A homepage subtitle here And an awesome description here!

Minggu, 31 Juli 2011

"_Terlambat_" (Short Story)

--- Terlambat ---

-----
Sedetik waktu ku melupakanmu
Kini menjadi sesal dihatiku
Dan kepergianmu membuatku mengerti
Tanpamu disini ku merindukanmu

-----


Aku hanya bisa menelan kekecewaan saat ini. Seseorang yang dulunya sangat mencintaiku baru saja pergi meninggalkanku. Bukan untuk selamanya memang, tapi itu semua sudah membuatku menyesal. Entahlah, aku pun tidak tahu apakah dia masih memiliki rasa itu atau tidak. Yang jelas, semua sudah terlambat, dia pergi dan aku tidak tau kapan dia akan kembali.

"Eh gue kok gak ngeliat Alvin ya hari ini?"

"Loh dia kan mulai hari ini udah ngga sekolah disini lagi."

Aku menajamkan telingaku saat mendengar percakapan antara Shilla dan Zevana dibangku mereka. Kalau biasanya aku tidak perduli dengan apa yang mereka bicarakan, entah mengapa saat ini aku malah ingin tahu dengan bahan obrolan mereka.

"Loh kenapa?"

"Nggak tau, katanya sih dia pindah ke Malang."

Deg...aku merasakan sesuatu yang aku sendiri juga tidak mengerti apa.
Aku bingung, kenapa tiba-tiba aku menjadi tidak rela seperti ini. Bukankah mestinya aku senang, karna dengan begitu tidak ada lagi si rese' Alvin yang kerjaannya tiap hari menggangguku dan membuatku malu karna ledekan teman-temanku. Satu sekolahan sudah tau kalau Alvin menyukai ku, dan hal itulah yang menjadi ledekan teman-temanku.
Parahnya, meskipun aku sudah menghindari Alvin tapi lelaki itu terus saja mendekatiku.

Aku mendesah panjang, kemudian menegakkan kepalaku dan mulai kembali berkutat dengan buku paket Bahasa Inggris didepanku.
Lupakan Alvin..ayo lupakan. Ini bukanlah masalah, malah semestinya anugrah, kan? Aku mencoba meyakinkan hati, bahwa memikirkan kepergian Alvin adalah hal yang sia-sia.
Wasting time..

......

Aku hanya mengaduk-aduk es jeruk dihadapanku dengan pandangan kosong. Pikiran ku jauh melayang. Padahal, es batu di dalam es jeruk itu sudah mencair. Sampai akhirnya, aku merasakan sebuah senggolan kecil dilenganku.

"Fy..Fy, elo kenapa?"
Aku menatap heran ke arah Sivia dengan alis bertaut. Aku kenapa? Memang ada apa denganku? Aku baik-baik saja kok.

"Emang gue kenapa?"

Sivia menggeleng pelan "Lo akhir-akhir ini aneh tau. Ke kantin gak pernah makan, paling banter minum doang. Ini lagi bukannya diminum malah diaduk-aduk aja, es batunya udah leleh noh," Aku mengikuti arah telunjuk Sivia ke dalam gelasku "dari yang rasanya manis sampe tawar ngga lo sedot juga tuh minuman. Elo ada masalah?"

Aku berdecak kecil. Heran, dari dulu Sivia cerewetnya kok gak ilang-ilang.

"Masa' sih gue berubah? Perasaan lo aja kali." elakku, ya meskipun jujur..aku juga merasakan ada sesuatu yang berbeda dariku.

"Iya Ify..semenjak si Alvin pergi tuh, jangan bilang lo kangen sama Alvin."

Hehhh..apa Sivia bilang? Aku kangen sama Alvin? Dapat kesimpulan darimana dia?
Aku mencoba mengingat-ingat tingkahku selepas kepergian Alvin. Memang sih, sepertinya aku berubah. Tidak seceria dan sesemangat biasanya, tapi masa' iya karna Alvin?

"Apaan sih, ngaco deh."

"Ya kali aja gitu."

Aku menghembuskan nafas lega, akhirnya Sivia sibuk dengan makanannya lagi.
Aku menyedot minumanku dan hemm..rasanya memang mulai tawar, tapi...kenapa saat aku membayangkan wajah Alvin es jeruk ini menjadi manis?
Apa aku memang merindukannya?

-----
Dan semua yang pernah kau berikan
T'lah membuka mataku..untukmu

-----

"Ify..sekarang juga kamu berdiri dan hormat didepan tiang bendera sampai pelajaran saya selesai."

Nasib...nasib. Aku hanya bisa mengangguk pasrah saat Bu Ira memerintahkanku seperti itu. Salahku memang, tidak mengerjakan PR padahal aku tau bagaimana watak Bu Ira yang terkenal tegas dan disiplin itu. Bukannya malas, tapi entah mengapa semalaman aku tidak bisa berkonsentrasi belajar. Pikiranku selalu dipenuhi Alvin...Alvin...dan Alvin. Stoppp..Alvin sudah tidak ada, sebaiknya aku segera melaksanakan hukuman dari Bu Ira sekarang juga.

Dengan gontai aku berjalan keluar kelas dan mulai memposisikan diriku didepan tiang bendera. Berdiri tegap dan memberi hormat pada sang merah putih.
Hiuhhh..panasnya, matahari sepertinya bekerja sama dengan Bu Ira untuk menghukumku.
Kalau saja ada Alvin...pasti hukumanku tidak se-mem-bosan-kan ini. Aku jadi ingat, saat pertama kalinya aku dihukum didepan tiang bendera seperti sekarang ini. Saat itu...
»»

"Astaga, Bu Winda emang sadis deh, main hukum aja. Mana panas banget lagi."

Aku menengadahkan wajahku dan menatap matahari sekilas. Oh my God, panasnya mampu membakar kulitku. Aku terus menggerutu sebal karna hukuman ini. Masa iya, hanya karna buku PR ku tertinggal Bu Winda menghukumku untuk hormat didepan tiang bendera selama 3 jam pelajaran. Oh no..bayangkan, belum ada 1 jam saja aku sudah merasa 'matang' apalagi 3 jam...ckckckk

Tiba-tiba, aku merasa agak teduh. Apa yah yang membuat perasaanku seperti itu?
Aku melirik ke dasar lapangan, dan mendapati sebuah bayangan dengan tinggi lebih diatasku. Apa tiang benderanya berpindah tempat ke sebelah kananku? Aku menggeleng pelan. Pertanyaan bodoh, mana mungkin tiang benderanya bergerak apalagi sampai pindah ke sebelahku.
Dengan ragu aku memutar kepalaku ke sebelah kanan, dengan kepala sedikit terangkat. Oh-My-God...aku menghela nafas dengan kasar. Mau apa lagi lelaki menyebalkan ini? Pake' ikut-ikutan hormat lagi. Masa' iya dia dihukum juga?

Aku mengembalikan pandanganku menghadap tiang bendera saat dia menoleh ke arahku, lengkap dengan senyum manisnya.

"Kenapa? Ada yang salah?" tanya nya dengan wajah -yang-menurutku-dibuat-polos.

Ada. Ada banget. Posisi berdiri dia yang tepat disebelahku terasa amat sangat mengganggu. Belum lagi ledekan 'cie cie' yang mulai samar-samar terdengar ditelingaku

"Iya,"sahutku tegas "ngapain lo bediri disitu?" tanyaku agak ketus

"Gue dihukum."

Aku mendengus sebal "tapi bisa kali yah, jaga jarak dikit." ujarku kesal sambil melirik jarak yang ada diantara kami berdua.

Hahhh..wajar saja koor 'cie cie' itu keluar, mengingat jarak yang ada diantara kami ter-la-lu-de-kat

"Nggak bisa,"

Aku memutar kedua bola mataku dengan kesal. Santai banget sih ni orang ngomongnya, ngga tau apa kalau aku lagi gondok.

"lagian ntar kalau gue jauh-jauh, elonya kepanasan lagi," dia menatapku agak lama -menurutku- "tuh keringet lo udah mulai ngucur" dia menunjuk keningku, aku langsung menyeka nya dengan kelima jariku.

Ku lirik dia yang sedang menatap lurus ke arah tiang sekilas. Hemmm...baik juga ternyata.
««

Hahhh...itu dulu, waktu hari senin tanggal 23 desember setahun yang lalu. Bahkan aku masih mengingat hari dan tanggal kejadian itu. Padahal waktu itu aku sangat tidak menyukainya, tapi kenapa aku masih mengingat moment itu sampai sekarang?

Aku membentangkan kedua kakiku kedepan. Melelahkan sekali rasanya, apalagi tadi tidak ada 'pelindung' ku itu. Untungnya bel istirahat sudah berbunyi.
Sesekali aku memijat pelan kakiku, hingga....sejuk, aku merasakan sesuatu yang dingin menyentuh pipi kananku

"Alvin."ucapku refleks..upss aku menutup mulutku saat ku sadari tidak mungkin itu Alvin.

"Gue Rio, bukan Alvin." aku meringis kecil, merasa tidak enak pada Rio apalagi nada bicara tidak enak didengar "nih.." dia menyodorkan sekaleng softdrink yang sempat ia tempelkan ke pipiku.

"Em makasih Yo." ucapku, Rio hanya mengangguk kecil.

"Lo tau?" aku memotong ucapan Rio dengan sebuah gelengan kecil "gue rasa elo mulai jatuh cinta sama Alvin." sambungnya. Aku terdiam, tidak menyahuti ucapan Rio. Setelah berkata demikian Rio berlalu pergi. Heii what's wrong with his?

------
Kini ku mencintaimu memiliki dirimu
Dan waktu t'lah merubah segalanya
Masihkan dirimu mencintaiku
Maafkan aku...ku terlambat mengerti

-----

Aneh. Ini benar-benar aneh. Dan harus aku akui ini sangat aneh. Aku benar-benar tidak mengerti dengan perasaanku akhir-akhir ini. Seperti perkataan Sivia, aku mengakui kalau mulai ada yang berubah dari diriku semenjak kepergian Alvin.
Hal yang sempat ku sangkal awalnya, karna ku pikir perasaan galau -selepas kepergian Alvin- itu hanya sesaat. Dan, beberapa hari kemudian semua akan kembali normal. Namun nyatanya aku salah. Yang ada, semakin hari aku semakin merindukan Alvin. Dan bahkan, dengan berat hati aku katakan...aku cemburu. Cemburu kepada Shilla karna dia adalah wanita yang sedang dekat dengan Alvin, untuk saat ini. Aku mendengar semua ini dari teman-temanku.

"Ihhh, enak banget sih Shilla. Akhir-akhir ini dia sering banget loh sms-an sama Alvin."

"Jangan-jangan Alvin mulai berpindah hati."

"Atau malah mereka sudah jadian."

Dan aku hanya bisa mendengus kesal saat mendengar ucapan-ucapan mereka saat itu. Aku ingin marah, tapi kepada siapa? Alvin? Apa salahnya, dia pergi -bisa dibilang- karna salahku. Shilla? Dia berhak mendekati Alvin karna Alvin bukan milik siapa-siapa, termasuk aku.

"Lo tau Fy, terkadang..kita gak sadar kalau ternyata orang yang benar-benar kita sayangi adalah dia yang selalu ada didekat kita," aku menatap Rio dengan pandangan bertanya. Rio mendesah panjang, entah apa artinya "dan parahnya, kita baru sadar saat orang itu udah ngga ada" aku menunduk.

Huhhh..aku mulai mengerti maksud dari ucapan Rio barusan, salahku memang yang terlambat mengerti. Terlambat menyadari bahwasanya aku pun memiliki rasa yang sama untuk Alvin

-----

Aku memandangi selembar kertas berwarna pink pucat yang diberikan Alvin 1 tahun yang lalu. Tahun pertama saat aku menginjakkan kaki di SMA ini.
Saat itu tepat tanggal 14 febuari, hari valentine. Dan Alvin menghadiahiku sekotak coklat, setangkai mawar plus surat ditanganku saat ini. Meskipun dengan tegas aku menolaknya, Alvin tetap keukeh memberikannya padaku.
Aku sempat mengembalikan ketiga pemberian itu ke kelasnya. Tapi ternyata, ketika aku pulang ke rumah dan memasuki kamar tidurku, aku menemukan hadiah-hadiah tersebut telah tersusun rapi di atas meja belajarku.

•••••
Dear Alyssa

Karna dihatimulah tempat terindah
Untuk ku semayamkan seluruh cintaku
Ku temukan cinta terindah darimu
Meski takkan pernah kau sadari

With love Alvin
•••••

Aku membaca rangkaian kata yang tertulis dikertas itu untuk pertama kalinya. Sebelumnya, aku hanya membiarkan lembaran surat ini bersatu dengan sekotak coklat dan setangkai mawar pemberiaan Alvin itu didalam sebuah kotak berwarna silver.

Yah, aku tau itu hanyalah penggalan dari sebuah lirik lagu. Tapi entah mengapa, aku merasa begitu tersudut setelah membaca rantaian kata-kata tersebut.
Sebesar itukah perasaan Alvin untukku? Kalau iya, aku benar-benar salah telah menjauhinya seperti itu.
Sekarang, disaat dia sudah tidak ada aku hanya bisa menyesali semuanya. Meskipun ku tau itu hanya sia-sia.

-----
Masihkah ada waktu yang tersisa
Tuk kembali padamu...mencintaiku

-----

Ku remas-remas beberapa helai daun kering yang berada di genggamanku. Aku sangat merindukan Alvin. Sudah lama sekali aku tidak melihat wajahnya dan jujur..aku sangat merindukan tingkahnya yang senang menggodaku.

"Pasti kepikiran Alvin."

Aku mengangkat wajahku yang menatap rumput-rumput kecil dibawah kaki.
Rio. Aku heran, kenapa dia selalu ada saat aku sedang merindukan Alvin? Apa dia titisan Alvin? Astaga, aku benar-benar merindukan Alvin sepertinya.

"Gitu banget ngeliatin gue nya."

Aku terkesiap, kemudian meluruskan pandanganku ke depan.

"Kok lo ada disini?" tanyaku basa-basi

"Lagi pengen nemenin seseorang yang kesepian." ujarnya sambil menatapku, aku balik menatap Rio.

"Gue maksud lo?" tanyaku polos, dengan telunjuk mengarah ke pada diriku sendiri.

Rio menggeleng sambil tertawa kecil "Gak mungkin orang gila kan?"

Aku melengos, saat ini aku sedang tidak mood untuk bercanda. So, please stop it.
Hening. Aku diam, Rio juga diam.

"Kenapa penyesalan selalu dateng belakangan yah Yo?" celetuk ku tiba-tiba.

"Karna penyesalan datang untuk menyadarkan, kalau dia datangnya di awal pas kita mau berbuat suatu kesalahan nanti gak ada yang akan 'menyadarkan' kita setelah kita melakukan kesalahan itu."

Aku mengkembang kempiskan kedua pipiku "tapikan..kalau dia datangnya diawal, itu bisa mencegah kita berbuat kesalahan, iya kan?"

"Iya, bisa mencegah tapi belum tentukan pada saat itu hati kita tergerak untuk mencegahnya kan?"

Rio menatapku dengan kedua bola mata hitamnya, aku mengangguk "nah, kalau dia datang di belakang, dia bisa menyadarkan kita, karna kita bisa berkaca pada hasil dari perbuatan salah kita itu. Ngerti?"

Aku kembali mengangguk, meskipun belum sepenuhnya mengerti. Dan oleh karna itu, aku kembali diam untuk memahami setiap kalimat yang keluar dari bibir Rio.

"Apa ada kemungkinan dia masih punya rasa itu buat gue?"

Aku mendengar Rio mendesah entah untuk yang keberapa kalinya. Lalu pandangannya beralih menatapku. Lama kedua bola matanya menatapku dengan pandangan sayu -menurutku-, sampai-sampai keningku berkerut saking bingungnya.

"Nothing imposibble in the world, termasuk perasaan Alvin buat lo."

Aku tersenyum mendengarnya. Meski terucap lirih namun terdengar tulus ditelingaku. Rio benar-benar seseorang yang istimewa buatku, dia selalu bisa menenangkan perasaanku.

"Tapi...bukan berarti lo harus terus berharap pada satu pintu yang belum tentu masih bisa lo buka kayak dulu," Rio menjatuhkan tatapannya tepat dikedua manik mataku "karna terkadang tanpa lo sadari masih banyak pintu-pintu lain yang menanti elo untuk membukanya,"

Lagi. Kalimat yang teramat sulit untuk dicerna itu keluar dari bibir Rio. Membuatku kembali berpikir untuk memahami makna dari semua itu.

"Satu hal Fy, jangan sampai elo mengulang kesalahan yang sama. Terlambat mengerti. Elo baru nyadar kalau elo satu rasa dengan cowo itu setelah cowo itu pergi ninggalin lo."

Aku terdiam, meresapi tiap untaian kalimat yang mengalun pasti dari bibir Rio. Mencari akan makna dari kata-kata sulit itu.

"Gue sayang sama lo."

Entah mimpi atau nyata, aku mendengarkan ucapan itu terucap samar-samar dari bibir Rio. Hanya saja, pikiranku sedang -juga- terbagi pada Alvin. Sehingga aku menganggap itu sebagai..halusinasiku saja.

Rio bangkit dan meninggalkanku seorang diri. Dan aku hanya bisa menatap punggungnya yang kian menjauh.

Alvin....aku masih berharap dia memiliki rasa itu untukku. Meski sekarang ada dua kemungkinan, dia masih memiliki rasa itu atau tidak sama sekali.
Tidak seperti dulu, dia pasti memiliki rasa itu untukku.
Aku menghela nafas panjang. Kemudian berdiri dan membersihkan sisa-sisa debu yang menempel pada rok merahku.
Bebanku mulai berkurang, dan aku mulai melangkah meninggalkan danau ini...

-----

"Tapi...bukan berarti lo harus terus berharap pada satu pintu yang belum tentu masih bisa lo buka kayak dulu,"

"karna terkadang tanpa lo sadari masih banyak pintu-pintu lain yang menanti elo untuk membukanya,"


Kata-kata Rio tadi siang terngiang kembali ditelingaku. Aku yang tadinya berniat untuk mengulang pelajaran bilogi tadi pagi, mendadak urung melakukannya.

"Satu hal Fy, jangan sampai elo mengulang kesalahan yang sama. Terlambat mengerti. Elo baru nyadar kalau elo satu rasa dengan cowo itu setelah cowo itu pergi ninggalin lo."

Terlambat mengerti, lagi?
Menyesal lagi?

Dua pertanyaan yang tiba-tiba saja melintas dibenakku sesaat setelah aku mengartikan untaian kalimat yang dilontarkan Rio.

Astaga...aku refleks memukul meja belajarku saat seuntai kalimat terakhir yang terlontar dari bibir Rio kembali berdengung di indra pendengaranku.

Aku paham sekarang. Dengan sedikit tergesa aku meraih jaket ungu yang tersampir dilengan sofa.
Kusempatkan diri untuk melirik jam dinding dengan ekor mataku.
21.15, belum terlalu larut rasanya. Tanpa berbasa-basi lagi, aku segera berlari keluar dari kamarku. Membawa kedua kaki jenjangku menuju sebuah tempat yang aku yakini akan mengantarkanku pada 2 kemungkinan perasaan. Menyesal atau tidak menyesal.
.....

Ketika bunga tak bermekar lagi
Dan dunia tak mungkin berputar lagi
Saat cinta t'lah membakar hati ini
Kau kan tahu betapa aku mencintaimu
Betapa aku menginginkan kamu...

Petikan gitar diiringi senandung lembut yang terdengar merdu menyambut kedatanganku yang baru saja menginjakan kaki di danau ini.

Disebuah bangku panjang, yang terletak didepan danau -tempat-dimana-aku-dan-Rio-menghabiskan-waktu-bersama-tadi-sore, ku dapati punggung pria yang tentu nya sudah sangat ku kenal.
Yah, siapa lagi kalau bukan Rio, pemilik punggung itu.
Kalau aku boleh merasa GR, aku pikir lagu yang ia nyanyikan tadi ditujukan khusus untukku. Tapi, entahlah. Daripada menduga-duga, akan lebih baik jika aku melangkah mendekatinya.

"Gue sayang sama lo," aku tertegun mendengar ucapannya yang terdengar miris ditelingaku "Fy."

Fy? Maksudnya Ify? Aku? Maksudnya, dia sayang sama aku, gitu?

"Emm Yo," dengan sedikit ragu aku menyentuh pundak pria hitam manis yang tengah menunduk sambil memeluk gitarnya "gue..boleh duduk disini?" tanyaku menunjuk tempat kosong disebelahnya.

Dia yang -sepertinya- terkejut akan kehadiranku mengangguk canggung -menurutku-.

"A...ada apa, Fy?"

Aku sedikit bingung dengan nada bicara Rio yang terkesan gugup, entahlah.

"Gue..gue," aku bingung harus memulai darimana "gue em-"

"Elo kenapa?" tanya nya memotong ucapanku.

Aku menggigit kecil bibir bawahku, dengan sedikit melirik ke aranya aku melanjutkan potongan kalimat yang ingin ku sampaikan tadi.

"Gue, gue rasa gue ngerti sama maksud lo tadi siang."

"Emm, maksud lo?"

"Gue gak bisa berbasa basi, Yo. Tapi...1 hal yang harus lo tau, mungkin gue masih punya rasa buat Alvin, tapi bukan berarti gue menutup hati gue untuk pria lain."

Rio menatapku dengan alis bertaut "sorry, maksud lo?"

"Elo bener, nggak semestinya gue terus berharap sama pintu yang itu-itu aja. Padahal dengan jelas, sudah ada pintu lain yang menanti gue untuk membukanya,"

Aku terdiam sebentar. Berbicara panjang lebar seperti tadi cukup membuatku haus ternyata.

Aku mulai mengalihkan pandangaku kesamping kanan. Menatap lembut kedua bola mata tajam bagai elang, milik Rio yang terasa meneduhkan.

"Dan pintu itu adalah elo, gue..gue rasa gue,"

Aku menggantungkan kalimatku lagi. Bingung rasanya memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa menyusun sebuah kalimat dengan baik. Masa iya aku harus menyatakan perasaanku lebih dulu kepadanya? Itu sama saja dengan aku melakukan penembakan lebih dulu, kan? Aku kan cewek, masa aku yang duluan memulai?

"Gue sayang sama lo, Fy. Entah dari kapan, tapi gue selalu sakit tiap ngeliat elo yang seperti frustasi semenjak kepergian Alvin."

Aku menatap Rio tak percaya "Gue gak mau ngeliat elo sedih mulu, gue bener-bener sayang sama lo. Makanya gue gak mau elo nyesel lagi untuk yang kedua kalinya."

Aku masih tak bisa bersuara, ku biarkan Rio terus melontarkan isi hatinya.

"Mungkin elo berpikir gue terlalu GR, dengan PD nya gue yakin kalau elo bakalan menyesal karena gue, seperti elo menyesal karena Alvin."

Bagaikan kutub magnet yang berlawanan. Saling menarik agar mendekat, hingga aku dan Rio menyatu dalam dekapan hangat.

"Gue sayang sama lo, Fy."

Untuk yang kesekian kalinya, Rio mengucapkan kalimat yang sama.

"Gue..gue..tolongin gue, supaya gue juga bisa sayang sama lo, Yo." ucapku setengah meminta.

Meskipun tak melihat, aku bisa merasakan anggukan dari Rio. Karena gerakan kepalanya saat mengangguk kebawah membuat dagunya menyentuh puncak kepalaku.

"Makasih, Yo."

"I love you, Fy."

=====

Tarrammmmm..gimana? Endingnya aneh? Mengecewakan lagi yah?
Sorry deh, ini ngerjainnya pake 'bersambung' sih jadi mungkin ngefeelnya gak merata..eheeheee
Especially for all RFM, sorry banggetttt karena disini Rio harus disakitin dulu. Sorry juga (buat yang minta dibikinin cerpen RiFy) karena disini gak full RiFy.
Nah ini juga buat kalian-kalian yang minta cerpen RiFy yang HapEnd. Maaf yah maksa banget..hahaa
Sebenernya gue gak inget kalau cerpen ini udah selese. Kalau bukan karena hp gue yang rada error, terus gue pengen ngprogram ulang (yang mengakibatkan gue harus memindahkan semua data yang ke save di mem telp ke mem card) mungkin gue gak bener-bener gak inget kalau cerpen ini udah the end.
Etapi sorry lagi nih kalau judulnya amat sangat jauh dari kecocokan dengan inti cerita :D
Tapi tetep setia menantikan komentar, kritikan dan segala macam jenis masukan supaya gue bisa menjadi lebih baik lagi...

Song : Terlambat Mengerti by Dygta

_With Love Nia Stevania_

Jumat, 29 Juli 2011

No title

Haiiiii pepsssss!!


How are you today? fine dong yaaaa. Soalnya alhamdulillah guenya juga lagi sehat wal'afiat. Well, gue sejujurnya gak tau mau nulis apaan sekarang. Yang jelas tiba-tiba aja gue pengen ngeblog meskipun gue gak punya bahan untuk dibahas. Tiba-tiba aja gue keinget sama....*klik..ada lampu nyala diatas kepala* nah gue keinget sama Alvinathan :(
Kenapa emotian nya sedih gitu? karena gue lagi kangen sama dia dan tiba-tiba aja gue denger kabar kalau dia bikin fb baru. And you know what???!! gue ketinggalan again! Oh God, ini udah kedua kalinya gue ketingalan berita kayak gini. Setelah beberapa minggu yang lalu, gue ketinggalan berita tentang fb barunya Mastev (yang mengakibatkan gue gak bisa ngeadd dia sampe detik ini) sekarang gue ketinggalan berita tentang fb barunya Alvinathan. Arghhhhhh, gue kesel, padahal Alvin baru bikin tuh fb sekitar 2 hari yang lalu. But, mungkin itu bukti kalau Alvinozta emang menjamur (?) Tapi..tapi..tapiiiii yang gue pengen tanyain adalah, apa tjuan mereka ngebuat fb sih? Kalau nantinya cuman buat ngonfrim terus semua wall yang masuk gak dibalesin kan sama aja bo'ong. Mastev juga kayaknya jarang on fb. Buktinya total temennya cuman 778 (itu yang barusan gue check) dan artinya masih banyak yang belum dia confrim. Meningat gue yang masih belum bisa ngeadd dia itukan pasti disebabkan oleh jumlah friend request yang buanyakkkk. Nah terus sekarang Alvinathan yang kayaknya juga belum ngonfrim. Soalnya stat twittnya tadi malem tuh...emmm lupa intinhya nanyain fb dia udah full apa belum. Kalau gak salah sih gitu, lupa gue--'

Hemmmmm, kalau aja gue stay di Jakarta atau minimal kota-kota besar kayak Balikpapan pasti gue punya harapan buat keteu Mastev, Alvinathan, Masgab, Deray...aaaaaa sama neng Ify. I wanna meet you guys!! tapi kapannnn???
one day, gue harap gue bisa ketemu sama kalian. Tapi gue harap untuk sekarang senggaknya gue bia deket sama mereka ya meskipun cuman sekedar didunia maya doang. Tapiiiiii..gimana caranyaaa??? Masgab, Deray, Ify gak pernah bales mention gue. Alvin? cuman ce Tasya doang yang pernah nanggein mention gue. Mastev? ya senggaknya selain udah difollback ama dia, gue juga dah pernah dibales bbm nya sama dia.


Oke guys, cukup deh sharingnya. Sambung next time...byeee


_With Love Nia Stevania_

Sabtu, 23 Juli 2011





Kamis, 21 Juli 2011

Idola_Cilik_3_Dunia_Idola_-_Rindukan_Dirimu_by_Rio_-_Launch_Album_(24_05_10)_(HQ).mp4 - 4shared.com - penyimpanan dan berbagi-pakai file online - unduh - Idola_Cilik_3_Dunia_Idola_-_Rindukan_Dirimu_by_Rio_-_Launch_Album_(24_05_10)_(HQ).mp4

Idola_Cilik_3_Dunia_Idola_-_Rindukan_Dirimu_by_Rio_-_Launch_Album_(24_05_10)_(HQ).mp4 - 4shared.com - penyimpanan dan berbagi-pakai file online - unduh - <a href="http://www.4shared.com/video/zm8fYfpy/Idola_Cilik_3_Dunia_Idola_-_Ri.html" target="_blank">Idola_Cilik_3_Dunia_Idola_-_Rindukan_Dirimu_by_Rio_-_Launch_Album_(24_05_10)_(HQ).mp4</a>



Rabu, 20 Juli 2011






"Unfaithful" by Rihana

"Unfaithful"

Story of my life
Searching for the right
But it keeps avoiding me
Sorrow in my soul
Cause it seems that wrong
Really loves my company

He's more than a man
And this is more than love
The reason that the sky is blue
The clouds are rolling in
Because I'm gone again
And to him I just can't be true

And I know that he knows I'm unfaithful
And it kills him inside
To know that I am happy with some other guy
I can see him dying

I don't wanna do this anymore
I don't wanna be the reason why
Everytime I walk out the door
I see him die a little more inside
I don't wanna hurt him anymore
I don't wanna take away his life
I don't wanna be...
A murderer

I feel it in the air
As I'm doing my hair
Preparing for another date
A kiss upon my cheek
As he reluctantly
Asks if I'm gonna be out late
I say I won't be long
Just hanging with the girls
A lie I didn't have to tell
Because we both know
Where I'm about to go
And we know it very well

Cause I know that he knows I'm unfaithful
And it kills him inside
To know that I am happy with some other guy
I can see him dying

I don't wanna do this anymore
I don't wanna be the reason why
Everytime I walk out the door
I see him die a little more inside
I don't wanna hurt him anymore
I don't wanna take away his life
I don't wanna be...
A murderer

Our love, his trust
I might as well take a gun and put it to his head
Get it over with
I don't wanna do this
Anymore
Uh
Anymore (anymore)

I don't wanna do this anymore
I don't wanna be the reason why
And everytime I walk out the door
I see him die a little more inside
And I don't wanna hurt him anymore
I don't wanna take away his life
I don't wanna be...
A murderer (a murderer)

No no no no

Yeah yeah yeah

Selasa, 19 Juli 2011


0. Mulan jameela feat The law - Abracadabra (CD Rip-Clean).mp3 - 4shared.com - penyimpanan dan berbagi-pakai file online - unduh - 0. Mulan jameela feat The law - Abracadabra (CD Rip-Clean).mp3

0. Mulan jameela feat The law - Abracadabra (CD Rip-Clean).mp3 - 4shared.com - penyimpanan dan berbagi-pakai file online - unduh - <a href="http://www.4shared.com/audio/S69GqIiC/0____________________Mulan_jam.html" target="_blank">0. Mulan jameela feat The law - Abracadabra (CD Rip-Clean).mp3</a>


"_There's Still a Rainbow After The Rain_"

Apa salahku hingga kau sakiti aku?
Saat cintaku mulai tumbuh dan berbunga
-----

Prang...aku benci dia! Aku benci dia!
Kenapa? Kenapa dia tega melakukan semua itu padaku? Apa aku kurang perhatian? Apa aku terlalu mengekang? Apa aku terlalu kekanak-kanakan?
Tolong! Jelaskan padaku, kalau aku salah katakan.
Semua benda yang berada didalam istana kecilku telah berantakan ke segala arah. Tak sedikit barang-barang berbahan kaca yang mulai berubah menjadi serpihan-serpihan halus, yang tercipta akibat ku perlakukan dengan kasar.
Apa dia lupa? Betapa dia harus bersusah payah untuk meyakinkan hatiku, kalau aku tidak akan salah jika berkata 'iya', saat dia memintaku untuk menjadi pemilik hatinya.
»»

"Gue sayang sama lo, tulus apa adanya,"

Dia menatapku dengan lembut. Menusuk tepat dijantung hatiku, membuat getar-getar cinta menyebar ke seluruh urat-urat syarafku.

"Gue nggak main-main, Fy. Gue serius!"

Dia menambahkan dengan nada bicara penuh ketegasan.
Dari pancaran sinar matanya, aku bisa merasakan betapa tulusnya untaian kalimat yang terucap dari bibirnya kala itu.
Namun, apakah harus, aku mempercayainya begitu saja?
Mengingat begitu banyaknya perbedaan yang ada diantara kami. Semua orang tahu siapa dia. Ketua osis, kapten basket, ketua ekskul musik, yang paling nyata dia adalah pangeran disekolahku. Dan perbedaan yang paling menonjol adalah, status sosial.

"Fy..Fy."

Dia melambai-lambaikan tangan kanannya tepat didepan wajahku. Membangunkan ku dari pemikiran panjang tentang perbedaan yang membentang diantara aku dan dia.

"Elo, boleh minta gue ngelakuin apa aja biar lo percaya kalau gue bener-bener sayang sama lo."

Aku menggigit kecil bibir bawahku, tangan kananku masih berada dalam genggaman lembut tangannya.
Huffttt..desah nafas ringan keluar dari rongga mulutku. Dengan setengah tersenyum, aku menggeleng pelan. Rasanya aku sudah menemukan jawaban yang pas akan permintaannya beberapa menit yang lalu itu.

"Apa...kamu bisa, hidup tanpa fasilitas mewah kamu kalau lagi sama aku?"

Dia menatapku dengan alis terangkat "maksudnya?"

"Aku mau kamu, nggak perlu naik mobil mewah kamu itu ke sekolah. Kalau lagi nggak sama aku, ya terserah kamu mau make atau nggak." pintaku, agak ragu sebenarnya. Tapi aku sudah bertekad, aku tak ingin satu sekolah -terutama para siswi- menganggapku seorang cewek matre yang gila harta.

Ku lihat dia mengangguk, meskipun -sepertinya- agak ragu "oke, kalau itu mau lo...gue nggak masalah," aku tersenyum tipis "cuman selagi sama lo doang kan, gue nggak boleh make mobil?"

Aku meringis kecil "ya maksud gue, kan gue nggak mungkin, Fy pergi bareng temen-temen jalan kaki. Kan lo tau, yang punya mobil cuman gue, yang lain kan bawaanya motor." tambahnya.

Entahlah, apa dia menambahkan ucapan tadi karena merasa tidak enak dengan pertanyaan sebelumnya atau apa.
Aku tak ingin ambil pusing, setidaknya..dia mau menuruti permintaanku untuk tidak menggunakan mobilnya ketika bersamaku. Itu saja, sudah cukup.

"Iya, cuman pas sama aku aja kok."

"Berarti elo nerima gue kan?"

Aku menggeleng pelan "sebelumnya, aku minta kamu buktiin dulu, kamu bisa atau nggak hidup tanpa fasilitas mewah kamu itu." ucapku setengah menantang.

Aku menangkap sorot mata penuh keraguan, sedikit perasaan takut menyelimutiku. Takut kalau-kalau dia mengurungkan niatnya untuk menjadikanku ratu penguasa hatinya.

"Emmmm," dia bergumam pelan "oke gue akan buktiin sama lo, dalam 1 minggu ini, gimana?"

Aku mengacungkan ibu jariku dan dengan gerakan cepat, tangan yang sedari tadi menggenggam lembut jemari kananku menarik tubuhku kedalam dekapannya.

"Gue sayang sama lo." ucapnya lagi.

"Buktiin dulu." selorohku. Dia tertawa kecil dan menghancurkan kerapian rambutkan dengan sekali gerakan. Menyebalkan.
««

Saat itu, aku belum seutuhnya menyayangi dia. Tapi seiring berjalannya waktu dan kebersamaan yang sering tercipta diantara aku dan dia, membuat perasaanku semakin hari semakin membesar. Rasa yang biasa itu berubah menjadi rasa sayang yang berujung pada keegoisan ingin memiliknya selamanya. Tak ingin sekalipun melepaskannya dan berusaha sekuat mungkin untuk menjaganya. Tapi, kenapa? Kenapa disaat rasa itu mulai nyata, dia justru menghancurkan semuanya?

-----
Kau goreskan kepedihan yang tak pernah ku duga
Kau patahkan semua harapkanku
Kau hancurkan semua impianku
-----

Aku masih terduduk disudut kamarku, dengan posisi memeluk lutut. Rentetan peristiwa beberapa waktu yang lalu berputar-putar diotak ku, bagaikan kaset rusak, rekaman-rekaman peristiwa tadi berputar secara berulang kali. Membuat sesak itu semakin menghimpit pernafasanku.
»»

Awan mendung mulai menghiasi langit sore ini. Setelah berulang kali menatap langit, ku putuskan untuk membawa payung kebanggaanku sebelum ku lajukan kendaraan roda dua milikku menuju sebuah kios bunga didaerah simpang tiga.
Dengan santai aku mengayuh sepeda peninggalan ayah 2 tahun yang lalu. Ahh setiap mengendarainya, aku selalu merasakan sosok ayah yang menemaniku dalam melakukan setiap aktifitas harianku.

10 menit waktu yang ku gunakan untuk menghabiskan perjalanan dari rumah menuju kios bunga ini. Yah, sudah menjadi rutinitas harianku sejak 2 bulan yang lalu -tepatnya semenjak ibuku sering sakit-sakitan-, untuk bekerja part time di kios bunga milik teman dekat ibuku ini.
Dengan riang aku langsung mengenakan seragamku dan bersiap untuk memulai pekerjaanku.

"Rio!!!"

Aku tersentak saat mendengar suara wanita menyebut nama itu. Ahh, mungkin hanya kebetulan saja namanya sama. Dan akhirnya aku pun berusaha untuk kembali fokus dengan pekerjaanku semula, me-nge-check jumlah bunga-bunga segar yang baru saja tiba tadi pagi.

"Pilihin dong bunganya, kamu kan paling ngerti selera mamah."

Aku masih mendengar samar-samar suara lembut gadis tersebut. Sedikit menyikut lengan Agni -salah satu teman seperjuanganku dikios ini-, aku memberikan isyarat padanya untuk menghampiri gadis yang sedari tadi suaranya tertangkap oleh indera pendengaranku.

"Bentar yah, mbak saya mau tanya dong, bunga yang ini berapa harganya?"

Suara itu. Apa ini juga suatu kebetulan? Nama yang sama dan suara yang sama.
Entah karena apa, aku segera meletakkan pulpenku dan mulai berjalan perlahan menuju kios bagian depan. Hanya untuk memastikan pendengaranku ini tak salah.

"Yang ini sebuketnya Rp. 50.000,00 mas. Buat pacarnya yang ini yah?"

"Bukan, buat mamahnya dia."

Aku sedikit terpaku saat pria yang -sepertinya- sangat ku kenali itu tersenyum bangga sambil merangkul gadis disebelahnya, saat menjawab pertanyaan Agni itu. Kenapa mereka mesra sekali?
Belum sepenuhnya pertanyaan hatiku terjawab, sesuatu membuatku terpaksa harus berhenti memperhatikan pelanggan yang aku rasa itu..dia.

"Ify..Ify!!"

"Eh iya," dengan sedikit tergagap aku memutar tubuhku kebelakang, dan mendapati Irva tengah menatap heran ke arahku "kenapa, Va?" tanyaku santai.

"Itu, soal bunga yang lo check tadi, udah belom? Kalau udah langsung kasih ke Bu Rose ya, soalnya tadi dia minta datanya," ucap Irva yang ku sahut dengan sebuah anggukan kecil "buruan."

Aku kembali mengangguk mendengarkan penuturan tambahan dari Irva, sedetik kemudian aku segera berlalu menuju meja kerjaku dan mulai kembali melanjutkan pekerjaanku.

Perasaanku tak tenang, akhirnya ku putuskan untuk sedikit mengintip ke depan kios melalui jendela kaca yang membatasi ruang kerjaku dengan kios bagian depan. Ahh sial, aku tak bisa mendengar percakapan mereka. Namun sesaat tanganku membeku, berhenti menggerakkan tinta hitam yang sejak tadi asik menari diatas kertas putih -dengan sedikit coretan hasil kerjaku- ditanganku. Tubuhku mematung, saat ku yakini bahwa dia -pria yang datang bersama gadis itu- memanglah pria yang baru 3 bulan terakhir ini menjadi kekasihku.
Aku memang tak bisa mendengar pembicaraan mereka, tapi aku bisa menangkap gerak-gerik mereka. Tangannya yang mengacak kecil rambut panjang gadis disebelahnya atau bahkan memeluk mesra pinggang gadis tersebut. Semua tertangkap jelas oleh mataku. Yang tanpa perlu diikrarkan pun, aku rasa semua orang tahu bahwa keduanya memiliki hubungan yang khusus.

Tes..tess
Tetes demi tetes air mata ku mulai membasahi kertas kerjaku. Semakin lama semakin tak tertahan, hingga akhirnya aku terduduk pasrah didepan jendala kaca tersebut dengan kedua mata yang masih terus mengawasinya.
Sakit. Jelas sakit. Dan yang bisa ku lakukan saat ini hanyalah, menangis.

-----
Aku pun mengerti kita sungguh jauh berbeda
Bagai langit dan bumi yang terpisah jauh
Namun bukan berarti itu menjadi ukuran
Haruskah bulan bintang ku turunkan?
Tuk buktikan semua perasaan
-----

Aku menikmati pemandangan langit gelap malam ini. Mungkin karena anugerah Tuhan akan diturunkan, bintang-bintang mulai bersembunyi. Dan kini yang ku lihat hanyalah sebuah bintang kecil yang bersinar ditengah hitamnya langit. Sama seperti diriku, ditempat ini. Sendiri, tak berteman.
Hhhh..berkali-kali aku mendesah panjang. Dengan kedua mata tertutup, dan tangan yang mencengkram keras tepian bangku kayu yang menampung berat tubuhku saat ini.

'Tidak usah berharap lebih dengan hubungan kamu sama dia, Fy. Kalian berbeda.'

Kalimat ibu, beberapa waktu yang lalu kembali terdengar ditelingaku.
Belum sembuh luka sakit hatiku karena perbuatannya waktu itu, ibu kembali menorehkan kepedihan dihatiku dengan kalimat yang mampu memutuskan asaku . Ya meskipun beliau melakukannya tanpa sadar.

Aku mengingat-ingat berapa banyak perbedaan yang membentang diantara aku dan dia. Hahaa, aku tertawa pahit. Memang sepertinya takdir tak berpihak pada kami.
Mencoba mengukur perbedaan yang ada diantara aku dan dia adalah suatu hal yang sia-sia. Karena apapun hasilnya, inti dari semuanya adalah kami tak kan pernah bersatu.
Bukan hanya karena aku yang terlanjur sakit hati atas perlakuannya. Tapi juga perlakuan orang tuanya, emm lebih tepatnya ibu nya Rio. Kalau dulu aku masih bisa bertahan -karena toh Rio tetap memilihku saat itu-, kini aku tak tahu apa yang harus ku lakukan.
Melepaskannya kah? Padahal rasa itu masih tertuju padanya.
Atau mempertahankannya? Meskipun aku sudah terlalu sakit karenanya.
Aku menggeleng pelan. Percuma mempertanyakan, karena sepertinya tak kan pernah ku temukan jawaban.

Plukkk...sesuatu yang sepertinya dilemparkan secara sengaja mengejutkanku yang tengah menyendiri saat ini. Dengan enggan ku buka kedua mata yang sempat terpejam -bukan karena tidur-, dan melirik ke samping kanan.
Mataku menangkap sebuah amplop coklat yang cukup tebal, tergeletak pasrah disana.

"Jauhi, Rio!"

Aku mengangkat wajahku saat mendengar kata-kata tajam bernada perintah itu.
Seorang wanita anggun, dengan kedua tangan menyilang didada menatap sinis ke arahku.
Ya, aku ingat. Beliau adalah nyonya Haling, ibu Rio.

"Jangan pernah dekati anak saya lagi!"
Aku mencibir dalam hati. Bahkan kami sudah lost contact selama 2 minggu terakhir ini. Tepatnya sejak..ah sudahlah. Lupakan!

"Maksud anda?"

Meskipun asap diotakku mulai mengepul, aku masih menenangkan nada bicaraku. Bagaimanapun juga, beliau lebih tua dariku. Sepantaran dengan ibuku, maka aku harus tetap menghormatinya.

"Hehhh," beliau mendesah sinis -menurutku- "saya tau, kamu mendekati anak saya untuk ini kan?"

Wanita itu mengambil amplop coklat disebelahku dan mengacungkannya tepat didepan wajahku.

"Ayo ambil! Dan jangan pernah berhubungan lagi dengan anak saya."

Meskipun ucapannya begitu keras, aku masih bergeming. Memandang amplop coklat dihadapanku dengan sedikit tidak percaya.
Hahhh, yang benar saja. Memangnya aku serendah ini? Memacari Rio untuk menguras semua hartanya? Begitu?

"Maaf, tapi saya tidak butuh uang anda." ucapku tegas, mataku mulai berani menatap tajam manik hitam milik seseorang yang dulunya mungkin pernah membuatku bermimpi untuk menyebutnya, ibu mertua.

Wanita itu tertawa angkuh -menurutku-, kemudian mengeluarkan sesuatu yang kalau menurutku lebih mirip dengan kwitansi. Ia juga mengeluarkan sebatang pulpen berwarna emas. Dan mulai mencoret 'kwitansi' tersebut dengan cepat, entahlah apa yang ia tuliskan disana.

Srett..ia merobek selembar kertas yang sudah ia coret, dan melemparnya dengan kasar hingga menyentuh sedikit permukaan kulit wajahku.

"Itu cek kosong, terserah mau kamu isi berapa. Saya yakin, itu sudah bisa memuaskan kamu, iyakan?" tuduhnya sinis.

Aku ternganga. Semakin menjadi-jadi saja wanita ini menginjak harga diriku. Kalau tadi aku masih berusaha sabar, kini sepertinya semua harus benar-benar ku selesaikan.

"Ayo ambil!" perintahnya lagi, dengan kaki kanan menyodorkan -atau lebih tepatnya menendang pelan- lembaran kertas yang ia sebut tadi.

Aku sedikit membungkuk, meraih kertas tersebut dan kembali menegakkan tubuhku setelah itu. Wanita itu kembali tertawa angkuh.

"Sudah saya duga, gadis seperti kamu itu mata duitan."

Entah untuk yang keberapa kalinya, ia menuduhku. Aku menghela nafas sebentar, kemudian menyunggingkan senyuman miring meremehkan.
Aku menaikan cek tersebut ke depan wajah wanita tersebut, dan menatapnya santai.

"Anda tau? Ini masih belum memuaskan saya."

"Hehhhh anak tidak tahu diri, maksud kamu apa? Kamu ingin menguras habis harta saya? Iya?"

Aku tertawa hambar. Apa yang bisa ia lakukan hanya menuduhku? Sekasar itu pula.

"Bukan," aku menggeleng pelan "sesuatu yang dapat memuaskan perasaan saya saat ini adalah.."

Sreettt..setelah sedetik sebelumnya aku menggantungkan kalimatku, aku langsung merobek cek kosong ditanganku. Menghancurnya menjadi sobekan-sobekan kecil, membuangnya kedasar tanah, dan menginjaknya sebentar.

"Saya tidak pernah menginginkan harta anda, karena perasaan yang saya miliki untuk anak anda itu tulus. Tanpa alasan," ucapku penuh penekanan.

Aku meraih tas slempang milikku dan segera menyampirkannya ke bahuku.
Ku lihat wanita itu mematung ditempatnya. Entah shock, kesal atau mungkin marah padaku.

"Satu hal yang perlu anda tau, tak perlu susah-susah anda mendatangi saya malam ini untuk meminta saya menjauhi anak anda, karena memang diantara kami sudah tidak ada apa-apa lagi." ucapku sebelum pergi meninggalkannya.

Kusempatkan mengukir senyuman ramah dibibirku, setulus mungkin. Kemudian berlalu meninggalkannya.

"Saya permisi." pamitku, berusaha sopan.
*****

"Argghhhhh...gue benci sama lo! Gue benci sama lo!"

Aku berteriak histeris. Membanting semua benda yang berada disekitarku. Untung ibu sedang pulang kampung, kalau tidak beliau pasti akan mengkhawatirkanku.
Aku kembali meringkuk di pojok kamar dengan sobekan-sobekan kecil dari foto yang menggambarkan aku dan dirinya.

Siapa yang tidak sakit hati diduakan seperti ini? Siapa yang tidak sakit hati, ditinggalkan begitu saja tanpa ada penjelasan, kecuali kata putus yang dilontarkan begitu saja? Siapa yang tidak sakit hati, dimaki-maki dengan wanita yang kita impikan akan menjadi ibu kedua -mertua- kita? Siapa? Siapa?

Kenapa semua harus seperti ini, Tuhan?

-----
Tepatnya malam minggu kau putuskan aku, tuk menjadi kekasihmu
-----

Ini adalah malam minggu ketiga, setelah aku dan dia resmi berpisah -putus-. Dan satnite kali ini begitu menarik perhatianku. Rinai hujan yang mulai jatuh menyentuh permukaan halus dedaunan, serta menimbulkan sedikit bias-bias embun didinding kaca kamarku.
Ahhh, kenapa setiap hujan turun aku selalu teringat kembali lagi padanya. Menyenangkan, menyedihkan dan tentu saja menyebalkan. Itu adalah perasaan yang terlukis ketika malam minggu yang disertai hujan kembali ku temui.
»»

Aku merengut kesal sambil sesekali melirik ke arah jam biru yang melingkar dipergelangan tanganku. Ya Tuhan, aku sudah menunggu 20 menit lebih lama dari waktu yang aku dan dia janjikan.
Malam ini, di taman ini, aku akan memberikan kepastian tentang status kami, tentunya setelah 1 minggu terakhir ini dia memenuhi tantangan dariku untuk tidak memakai mobil mewahnya ke sekolah. 1 minggu untuk percobaan, dan seterusnya akan berlanjut selama aku dan dia resmi berstatuskan sebagai sepasang kekasih.

Aku menengadahkan wajah, menatap langit. Gelap dan tanpa bintang. Sepertinya hujan akan segera mengguyur kota ini. Oh Tuhan, lama sekali dia.
Aku terus saja menggerutu sebal hingga derap langkah kaki setengah berlari terdengar oleh telingaku. Kepalaku mulai bergerak mencari sumber suara tersebut dan akhirnya kedua mataku menangkap sosok pria jangkung setengah berjongkok. Kedua tangannya bertumpu pada lutut dengan nafas yang terengah-engah.

"So..sorry, Fy. Tadi...hhh macet, gue jadi telat."

Ah, kasihan sekali dia. Aku jadi tidak tega memarahinya.

"Ya udahlah, udah telat ini kan? Duduk, Yo." suruhku sambil melirik bangku kosong disebelahku.

Dia mengangguk, dan segera mengambil tempat disebelahku. Huftttt..dia mendesah keras, mungkin berusaha membuang rasa lelah bersama nafas yang ia hembuskan.

Hening. Aku dan dia tidak berbicara sama sekali. Entah mengapa aku merasa canggung sekarang. Aneh, padahal sedari tadi aku menunggunya dan mengumpat kesal karena keterlambatannya. Sekarang? Dia sudah ada disini dan aku hanya duduk manis dengan mulut terbungkam. Bukankah sia-sia?

"Yo,"

"Fy,"

Kami terdiam setelah beberapa detik saling melempar pandang. Detik berikutnya aku kembali meluruskan tatapan ku ke depan, dan lagi-lagi mencengkram kuat tepian bangku kayu yang ku duduki.

"Kamu duluan, Yo." suruhku tanpa menatapnya.

Aku merasakan sebuah sentuhan hangat mendarat ditangan kananku yang masih setia mencengkram tepian bangku kayu yang tak berdosa ini. Begitu memutar kepalaku sedikit lebih ke kanan, mataku kembali bertemu dengan matanya. Dan beberapa menit kami bertahan pada posisi itu. Saling menatap dengan tangan kananku yang masih disentuhnya hangat.

"Emm ke..kenapa, Yo?"

"Errr, gue..gue kan udah menuhin em tantangan percobaan dari lo selama seminggu," dia terdiam, dari ekor mataku ku lihat ia menggaruk-garuk tengkuknya. Entah gatal, atau sekedar iseng "jadi, gimana? Apa elo bisa ngasih kejelasannya sekarang?"

Aku mengucap syukur dalam hati. Akhirnya dia bisa juga memulainya. Karena kalau aku dan dia hanya menghabiskan waktu dengan saling berdiam diri, yang ada semua akan percuma, wasting time. Iya kan?

"Ya, itu..ya kamu tau kan, jawabannya apa?"

"Kita," dia mengarahkan telunjuknya kepadaku dan dirinya secara bergantian "udah resmi?"

Aku mengganguk dengan posisi kepala menunduk. Malu, tentu saja. Aku rasa kedua pipiku mulai berubah warna sekarang dan aku tak ingin dia melihatnya.

"Elo serius kan, Fy?" aku mengangguk kecil "beneran?" untuk kedua kalinya aku mengangguk.

Apa sih maunya dia? Mempertanyakan hal itu berulang-ulang. Dia pikir aku bercanda? Aku kan malu. Hahaa...

Jderrrr...Jderrrr...
Suara petir mulai bergaung nyaring. Membuatku sedikit bergidik ngeri. Dia yang sempat berseru histeris sontak terdiam, dan beralih menatapku.

"Elo takut petir?"

"Err, nggak takut sih, emm rada ngeri aja." aku meringis kecil, membuat dia gemas -mungkin-. Tangan kanannya lantas mengacak kecil puncak kepalaku.

Oh God, sentuhannya begitu menghangatkan. Membuat hatiku berdebar-debar dan jantungku berdetak tak menentu.

"Sama aja, sayang."

Hahh? Sayang? Ya Tuhan...rasanya aku mulai dihadiahi para malaikat sepasang sayap sekarang. Buktinya, aku merasa jiwaku mulai tak berpijak dibumi. Tentu saja itu hanya khayalanku.

Jderrrr...Jderrr
Petir itu pun mengusik khayalanku. Membuat jiwaku yang awalnya terbang melayang, terhempas seketika. Dengan refleks aku menghambur ke tubuh Rio. Emmm lebih tepatnya memeluk lengan pria itu dengan erat. Perlahan ku rasakan sebuah belaian lembut menyapa rambut panjangku. Pelan dan teratur, seiring desah nafasku yang kian memburu.

"Nggak usah takut, kan ada gue."

Gentlement. Satu kata yang terlintas dibenakku saat ia berujar demikian.

"Balik sekarang yuk, entar keburu hujan."

Aku mengangguk dan menyambut tangannya yang terulur kepadaku. Kami pun berjalan bersisian, menginjak rumput-rumput hijau yang menjalar disepanjang tanah taman. Hingga tetes demi tetes rahmat Tuhan membasahi tubuh kami. Perlahan tapi pasti, hujan yang semula berupa rintik kecil mulai menyerbu kami dengan jumlah pasukan yang kian bertambah banyak. Deras.

Dengan menggenggam tanganku, ia mengajakku berlari sambil tertawa kecil karena tingkah usilnya menendangi air hujan yang menggenang. Membuat dress selututku sedikit kotor.
Dia menghentikan langkahnya. Dan tentunya aku pun begitu. Kami berteduh tepat dibawah pohon rimbun yang cukup besar.

Kami memang pulang berjalan kaki, karena..kan aku yang memintanya untuk tidak menggunakan mobil selagi bersamaku.

"Bentar ya, Fy." ujarnya tiba-tiba, aku mengangguk sekilas.

Aku memperhatikan dia yang mulai berjalan menjauh dariku. Rupanya dia menghampiri pohon pisang yang tumbuh tidak jauh dari pohon tempat kami berteduh saat ini. Detik berikutnya, ia segera mengambil selembar besar daun pisang dan membawanya padaku.

"Ayo kita pulang!" serunya cukup keras. Aku mengangguk.

Akhirnya ia pun mengantarkan ku sampai rumah dengan berbekal selembar daun pisang yang kami gunakan sebagai payung untuk -sedikit- menghalangi air hujan yang nampak bernafsu sekali menyerang kami.

Hahhhh, tepat dimalam minggu ini. Dibawah langit mendung dan disaksikan hujan beserta selembar daun pisang, aku dan dia resmi menjadi sepasang kekasih.

-----
Tepatnya malam minggu kau tinggalkan aku, kau bawaku dalam kehancuran
Kau tinggalkan aku dalam sebuah derita
-----

Mengingat awal resminya status hubunganku dengannya waktu itu memang menyenangkan. Bahkan meskipun kini kami tak bersama, aku masih merasa bahagia saat mengingat peristiwa manis itu. Aku masih sering malu saat teringat senyumnya, wajahnya, tingkah laku nya. Hufttt..stop! Aku tidak boleh jatuh cinta lagi padanya. Ya meskipun pada dasarnya, sampai detik ini rasa itu masih ada.

Masih berhubungan dengan malam minggu dan hujan. Aku mengingat salah satu satnite terburuk dalam hidupku bersamanya. Dimana dia dengan mudahnya memutuskan untuk memulai hidup tanpaku dengan alasan yang aku sendiri tidak mampu memahaminya.
»»

Aku berjalan gontai menuju tempat dimana sepedaku terparkir. Hari ini aku memang sengaja pulang lebih belakangan, karena peristiwa kemaren siang -dimana dia datang bersama wanita lain ke toko bunga tempatku bekerja- sudah meleburkan semangat kerjaku hari ini. Setelah sampai diparkiran, aku kembali menatap langit. Lagi-lagi tanpa bintang, pasti akan hujan.

Hufttt..aku mendesah perlahan dan mulai mengambil sepedaku, menuntunnya sebentar dan mulai mengayuhnya menuju rumahku.

Jderrr...jderrr
Petir mulai menyambar. Membuat rasa takut menyelimuti perasaanku. Aku harus segera tiba dirumah.
Terlambat, titik-titik hujan itu mulai menyerangku. Tak perduli aku mulai kebasahan dan bahkan mulai menggigil kedinginan. Mereka tetep menyerbu tubuhku.
Merasa hujan semakin membesar, aku memutuskan untuk berteduh sebentar disalah satu halte yang akan ku lewati nantinya.

Ku parkir sepedaku didepan halte tersebut, kemudian aku segera mengambil posisi duduk disebelah gadis yang sepertinya juga sedang kedinginan. Ditangannya ada segelas hot cappucino, aku mengetahuinya karena melihat kepulan asap yang mengudara diatas kemasan gelas plastik tersebut.

Mungkin merasa ku perhatikan, dia menoleh kemudian tersenyum ramah. Sebentar, kenapa wajahnya tidak asing bagiku?

"Kamu kedinginan yah? Mau ini?" tawarnya, aku menggeleng kecil.

Aku memang haus. Aku memang kedinginan. Tapi memalukan sekali jika aku menerima tawaran orang yang sama sekali tidak ku kenal.
Dia menggeser duduknya, sedikit lebih dekat denganku.

"Ini," dia menyodorkan gelas hot cappucinonya kepadaku "ambil aja, aku udah minum kok."

Karena ia terus memaksa, akhirnya dengan canggung aku menerimanya. Kemudian mulai menyesap sedikit demi sedikit minuman yang ahhh, benar-benar menghangatkan sekali.

"Emm makasih." dia tersenyum ramah, mungkin pengganti kata 'sama-sama' untuknya.

Cittt..sebuah mobil berwarna silver berhenti didepan kami. Membuat pandangan kami kompak mengarah pada mobil silver tersebut. Aku yang sedikit takut -karena berpikir negative dengan pengendara mobil silver itu- melirik ke arah gadis disebelahku yang justru tersenyum ceria. Mungkin jemputannya, bathinku.
Beberapa saat kemudian seorang pria dengan payung putih ditangannya berjalan menghampiri kami. Emm ralat, mungkin lebih tepatnya menghampiri gadis disebelahku.

"Sorry ya bee. Tadi macet." pria itu berucap dengan nada bicara penuh penyesalan.

Kenapa aku merasa mengenali suara itu ya?

"Nggak papa kok, aku ada temennya juga kebetulan."

Takut-takut aku mengangkat wajahku. Entah bagaimana awalnya, saat mataku memperhatikan sosok pria didepanku secara perlahan bulir-bulir air mata mengalir dan membasahi pipiku.

"Ri..Rio,"

"I..Ify,"

"Loh? Kalian saling kenal?"

Kenal? Tentu saja. Bahkan kami masih berstatus pacaran hingga detik ini. Meskipun sejak menyaksikan kejadian kemarin, aku tak menghubungi Rio sekalipun melalui sebuah pesan singkat.

Aku menatap Rio dan gadis itu secara bergantian dan berulang-ulang. Pantas aku merasa mengenali gadis ini, dia kan yang datang ke tempat kerjaku bersama Rio, kemarin?

Aku menggeleng lemah tak percaya. Sedikit sakit melihat ekspresi Rio yang sama sekali tidak cemas atau apalah. Dia hanya terkejut sesaat dan kemudian diam. Seperti tak ada niat untuk memberikan kejelasan tentang siapa gadis yang sedang dijemputnya saat ini.

"Hello? Kok pada diem-dieman?"

Ahhh, menyebalkan sekali gadis ini. Ayo Rio, jelaskan padaku. Siapa gadis ini? Seruku dalam hati.

"Kamu masuk ke mobil duluan ya."

Mengabaikanku dan memilih untuk berkata manis nan lembut pada gadis itu. Ku lihat tampang gadis itu sedikit bingung, tapi toh ia tetap menuruti perintah Rio dan segera meninggalkan kami berdua.

"Aku nggak nyangka, Yo. Kamu tega." ucapku lirih, nyaris tersamarkan oleh suara hujan.

"Maaf."

Apa? Maaf? Hanya itu? Tidakkah dia ingin menjelaskan sesuatu padaku?

Aku melengos "Maaf? Maksud kamu apa?"

"Kita udah gak bisa sama-sama lagi, Fy," dia mengatakan itu dengan tenang membuat hatiku berdenyut sakit "gue sama dia..emm, dia cewe baru gue."

Ya Tuhan. Apa lagi ini? Jadi, Rio memiliki wanita lain padahal jelas-jelas dia masih berhubungan denganku, begitu?

"Mak..maksud kamu?"

"Sorry, Fy. Tapi aku udah memilih dia."

Pukkk..aku menjatuhkan gelas hot cappucino ditanganku, pemberian gadis itu. Rio, tega sekali dia mempermainkanku seperti ini. Apa salahku?
Tanpa berkata apa-apa lagi, aku segera menjauh meninggalkannya. Menyeret sepedaku ditengah hujan, dengan derai airmata menghiasi wajahku.

Rio! Kamu tega!
««

Tidak. Tidak. Tidak. Lupaka dia, Ify! Lupakan! Apa untungnya aku mengingat-ingat seseorang seperti dia. Hanya akan menambah sakit hatiku saja. Baiklah, mungkin akan lebih baik jika aku mengistirahatkan tubuhku saat ini. Senin nanti, aku akan kembali masuk sekolah setelah 1 minggu ini aku menjalani libur.

Dengan enggan aku menarik gorden berwarna cream yang mempercantik jendela kamarku. Dan segera beranjak naik ke atas tempat tidur yang aku harap akan mengantarkan ku pada mimpi indah yang bukan...Rio.

-----
Sungguh berat bebanku tuk harus melupakanmu
Sumpah mati aku tak bisa hidup tanpamu
Namun kau coba lupakanku dengan cinta yang baru
haruskah ku teriak didepanmu?
-----

Kicau burung pagi ini, langsung membangunkan ku dari tidur nyenyak. Tentu saja nyenyak, setelah kemarin aku menghabiskan waktu seharian di toko bunga, badanku mulai terasa pegal. Aku sengaja bekerja ekstra kemarin karena mulai hari ini aku akan kembali bersekolah. Dan itu artinya, jam kerjaku akan kembali seperti semula. Part time, bukan full time.
Setelah merasa cukup untuk bermalas-malasan, aku langsung meraih handuk berwarna merah hati yang tergantung dibelakang pintu kamarku. Kemudian ku langkah kan kakiku menuju kamar mandi yang letaknya disebelah kamarku.
Menit berikutnya, guyuran air mulai tercipta karenaku.
*****

Aku menendangi kerikil dihadapanku. Saat ini adalah jam olahraga, dan kami akan mempelajari tentang basket. Dulu aku menyukai basket karena Rio. Menurutku pria itu terlihat keren sekali saat memainkan bundaran orange tersebut. Aku suka memperhatikannya saat ia mendribble bola,  memasukkannya ke ring atau sekedar free style. So awesome!
Tapi itu dulu, sekarang? Aku bahkan menganggap basket adalah jenis olahraga paling menyebalkan yang pernah ku kenal.

Dukkkk..aku membanting kasar bola basket ditanganku, disertai hembusan nafas yang cukup keras. Come on, Ify. Berhentilah memikirkannya. Apa saat ini dia juga sedang memikirkanmu? Mengingatmu? Memperhatikanmu? Percuma saja semua hal yang kulakukan saat ini untuknya, karena toh takkan berarti apa-apa dimatanya.

Lihatlah! Bahkan dia terlihat asyik mengajari gadis lain untuk memasukkan bola ke dalam ring. Gadis yang berbeda dengan gadis 2 minggu yang lalu. Karena gadis yang saat ini bersamanya adalah salah satu murid baru, pindahan dari Semarang.

Ckckkk..apa itu? Itu bukan mengajari. Yang aku tahu, yang kini ia lakukan bersama gadis itu tak berbeda jauh dengan 'pacaran'. Hanya saja dengan gaya yang berbeda, malah ini terlihat lebih mesra.
Oh Tuhan...kenapa aku sesibuk ini mengurusi hal yang bukan kepentinganku?

"Nih,"

Aku mengangkat wajahku saat sebuah suara halus menyapaku. Tangan kanannya menyodorkan sekaleng softdrink yang masih dingin.

"Buat lo." tambahnya.

Aku menelan ludah. Pria kutub utara -dingin- ini bisa berbicara juga rupanya.

"E..elo," aku menunjuk dirinya "elo ngomong sama..gue?" sambungku, sambil menunjuk diriku sendiri.

Dia melengos, menarik tangannya kembali padahal softdrink ditangannya belum ku terima. Huhhh sebenarnya dia berniat atau tidak menyuguhiku minuman itu?
Aku merengut sebal, setengah melirik ke arahnya yang tengah sibuk membuka kaleng softdrink tersebut.

"Nih," dia menyodorkan sofdrink itu lagi kepadaku "diminum, jangan dipelototin aja gue nya."

Aku tercengang "elo gue minum?"

Dia sedikit menarik tubuhnya ke belakang "bukan, maksud gue mending elo minum tuh minuman. Jangan melototin gue kayak gitu." jelasnya yang emm sepertinya risih dengan pelototan mataku. Padahal mataku tidak besar.

"Ehh sorry," ucapku tak enak "gue minum ya?" dia mengangguk acuh "makasih." tambahku, lagi-lagi ia mengangguk.

Aku menyusuri embun-embun kecil yang menyelimuti kaleng softdrink ditanganku, dengan telunjuk kananku. Sepi sekali rasanya, karena sedari tadi pria disebelahku ini hanya diam tanpa kata.
Tuk..tuk..tukkk
Sambil memainkan embun-embun dikaleng softdrinkku, aku menghentak-hentakkan kecil kakiku. Berusaha membunuh kesunyian yang menyelimuti kami berdua.

"Elo putus sama, Rio?" tanya nya tiba-tiba.

Aku mengangkat wajahku dan menatapnya dengan alis terangkat. Apa dia senang mendengarkan gosip juga?

Dengan malas aku mengangguk, setelah sepersekian detik menatap wajahnya.

"Kenapa?" aku kembali menatap aneh pada pria disampingku, yang terkesan ingin tahu "ya, kalau elo ngerasa itu privacy ya gak usah diceritain. Nggak papa kok." sambungnya saat kedua mata kami bertemu.

Aku berdehem sedikit "errr, gue nggak tau apa gue pantes cerita sama lo atau nggak. Secara, kita nggak kenal dekat ya meskipun kita sekelas," aku mengingat-ingat tentang intensitas "diskusi" atau pun "komunikasi" yang pernah terjalin diantara aku dan dirinya. Memang tidak sering, bahkan jarang. "Tapi, mungkin nggak ada salahnya kalau gue berbag-"

"Stop! Elo mau curhat apa ceramah, sih? Panjang amat." potongnya sambil menggerutu kesal -mungkin-.

Aku meringis kecil "ya ya, sorry. Emm maksud ku...hhh well, gue cerita sekarang. Jadi..."

Bla..bla..aku mulai menceritakan tentang hubunganku yang mulai tidak sehat dengan Rio. Sampai pada akhirnya, di satnite kelabu, dibawah guyuran hujan dia memutuskan untuk memilih gadis lain dibandingkan aku. Sesekali dia bertanya dan aku menjawab seadanya.
Baru ku sadadari ternyata dia beda. Dia tak seperti apa yang teman-teman dikelasku katakan, dia tidak sedingin, sependiam yang mereka nilai. Malah, dia terlihat antusias dan banyak bertanya saat aku bercerita.

"So, gimana perasaan lo sekarang?"

Aku mengangkat bahuku sedikit "nggak tau, yang jelas gue...emm-"

"Gue ngerti perasaan lo," dia menepuk pelan pundakku.

Wooo..apa yang baru saja dia lakukan? Menyentuhku? Bahkan dia pernah memarahi salah satu siswi yang tidak sengaja membersihkan kemejanya. Singkat kata, dia tidak suka disentuh secara sembarangan oleh orang lain. Dan sekarang, dia malah menyentuhku

"Kenapa lagi? Gitu amat ngeliatin gue nya."

"Elo, elo nyentuh gue?" tanyaku merasa aneh.

Dia menatapku dengan kening mengerut "ada yang salah?"

Refleks aku mengibaskan kedua tanganku didepan wajahnya "nggak. Nggak kok nggak."

Dia membuang muka. Membuatku sedikit tidak enak. Dan akhirnya aku kembali menyibukkan diriku dengan kaleng softdrink kosong ditanganku.
Dia? Ntahlah. Yang aku lihat, dia sedang menatap kosong tanah lapang dihadapan kami.

"Ehh!" aku hampir terjatuh saat mendengar seruannya yang tiba-tiba itu "tadi elo bilang..elo rasanya pengen teriak didepan dia. Emang berani?" sambungnya bertanya dengan tampang polos tak bersalah.

Apa dia tidak tahu aku hampir terjatuh karenanya?

"Malah diem. Berani gak?"

Aku menyeringai lebar. Menampakkan rentetan gigi putih yang dihiasi behel berwarna "nggak. Makanya gue nggak ngelakuin," aku terdiam sejenal "ya meskipun gue rasa itu perlu, senggaknya...buat ngeluapin semua isi hati gue." sambungku lirih.

Aku menunduk, dan tiba-tiba tetesan air mata itu kembali menganak sungai dipelupuk mataku. Oh God, bisakah aku berhenti menangis sekarang? Aku tidak ingin menangisinya lagi.
Bahuku mulai bergetar, dan aku rasa pria disampingku ini akan segera menyadari kalau aku sedang menangis.

Sebuah sentuhan hangat mendarat dipundakku. Sentuhan itu mulai bergerak mengusap halus.

"Jangan nangis, tapi...kalau itu bisa ngebuat elo lebih baik, lakuin aja..hehee."

Aku memukul bahunya pelan. Disaat seperti ini dia sempat-sempatnya bercanda. Tapi, hebat. Dia bercanda, dia menghiburku. Aku baru sadar kalau hari ini dia sangat menyenangkan.

"Gimana sih lo, tadi ngelarang gue nangis eh sekarang malah ngebolehin."

"Emosi kalau dipendam gak baik juga kali, Fy."

"Iya, Alvin."

Dia tertawa kecil, manis sekali. Eh, aku bilang apa barusan. Ada-ada saja.

Puk..puk..pukkk
Dia menepuk-nepuk celana olahraganya ketika tubuh tingginya sudah berdiri tegap. Aku menatapnya dengan heran, beberapa saat kemudian salah satu tangannya mulai terulur dihadapanku. Dan dengan ragu aku menyambut uluran tangan tersebut.
Dengan menggengam tanganku, ia membawaku entah kemana. Anehnya, aku hanya mengikutinya dengan pasrah.

"Nggak nanya 'mau kemana?' gitu?" tanya Alvin ditengah-tengah perjalanan.

Aku menggeleng kecil "terserah kamu deh, aku lagi males ngomong."

Dia memajukan bibirnya sedikit, lucu sekali.

"Gak asik ih, elo tau nggak kalau akibat elo yang dengan pasrahnya ikut gue, elo udah bolos di pelajarannya bu Winda."

Aku menghentikan langkahku. Bu Winda? Sejarah? Oh no...guru itu kan killer sekali. Eh tapi, buat apa khawatir? Kan ada Alvin. Dia kan murid kesayangannya bu Winda. Oke, Fy calm down.

Aku melanjutkan langkahku. Sebelumnya, tangan kananku langsung bergerak menggandeng salah satu tangan, Alvin.

"Nggak takut?"

"Kan sama lo. Jadi gue nggak takut." ucapku mantap.

Dia hanya mengangguk. Kemudian mempercepat langkah kakinya menuju suatu tempat -mungkin- yang aku sendiri tidak tahu dimana. Aku hanya berjalan dalam diam. Menikmati detik demi detik waktu yang ku lalui bersamanya. Tuan kutub utara yang terkenal dingin. Namun dengan anehnya, tiba-tiba saja dia menghampiriku dan mulai akrab denganku. Sungguh aneh, pikirku dalam hati.
*****

Ilalang-ilalang putih menjulang tinggi dihadapan kami. Begitu indah dan menakjubkan, menurutku. Aku berdecak kagum melihat pemandangan didepanku saat ini. Bagaimana bisa, Alvin mengetahui tempat seindah ini?

"Ini dimana sih, Vin?"

"Ini area dibelakang sekolah kita, Fy. Masa' elo gak tau?"

Aku menggeleng "gue emang baru tau." jawabku jujur.

"Sekarang elo teriak." ucapan Alvin yang terdengar memerintah, membuatku menatapnnya heran "nggak akan ada yang denger, disini sepi. Udah buruan." suruhnya lagi.

Hufttt..aku menghirup nafas berulang kali. Berusaha menenangkan hatiku sebentar, sebelum aku meluahkan seluruh isi hatiku.

Tes..tess..tesss
Baru saja akan membuka mulut, tetes hujan sudah menyerbu ku lebih dulu. Lantas aku memutar kepalaku sedikit lebih ke kanan dan menatap Alvin yang masih setia disampingku.

"Udah, terusin aja. Gue nggak bakal kemana-mana kok." ucapnya setengah berteriak. Mungkin ia takut suaranya akan dikalahkan oleh derasnya hujan, mungkin.

"Tapi hujan, entar kita sakit."

Dia menggeleng pelan. Membuat rambutnya bergerak lemas dan beberapa tetes air hujan terlempar ke wajahku.

"Nggak papa. Ayo, cepet lo teriak. Gue temenin kok. Lo ungkapin semua perasaan lo tentang, Rio."

Aku mengangguk. Tak ingin membuat apa yang dilakukan Alvin menjadi sia-sia. Aku menatapnya yang sedang tersenyum manis padaku, aku pun membalas senyumnya. Kemudian, dengan pandangan lurus ke depan, aku bersiap untuk meneriakkan isi hatiku.

"Gue benci lo Mario. Gue benci sama lo. Lo udah nyia-nyia-in perasaan gue. Dan gue pastiin, nggak akan ada yang bisa seperti gue, gue jamin itu!!"

"Elo udah bikin gue nangis berminggu-minggu. Elo udah bikin gue kehilangan semangat gue, elo udah ngerebut semua kebahagian gue. Hiks..hikss.."

Aku mulai menangis. Hal yang paling ku benci semenjak Rio menyakiti ku. Dengan kasar ke tepis lelehan air mata yang mulai membaur dengan tetesan hujan di wajahku.

"Hari ini adalah terakhir kalinya gue nangis gara-gara elo. Besok, lusa dan selamanya, nggak akan ada lagi air mata buat lo!!" ucapku mantap, aku masih belum bisa menghentikan laju air mataku.

"Gue janji, Mario. Gue janji." sambungku lirih. Perlahan tubuhku mulai melemas dan brukk..aku terduduk diantara hamparan ilalang-ilalang putih yang mengelilingiku.

Ku rasakan sebuah dekapan hangat menyelimuti tubuhku. Sepertinya Alvin, tapi..apa ini hanya perasaanku saja? Mengapa aku merasakan tubuhnya juga ikut bergetar?

"Udah, Fy. Jangan nangis lagi. Gue nggak bisa liat lo nangis kayak gini."

Aku mendengar Alvin mengucapkannya dengan nada memohon. Mengapa?

"A..Alvin, elo-"

"Gue sayang sama lo, please jangan pernah lo nangis buat cowok lain didepan gue. Gue sayang sama lo."

Reda. Perlahan-lahan, guyuran air mata langit mulai berhenti. Masih tetap dalam posisi yang sama, aku dan Alvin sama-sama terdiam.

"So..sorry, Fy."

Alvin melepaskan pelukannya. Dengan sedikit canggung aku menatap wajahnya. Mencari kejelasan dari semua maksud perkataannya beberapa menit yang lalu.

"Pelangi, Fy. Liat deh!" serunya tiba-tiba.

Aku mengikuti arah telunjuknya.
Pelangi, indah sekali rupanya. Membuat senyuman terukit begitu saja dibibirku saat ini.

"Elo tau kan, Fy. Pelangi emang gak selalu hadir sehabis hujan. Tapi, dia nggak akan mungkin hadir kalau nggak didahului dengan hujan."

Aku menatap Alvin dengan kening mengerut, dan alis bertaut. Jujur, aku bingung.

"Masih ada pelangi sehabis hujan. Masih ada Alvin setelah Mario."

Aku merasakan semburat hangat menghiasai kedua pipiku. Oh Tuhan, apakah para malaikat kembali menghadiahiku sepasang sayapnya? Karena saat ini aku kembali merasa melayang saat mendengar penuturan Alvin.
Entah siapa yang memulai, kini kami kembali saling merangkul. Memandang bahagia lukisan langit yang semakin cantik dengan kehadiran pelangi.
Langit semakin berwarna ketika dihiasi pelangi. Dan hatiku semakin bahagia ketika ditempati Alvin.

=====


Errrr, sedikit kaget pas ngeliat hasil akhir cerpen ini. Karena niat awal pengen bikin sadend dan tetep RiFy yang menonjol. Nggak tau kenapa malah jadi Happend dan AlFy -kayaknya- juga ikutan menonjol diakhir. Meskipun tetep, menurut gue porsi RiFy paling banyak.
Judul awal sebenernya "Tepatnya Malam Minggu" bukan "There's Still a Rainbow After The Rain"
Aishhhh sok inggris ya gue-_- maaf deh kalau judulnya salah..ahahaa
Oh iya, mungkin kalian juga ada yang bingung kenapa tiba-tiba Alvin muncul pas menuju akhir cerita. Jujur gue sendiri juga nggak tau. Semalem pas ngelanjutin ni cerpen perasaan gue lagi galau, galau banget pokoknya eh tau-tau udah ke tulis Alvin aja. Dan berhubung gue pake sudut pandang orang pertama, otomatis disini gue nggak mendeskripsikan perasaan Alvin di awal-awal. Ya, kecuali gue make dua P.O.V kan baru gue juga bisa nyeritain dari sudut pandang Alvin.
Well, nggak ada yang lebih menyenangkan hati gue selain ngeliat/tau kalau kalian ngerasa terhibur dengan tulisan gue dan bisa ikut masuk, melebur bersama kalimat-kalimat (yang meskipun masih -ekhm- berantakan) sok rapi dari gue :D


Finally, masih tetep sama kayak sebelumnya. Tetep nungguin komentar, kritik dan saran yang gue harap bisa membuat tulisan gue lebih baik lagi (re : membangun)


Song : Tepatnya Malam Minggu by Terry

_With Love Nia Stevania_

Senin, 18 Juli 2011

"_Galau Lagi (karena Mastev--')


Hai peeps!! Apa kabarnya nih? Fine I hope yea guys J  
Udah lama gak curhat alias berbagi cerita di blog gue tercinta ini…hahaa ada yang kangen gak yah kira-kira? Oke, gue PD dan over narsis sekarang, maklum lagi dalam edisi galau otak gue saat ini. Well, sekarang yang pengen gue ungkapin adalah perasaan gue yang lagi kayak gado-gado, campur aduk gitu deh. Seneng, soalnya setelah mengalami penantian yang cukup lama akhirnya gue difollback juga sama idola gue. Setelah sebelumnya gue sempet bbm-an ya, meskipun doi cuman ngebales 3 kali tapi itu udah cukup menyenangkan hati gue. Secara gitu ya, sebelumnya bbm gue gak pernah dibales sama doi. Saking senengnya, gue sampe ngesave, bukti kalau bbm gue dibales sama doi. Gila memang –terutama bagi kebanyakan orang kecuali gue deh kayaknya-. Saking berharganya –sekali lagi ini menurut gue!-, bukan cuman balasan bbm dari dia aja tapi juga pesan broadcastan gitu. Dan sumpah! Yang ini logikanya kan bener-bener gak penting-_-“ tapi namanya juga udah ‘tergila-gila’ ya nggak?
Ini balesan dia yang pertama dan kedua dan ketiga :D, dan sukses ngebuat gue jingkrak-jingkrak karena gak nyangka dia bakal ngebales bbm gue..



Gak cuman seneng, tapi juga gue sedih ditambah kesel dikali sebel sama dengan GALAU…. Gue ngaku fansnya dia, ta[pi tealt banget tau kalau dai make fb. And finally, gue harus terima nasib karena gak bisa lagi ngeadd dia. Full giy, kayaknya kebanyakan friend request deh dan dia juga belum terlalu banyak ngeconfrim orang. Ya gue harap, gak lama lagi gue bisa ngeadd dia dan diconfrim sama dia #hoping



:: Dare To Be RiSe ::