkan? Gue buru-buru, nyokap sendirian di rumah. Kalau mau ngomong penting, to the point aja! Nggak usah berbelit-belit!"

Alvin menahan kesal mendengar ucapan Rio yang terdengar kasar ditelinganya. Ingin rasanya memukul pria di depannya tersebut, tapi ia tahu..Ify tak suka dan tak kan pernah suka jika ia melakukannya.

"So..sorry, Yo. Aku minta maaf.." Ify menunduk dalam. Ia mulai takut mendengar ucapan kasar Rio. Jika biasanya ia tak masalah karena di acuhkan Rio, sekarang justru ia merasa 'sakit' mendengar kata-kata ketus yang terlontar dari mulu pria tersebut.

"Ahh, udahlah gue pulang." Rio menarik ransel miliknya, yang tergeletak persis di depan kaki Ify dengan kasar. Ify menarik mundur kakinya, secara refleks.

 "Sorry, Vin. Gue pulang dulu." pamit Rio dengan nada lebih santai dibanding pada saat berbicara pada Ify.
Ify menahan langkah Rio, dengan merengkuh lengan kanan pria tersebut dalam jemarinya.

"Apa lo nggak bisa ngeluangin sedikit waktu lo buat jalan-jalan sama gue, Yo?" tanya Ify memberanikan diri. Pertanyaan yang lebih mengarah kepada sebuah harapan. Rio meringis dalam hati. Ingin sekali berkata 'bisa' namun apa daya.. Mulut kadang tak pernah sama dengan hati. Apa yang kita ucapkan tak selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan..

Rio menepis kelima jari Ify dengan kasar. Kemudian menatap gadis itu dengan tajam.

"Lo budek?! Gue bilang, gue buru-buru! Nyokap gue sakit dan lagi sendirian di rumah! Dan elo minta gue buat nemenin elo jalan-jalan?!"

Rio mulai membentak. Satu hal yang tak pernah Ify alami sebelumnya, dibentak. Alvin yang sebenarnya hendak angkat suara terpaksa urung melakukannya karena Rio kembali berucap..

"Gue digaji untuk ngebersihin kolam renang yang ada dirumah lo! Bukan nemenin elo jalan-jalan!"

Ify menciut. Air mata itu mulai menggenang di pelupuk matanya. Sekali berkedip, luluh lah pertahanannya.

"Kenapa sih, Yo? Kamu nggak pernah mau ngertiin aku! Kamu nggak pernah nganggep aku! Kamu nggak pernah meduliin aku! Aku punya salah sama kamu? Kasih tahu aku, Yo.. Biar aku bisa memperbaiki kesalahanku."

Alvin tak berucap, merasa mungkin ini saatnya, sahabat tersayang nya itu mengungkapkan semua rasa yang ada di hatinya, untuk pria didepan mereka saat ini.
Berharap bisa menyalurkan sedikit kekuatan, Alvin mengulurkan tangan kanannya untuk merangkul Ify.

Rio bergeming. Tepat disaat Alvin merangkul Ify, ia membuang muka. Dua hal yang membuatnya seperti itu. Air mata Ify, dan rangkulan Alvin.

"Jawab, Yo! Kenapa kamu nggak pernah bersikap baik sama aku? Apa aku terlalu mengganggu buat kamu?" lanjut Ify bertanya, masih diiringi isak tangis yang tak kunjung reda.

"Iya! Elo terlalu, dan bahkan sangat mengganggu buat gue! Puas lo?!"

Dan itu adalah kalimat terakhir yang Rio ucapkan, sebelum ia mengayunkan langkah kakinya untuk meninggalkan kediaman Ify.

Alvin kembali ingin angkat bicara, ia rasa Rio sudah berlebihan. Namun seperti memberikan isyarat untuk diam, Ify menaikkan sebelah tangannya persis di depan wajah Alvin.

"Fine! Kalau buat kamu aku mengganggu, aku nggak akan pernah gangguin kamu lagi! Aku nggak akan pernah gangguin kamu lagi!" racau Ify dengan suara lantang, dan itu cukup membuat Rio menghentikan langkahnya dengan nafas tertahan. Sadar bahwa apa yang ia ucapkan sudah terlalu kelewatan.

"Aku nggak akan pernah...ganggu..in..ka..kamu..la..gi.." Ify kembali menggumam lirih seiring tubuhnya yang mulai merosot ke tanah.

Alvin tak tahu harus berbuat apa. Ia terlalu shock dengan semua ini. Shock dengan teriakan Ify. Shock dengan tingkah Rio yang seakan tak perduli. Padahal satu hal yang ia tahu, satu hal yang dapat ia tangkap dari mata pria tersebut. Ia memiliki rasa yang sama dengan Ify. Mencintai dan menyayangi.

"Fy, kita ke dalem aja yah!" ajak Alvin seraya menyentuh lembut pundak Ify.

"Aku nggak akan ganggu dia lagi, Vin. Nggak akan.." ucap Ify lirih. Sepertinya ia terlalu 'sakit' mendengar ucapan Rio tadi.

"Iya, Fy. Iya.. Kita ke kamar aja yah.."

Alvin yang tak tega pun secara perlahan mengangkat tubuh Ify. Membawa gadis manis yang terus mengucapkan satu kalimat yang sama 'aku nggak akan ganggu dia lagi', ke dalam rumah menuju kamar gadis tersebut.

Terlalu lelah menangis, tanpa sadar Ify mulai tertidur. Alvin masih setia mengangkat tubuh mungil sahabatnya tersebut hingga ke kamar.

Perlahan, Alvin meletakkan tubuh Ify dan menyelimuti nya. Diusapnya rambut panjang Ify dengan lembut sambil menatap sendu pada paras cantik Ify yang terlihat lelah.

"Jangan nangis, Fy! Gue pastiin, semua akan baik-baik aja." ucapnya sungguh-sungguh.

Dalam hati Alvin bertekad akan membuat semua yang tak mungkin -bagi Ify- menjadi nyata. Karena ia menyayangi Ify, terlalu menyayangi gadis tersebut. Bukan lagi sebagai sahabat, bukan juga sebagai kakak-adik. Tapi, murni rasa sayang yang tak bisa dilukiskan dengan ungkapan 'sebagai' melainkan dengan kata 'karena'... Karena Alvin sahabat sejati Ify..

Sesal yang kini menghantui perasaan dan jiwaku sesaat kau pergi..
Beri kesempatan untukku benahi tahta cinta kita..
Hingga terwujud kembali..


Rio menatap diary rusak di tangannya. Diary yang tidak hanya dipenuhi dengan banyak sobekan di sana- sini, tapi juga rangkaian kalimat-kalimat sakti yang mampu membuat hatinya menjerit, meraung, menangis, benar-benar menyesali apa yang ia perbuat.

Rio memejamkan kedua matanya, pikirannya kembali melayang ke beberapa jam yang lalu. Saat ia melakukan pertemuaan khusus dengan seseorang. Seseorang yang memberikan diary rusak yang ada padanya saat ini.

"Kenapa elo kasar banget sih, Yo sama Ify? Dia punya salah apa sama, lo?" tanya Alvin to the point.

Rio menghela nafas, "kenapa? Emang gue nggak boleh bersikap kasar sama dia?"

Pertanyaan aneh. Tentu saja jawabannya "nggak" kalau Rio bersikap kasar kepada seseorang tanpa alasan yang jelas, seperti apa yang ia lakukan pada Ify.

"Elo boleh bersikap semau lo, yang lo anggap benar selagi ada alasannya, jangan tanpa sebab gini dong.." Alvin mulai sewot.

Rio melengos, "elo nggak perlu tahu apa alasan gue!"

"Gue cuma nggak mau Ify selalu nangisin cowok kayak lo!"

Selalu? Berarti waktu itu bukan kali pertama Ify menangis karenanya? Bathin Rio bertanya. Ya, meskipun ia sadari ia sering mengacuhkan gadis tersebut, tapi ia tak pernah menyangka kalau gadis itu akan 'selalu' menangisi nya.

"Maksud lo apasih?!" tanya Rio antara mengerti dan tak mengerti.

Alvin mulai kesal, "elo dapet beasiswa karena kepinteran lo, kan? Mestinya lo ngerti sama maksud gue."

Rio menggeleng, "to the point aja, Vin. Biar cepet ngerti."

"Ify suka sama lo! Dia sayang banget sama lo! Tapi apa?! Elo selalu nyakitin dia! Dia selalu nyari perhatian ke elo, dia selalu bersikap manis ke elo, dia selalu nolak cowok lain juga karena lo, tapi yang elo lakuin...sangat-sangat bikin Ify sakit tau?!"

Rio terdiam tak percaya. Well, Ify memang sering menyapanya, mencari perhatian padanya, bersikap manis padanya. Rio akui itu! Tapi ia tak pernah menyangka bahwa gadis tersebut benar-benar menaruh hati padanya.

"Jangan bercanda, Vin!" Rio tertawa miring "gue, anak beasiswa yang nggak berharta, nggak punya apa-apa. Tampang aja masih kalah jauh sama lo,"

Alvin benar-benar geram. "Kalau gue bercanda, buat apa dia perhatian sama lo? Buat apa dia nangis sampe segitunya waktu elo sama dia bertengkar? Buat apa dia selalu ngebahas elo di buku diarynya?!"
Alvin melempar kecil diary berwarna hijau kepada Rio dengan agak kasar.
Masih dengan ke-gamangan-nya, Rio meraih diary tersebut.
Nampak coretan-coretan asal terukir pada sampul diary tersebut. Ia membukanya perlahan. Ada beberapa kertas yang sepertinya baru di sobek.

Dia mungkin tak sempurna jika dilihat dengan menggunakan mata kepala..
Tapi dia akan sangat sempurna jika dilihat dengan mata hati kita..

_love Mario_

Kata orang, dia tak baik untukku..
Namun bagiku, dia yang terbaik di hatiku..

_love Mario_

Dan masih ada kata-kata sederhana lain yang Ify tulis dengan 2 kata penutup 'love Mario'. Seolah menjelaskan bahwa tulisan itu ditujukan pada sosok pria hitam manis tersebut.

Alis Rio terangkat heran, "sobek?" tanya nya saat melihat selembar foto dirinya yang tertempel pada salah satu lembar diary tersebut dalam keadaan sobek.

"Dia nyobekin tu diary sehari sehabis elo berantem sama dia. Bertepatan saat dia nyuekin lo, dan benar-benar menjauh dari lo."

Rio mengangguk, memang sehari setelah pertengkarannya dengan Ify, gadis itu sempat absen sehari. Ke esokannya, Ify kembali masuk ke sekolah dengan tampang ceria seperti biasanya. Namun yang membedakan, tidak ada lagi sapaan untuk Rio, tidak ada lagi senyuman untuk Rio. Bahkan saat berpapasan pun Ify seakan menghindar, dan tak menganggap akan keberadaan Rio.

"Masih nggak percaya sama omongan gue?" tanya Alvin jengkel.

Rio melemas di kursinya. Di tutupnya diary rusak tersebut.

"Kenapa mesti sama gue? Gue nggak punya apa-apa untuk dibanggain.."

"Ify nggak perlu harta, rupa, atau apapun.. Dia cuman perlu elo!"

"Tapi..gue harus gimana? Dia pasti udah benci banget sama gue."

Alvin mendesah, kemudian menepuk halus pundak Rio. "Cuman elo yang tahu, apa yang harus lo perbuat."

Rio mengernyit heran, "maksudnya.."

Alvin berdecak kesal. Kenapa siswa sepandai Rio bisa selemot ini?

"Elo pernah ngebuat dia jatuh cinta dengan sikap cuek lo yang nggak pernah dia harepin. So, kenapa elo nggak bisa ngebuat dia jatuh cinta dengan sikap manis lo yang selalu dia pengenin?"

Rio mengangguk paham. Mulai tahu apa yang harus ia perbuat.

"Doain gue ya, Vin!"

"Elo mau perang?"

"Sebelah dua belas lah, intinya sama-sama berjuang."

"Doaku menyertaimu kawan.."

Dan pelukan persahabatan pun terurai oleh keduanya. Dengan senyum mengembang, keduanya memiliki satu tekad yang sama..mengembalikan senyum Ify yang pudar.

Bukk...Rio tersentak bangun, saat diary rusak di tangannya terjatuh secara tiba-tiba. Kedua mata yang sempat terpejam pun mendadak terbuka.
Ia segera melirik jam dinding di kamarnya.

"Astaga!! Gue harus kerja!" pekiknya panik. Lantas buru-buru mengganti seragam sekolah yang masih ia kenakan.
***

Huhhh..hahhhh..huhhh..hahhh...
Berulang kali ia menghirup udara untuk menenangkan kegugupannya. Di tatapnya pintu jati berukir di hadapannya. Untuk pertama kalinya, ia merasa dag dig dug saat akan membuka pintu rumah ini. Padahal sebelumnya...biasa saja.

"Ketuk, ngebel, langsung masuk.." Rio mengabsen ke tiga pilihan tersebut berulang-ulang. Ia mendadak linglung hari ini.

"Ketuk aja ah," Rio mulai menaikkan tangannya, untuk mengetuk pintu. Namun kemudian, ia menarik kembali tangannya dan bergumam pelan. "Biasanya kan gue langsung masuk, kalau tiba-tiba ngetuk pintu begini..ntar disangka aneh lagi."

Ia menggaruk tengkuknya sambil berpikir, "emm..ngebel aja deh," ia kembali menaikkan tangannya, untuk menekan bel kediaman keluarga Umari. Saat hampir menyentuh bel, ia menarik kembali tangannya. "Apabanget deh, kayak tamu aja gue ngebel segala."

"Wayolohhhhh...ngapain diem disini!"

Rio terkaget-kaget mendengar teriakan yang hadir secara tiba-tiba itu. Teriakan yang ternyata bersumber dari seorang Alvin.
Belum sempat memarahi Alvin, pintu rumah pun terbuka.

"Ngapain sih, ribut-ribut di luar?!" tanya Ify jutek, dengan tangan kanan yang masih memgang handle pintu.

"Rio nih, mau masuk aja pake malu-malu segala." jawab Alvin jujur. Rio mendelik kesal, kemudian menyunggingkan senyuman kikuk kepada Ify.

"Eh, Ify.. Maaf, nggak bener kok, sama--"

"Udahlah. Vin, gue mau pergi, tolong jagain rumah gue dulu." pamit Ify, menyela ucapan Rio. Rio mendesah kecewa, sepertinya butuh usaha ekstra keras untuk mengembalikan sosok Ify yang dulu.

Baru beberapa langkah meninggalkan Rio dan Alvin, Ify kembali berbalik.

"Minuman, sama cemilan buat lo udah ada di kulkas sama meja dapur, jadi lo bisa ambil sendiri disana." ucap Ify datar.

Meski tak menyebut nama, Rio tau bahwa kata 'lo' yang Ify ucapkan ditujukan untuknya.

"Butuh waktu, butuh usaha, butuh doa. Stay calm, slow but sure. Ify pasti maafin, elo!" hibur Alvin sambil merangkul pundak Rio, dan membawanya masuk ke dalam rumah Ify.

Kan ku basuh laramu.. 
Tepis keangkuhanku..
Hapus kepedihanmu..

Tak ada cara lain, Rio mau tak mau harus menurunkan sedikit gengsinya dan memulai hari baru dengan sikap manis untuk menyambut kedatangan Ify pagi ini, di sekolah. Sulit memang, mengingat sifat cuek -hampir tak perduli- yang memang sudah biasa ia tunjukkan pada Ify sudah mendarah daging. Tapi demi Ify, demi cinta nya, dan demi kebahagiaan mereka bersama ia harus melakukannya.

Dan benar saja, begitu ia melihat sosok Ify dari kejauhan, ia segera memasang senyum paling manis yang hanya khusus dipersiapkannya untuk Ify. Tapi sayangnya, hal itu tidak berarti apa-apa bagi Ify. Yang kena efeknya justru siswi-siswi lain yang sedang berkeliaran di sepanjang koridor. Melihat senyum asli tanpa paksaan dari bibir seorang Mario Stevano bisa dikategorikan dalam hal langka. Sudah pasti, ketika pria itu menyunggingkan senyumnya, banyak siswi yang terpana bahkan hampir menahan nafas sampai pada akhirnya senyum itu memudar secara perlahan.

"Pagi, Fy!" sapanya semangat.

Ify melengos dan melewati Rio begitu saja. "Pagi.."

Nyali Rio sedikit menciut, tapi ia sudah bertekad dan pantang untuk mundur. "Di anter Mang Udin, Fy?" tanya nya basa-basi.

"Biasa juga begitu.."

Rio menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Ia terus berjalan mengikuti langkah Ify dengan kepala menunduk. Haahhhh..bingung juga, hal apa lagi yang harus ia bicarakan pada gadis ini? Ya hanya sekedar untuk berbasa-basi saja lah...

Dukkk..
Karena terlalu lama menunduk, Rio sampai tak menyadari bahwa pintu kelasnya dalam keadaan terbuka. Dan tentu saja membuat ia menabrak pintu tersebut..

"Awww.." rintihnya.

Ify sempat menoleh kaget, namun rasa kaget itu di tahan nya hingga yang tampak di wajahnya ketika menatap Rio hanyalah wajah datar dengan alis terangkat.

"Kalau jalan liat ke depan, jangan ke bawah. Duit lo, jatuh?" celetuk Ify, tanpa niat bertanya. Rio meringis pelan sambil mengelus sayang jidatnya yang menjadi korban.
Tanpa memperdulikan Rio, Ify segera memasuki kelas.

"Ahahahaa..ketauan banget blo'on nya, Yo.." ledek seseorang dari belakang.

Rio menoleh dan mendengus kesal. Di belakangnya ada Alvin yang sedang tertawa. Tentu saja menertawakannya.

"Siapa yang blo'on?"

"Ya elo lah.. Nggak nyadar sampe ke jedot gitu?"

"Huhhh..jahat lo, Vin. Bantuin gue kek, Ify beneran marah kayaknya.." Rio menunduk lesu. Ia membatalkan niatnya memasuki kelas, dan memilih duduk di teras kelasnya, di ikuti Alvin yang mengambil posisi di sebelahnya.

"Ya ialah, marah.. Lo nggak nyadar sih, omongan lo tuh nyakitin! Dan jleb.." Alvin menggerakkan tangannya, seolah-olah sedang menusukkan pisau pada jantungnya. "Banget tau nggak. Gue juga kalau jadi Ify pasti sakit hati banget." sambungnya.

"Tapi..gue kan mau minta maaf, Vin.."

Alvin mendengus, "hehhh..buat Ify, ngebuat elo jadi kayak gini aja nih susah banget, harus sampe nyakitin hatinya dulu. Jadi--"

"Jadi menurut lo, gue harus ngerasain sakit hati dulu baru Ify bakal maafin gue, gitu?"

Alvin melayangkan toyoran kecil di kepala Rio. "Motong aja lo, kayak tukang kebun. Ya, gue yakin sih Ify lebih berperasaan daripada elo--"

"Nggak pake ngejelekin gue juga kali,"

Alvin tertawa, "ahahha..iya, iya sorry. Okay, lo tau lah Ify tuh cewek, dia nggak akan setega elo," Alvin mengacungkan jari tengah dan telunjuknya secara bersamaan saat berkata 'nggak setega elo' pada Rio. "Usaha dikit lagi deh, dia cuman belum ngeliat ketulusan dan kesungguhan lo doang kok. Ntar gue bantu ngomong deh ama dia." sambung Alvin membesarkan hati Rio.

Rio menepuk pundak Alvin penuh terima kasih. Entah sejak kapan, keduanya mulai terlihat seperti sahabat dekat, seperti saat ini. Yang jelas, Rio merasa nyaman dan tak lagi menganggap Alvin sebuah 'perbandingan' yang waw untuk dirinya. "Thanks, Vin! Elo baik banget deh ama gue." ucapnya tulus.
***

Sore ini, Ify memilih untuk menghabiskan waktunya dengan duduk santai di balkon kamarnya.
Ditangannya, ponsel berlayar touchscreen itu terus menyala, menayangkan photoslide dari seseorang yang sampai saat ini masih ia kagumi.

"Dorrr.." Alvin ‎​yang sebelumnya mengendap-endap memasuki kamar Ify langsung mengejutkan gadis tersebut dengan teriakannya.

"Ya Allah, kaget gue.. Alvin sarap! Ngapain sih? Ngagetin gue aja lo.."

Alvin menyeringai kecil, ia merebut ponsel Ify dan menahan tawanya saat mengetahui objek apa yang sejak tadi di pandangi oleh sahabatnya tersebut.

"Ohhh, Rio," ia mengangguk sambil memegangi dagunya. "Kangen yah, sama dia~" godanya sambil mengembalikan ponsel tersebut ke tangan pemiliknya.

"Apaan sih~"

"Jangan bo'ong deh, makanya..maafin dong.."

Ify memajukan bibirnya beberapa senti, "kok elo sekarang cs-an ama dia sih? Kan elo sahabat gue?"

"Yee..tapi sejak elo berantem ama dia, dia juga udah jadi sahabat gue, lagi."

"Nyebelin!"

"Siapa? Elo? Emang! Orang mau minta maaf kok bukannya di maafin, malah di cuekin."

"Dia yang duluan jahatin gue,"

Alvin tersenyum dan mengelus halus puncak kepala Ify. "Ify, semua orang berhak salah, tapi bukan berarti dia nggak berhak mendapatkan maaf. Kan elo yang ngajarin gue untuk nggak jadi seorang yang pendendam, sekarang?"

"Gue nggak dendam!"

"Tapi elo nggak mau maafin dia.."

"Gue kesel ama dia, gue sakit hati sama omongan dia.."

"Tapi dia udah berusaha keras buat ngedapetin maaf lo, kan?" tanya Alvin, Ify menatap Alvin dengan mulut menggembung. "Coba lo inget deh, hal apa aja yang udah 3 hari terakhir ini dia lakuin buat lo? Apa itu nggak cukup ngebuktiin kalau dia bener-bener ngerasa bersalah sama lo?"

Ify terdiam, pikirannya berjalan mundur ke 3 hari kemarin. Saat di mana Rio memulai aksinya untuk mendapatkan maaf dari seorang Ify.
Dari menunggu gadis itu setiap pagi sebelum memasuki kelas, menawarkan ke kantin bersama saat jam istirahat. Menemaninya setiap pulang sekolah, saat gadis itu menunggu Mang Udin menjemputnya. Rela bolak-balik naik-turun tangga untuk mengantarkan baju-bajunya yang baru disetrika karena Bik Sumi yang harus menyelesaikan pekerjaannya yang lain. Dan terakhir, kemarin saat sepulang sekolah...

Ify melirik arloji di tangannya berulang kali. Jam pulang sudah berbunyi dari 2 jam yang lalu, tapi Mang Udin belum juga tiba dengan mobilnya, untuk menjemputnya.
Sesekali matanya melirik ke atas, pada langit biru yang mulai menghitam. Sepertinya hujan akan turun..

"Aduhh..Mang Udin kemana sih? Kok lama banget.." keluhnya, tangannya bergerak naik mengusap keringat yang mengalir dari pelipisnya.

"Ify?"

Mendengar namanya disebut, gadis itu segera menoleh. Begitu mengetahui siapa yang memanggilnya, ia pun langsung mengembalikan fokus pandangannya.
Rio, seseorang yang menyapa Ify hanya bisa menghela nafas kecewa untuk kesekian kalinya.

Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, Rio langsung ke perpustakaan begitu bel pulang berbunyi. Ia harus mengerjakan tugas tambahan yang diberikan Bu Ira untuk memperbaiki nilai-nilai nya yang menurun, agar beasiswa untuknya tidak di cabut. Tapi berhubung ia hari ini mendapat tugas matematika, pelajaran yang paling susah menurutnya, jadilah pria tersebut harus menghabiskan waktu lebih lama sampai ia benar-benar bisa menyelesaikan tugasnya tersebut.

"Belum pulang, Fy?" tanya nya basa-basi.

Ify melengos, "elo liatkan gue disini? Ya berarti gue belum pulang."

Rio merutuki pertanyaan bodohnya dalam hati. "Emm..Mang Udin belum jemput, atau nggak bisa jemput?"

Ify mengendikkan kedua bahunya, acuh. "Tau! Belum jemput kali, nggak ngabarin gue juga lagian." ucapnya, dengan kepala yang terus bergerak ke sana ke mari mencari mobil jemputannya.

Rio mengangguk kecil, "kenapa nggak naik taksi aja? Bentar lagi kayaknya ujan loh.."

Ify misuh-misuh dalam hati, mau nya sih begitu tapi dia lagi tongpes alias nggak berduit. Mau bayar taksi pakai apa coba?

"Nggak ada duit."

Rio tak lagi berbicara, ia justru ikut menggerakkan kepalanya seperti mencari sesuatu. Ify hanya melirik pemuda tersebut dengan kening berkerut.

'Kirain mau nawarin pulang bareng atau apa gitu, nggak taunya..' bathin Ify dongkol.

Tik..tik..tik..
Perlahan-lahan, air hujan mulai menyentuh bumi. Untungnya masih berupa rintik-rintik.

"Ahhh, Mang Udin mana sih?" tanya nya kesal.

"Stoppp!!"

Ify langsung menoleh kaget saat mendengar teriakan Rio tersebut. Sebuah taksi biru telah berhenti dihadapannya sekarang. Ify masih menunggu apa yang akan dilakukan Rio dengan taksi tersebut.

"Buruan, Fy..masuk!"

Alis Ify menyatu, sambil menatap Rio yang sedang memayunginya dengan tangan. "maksudnya?"

Rio langsung meraih handle pintu taksi, dan membukanya. Kemudian sedikit mendorong tubuh Ify untuk masuk ke dalamnya.

"Rio..Rio.."

"Udah nggak papa, entar ujannya makin deres, biar gue yang bayarin." jelas Rio menenangkan, Ify menatapnya tak enak hati.

"Ya..ya udah, bareng aja kalau gitu.." Ify menawarkan.

Rio menggeleng kecil, "uang gue nggak cukup, Fy." ucapnya setengah meringis, Ify semakin tak enak hati. "Nih. Pak. Segini cukup kan, buat nganter dia ke Nusa Indah?" tanya Rio sambil menyodorkan beberapa lembar uang yang ia punya.

Supir taksi tersebut tersenyum dan mengangguk. "Cukup mas."

"Ya udah, jalan Pak! Hati-hati ya, Fy.."

"Tapi, Yo--"

Rio memotong ucapan Ify dengan lambaian tangan, kemudian ia segera berlari menerobos rintik hujan untuk segera pulang.

"Jadi?" tanya Alvin membuyarkan lamunan Ify.

"Hahhh?! Jadi apanya?" tanya Ify, dengan tampang polos.

Alvin menggeram gemas, "ya jadi...elo--"

"Elo mau maafin gue atau nggak?" tanya seseorang memotong ucapan Alvin, yang refleks membuat Ify dan Alvin menoleh secara bersamaan.

"Mau? Atau nggak?" tanya nya, lagi. Siapa lagi kalau bukan Rio.

"Ri..Rio?"

"Ahhh, kirain elo nggak jadi dateng, Yo.. Eh tapi, bukannya elo lagi sakit yah?" seloroh Alvin menimpali keterkejutan Ify.

"Gue pengen minta maaf soalnya, sama Ify. Elo mau maafin gue nggak, Fy? Gue tau gue salah banget sama lo, tingkah gue keterlaluan banget sama lo. Tapi gue..gue udah nyadar itu salah..salah banget.." ucap Rio menyesal.

Alvin yang paham situasi memilih pergi meninggalkan keduanya. Sebelumnya ia sempat menepuk halus pundak Rio, dan membisikkan sesuatu pada pria tersebut.

"Good luck, Yo!" bisik Alvin, yang di balas senyuman tipis oleh Rio.

Dan kan ku serahkan cintaku..
Jatuh di pelukanmu..selamanya..

Ify terdiam, masih dalam posisi yang sama, menatap Rio. Sedangkan Rio menanti jawaban Ify dengan harap-harap cemas.

"Uhuk..uhuk.." Rio refleks menutup mulutnya yang mendadak batuk.

Ify menatap khawatir, sedikit tak enak hati juga karena telah membuat Rio menemuinya disaat sakit hanya karena satu kata 'maaf'. "Kamu sakit, Yo?" tanya Ify yang tanpa sadar mulai melunak.

"Gue bakal lebih sakit lagi kalau elo nggak mau maafin gue, Fy. Gue beneran nyesel.." jawab Rio bersungguh-sungguh.

Ify menelan ludah. "Emm..sebenernya, asal kamu tau aja, kamu nggak perlu minta maaf sama aku, Yo. Karena sesakit apa pun aku karena sikap kamu...aku nggak akan pernah bisa bener-bener marah sama kamu.." ujar Ify tanpa ragu. Ia menunduk, menyembunyikan semburat malu-malu yang mulai menghiasi pipinya. "Karena..karena aku--"

"Karena aku cinta sama kamu.."

Ify mengangkat wajahnya yang menunduk. Di tatapnya Rio yang juga sedang menatap dalam kepadanya. Ia terdiam menantikan penjelasan dari pria di hadapannya ini.

"Maa..maksud, kamu?"

Rio mengulum senyum sambil melangkah perlahan mendekati Ify. Begitu berhadapan dengan gadis manis tersebut, ia mengulurkan tangannya menyentuh wajah Ify. Di telusurinya tiap lekuk wajah Ify dengan telunjuknya. Ify membeku, menahan nafas. Matanya terpejam menikmati sentuhan halus jemari pria yang menjadi pemilik hatinya tersebut.

"Hanyalah dirimu, mampu membuatku jatuh dan mencinta...Kau bukan hanya sekedar indah, kau tak akan terganti~"

Ify ternganga, tak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulut Rio.

"Senandungku, isi hatiku, ungkapan rasa cintaku buat kamu, Fy.."

Prok..prokk...
Tepuk tangan teramat keras tersebut sukses membangunkan Ify dari keterpanaannya akan sikap Rio. Sontak keduanya menoleh, mencari sumber keributan yang menghancurkan moment romantis mereka.

Dengan tampang santai, tak bersalah. Alvin, sang pengganggu itu hanya menunjukkan deretan gigi putihnya yang tersusun rapi.

"PJ nya jangan lupa yaaa...!!!" serunya, sesaat sebelum berlari meninggalkan kediaman Ify.

"Alvinnnnn!!" Ify menggeram kesal.

Rio terkekeh kemudian menggenggam lembut jemari Ify."Jadi kita?"

Ify tersenyum, "baikan dong!"

"Bukan pacaran..??" tanya Rio menggoda.

"Apaan sih~"

"Pacaran nggak~?"

"Maunya?"

"To be 'something' for everything ‎​​in my life, ngerti maksud aku?"

"Tentu!"

-----

Song : Angkuh_Cappucino

Krik..krik..
Endingnya kurang greget yahh-__- jadi nggak klimaks gitu rasanya. Tapi gimana dongggg...gue galau *ehh

Err tapi ya gitu, kalau bikinnya dipotong-potong, efeknya ya ke 'feel' nya yang juga ke potong-potong. Paham dong? Ini dibikin nya mood-mood-an. Awal nulis mood lagi on bangetttt, sampe tiba-tiba drop dan distop dulu. Finally, baru disambung lagi tadi malem-_-
Maafkan buat feel 'krik-krik' yang bener-bener krikk ini yah..ahahahhaa

Thankso for readers, likers, komentator, and all people in my life yang selalu kasih semangat buat nerusin WL *ehh melenceng-__-v

Follow..

Http://niastevania.blogspot.com/
@NiaStvnia


Seeyaa..

Nia 'nistev' Stevania_